"Alhamdulillah."
Kata yang tak pernah lepas dari lisan Zafran dan Zaira. Penantian yang penuh air mata akhirnya terjawab sudah. Dua bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda.
Bayi yang sudah dibersihkan oleh bidan lalu diadzani oleh Zafran sebagai ayah dari Si bayi.
Saat mengumandangkan adzan di telinga buah hatinya, tak berhenti Zafran meneteskan air mata.
*
Setelah proses pemulihan selama satu jam, Zaira dipindahkan ke ruangan Melati kelas VVIP. Si bayi kembar pun ikut dengan menggunakan box bayi. Keluarga Zaira dan Zafran datang berkunjung."Alhamdulillah, Nak, setelah penantian panjang kalian," ucap Umi Aisyah dengan penuh haru.
"Iya, Umi, dua sekaligus," jawab Zaira dengan suara melemah.
"Selamat ya, Nak," ucap Abi Abdullah.
"Terimakasih, Abi."
Bukde Aminah yang baru saja datang tiba-tiba menghambur ke arah mereka.
"Bayinya mana?" tanya Bukde tanpa menanyaka
Tiga hari telah berlalu, kondisi Zaira pun sudah membaik. Hari ini sesuai anjuran dari dokter, Zaira sudah bisa dipulangkan. Zafran dengan sigap membantu membereskan semua perlengkapan Zaira dan Si bayi kembar. Kedua orang tuanya yang baru saja tiba ikut membantu mereka untuk persiapan pulang. "Nanti Umi dan Umi Aisyah saja ya, Nak, yang gendong bayi kalian?" ucap Umi Fathimah meminta ijin pada kedua anaknya. "Boleh, Umi, Zaira juga masih butuh penyesuaian," jawab Zafran. "Ya sudah, nanti Zaira sama Abi," usul Abi Husein. Tanpa menunggu lama, Abi Abdullah langsung menenteng beberapa perlengkapan mereka. "Abi bagian angkat barang-barang," ucapnya sambil terkekeh. Orang-orang yang ada di dalam ruangan ikut tertawa ringan. Abi Abdullah dan Zain lebih dulu melangkah menuju parkiran di mana mobil terparkir. Umi Aisyah dan Fathimah meraih tubuh mungil Si Kembar lalu menggendongnya kemudian menyusul menuju
"Ternyata ikhlas itu sangat susah ya, Dok?" Zain mengernyitkan keningnya."Melihat orang yang kita cintai telah berbahagia dengan pilihannya. Kita bisa apa saat mereka adalah takdir yang tertulis di lauhul mahfuz?"Zain semakin tak mengerti. Terlebih dia merasa apa yang dikatakan perawat di depannya seolah menyindirnya."Kita sama, Dokter. Sama-sama pernah mencintai dalam diam hingga akhirnya takdir tak berpihak padaku."Zain mengerti apa yang tengah dimaksud Mawar-salah satu perawat di ruang bedah. "Aku belum mengerti," ucap Zain yang masih setia memandang keluar jendela."Dulu aku pernah menyukai seseorang, dia sahabatku sendiri. Benar kata orang, jika laki-laki dan perempuan bersahabat, maka yakin saja, pasti salah satunya memendam rasa. Itu benar, Dok. Aku sudah lama menyukainya, tapi karena aku tak ingin persahabatan kami hancur yang berujung kehilangannya, maka diam adalah pilihan terbaik.""Lalu?"
"Vio, kamu makan es krim lagi?" sapa seseorang. Keduanya menoleh ke sumber suara."Kamu?" balas Zain saat melihat wanita yang menegur Vio. Wanita yang ada di depan mereka pun ikut terkejut."Loh, kalian sudah kenal?" tanya Vio. Namun, keduanya memilih diam.Vio yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi itu pun tak mau menyerah."Kak Arumi kenal? Om Dokter temannya kakak ya?" tanya Vio lagi."Bukan, tapi–""Bukannya kamu sudah pindah kota ya?" potong Zain."Kak Arumi emang udah pindah, Om Dokter, tapi Vio kangen," balas Vio."Udah ketemu sama Zaira belum?" tanya Zain lagi."Belum. Mbak Zaira ada di sini?" tanya Arumi yang dibalas anggukan oleh Zain.Vio yang merasa diabaikan sejak tadi mulai protes. Dihentakkannya kakinya dengan bibir mengerucut."Kalian jahat, ih! Vio dikacangin!" protesnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli