POV ARUMI
"Saya hanya mencintai istri saya dan sampai kapanpun, tidak akan ada wanita ke dua."
"Kalau kamu tetap mengikuti keinginan Zaira, maaf, aku tidak kan pernah bisa menerima apalagi mencintaimu."
Kalimat itu terus terngiang di telingaku meskipun kejadiannya sudah beberapa waktu yang lalu.
Penolakan secara halus tapi terdengar dengan penuh penegasan.
Sudah beberapa hari ini aku lebih memilih berdiam diri di kamar. Rasa sakit yang diberikan oleh ustadz Zafran sangat membekas.
Pintu kamar berderit menampakkan sosok wanita yang selama ini sudah kuanggap seperti ibuku. Bunda Asma.
"Boleh bunda masuk, Nak?" tanyanya lembut.
"Boleh, Bunda."
Langkah kaki bunda Asma perlahan mendekatiku yang sedang duduk termenung di atas pembaringan. Tangannya mengusap lembut rambut ini saat bunda Asma telah duduk di tepi ranjang.
"Ada apa, Nak?" tanya Bunda Asma.
"Mbak Zaira terus memohon padaku, Bunda, un
"Tapi, Nak, kamu akan terluka nantinya.""Bukankah jika kita mencintai seseorang kita harus berkorban? Seperti mbak Zaira yang rela berkorban demi anak, Arumi pun sama, Bunda. Arumi rela berkorban demi mendapatkan cinta ustaz Zafran.""Itu bukan cinta. Itu ambisi."Aku menggeleng kuat. " Tidak jika atas kuasa Allah. Saat ini mungkin ustaz Zafran belum mencintaiku. Tapi, saat anak itu lahir, perlahan ustaz Zafran akan luluh dan mencintaiku. Aku yakin itu."Bunda Asma mengendikkan bahu."Bunda serahkan semua sama kamu, Nak."Aku menghambur ke dalam pelukannya. "Insya Allah, Bunda."Sebenarnya aku juga dilema. Antara bahagia atau tidak. Jujur, aku pun memikirkan apa yang dipikirkan oleh bunda Asma. Mungkin lisanku berkata bahwa itu karena Ustaz Zafran, tapi hati kecilku mengatakan itu semua demi mbak Zaira.Aku ingat waktu kami berbicara empat mata. Mbak Zaira menangis sesegukan menceritakan kondisi keluarganya.&
"Bismillah. Zafran siap menikah lagi."Duar! Bagai disambar petir di siang hari, kalimat yang diucapkan oleh Mas Zafran begitu mengoyak hatiku hingga tercabik-cabik.Aku berlalu meninggalkan mereka di sana. Hati ini sungguh sakit. Dadaku sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar tinggal.Bukankah ini yang kamu inginkan, Zaira? Lantas kenapa kamu menangisinya lagi?Aku terduduk di sebuah taman tak jauh dari rumah. Aku merutuki atas keputusan yang aku buat sendiri. Mengapa sesakit ini, Ya Allah?Lama aku terdiam dalam penyesalan yang mendalam hingga akhirnya aku berpikir untuk mendatangi Arumi.Sebuah taksi online bergerak menuju ke arahku selang beberapa saat aku memesannya melalui aplikasi hijau."Mbak Zaira, ya?" tanya seorang pria muda di balik kemudi.Aku mengangguk lalu membuka pintu tepat di belakangnya."Sesuai petunjuk di aplikasi ya, Pak!" ucapku setelah duduk di balik supir ta
"Mbak, ketemu lagi kita," ucapnya dengan senyum yang sukringah menampilkan deretan gigi yang tersusun rapi.Aku tersenyum tipis padanya."Mau balik, Mbak?""Kamu membuntutiku?"Mas Husein terkekeh. "Mbak terlalu ke-pede-an. Aku malah kebetulan lewat, lihat Mbak dengan tampang lebih hancur dari yang sebelumnya."Aku mendelik tajam."Oh, oke. Oke. Kalau Mbak mau langsung balik, Mbak buka aplikasinya dulu, lalu klik akunku. Kalau Mba mau menenangkan diri dulu, simpan ponselnya, nanti aku antar ke mana saja Mbak mau. Gimana?"Aku menimbang apa yang ditawarkannya. Kalau aku pulang, hati ini tentu akan masih sakit. Kalau aku memilih menenangkan diri, apa mungkin aku pergi berdua dengan lelaki asing ini? Aku sudah bersuami."Aku mau langsung balik saja.""Kenapa?""Suamiku menungguku di rumah.""Masya Allah. Jarang perempuan jaman sekarang masih memikirkan suaminya saat bertemu pria tampan
Saat prosesi khitbah, akad dilakukan dua minggu setelahnya. Berarti aku masih mempunyai waktu selama dua minggu untuk berbakti pada suamiku, melayaninya sepenuh hati sebelum seseorang membantuku. Mengambil setengah dari tugasku.Rasanya begitu sakit saat mengingat kebersamaan kami selama enam tahun belakangan ini, akan berubah.Dulu, aku menjadi satu-satunya, tapi dua minggu yang akan datang, akan ada hati yang lain yang akan menggeser sedikit posisiku.Bukankah ini kemauanmu, Zaira? Padahal suamimu sangat memohon untuk membatalkan semua.Pagi ini aku mulai melakukan aktifitasku seperti biasa. Memasak, memberishkan rumah, menyiapkan kebutuhannya dan segala aktivitas yang selama ini kukerjakan. Dan mungkin bisa jadi ini yang terakhir.Mas Zafran terus melarangku untuk melakukan semua ini karena khawatir dengan kondisiku, tapi aku terus memaksa."Dek, ada mbok Siti. Biar Mbok yang mengerjakan semua.""Nggak
*Hari berlalu, sisa tujuh hari lagi. Semua persiapan hampir selesai. Sesuai kemauan Arumi, dia ingin pernikahan sederhana saja. Tak ingin melukaiku lebih dalam lagi katanya.Aku dan mbok sibuk menyusun apa saja yang akan disiapkan sebagai hantaran. Tiba-tiba aku terjatuh. Pandanganku buram, kepalaku mendadak berat. Keluarga yang hadir di sana memboyongku masuk ke dalam kamar tidurku.Abi menghubungi dokter keluarga kami. Mbok Siti tak berhenti mendekatkan minyak kayu putih di hidungku."Ada apa ini?" tanya Bukde gusar."Ibu Zaira nggak enak badannya, Bu. Tiba-tiba jatuh tadi," jelas Mbok Siti."Halah, paling drama. Suaminya kan bentar lagi nikah," ketus Bude."Astagfirullah, Mbak Yu. Ndak boleh ngomong kayak gitu. Ndak baik," celetuk salah satu keluarga Abi."Bu dokter," sapa Umi yang sedari tadi mengelus lembut kepalaku. "Permisi ya, Ibu-ibu. Saya mau cek kesehatan Ibu Zaira dulu."M
Pov. Zafran.*Hari berlalu, sisa tujuh hari lagi. Semua persiapan hampir selesai. Sesuai kemauan Arumi, dia ingin pernikahan sederhana saja. Tak ingin melukaiku lebih dalam lagi katanya.Aku dan mbok sibuk menyusun apa saja yang akan disiapkan sebagai hantaran. Tiba-tiba aku terjatuh. Pandanganku buram, kepalaku mendadak berat. Keluarga yang hadir di sana memboyongku masuk ke dalam kamar tidurku.Abi menghubungi dokter keluarga kami. Mbok Siti tak berhenti mendekatkan minyak kayu putih di hidungku."Ada apa ini?" tanya Bukde gusar."Ibu Zaira nggak enak badannya, Bu. Tiba-tiba jatuh tadi," jelas Mbok Siti."Halah, paling drama. Suaminya kan bentar lagi nikah," ketus Bude."Astagfirullah, Mbak Yu. Ndak boleh ngomong kayak gitu. Ndak baik," celetuk salah satu keluarga Abi."Bu dokter," sapa Umi yang sedari tadi mengelus lembut kepalaku. "Permisi ya, Ibu-ibu. Saya mau cek kesehatan
Pov. Zafran*Hari ini rencananya barang akan masuk lagi ke pabrik. Kain-kain yang dipilih karena kualitasnya hari ini akan tiba. Aku, Rayyan dan Yuda disibukkan dengan pengecekan barang.Rayyan datang menghampiriku, katanya ada pihak yang ingin mengadakan kerjasama. Namanya Pak Syaiful. Seorang pebisnis yang terkenal di daerah Bandung. Rencananya kaminakan bertemu utusannya hari ini di salah satu kafe kawasan Jakarta Selatan.Aku yang masih sibuk di kantor, menunjuk Rayyan untuk mewakiliku. Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Abi."Assalamu'alaikum, Bi.""Wa'alaikumussalam. Kamu bisa pulang sekarang, Nak? Zaira tadi hampir pingsan.""Ya Allah. Sekarang bagaimana kabarnya, Bi?""Dokter Riana sudah menuju ke sini.""Baik, Abi. Zafran akan segera ke sana."Aku memutup sambungan telpon lalu menghubungi Yuda."Assalamaualaiku, Yud. Ke ruanganku sekarang!"
"Aku hamil?" pikir Zaira.Sebenarnya, Zaira sangat takut kali ini. Pernikahan Arumi terancam batal karena berita kehamillannya. Zaira tidak ingin gegabah.Diambilnya ponsel lalu mencoba menghubungi suaminya. Namun, tak ada jawaban. Zaira kembali mencoba menghubungi Arumi. Dipanggilan ke tiga baru terjawab."Assalamu'aikum, Arumi.""Wa'alaikumussalam, Mbak.""Apa Mas Zafran sedang bersamamu?" tanya Zaira hati-hati.Arumi terisak, air matanya luruh begitu saja."Ustaz Zafran ada di sini, Mbak. Bukde Aminah juga."Mata Zaira membulat sempurna. Zaira sudah tahu apa yang tengah terjadi di sana."Arumi–""Selamat, ya, Mbak, atas kehamilannya. Aku harap, mbak selalu baik-baik saja, calon bayinya juga. Maaf, Mbak, aku tidak bisa melanjutkan permintaan itu.""T-tapi, Arumi, mbak ikhlas."Arumi menggeleng tegas. "Mungkin ini adalah jalannya, Mbak. Aku tidak bisa masuk