"Sanah helwah barakallahu fii umrik, istiku sayang!" seru Zafran.
Zaira yang sedang tertidur pulas, tampak sekali-sekali mengerjapkan matanya. Zafran tak berhenti menowel pipi mulus Zaira karena istrinya belum juga sadar penuh.
"Ayo, dong, Sayang, bangun!" desak Zafran sambil terus menggoyangkan tubuh istrinya.
Zaira mengedarkan pandangan. Tatapannya begitu takjub melihat dekorasi kamarnya berubah. Balon berwarna putih dan pink, pencahayaan yang temaram serta beberapa tangkai bunga mawar kesukaan Zaira.
Zaira menutup mulutnya, dia begitu merasa sangat bahagia.
"Romantis banget suamiku ini," seru Zaira dan langsung menghambur ke dalam pelukan Zafran.
"Semua untukmu, Sayang," bisik Zafran romantis.
Berkali-kali Zafran menghadiahi kecupan mesra di kening dan pipinya. Zaira sangat bahagia dengan perlakuan hangatnya.
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, ya? Kemana pun kamu mau, mas akan turut
Pemandangan laut lepas terlihat begitu menyejukkan mata. Zaira tak berhenti memandangi wajah suaminya yang begitu rupawan. Wajah yang mungkin nanti akan jarang ia nikmati lagi."Kenapa, Sayang? Kok lihatin mas segitunya?"Zaira memalingkan wajah seraya tersenyum. Zafran meraih tangan istrinya lalu menggenggamnya."Kita belum pesan, nih?" tanya Zafran."Adek lagi nungguin seseorang.""Siapa?"Zaira tersenyum lalu melambaikan tangannya pada pelayan."Siapa, Sayang?""Tunggu aja, bentar lagi sampai kok."Mereka lalu memilih menu setelah pelayan sudah berdiri di samping meja. Saat asyik tengah memilih, seseorang telah berdiri di sampingnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Zaira dan Zafran kompak menoleh. Senyum di wajah Zafran memudar. Zaira yang menyadari itu langsung mempersilahkan Arumi duduk."Duduk, yuk!"Arumi kemudian meraih kursi la
Arumi terus menangis sesegukan di sebuah taman. Kondisi taman yang sepi membuat Arumi bebas untuk mengeluarkan sesak di dalam dada. Keinginannya untuk membantu Zaira dihilangkan begitu saja.Sebuah panggilan masuk, Arumi menatap lama layar yang bertuliskan nama mbak Zaira. Rasa sesak itu masih ada hingga membuatnya mengabaikan panggilan itu.Sebuah tissue yang disodorkan oleh seseorang tepat di hadapan Arumi membuatnya menghentikan tangisnya.Matanya mengarah ke pemilik tissue itu. Sosok pria berwajah tampan dengan penampilan yang begitu memikat.Arumi mengernyitkan keningnya, pria itu tersenyum."Tidak baik menangis di tempat seperti ini. Nanti kesambet," ucap pria itu dengan senyum menawannya.Arumi membuang muka, pria itu duduk tepat di sampingnya."Yakin nggak mau? Kamu nggak tahu bagaimana hancurnya wajahmu saat ini."Arumi yang mendengar itu sejenak merasa terganggu. Terpaksa tangannya
"Maafkan adek, Mas. Tapi, apa yang harus adek lakukan?" tanyaku sesaat setelah kami telah tiba di rumah.Mas Zafran menarik napas berat."Cobalah mengerti perasaanku saat ini, Dek.""Mas yang harus mengerti kondisiku. Adek sangat tertekan, Mas. Adek sudah menyerah, Mas. Kemungkinan hamil sangat minim. Lalu, adek harus apa?" tanyaku dengan tangis yang tertahan.Mas Zafran memeluk tubuhku. Aku tahu, mas Zafran sedang menahan amarahnya sejak tadi. Benar, harusnya aku memberitahunya lebih dulu."Mas istikharah dulu."*Umi dan abi mertua datang berkunjung. Mereka memelukku satu persatu memberikan ucapan selamat dan do'a untuk diriku."Zaira, ini umi buatin brownis kesukaan kamu, Sayang," ucap Umi seraya memberikan kotak kue yang berisikan kue brownis. Aku mengambilnya dengan perasaan yang senang tentunya."Makasih, Umi." Kupeluk tubuh wanita yang telah melahirkan mas Zafran.Mas Zafran dan abi tersenyu
"Mas berangkat dulu, ya, Sayang. Jangan lupa pesan mas, kamu nggak boleh terlalu kecapean.""Iya, Mas," ucapku seraya membantunya menyiapkan keperluan."Mungkin hari ini, Mbok tiba. Kamu nggak apa-apa kan mas tinggal?"Aku mengangguk seraya tersenyum padanya."Iya, Sayang."Aku mengantar mas Zafran hingga di depan pintu. Mata ini tak lepas dari padangan hingga mobilnya sudah tak terlihat.Baru beberapa menit mas Zafran pergi, suara ketukan pintu terdengar. Aku melangkah gontai menuju pintu. Saat pintu terbuka tanpaklah wajah wanita yang selama ini ingin aku hindari. Bukde Aminah.Aku mempersilahkannya masuk lalu duduk tepat di hadapannya. Pandangannya mengedar ke segala sudut ruangan."Bagaimana?" tanya bukde Aminah."Aku sudah mempertemukan mereka, Bukde. Tapi Mas Zafran tetap sama."Bukde Aminah menarik napas dalam lalu mengembuskan kasar."Kamu tidak pernah serius, Zaira. Kamu ini
"Sayang, gimana kondisinya?" tanya Zafran sambil menyentuh kening istrinya."Alhamdulillah, Mas, udah baikan.""Hari ini berdua sama Mbok, gapapa, ya, Dek?" tanyanya seraya menyambar kunci di atas meja."Iya, Mas nggak apa-apa."Zaira mencium punggung tangan suaminya. Niat hati ingin mengantarnya sama seperti biasanya, tetapi kali ini Zafran menolak. Katanya Zaira harus istirahat."Mas pergi dulu ya, Dek. Baik-baik di rumah."Zaira mengangguk seraya tersenyum pada suaminya."Mas, adek kangen sama abi dan umi, adek mau ketemu, Mas.""Nanti bareng sama mas, ya?"Zaira tersenyum manis. Ia sudah menduga suaminya tak akan pernah mengijinkannya keluar tanpanya."Baiklah, Mas.""Ya sudah, Mas mau berangkat dulu."Zafran mencium kening Zaira kemudian berlalu meninggalkan Zaira seorang diri."Mbok, tolong jagain ibu, ya! Insya Allah saya cepat baliknya," ucap Zafran pada mbok Siti yan
"Ada apa ini?!" tanya abi dengan sedikit penekanan.Zaira tampak gugup, jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya mulai mengembun."Apa yang terjadi, Nak? Apa ada orang ketiga?" tanya Umi dengan suara bergetar."Dek .... " lirih Zafran dengan wajah memelas."Apa apa, Zafran?! Apa kamu telah berani menyakiti putriku?" Zafran sedikit tersentak. Ia tak tahu harus menjawab seperti apa."Abi, umi, ini bukan salah mas Zafran. Ini salah Zaira, Bi. Dan tentang orang ketiga, itu sama sekali tak ada.""Lalu apa, Nak?" tanya Umi Aisyah."Ini murni karena kekurangan Zaira. Ini sudah tahun ke berapa? Zaira juga belum dikaruniai seorang anak.""Dek, mas sudah berapa kali bilang? Jangan membahas sesuatu yang tak mungkin mas lakukan.""Abi, Umi, Zaira belum jadi istri yang sempurna. Zaira sangat tahu, Mas Zafran sudah merindukan hadirnya malaikat kecil. Zaira belum mampu memberikannya, Umi, Abi. Butuh perjuangan dan Zai
Hari ini aku sungguh tidak bersemangat. Zaira terus meminta bahkan di depan orang tuanya.Entah apa yang ada di pikiran Zaira saat ini. Bisakah aku juga egois untuk menolak permintaannya? Aku hanya ingin menjadikannya satu-satunya.Aku tak masalah jika kami tak memiliki keturunan. Aku bahkan sudah mengajukan untuk memilih adopsi saja. Tapi, kenapa Zaira keras kepala seperti itu?"Di luar sana masih banyak, Dek, yang bahkan belasan tahun baru diberi anak. Kenapa baru enam tahun, kamu sudah menyerah?" tanyaku dengan menahan sesak di dada."Mas tidak mengerti kondisiku," lirihnya."Apa bedanya? Kamu masih memiliki rahim juga tidak mandul. Itu berarti kita masih punya harapan, Dek!"Zaira berdiri menghadapku dengan linangan air mata."Karena kasus kami berbeda, Mas."Zaira berlalu menuju kursi dekat jendela. Pandangannya lurus ke depan. Aku lantas menghampirinya."Mas sangat mencintaimu. Harus b
"Bukde, Zafran mohon, jangan ganggu kami lagi. Biarkan kami hidup seperti ini," ucapku melemah.Bukde menghentakkan kakinya lalu pergi. Aku berbalik memeluk istriku untuk memberikannya kenyamanan.Mbok Siti yang sejak tadi bersembunyi perlahan mendekati kami."Maafkan saya, Pak, ndak bisa lindungi ibu dari amukan ibu Aminah."Aku mengangguk paham. "Iya, Mbok. Nggak pa-pa."Kugendong tubuh istriku yang masih gemetaran ke dalam kamar tidur kami. Perlahan kubaringkan tubuhnya."Mas, jangan tinggalin adek," ucapnya dengan sangat pelan."Iya, Sayang. Sekarang tidurlah! Mas ada di sampingmu."Zaira pun tertidur di dalam dekapanku. Sekarang aku mengerti, kenapa Zaira begitu bersikeras untuk dimadu. Ternyata ini alasannya. Bukde lah dalang di balik semua ini.Zaira pasti sangat tertekan selama ini. Bahkan Abi sendiri tak dapat menghentikan bukde Aminah. Lalu, apa aku juga harus berkorban