"Ya Allah,darah!" pekik umi mertua.
Mereka berdua panik termasuk aku. Tak kupedulikan rasa sakit ini, aku memikirkan janinku.
"Sebentar, Mba, aku hubungi Zain dulu."
Umi mengangkat kepalaku lalu membawanya ke dalam pangkuan. Tak berhenti Umi menangis di sisiku, begitupun aku.
"Assalamualaikum, Zain, cepat bawa ambulans ke sini, Zaira terjatuh, dan pendarahan!"
Mereka lalu mengangkatku menuju tempat tidur. Aku tak henti-hentinya menangis. Bukan karena sakitnya terjatuh, aku memikirkan buah hati kami.
Tak berselang lama Zain datang bersama dengan beberapa orang lainnya. Zain terlihat panik saat melihat darah yang menetes di kakiku. Zain menarik selimut untuk menutupi tubuh ini.
"Biar saya yang menggendongnya!" Tanpa ragu, Zain menggendongku tubuhku lalu berlari kecil membawa tubuh ini keluar dan membaringkannya di atas brankar.
Umi, dan Umi mertua turut ikut naik di atas mobil ambulans setela
Tiga bulan telah berlalu, perut yang awalnya rata kini mulai sedikit membesar. Zairaku juga banyak perubahan. Nafsu makannya meningkat dan gampang baperan. Ngidam? Sampai sekarang ngidamnya pun aneh-aneh.Minta aku berbaju daster lah, memintaku menina bobokannya sebelum tidur, mengepang rambut indahnya dan masih banyak lagi. Kadang aku harus terbangun di jam dua pagi sampai subuh hanya untuk menemaninya menonton drama korea. Padahal aku sudah melarangnya. Tapi, katanya bawaan si buah hati."Sayang, lagi apa?" tanyaku yang tengah sibuk menyiapkan keperluannya sendiri."Lagi lihatin tanaman kita, Mas," jawab Zaira seraya tersenyum.Zaira berdiri mendekatiku hanya untuk membantu menyiapkan kebutuhanku. Namun, langkahnya terhenti saat aku menyadarinya."Dek, di situ aja, ya, jangan kemana-mana!""Tapi, Mas, adek juga butuh gerak," rengeknya."Sayang, jangan kerja yang berat. Kita harus menjaganya.""Ma
"Lalu anakku?" tanyaku dengan suara gemetar."Anakmu tidak bisa diselamatkan. Zaira sampai sekarang belum bangun juga, Nak."Aku terdiam menahan sesak dan gemuruh di dalam dada. Tak berhenti aku merutuki diri ini yang begitu ceroboh.Aku menggenggam tangan Zairaku dengan kuat. Air mataku luruh tak terbendung. Begitu sayangnya Allah pada kami, hingga diberi cobaan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana nantinya respon Zaira saat tahu, calon bayi yang ditunggu tak dapat diselamatkan.Azan dhuhur berkumandang, aku melangkah pergi menuju mushallah. Di tengah jalan aku bertemu dengan abi. Aku menghambur ke pelukannya. Abi dan abi mertuaku mengelus punggung ini lalu menasehatiku tentang sabar dan ikhlas.Di dalam do'aku aku memohon ampunan karena tidak bisa menjaga amanah yang telah Allah berikan. Aku memohon agar kami diberi kelapangan dada atas musibah yang menimpa kami.*Di dalam ruangan, kami berkumpul menunggu Zai
Sore ini bukde mengunjungi kami. Aku yang sedang terbaring lemah di dalam kamar memilih pura-pura tidur saat mas Zafran datang membangunkanku."Sayang, bangun, yuk! Ada bukde Aminah di luar. Katanya mau jengukin kamu, Dek."Aku masih bertahan dengan mata tertutup. Bukannya aku tak ingin menemuinya, hanya saja, hatiku belum siap untuk mendengar segala ocehan pedasnya.Berkali-kali mas Zafran menepuk pelan pipiku, tetapi aku memilih untuk terus berpura-pura. Karena tak berhasil, mas Zafran memilih leliar dari kamar tentunya tanpa aku.Aku melangkah pelan ke arah pintu kamar yang sudah ditutup. Telinga tertempel di daun pintu hingga akhirnya aku mendengar obrolan mereka."Di mana, Istrimu, Nduk?"Aku semakin merapatkan telinga ini saat mereka mulai membahasku."Lagi tidur, Bukde.""Jam segini masih molor?""Wajar, Bukde, Zaira kan masih sakit.""Sakit opo?""Masih pemulihan, Bukde."Tak ada
"Sayang, mas ada kejutan buat kamu."Aku mengerjap mata berkali-kali. "Kejutan apa, Mas?" tanyaku dengan suara sedikit serak."Ayo, Sayang, ikut, Mas!"Mas Zafran membawaku hingga ke ruang tamu. Tampaklah seorang wanita dengan tampilan syar'i berdiri tepat di depanku dengan senyum merekah. Aku tebak, usianya sekitar lima puluhan."Sayang, ini mbok Siti. Dia yang akan menemani kamu di sini saat Mas tiba-tiba harus meninggalkanmu. Mbok Siti juga yang akan membantumu membersihkan dan mengurus rumah ini. Hingga kamu bisa pulih lagi."Mbok Siti tersenyum ramah padaku. Aku pun membalasnya."Mbok, ini istri saya, Ibu Zaira."Aku dan mbok Siti bersalaman."Mari, Mbok, saya tunjukkan kamarnya."Mas Zafran berlalu yang diikuti oleh Mbok Siti."Permisi, Bu," ucapnya dengan ramah. Aku mengangguk seraya tersenyum.Aku kembali masuk ke dalam kamar, seperti biasa aku akan menyendiri lagi. Mengobati
POV. ZAFRAN Seperginya bukde kepalaku mendadak pusing dan terasa berat. Apa sebenarnya rencana bukde? Tak cukupkah pembuktian bahwa Zaira bisa hamil? Kenapa yang ada di fikiran bukde adalah soal poligami? Aku harus melakukan sesuatu. Aku tak ingin Zaira tahu soal rencana bukde. Psikis Zaira akan terganggu jika Zaira tahu soal rencana bukde. Aku melangkah menuju kamar tidur kami. Perlahan kubuka pintu lalu menghampiri Zairaku yang sedang tertidur. Semakin langkah ini mendekat, semakin pula aku mendengar isak tangis Zaira. Aku melingkarkan tangan ke pelukan Zaira "Mas tahu kamu sedang menangis, Sayang. Menangislah di dalam pelukan mas." Aku mengeratkan pelukan kala isakan terus terdengar. Aku tahu betapa sakitnya perasaanya saat ini. Zaira membalikkan tubuh menghambur ke dalam pelukanku. Zaira memelukku begitu erat, melampiaskan segala sesak di dalam dadanya. Zairaku menangis di dalam pelukan. Aku hanya bisa mengelus pu
POV. ZAFRAN"Mas, adek ingin dimadu."Aku yang tengah bersiap untuk tidur sontak menoleh ke arah Zaira."Apa?" tanyaku memastikan."Adek ingin dimadu, Mas.""Kenapa?""Ini sudah tiga bulan lamanya, dan aku juga tak kunjung hamil. Bukde sudah berkali-kali mendesak, Mas, kan?"Aku membuang napas kasar. Jujur, aku sangat tidak suka jika yang dibahas soal poligami. Tak mengertikah Zaira? apa Zaira tak merasakan bagaimana cintaku seperti apa? Tak bisa kah Zaira menghargai pengorbananku?"Mas tidak akan pernah mau.""Adek mohon, Mas. Sampai kapan kita akan menunggu?""Sampai Allah mempercayai kita lagi.""Mas, untuk mendapatkan anak butuh lima tahun penantian. Sekarang? Sudah mau memasuki tahun ke enam, Mas."Aku mendengus kasar lalu berlalu meninggalkan Zaira. Di dalam kamar mandi aku memahan segala amarah yang membuncah. Berkali-kali aku menarik napas dalam lalu membuangnya.Sebenarnya aku b
POV ZAIRA "Sejak kapan kamu mencintai suamiku?" tanyaku pada Arumi yang sedang duduk di pelantaran mesjid. Arumi sedikit tersentak dengan pertanyaanku. Wajar saja, Arumi yang selama ini berusaha menyembunyikan rasa yang dia pendam, justru malah aku sendiri yang mengetahuinnya. Semua kecurigaanku berawal saat kali pertama Mas Zafran mengenalkanku padanya. Tampak raut kecewa yang tergambar jelas di wajahnya. Aku memilih diam dan menganggap itu hanyalah firasatku. Namun, semakin aku menepis semakin besar pula kecurigaan ini padanya. Pernah aku tak sengaja memergoki Arumi memandang suamiku dari jauh. Senyumnya tergambar jelas dengan semburan merah di pipinya. Ketika Mas Zafran menoleh, cepat-cepat Arumi menundukkan pandangan. Kecurigaanku bertambah ketika Arumi melihat bagaimana perlakuan mesra Mas Zafran padaku. Wajahnya tampak begitu murung dan matanya ikut berkaca-kaca. Saat aku hamil, aku yang jarang menemani ma
"Apakah Arumi pernah dekat dengan seseorang, Bu?""Setau saya teh tidak pernah. Benar kan Ibu-ibu?""Benar, Neng. Selama kami mengenal neng Arumi, dia teh belum pernah terlihat dekat sama laki-laki."Aku sudah melakukan beberapa penelitian soal Arumi. Kebanyakan mengatakan bahwa Arumi sosok yang shalihah, cerdas dan sangat menyayangi anak kecil. Tak ada riwayat penyakit yang dideritanya. Itu terbukti saat aku mengunjungi salah satu temanku yang bertugas di puskesmas terdekat."Sejauh ini, pasein atas nama Arumi tidak memiliki riwayat penyakit serius. Dia datang berobat hanya untuk mengecek kesehatannya yang kadang menurun. Itu karena terlalu kelelahan."Terakhir aku bertanya pada ibu-ibu pengajian di mesjid tempat yang selalu kudatangi bersama mas Zafran. Kali ini adalah kesempatan baik untukku. Arumi tidak hadir malam ini."Arumi malam ini absen, Bu?" tanyaku pada bu Arini."Katanya lagi pratikum, Bu."