Hari-hari kami lalui dengan penuh rasa bahagia. Menjadi seorang calon ayah untuk kali pertama selama penantian panjang. Jangan tanyakan seperti apa rasanya, tentu saja rasa yang bercampir aduk. Tapi, aku sangat menikmati.
Proses ngidam yang semua ibu pun sudah pasti merasakan. Akan ada berbagai macam keanehan yang timbul. Begitu juga dengan Zairaku. Sebagai suami siaga, bukan hanya aku yang pasti sudah mengalaminya, bahkan laki-laki yang bergelar suami pasti merasakan sensasi menjadi suami siaga. Siap antar jaga.
Bagi suami siaga, kemauan istri adalah nomor satu. Kebahagiaan istri adalah nomor satu dan kebutuhan istei adalah nomor satu. Kebahagiaan kita, kebutuhan kita bahkan jadi nomor sekian.
"Mas, Adek mau makan rujak, tapi Mas sendiri yang buat, ya?" pinta Zaira manja.
Aku yang sedang sibuk memeriksa laporan bulanan sedikit merasa keberatan dengan permintaan Zaira.
"Dek, Mas nggak tahu cara buat rujak. Kita beli a
Zaira menutup hidung lalu mengibaskan tangan ke udara, memberi kode agar aku mundur. Aku memilih menuruti kemauannya dengan sedikit menjauh. Dari jauh tampak Zaira melepaskan dua jari yang sejak tadi menutupi hidungnya dan bernapas lega."Mas, kok tiap kali aku mencium bau badan, Mas, kok aku mual-mual ya?""Ya, Mas juga nggak tahu, Dek. Mas wangi padahal. Bau ketek Mas aja kamu suka.""Jadi gimana dong, Mas?""Kita istirahat aja, Sayang." Aku mulai mendekat tanpa mau lagi menggendong tubuhnya.Saat kami sudah berada di dalam kamar, aku memilih berbaring lebih dulu sembari menunggu Zaira untuk menghambur ke pelukanku seperti biasa. Perlahan Zaira mendekat. Niat hati ingin bermesraan, pupus sudah. Saat Zaira mencium kembali aroma tubuh ini, Zaira berdiri mematung."Mual lagi?" tanyaku sedikit frustrasi saat melihat Zaira menutup mulut lalu berlari kecil ke kamar mandi. Aku membuang napas kasar."Mual lagi?" tanyaku sedikit
Menjadi ibu hamil adalah impian banyak orang, terutama yang sangat mendambakan kehadiran si buah hati di dalam pernikahannya. Begitupun dengan aku. Dulu, kami sangat merindukan kehadirannya. Siang dan malam lisan ini tak berhenti memohon kepada Sang pemilik kehidupan agar kami diberi amanah untuk memiliki buah hati. Tak tanggung-tanggung, segala cibiran, sindiran bahkan dicap sebagai wanita mandul dilekatkan padaku. Tak peduli bagaimana perasaanku.Aku pernah berada di posisi ingin menyerah. Ingin pergi saja bahkan ingin diduakan meski hati tak menerima. Tapi, semua demi kebahagiaan keluarga suamiku. Hati wanita siapa yang sanggup diduakan? Makanya wanita yang ikhlas dipoligami hadiahnya adalah surga.Aku memang merindukan surga, tapi bukan surga itu yang kurindukan. Aku manusia biasa, makhluk lemah, aku wanita dengan sejuta rasa cemburu yang mengakar di dalam dada. Bukannya aku menentang poligami, hanya saja hati ini belum siap.Poligami itu d
"Ya Allah,darah!" pekik umi mertua. Mereka berdua panik termasuk aku. Tak kupedulikan rasa sakit ini, aku memikirkan janinku. "Sebentar, Mba, aku hubungi Zain dulu." Umi mengangkat kepalaku lalu membawanya ke dalam pangkuan. Tak berhenti Umi menangis di sisiku, begitupun aku. "Assalamualaikum, Zain, cepat bawa ambulans ke sini, Zaira terjatuh, dan pendarahan!" Mereka lalu mengangkatku menuju tempat tidur. Aku tak henti-hentinya menangis. Bukan karena sakitnya terjatuh, aku memikirkan buah hati kami. Tak berselang lama Zain datang bersama dengan beberapa orang lainnya. Zain terlihat panik saat melihat darah yang menetes di kakiku. Zain menarik selimut untuk menutupi tubuh ini. "Biar saya yang menggendongnya!" Tanpa ragu, Zain menggendongku tubuhku lalu berlari kecil membawa tubuh ini keluar dan membaringkannya di atas brankar. Umi, dan Umi mertua turut ikut naik di atas mobil ambulans setela
Tiga bulan telah berlalu, perut yang awalnya rata kini mulai sedikit membesar. Zairaku juga banyak perubahan. Nafsu makannya meningkat dan gampang baperan. Ngidam? Sampai sekarang ngidamnya pun aneh-aneh.Minta aku berbaju daster lah, memintaku menina bobokannya sebelum tidur, mengepang rambut indahnya dan masih banyak lagi. Kadang aku harus terbangun di jam dua pagi sampai subuh hanya untuk menemaninya menonton drama korea. Padahal aku sudah melarangnya. Tapi, katanya bawaan si buah hati."Sayang, lagi apa?" tanyaku yang tengah sibuk menyiapkan keperluannya sendiri."Lagi lihatin tanaman kita, Mas," jawab Zaira seraya tersenyum.Zaira berdiri mendekatiku hanya untuk membantu menyiapkan kebutuhanku. Namun, langkahnya terhenti saat aku menyadarinya."Dek, di situ aja, ya, jangan kemana-mana!""Tapi, Mas, adek juga butuh gerak," rengeknya."Sayang, jangan kerja yang berat. Kita harus menjaganya.""Ma
"Lalu anakku?" tanyaku dengan suara gemetar."Anakmu tidak bisa diselamatkan. Zaira sampai sekarang belum bangun juga, Nak."Aku terdiam menahan sesak dan gemuruh di dalam dada. Tak berhenti aku merutuki diri ini yang begitu ceroboh.Aku menggenggam tangan Zairaku dengan kuat. Air mataku luruh tak terbendung. Begitu sayangnya Allah pada kami, hingga diberi cobaan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana nantinya respon Zaira saat tahu, calon bayi yang ditunggu tak dapat diselamatkan.Azan dhuhur berkumandang, aku melangkah pergi menuju mushallah. Di tengah jalan aku bertemu dengan abi. Aku menghambur ke pelukannya. Abi dan abi mertuaku mengelus punggung ini lalu menasehatiku tentang sabar dan ikhlas.Di dalam do'aku aku memohon ampunan karena tidak bisa menjaga amanah yang telah Allah berikan. Aku memohon agar kami diberi kelapangan dada atas musibah yang menimpa kami.*Di dalam ruangan, kami berkumpul menunggu Zai
Sore ini bukde mengunjungi kami. Aku yang sedang terbaring lemah di dalam kamar memilih pura-pura tidur saat mas Zafran datang membangunkanku."Sayang, bangun, yuk! Ada bukde Aminah di luar. Katanya mau jengukin kamu, Dek."Aku masih bertahan dengan mata tertutup. Bukannya aku tak ingin menemuinya, hanya saja, hatiku belum siap untuk mendengar segala ocehan pedasnya.Berkali-kali mas Zafran menepuk pelan pipiku, tetapi aku memilih untuk terus berpura-pura. Karena tak berhasil, mas Zafran memilih leliar dari kamar tentunya tanpa aku.Aku melangkah pelan ke arah pintu kamar yang sudah ditutup. Telinga tertempel di daun pintu hingga akhirnya aku mendengar obrolan mereka."Di mana, Istrimu, Nduk?"Aku semakin merapatkan telinga ini saat mereka mulai membahasku."Lagi tidur, Bukde.""Jam segini masih molor?""Wajar, Bukde, Zaira kan masih sakit.""Sakit opo?""Masih pemulihan, Bukde."Tak ada
"Sayang, mas ada kejutan buat kamu."Aku mengerjap mata berkali-kali. "Kejutan apa, Mas?" tanyaku dengan suara sedikit serak."Ayo, Sayang, ikut, Mas!"Mas Zafran membawaku hingga ke ruang tamu. Tampaklah seorang wanita dengan tampilan syar'i berdiri tepat di depanku dengan senyum merekah. Aku tebak, usianya sekitar lima puluhan."Sayang, ini mbok Siti. Dia yang akan menemani kamu di sini saat Mas tiba-tiba harus meninggalkanmu. Mbok Siti juga yang akan membantumu membersihkan dan mengurus rumah ini. Hingga kamu bisa pulih lagi."Mbok Siti tersenyum ramah padaku. Aku pun membalasnya."Mbok, ini istri saya, Ibu Zaira."Aku dan mbok Siti bersalaman."Mari, Mbok, saya tunjukkan kamarnya."Mas Zafran berlalu yang diikuti oleh Mbok Siti."Permisi, Bu," ucapnya dengan ramah. Aku mengangguk seraya tersenyum.Aku kembali masuk ke dalam kamar, seperti biasa aku akan menyendiri lagi. Mengobati
POV. ZAFRAN Seperginya bukde kepalaku mendadak pusing dan terasa berat. Apa sebenarnya rencana bukde? Tak cukupkah pembuktian bahwa Zaira bisa hamil? Kenapa yang ada di fikiran bukde adalah soal poligami? Aku harus melakukan sesuatu. Aku tak ingin Zaira tahu soal rencana bukde. Psikis Zaira akan terganggu jika Zaira tahu soal rencana bukde. Aku melangkah menuju kamar tidur kami. Perlahan kubuka pintu lalu menghampiri Zairaku yang sedang tertidur. Semakin langkah ini mendekat, semakin pula aku mendengar isak tangis Zaira. Aku melingkarkan tangan ke pelukan Zaira "Mas tahu kamu sedang menangis, Sayang. Menangislah di dalam pelukan mas." Aku mengeratkan pelukan kala isakan terus terdengar. Aku tahu betapa sakitnya perasaanya saat ini. Zaira membalikkan tubuh menghambur ke dalam pelukanku. Zaira memelukku begitu erat, melampiaskan segala sesak di dalam dadanya. Zairaku menangis di dalam pelukan. Aku hanya bisa mengelus pu