"Zafran dan Zain itu keponakan kesayangan aku, Abdullah. Yo wajar to, aku peduli sama mereka?"
Aku sudah tahan dengan sikap Bude yang sudah sangat keterlaluan. Aku menoleh ke arah Zaira saat menggenggam erat tanganku Air matanya luruh dengan sendirinya membasahi khimar yang dipakai.
"Silahkan diminum, Bude!" ucapku. Namun, tak digubrisnya.
"Nduk, siapa nama kamu?" tanya Bude.
"Zaira, Bude."
"Loh, kamu kok nangis? Ada yang salah sama kata-kata saya?"
Aku menoleh ke arah Zaira tampak dia menggeleng lemah.
"Wes sudah to. Kasihan Zaira," bela Abi lagi.
Umi yang hanya tadi diam memandang iba pada kami.
"Lah, emange aku salah, Abdullah? Ndak to? Wajar aku nanya. Aku heran, sudah lima tahun menikah kok ndak punya anak."
Darahku mendidih, Bude sudah sangat kelewatan. Perasaan Zaira sepertinya sudah tak penting baginya.
"Bude, anak itu titipan dari Allah. Kami ber
Tiga puluh menit sebelum adzan ashar berkumandang, aku meletakkan kepalanya hati-hati di atas bantal. Wajah cantiknya sedang terlelap dalam tidurnya. Aku melenggang pergi untuk membersihkan piring kotor di wastafel, membersihkan rumah lalu berwudhu. Adzan berkumandang, aku yang telah siap untuk berangkat shalat, perlahan mendekt lalu menepuk pelan pipinya. Mata indahnya mengerjap lalu memandangku. "Sayang, bangun! Mas mau ke mesjid dulu ya, Dek." Zaira bangkit perlahan dari tidur, aku tersenyum seraya mengacak rambut indahnya. *Setelah selesai shalat Ashar, ada beberapa ibu-ibu yang menghampiriku. "Assalamu'alaikum, Ustadz, maaf mengganggu." "Wa'alaikumussalam, Bu. Ada apa?" "Begini, Ustadz, sudah beberapa hari ini, Ustadzah Maftuhah ijin untuk mengajari kami tahsin, apa ustadz punya rekomendasi pengganti Ustadzah Maftuhah yang sedang ijin cuti melahirkan?" tanya Ibu yang berkacamata. Aku berpikir sejena
Aku tak mengerti apa yang terjadi di rumah mertuaku. Mas Zafran yang baru saja pulang dari sana langsung menghambur ke pelukanku sambil terus membisikkan kalimat cinta. Pelukannya begitu kuat hingga aku tak sanggup hanya untuk sekedar bergerak sedikit saja. "Apa yang terjadi, Mas?" tanyaku khawatir. Mas Zafran tak menjawab malah terus memelukku dengan erat. Kupaksa untuk melonggarkan pelukannya agar aku bisa melihat wajahnya. Tampak matanya berkaca dengan tatapan sendu. Aku menghapus jejak air mata itu dengan tanganku. Matanya terus menatapku dengan sirat terluka. "Kita duduk dulu, Mas." Aku menggandeng mesra lengannya lalu duduk bersisian di ruang keluarga kami. Aku bernjak ingin mengambilkannya air minum, tetapi tangan ini ditahannya seraya menggeleng lemah. Aku mendudukkan diri tepat di sampingnya seraya mencium punggung tangannya lama. Tangan ini yang telah menjabat tangan Abiku saat ijab. Tangan ini yang terus
"Mas, adek mau bicara serius." Kami yang sudah bersiap untuk tidur, entah kenapa baru kali ini Zaira ingin berbicara serius. Apa ada yang tak terjadi tanpa kuketahui? "Apa, Sayang?" "Adek mau minta sesuatu dan adek harap Mas mau kabulkan." "Apa itu, Sayang?" Aku masih berfikir positif. Zaira tampak terdiam sejenak. Aku masih dengan setia menunggunya untuk memulai. "Menikahlah, Mas. Adek ikhlas." Aku terperanjat, menoleh padanya lalu bangkit dari posisi tidur. "Maksud kamu apa, Dek?" Tubuhku seketika menegang. Mencoba untuk tetap tenang meski hati sudah berkecamuk. "Adek hanya ingin Mas bahagia." Aku terperangah. "Sependek itu kah pemikiran kamu?" Zaira terdiam. "Kamu sudah tidak mencintai Mas lagi?" Jujur, saat bertanya itu ada nyeri di dalam hati. "Mas salah paham." "Kenapa, Dek?" suaraku melemah. Zaira bangkit menghadapku
"Abang, kalau Abang nekat melakukan poligami, mending abang ceraikan Zaira. Aku yang akan membahagiakannya!" "Apa maksudmu?" "Aku tidak akan membiarkan Zaira terluka." "Maksudmu, Abang tidak pernah membahagiakan Zaira?" "Ya. Jika Abang mengikuti kemauan Bude." "Abang sangat mencintai istriku!" Kami berdua terlibat ketegangan yang luar biasa. Aku menangkap raut kemarahan dari Zain. "Tenang dulu kalian!" Rayyan mulai melerai. "Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku tahu kalian memyayangi Zaira. Aku juga sama, Zaira sudah seperti adikku. Dia sahabat istriku. Membuat Zaira terluka sama saja aku menyakiti istriku secara tidak langsung." Kami berdua terdiam. Aku bersyukur banyak yang menyayangi Zairaku. "Aku menyerahkan Zaira ke Abang, karena aku percaya Abang akan menjaganya. Abang sudha tahu kan bagaimana perasaanku padanya?" "Aku mengerti, Zain." "Jadi. Kalau Abang mengikuti kemauan
"Abang, kalau Abang nekat melakukan poligami, mending abang ceraikan Zaira. Aku yang akan membahagiakannya!" Aku yang tadinya ingin memesankan mereka makanan, tiba-tiba menarik tanganku saat mendengar keributan di dalam. Aku menempelkan telinga di daun pintu. Bukan ingin menguping, tetapi aku sangat penasaran apa yang terjadi di dalam. Aku takut terjadi sesuatu di dalam. "Apa maksudmu?" tanya Mas Zafran. "Aku tidak akan membiarkan Zaira terluka." "Maksudmu, Abang tidak pernah membahagiakan Zaira?" "Ya. Jika Abang mengikuti kemauan Bude." "Abang sangat mencintai istriku!" Mereka berdua sepertinya terlibat ketegangan yang luar biasa. Aku menangkap suara kemarahan dari Zain. Ingin kuhentikan mereka, tetapi suara Mas Rayyan juga terdengar. "Tenang dulu kalian!" Mas Rayyan mulai melerai. "Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku tahu kalian memyayangi Zaira. Aku juga sama, Zaira sudah seperti adikku. Dia sahabat istr
Prang! Aku yang baru saja membersihkan diri gegas berlari ke arah dapur saat mendengar suara benda jatuh. Di sana aku melihat Zaira yang sedang berdiri sambil memegangi kepalanya. Kulihat pecahan mangkuk bertebaran. Aku dengan sigap menangkap tubuhnya yang hampir saja terjatuh. Kupapahnya tubuh ini menuju tempat pembaringan kami. "Ada apa, Sayang?" tanyaku khawatir. "Adek pusing, Mas." Zaira yang baru saja terbaring tiba-tiba merasakan mual. Zaira bangkit lalu menuju kamar mandi. Aku yang panik segera menyusulnya. Di dalam kamar mandi, Zaira tak berhenti mual bahkan muntah. Aku dengan cekatan memijit tengkuknya dan membantunya menyiram bekas muntahannya. Sebenarnya rasa mual bahkan muntah ini sudah biasa terjadi beberapa hari ini, hanya saja Zaira selalu menjawab itu karena faktor stres. "Dek, kamu kenapa?" "Adek nggak tahu, Mas," jawabnya dengan suara lemah. "Mas telfon Umi dulu
"Masya Allah. Allahu Akbar! Alhamdulillah, Ya Allah!" pekik Umi mertua. Kami serentak saling maju untuk sekedar melihat. Pandangan kami fokus pada benda kecil itu. Mataku membulat, ada rasa bahagia, haru yang luar biasa. Dua garis merah terpampang nyata di depanku. Zairaku hamil? Anakku? Aku berbalik lalu memeluknya. Ku eratkan pelukan sambil terus mengucapkan rasa syukur yang tak terkira. Penantian ini telah diijabah. "Selamat, Sayang. Alhamdulillah kita bakal jadi orang tua," seruku. Zaira masih terdiam di tempat. Kucium berkali-kali wajahnya. Aku bahagia dan sangat bahagia atas kuasa Allah. Kedua orang tua kami tampak sangat bahagia. Mereka berpelukan, kecuali Bude. Bude hanya berdiri mematung dengan tatapan yang sama. Aku terseyum ke arahnya, namun tak dibalas juga. Harusnya Bude ikut bahagia. Orang tua kami tak berhenti mengucapkan selamat dan syukur atas kabar bahagia ini. Tak b
"Alhamdulillah, selamat, Pak, ada kehidupan di dalam." Aku terperangah mendengar penuturan dari dokter Namira. "Maksudnya, Dok?" tanya suamiku. "Usia kehamilan Ibu Zaira sudah memasuki minggu ke tiga. Artinya sudah hampir satu bulan sudah ada kehidupan di dalam sana." Mataku membulat sempurna. Mas Zafran bersujud syukur atas jawaban dari penantian lama kami. Aku terus menangis dan tak hentinya mengucapkan syukur. Dokter dan perawat yang menyaksikan keadaan kami ikut merasa terharu. Perawat kemudian membersihkan sisa gel yang ada di perutku yang masih datar ini dan membantuku untuk turun. Mas Zafran langsung memelukku, tak henti aku menangis di dalam pelukannya. "Alhamdulillah, Mas, adek bahagia," ucapku di sela tangis. Mas Zafran mengangguk seraya menghapus jejak air mata ini. Perawat itu memberikan kami hasil dari USG nya. Kami tak berhenti memandangi gambar hitam putih itu. Meskipun belum tampak jelas, setidak