"Aku bakal melamar Khadijah minggu depan," ucapnya dengan antusias sambil duduk di atas sofa, menyenderkan badannya ke kepala sofa.
"Alhandulillah," ucapku bersamaan dengan Mas Zafran.
"Akhirnya anak orang nggak digantungin lama juga."
Mas Rayyan mendelik.
"Kita beda lah, kamu kaya dari sono, punya usaha sendiri. Lah aku? Orang dari keluarga sederhana, dan bersyukur malah kerja sama kamu."
"Ah, kamu biasa aja! Keluarga sederhana gimana? Kamu aja yang nggak mau nurut sama orang tua buat kerja di perusahaannya."
"Abisnya, aku nggak mau langsung punya jabatan tinggi. Aku maunya merangkak dari bawah. Biar punya pengalaman dulu."
"Masyaa Allah keren, Mas."
"Datang ya, kalian," ucapnya seraya berlalu.
*
Tak terasa satu tahun lebih berlalu, kini kami hadir di acara tujuh bulanan Khadijah. Aku dan Mas Zafran duduk di bagian depan berbaur dengan yang lain.Ada rasa sedih sekaligus iri dari da
“Mas, adek ingin dimadu.” Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersentak kaget mendengar permintaan istriku. Aku menatap lekat matanya yang mulai berembun. Wajahnya tertunduk saat aku mengembuskan napas kasar. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Sama saja aku telah menyakiti orang yang sangat aku cintai. Aku pun juga tidak mungkin mengingkari janji suci kami. “Dek, ada apa?” tanyaku lembut berusaha meredam hati yang bergemuruh, menahan sesak di dada. Dia hanya bisa terdiam. Menangis sesenggukan. Kuraih tubuh mungilnya lalu mendekapnya dengan penuh sayang. Berkali-kali kuhadiahi kecupan lembut di ubun-ubunnya yang tertutup khimar. Pelukannya begitu erat, kepalanya ia benamkan di dada bidangku. Terdengar isak tangis yang begitu menyesakkan dada. Dia Zaira Khazanah. Perempuan cerdas, penyayang, dan berhati mulia. Sesuai namanya, bagiku dia adalah bunga yang sangat berharga. Dialah satu-satu
Hari ini dilalui terasa berat. Senyum yang selama ini Zaira tampilkan sudah jarang terlihat digantikan oleh wajah mendungnya. Aku tahu ini berat baginya, karena selama lima tahun pernikahan kami, sudah berapa puluh test pack dengan hasil negatif. Giliran kedua mertuaku yang berkunjung ke rumah, memberikan dukungan dan petuah-petuah untuk kami, terkhusus Zaira. "Ada apa, Nak?" tanya Umi lembut. Zaira justru hanya terdiam. "Zaira selalu merasa gagal menjadi istriku, Umi. Belum lengkap rasanya di pernikahan kami jika belum dikaruniai anak. Itu katanya." Abi menarik napas sejenak. "Zaira, Abi mau bertanya dan kamu jawab yang jujur, ya, Nak?" Zaira mengangguk lemah. "Kamu sangat menkhawatirkan soal keturunan?" Zaira mengangguk. "Kenapa? Bukankah Rejeki, jodoh, hidup dan mati kita ada di tangan Allah?" "Zaira belum sempurna menjadi seorang istri, Abi." Aku terdiam membiarkan Zaira mengeluarkan uneg-unegnya
Seperti anjuran orang tua kami, hari ini kami memeriksakan kondisi kesehatan reproduksi kami di rumah sakit tempat Zain bekerja. Mas Zafran menyuruhku untuk duduk di ruang tunggu sembari menunggunya menyelesaikan administrasi di loket pendaftaran. Zain yang hari ini mendampingi kami langsung mengantar kami ke depan ruang tunggu bagian obgyn. Aku menunggunya dengan penuh rasa was-was, taj berhenti lisan ini mengucapkan zikir. Mas Zafran terus menggenggam tanganku memberi kekuatan. Senyumnya yang tak pernah lepas dari wajahnya yang rupawan sedikit mengurangi rasa ketakutanku. "Mas, bagaimana kalau adek mandul?" "Husnudzon, Sayang. Mas juga bisa bilang begitu. Bagaimana kalau ternyata Mas lah yang bermasalah?" Aku kembali terdiam. "Sayang, serahkan semua sama Allah ya. Apapun itu hasilnya, kamulah satu-satunya." Aku tertunduk seraya menghapus jejak air mata menempel di pipi ini. "Rileks, ya, Sayang. Tanganmu dingin gini
"Apakah kemungkinan hamil itu akan ada, Dok?" tanya Mas Zafran. "Bisa. Hanya saja resikonya yang akan ditemui adalah keguguran atau lahir prematur." Aku terisak lalu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Sungguh, ini adalah berita teeburuk yang kudengar. Pupus sudah harapanku untuk memberikannya keturunan. "Selama ini istri saya baik-baik saja, Dok." "Memang benar. Wanita dengan kondisi ini mungkin tidak menunjukkan gejala dan tidak menyadari memiliki rahim tunggal, dan kehamilan normal dapat terjadi. Hanya saja bisa beresiko tinggi keguguran dan kondisi obstrektik." "Apa penyebabnya, dok?" "Kondisi ini terjadi ketika rahim wanita hanya berukuran setengah dari normal dan memiliki satu saluran tuba falopi. Kelainan yang disebut juga uterus dengan satu tanduk ini, disebabkan oleh jaringan yang membentuk rahim tidak berkembang dengan baik. Pada unicornuate uterus, jumlah indung telur sama seperti biasa–dua buah, tapi hany
Semenjak dokter memvonis kondisi rahim Zaira, semenjak itu pula Zaira kehilangan semangat hidupnya. Masih terngiang jelas bagiamana dokter memyampaikan kondisi istriku yang sebenarnya. "Bagaimana, Dok?" tanyaku waktu itu. Dokter Namira tampak tersenyum hangat. "Ibu Zaira dan Pak Zafran, saya harap, kabar ini tidak membuat semangat Bapak dan Ibu goyah ya?" Aku dan Zaira saling berpandangan. Tampak bulir bening mulai menggenang di pelupuk mata Zairaku. "Ada apa sebenarnya, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar. "Bapak Zafran, penyebab Ibu Zaira susah hamil karena kondisi rahim Ibu yang tidak normal." "M-maksudnya, Dok?" "Masalah rahim yang berpotensi menjadi penyebab wanita susah hamil adalah bentuk rahim yang tidak normal sejak lahir. Kondisi ini biasanya disebut congenital uterine anomalies atau uterine abnormalities. Sebenarnya, kondisi yang bisa menjadi ini termasuk jarang sekali terjadi," terang dok
Menjelang sore pintu diketuk, gegas kutinggalkan Zaira yang sedang menatap kosong. Tampak kedua orang tua kami dan kedua sahabat kami. Rayyan dan Khadijah. "Zaira, di mana, Nak?" tanya Umi mertua. "Ada di dalam kabar, Mi. Zafran panggilkan dulu, ya." Aku segera melangkah ke kamar, Zaira masih dalam posisi semula. "Sayang, keluar dulu, yuk! Di luar ada Umi, Abi, Mas Rayyan dan Khadijah," seruku. Zaira hanya menoleh sekilas lalu tetap fokus memandang ke arah luar jendela. Aku menghampirinya. "Sayang, mereka kesini karena sayang sama kamu, Dek. Apa kamu tega membiarkan mereka menunggu di luar? Orang tua kita ada loh, Sayang." Aku membawanya ke dalam pelukanku. Menciumi pucuk kepalanya dengan sayang. Zaira membalas pelukanku . "Maafin, Zaira, Mas." "Udah, jangan ngomong gitu. Yuk, temui mereka!" Zaira melepas pelukannya seraya mengangguk, mengikuti langkah kakiku.
Abi menelfon mengabarkan bahwa Bude Aminah ingin silaturahmi ke rumah. Aku belum mengenal begitu baik siapa Bude Aminah itu, Mas Zafran hanya mengatakan bahwa beliau kakak kandung Abi Abdullah. Aku dan Mas Zafran membersihkan rumah agar tak ada komentar pedas yang kami dengar. Itu yang dikatakan Mas Zafran soal sosok beliau. "Sayang, sebelum Bude Aminah datang, Mas mohon sama kamu, apapun yang Bude katakan, jangan masukkan ke dalam hati ya, Sayang." "Memangnya kenapa, Mas?" "Bude Aminah itu kalau ngomong suka seenaknya, Dek. Pedas dan menyakitkan. Beda dengan Abah." "Mas, Adek takut." "Mas bersamamu, Sayang." Deru mobil mula terdengar dari halaman depan. "Itu pasti mereka. Yuk, Dek, sambut mereka." Mas Zafran meraih tanganku lalu menggenggamnya mesra. Tampak seorang wanita tua turun dari mobil, bersama Umi, Abi dan Zain. Sosok wanita yang berwajah tegas, pandangan tajam dan raut wajah dingin. Jujur,
"Berusaha opo?!" "Kami sudah berobat, Bude. Kami berdua nggak mandul," jelas Mas Zafran. Aku menyentuh lengannya agar Mas Zafran tidak mendebat Budenya. "Ya kalau kalian ndak mandul, kok iso ndak hamil?" Mas Zafran ingin menjawab, tapi segera kucegah. "Mohon do'anya, Bude," jawabku berusaha terlihat tegar. Kusunggingkan senyum tulus untuknya. Bude Aminah memalingkan wajah ke arah lain. *Di dalam dapur aku menyiapkan bahan untuk makan siang nanti. Aku bersyukur karena dibantu Umi, setidaknya aku tahu selera Bude. "Zaira, maafkan Umi yang tidak bisa membelamu. Bude Aminah memang seperti itu wataknya keras." "Zaira paham, Umi. Cukup Abi dan Umi tetap menyanyangiku, itu sudah membuat Zaira untuk tetap kuat." Umi memelukku dengan sayang, mengelus pelan pundakku. Aku menangis sesegukan di dalam pelukannya. "Insya Allah, suatu hari nanti akan Allah hadirkan malaikat kecil di is