Selepas makan malam seperti kebiasaan sebelumya kami akan berkumpul di ruang keluarga membahas tentang hari ini, esok dan nanti.
Malam ini Mas Zafran rencananya akan menyampaikan rencana kami untuk hidup mandiri.
"Abi, Umi, Zafran mau bicara."
Ami dan Umi yang sejak tadi sibuk membahas tentang usaha yang dirintisnya mulai fokus memperhatikan kami.
"Abi, Umi, Zafran dan Zaira minta ijin ke Abi dan Umi, kami mau pindah ke rumah kami besok."
Abi dan Umi saling berpandangan. Zain yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya juga menatap kami.
"Kok, cepat?" tanya Abi.
"Zaira nggak nyaman di sini?" tanya Umi.
"Bukan Abi, Umi. Justru Zafran yang minta ke Zaira."
"Umi, biarkan mereka hidup mandiri. Umi sama Abi juga kan langsung mandiri."
Umi berdiri lalu memelukku. "Umi percaya sama kamu untuk tetal menyayangi Zafran, Nak."
Aku mengerti bagaimana beratnya hati Umi melepaskan kami. Tampak dar
Adzan subuh berkumandang, setelah menyelesaikan kegiatan mengaji bersama, aku berlalu ke luar kamar untuk mengambil wudhu. Di dalam kamar mandi, aku masih tak menyangka, kini aku benar-benar telah menjadi suaminya. Dari balik pintu, aku melihat bagaimana Zairaku dengan cekatan membersihkan tempat tidur kami. Wajah cantiknya yang selalu membuatku jatuh cinta setiap saat. Aku kemudian meraih sajadah yang telah Zaira siapkan. "Dek, Mas ke mesjid dulu ya," pamitku lalu keluar yang diikuti olehny. Di luar kamar, tampak Abi dan Zain tengah menungguku. Di perjalanan tidak seperti biasanya, Zain lebih banyak diam. Apa karena cemburu? Hingga.kami pulang dari shalat subuh, Zain tak.banyak bicara, hanya menjawab seadanya. Pintu kuketuk, tak lama menampakkan sosok bidadariku. "Assalamu'alaikum," ucap mereka bersamaan. "Wa'alaikumussalam." Zaira meraih tangan Abi dan tanganku, menciu
"Bersejarah kenapa, Mas?" "Iya, ini kemeja yang mas pakai waktu kali pertama ketemu dengan pujaan hati mas," jawabku sembari tersenyum. Raut wajah Zaira tiba-tiba berubag, senyumnya memudar seketika bahkan Zaira membelakangiku. "Sayang, bantuin Mas lipat lengan baju dong." Zaira mendekatiku sembari membantunya melipat lengan baju. Tak ada sepatah katapun darinya. Wajahnya tampak cemberut. Aku yang menyadari perubahannya perlahan memengang dagunya sedikit terangkat. Tatapan kami lalu bertemu. "Kenapa, Dek?" Zaira diam. Air matanya luruh begitu saja. Akundengan penuh sayang membersihkan jejak air mata itu. "Ada apa, Sayang? Kok nangis?" "Adek cemburu." "Sama siapa?" "Pujaan hati Mas. Katanya tadi ini baju bersejarah, karena Mas ketemu dia pas pakai baju ini. Adek cemburu." Kutahan tawa yang siap menyembur itu. Aku membawanya ke dalam pelukan. Tanganku mengelus lembut kepalanya. Zaira malah
Hari-hari bahagia kita lalui bersama sebagai sepaasang suami istri. Aku melakukan peranku sebagai istri dengan terus membaktikan diri ini untuknya. Aku selalu berusaha agar suamiku tetap bersamaku, nyaman denganku. Satu minggu setelah pernikahan aku menjalani sidang akhir dengan hasil memuaskan. Itu semua berkat dorongan dan do'a dari keluarga terutama suamiku. Suamiku yang selalu setia mendampingiku mengerjakan tugas akhir. Menemaniku begadang dan selalu siaga memijit badanku saat aku merasa lelah. Menjadi penyemangatku saat aku mulai menyerah. "Alhamdulillah, Sayangku, atas keberhasilannya hingga akhir. Semoga gelar barunya diberi keberkahan oleh Allah ya, Sayang," ucapnya sambil memberikanku buket bunga yang begitu besar. Hari ini aku diwisuda dan lulus dengan predikat cumlaude. Rasa syukur tiada terkira dan terus terucap dari lisanku. "Aamiin, Mas. Makasih, ya, Mas. Ini semua berkat do'a dan dukunganmu, Sayang."
"Aku bakal melamar Khadijah minggu depan," ucapnya dengan antusias sambil duduk di atas sofa, menyenderkan badannya ke kepala sofa. "Alhandulillah," ucapku bersamaan dengan Mas Zafran. "Akhirnya anak orang nggak digantungin lama juga." Mas Rayyan mendelik. "Kita beda lah, kamu kaya dari sono, punya usaha sendiri. Lah aku? Orang dari keluarga sederhana, dan bersyukur malah kerja sama kamu." "Ah, kamu biasa aja! Keluarga sederhana gimana? Kamu aja yang nggak mau nurut sama orang tua buat kerja di perusahaannya." "Abisnya, aku nggak mau langsung punya jabatan tinggi. Aku maunya merangkak dari bawah. Biar punya pengalaman dulu." "Masyaa Allah keren, Mas." "Datang ya, kalian," ucapnya seraya berlalu. *Tak terasa satu tahun lebih berlalu, kini kami hadir di acara tujuh bulanan Khadijah. Aku dan Mas Zafran duduk di bagian depan berbaur dengan yang lain. Ada rasa sedih sekaligus iri dari da
“Mas, adek ingin dimadu.” Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersentak kaget mendengar permintaan istriku. Aku menatap lekat matanya yang mulai berembun. Wajahnya tertunduk saat aku mengembuskan napas kasar. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Sama saja aku telah menyakiti orang yang sangat aku cintai. Aku pun juga tidak mungkin mengingkari janji suci kami. “Dek, ada apa?” tanyaku lembut berusaha meredam hati yang bergemuruh, menahan sesak di dada. Dia hanya bisa terdiam. Menangis sesenggukan. Kuraih tubuh mungilnya lalu mendekapnya dengan penuh sayang. Berkali-kali kuhadiahi kecupan lembut di ubun-ubunnya yang tertutup khimar. Pelukannya begitu erat, kepalanya ia benamkan di dada bidangku. Terdengar isak tangis yang begitu menyesakkan dada. Dia Zaira Khazanah. Perempuan cerdas, penyayang, dan berhati mulia. Sesuai namanya, bagiku dia adalah bunga yang sangat berharga. Dialah satu-satu
Hari ini dilalui terasa berat. Senyum yang selama ini Zaira tampilkan sudah jarang terlihat digantikan oleh wajah mendungnya. Aku tahu ini berat baginya, karena selama lima tahun pernikahan kami, sudah berapa puluh test pack dengan hasil negatif. Giliran kedua mertuaku yang berkunjung ke rumah, memberikan dukungan dan petuah-petuah untuk kami, terkhusus Zaira. "Ada apa, Nak?" tanya Umi lembut. Zaira justru hanya terdiam. "Zaira selalu merasa gagal menjadi istriku, Umi. Belum lengkap rasanya di pernikahan kami jika belum dikaruniai anak. Itu katanya." Abi menarik napas sejenak. "Zaira, Abi mau bertanya dan kamu jawab yang jujur, ya, Nak?" Zaira mengangguk lemah. "Kamu sangat menkhawatirkan soal keturunan?" Zaira mengangguk. "Kenapa? Bukankah Rejeki, jodoh, hidup dan mati kita ada di tangan Allah?" "Zaira belum sempurna menjadi seorang istri, Abi." Aku terdiam membiarkan Zaira mengeluarkan uneg-unegnya
Seperti anjuran orang tua kami, hari ini kami memeriksakan kondisi kesehatan reproduksi kami di rumah sakit tempat Zain bekerja. Mas Zafran menyuruhku untuk duduk di ruang tunggu sembari menunggunya menyelesaikan administrasi di loket pendaftaran. Zain yang hari ini mendampingi kami langsung mengantar kami ke depan ruang tunggu bagian obgyn. Aku menunggunya dengan penuh rasa was-was, taj berhenti lisan ini mengucapkan zikir. Mas Zafran terus menggenggam tanganku memberi kekuatan. Senyumnya yang tak pernah lepas dari wajahnya yang rupawan sedikit mengurangi rasa ketakutanku. "Mas, bagaimana kalau adek mandul?" "Husnudzon, Sayang. Mas juga bisa bilang begitu. Bagaimana kalau ternyata Mas lah yang bermasalah?" Aku kembali terdiam. "Sayang, serahkan semua sama Allah ya. Apapun itu hasilnya, kamulah satu-satunya." Aku tertunduk seraya menghapus jejak air mata menempel di pipi ini. "Rileks, ya, Sayang. Tanganmu dingin gini
"Apakah kemungkinan hamil itu akan ada, Dok?" tanya Mas Zafran. "Bisa. Hanya saja resikonya yang akan ditemui adalah keguguran atau lahir prematur." Aku terisak lalu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Sungguh, ini adalah berita teeburuk yang kudengar. Pupus sudah harapanku untuk memberikannya keturunan. "Selama ini istri saya baik-baik saja, Dok." "Memang benar. Wanita dengan kondisi ini mungkin tidak menunjukkan gejala dan tidak menyadari memiliki rahim tunggal, dan kehamilan normal dapat terjadi. Hanya saja bisa beresiko tinggi keguguran dan kondisi obstrektik." "Apa penyebabnya, dok?" "Kondisi ini terjadi ketika rahim wanita hanya berukuran setengah dari normal dan memiliki satu saluran tuba falopi. Kelainan yang disebut juga uterus dengan satu tanduk ini, disebabkan oleh jaringan yang membentuk rahim tidak berkembang dengan baik. Pada unicornuate uterus, jumlah indung telur sama seperti biasa–dua buah, tapi hany
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t