Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Nayaka mendapat hukuman atas kenakalannnya terhadap para pengamen.
Namun, hukumannya kali lebih ringan dari sebelumnya. Ia hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Nayaka yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi, ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Nayaka telah berada didalam sebuah kedai yang baru saja dibuka. Tetapi di dalam kedai itu bukan saja ada dirinya, masih ada para pengunjung lain yang telah singgah untuk makan dikedai itu. Pangeran Nayaka pun duduk pula dikedai itu. Ia memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuhnya. Untuk beberapa saat Pangeran Nayaka yang duduk bersama seorang perempuan yang agak tua yang datang bersama seorang anak perempuan sebaya dengannya. Tanpa mempedulikan siapa yang duduk bersamanya, Pangeran Nayaka telah menikmati hidangannya dengan tenang. Pangeran Nayaka yang nampaknya tidak memperhatikan kedua orang itu tiba-tiba berkata, "Jangan heran melihat aku makan. Aku makan dua kali lipat dari orang lain. Tetapi aku betah tidak makan dan minum selama tiga hari penuh kecuali menyerap titik titik embun dimalam hari." Kedua orang itu menegang sesaat. Namun, keduanya telah menikmati hidangannya pula. Sejak tadi, tidak ada yang mau duduk dengan anak laki-laki yang berpenampilan berantakan itu. Meskipun bahan pakaiannya adalah bahan pakaian yang bagus seperti pakaian seorang saudagar kaya raya. Tetapi bagi mereka, anak itu memang anak yang aneh. Satu-satu orang-orang yang ada didalam kedai itu telah keluar. Meskipun ada juga yang kemudian memasukinya, tetapi yang datang kemudian tidak begitu memperhatikan orang-orang yang sudah duduk didalam-nya. Sementara itu salah seorang Tumenggung memacu kudanya untuk menuju ke Istana. "Masih pagi untuk menghadap ke Istana Tumenggung Jalatunda. Apakah ada berita yang ingin kau sampaikan? "Ampun Gusti, sebetulnya hamba ingin menyampaikan keluhan hamba atas kenakalan putranda Gusti. Pangeran Nayaka." Prabu Ramapati seketika mengerutkan keningnya, "Apalagi yang dilakukan anak itu?" Dengan singkat Tumenggung Jalatunda itu melaporkan tentang puteranya yang nakal, "Pangeran Nayaka telah melepaskan seekor harimau di kediaman hamba sehingga nyaris saja hamba dan keluarga hamba mati di terkam harimau itu kalau saja hamba tidak memiliki landasan ilmu kanuragan yang mumpuni." Prabu Ramapati menarik napas panjang, matanya tampak memancarkan kelelahan yang dalam. "Anakku itu," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Tumenggung Jalatunda. Namun, di dalam dirinya, Prabu Ramapati tahu bahwa ini bukan kali pertama Pangeran Nayaka melakukan hal yang di luar batas kewajaran, bahkan untuk seorang pangeran. "Tumenggung Jalatunda," Prabu Ramapati akhirnya angkat bicara dengan suara yang tenang namun tegas. "Atas perintahku tangkap anak itu dan bawa kehadapanku." Prabu Ramapati kemudian menyerahkan tunggul kerajaan sebagai pertanda bahwa Tumenggung Jalatunda menjalankan perintahnya. “Hamba Gusti Prabu." dengan cepat ia bergerak dengan pasukan berkuda yang memang sudah dipersiapkannya. Sejenak kemudian pasar-pun menjadi gempar. Sekelompok prajurit berkuda tiba-tiba saja telah mengepung pasar yang tidak terlalu besar itu. Sementara itu, seorang petugas yang mendahului ke pasar, memang telah menemukan Pangeran Nayaka yang baru saja keluar dari sebuah kedai. Pangeran Nayaka yang sedang melangkah keluar itu terkejut. Mendapati orang-orang dipasar itu menjadi ribut. Beberapa orang berusaha untuk tetap tenang ditempat masing-masing. Tetapi beberapa orang yang lain telah berusaha untuk menghindar. Sementara itu terdengar dari kejauhan seseorang berteriak, "Jangan ribut. Tidak ada apa-apa. Tetaplah berada ditempat masing masing." Tetapi orang-orang yang hatinya mudah berguncang menjadi ketakutan dan gemetar. Mereka berusaha untuk menghindar meskipun ternyata pasar itu sudah terkepung oleh pasukan berkuda. Pangeran Nayaka menarik napas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tentu dirinya yang dicari, "Tentu tingkah Tumenggung Jalatunda." Beberapa orang prajurit berjalan kearah Pangeran Nayaka menyusup diantara orang-orang yang ada didalam pasar itu. Pangeran Nayaka tersenyum. Iapun telah berteriak, "Tinggal ditempatmu berdiri. Jangan mendekat, atau aku bakar kalian dengan asap Dasa Dahana?" Para prajurit yang melangkah mendekatinya pun tiba-tiba saja telah berhenti. Mereka menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju. "Pergi," bentak Pangeran Nayaka, "atau aku benar benar harus marah?" Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak juga melangkah mendekat. “Pangeran,” berkata salah seorang dari prajurit prajurit itu, “sebaiknya Pangeran jangan melakukan sebagaimana Pangeran katakan. Kami mendapat perintah untuk membawa Pangeran menghadap ayahanda Pangeran. Jika Pangeran melawan, maka akibatnya akan tidak baik bagi Pangeran sendiri.” Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berdesis, “Ternyata kalian tidak menjadi ketakutan.” "Jika Pangeran mempergunakan kemampuan Pangeran yang kami tidak tahu seberapa jauh kemungkinannya untuk melindungi Pangeran sendiri, tetapi ilmu itu akan mengakibatkan bencana bagi banyak orang dipasar ini. Kami mohon Pangeran mempertimbangkannya. Mungkin bagi kami tidak ada persoalan karena apapun yang terjadi pada diri kami adalah akibat dari kesediaan kami mengabdi bagi Saung Galuh. Tetapi orang-orang dipasar ini yang tidak bersalah, jangan ikut mendapat kesulitan." Namun Pangeran Nayaka nampak tidak peduli. Bahkan iapun mulai beranjak dari tempatnya. Tetapi sebelum Pangeran Nayaka beringsut, maka tiba-tiba saja jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Tiba-tiba saja ia melihat Tumenggung Nayaka muncul diantara para prajuritnya sambil membawa Tunggul Kerajaan. “Pangeran, atas nama ayahanda Pangeran, Sri Baginda Prabu Ramapati, maka Pangeran diperintahkan untuk menghadap.” Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Dipandanginya tunggul yang menyatakan limpahan kuasa ayahandanya. "Ki Tumenggung. Kau apakan luka-lukamu ? Begitu cepat sembuh dan tidak membekas? Apakah kau memiliki ilmu yang dapat menghapus luka-luka?" Tumenggung Jalatunda mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata, “Tidak Pangeran. Aku baru membersihkannya. Tetapi luka-luka itu masih tetap menganga pada kulitku.” "Ternyata Tumenggung orang yang luar biasa. Apakah Tumenggung tidak merasa sakit?" “Tentu Pangeran, aku masih merasa betapa pedihnya kuku-kuku harimau itu. Tetapi atas nama Sri Baginda Prabu, maka aku datang untuk menjemput Pangeran.” Pangeran Nayaka tertawa. "Aku tidak dapat menolak kata-katamu bukan karena aku takut padamu Tumenggung. Tapi aku tunduk kepada tunggul yang kau bawa itu, karena dengan demikian kau ternyata tengah menjalankan kewajibanmu atas nama Ayahanda Prabu.” Wajah Tumenggung Jalatunda menjadi tegang. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Ternyata kau benar benar seorang prajurit yang cengeng. Kenapa kita tidak berusaha menyelesaikan persoalan kita sendiri?” Wajah Tumenggung Jalatunda menjadi merah. Ia bukan orang yang cukup sabar. Namun menghadapi Pangeran Nayaka ia merasa bahwa ia harus berhati hati. Pangeran Nayaka selain putera Prabu Ramapati, anak itu memang seorang anak yang memiliki kemampuan diluar kewajaran. “Pangeran, apa-pun yang Pangeran katakan, aku mengemban perintah ayahanda Pangeran.” Pangeran Nayaka menghela nafas pelan. Ia-pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku akan mengikuti mu.” Tetapi wajah Pangeran Nayaka menegang ketika Tumenggung Dipayana melangkah maju sambil mengacungkan kain cinde sambil berkata, “Pangeran adalah seorang tawanan.” Pangeran Nayaka termangu-mangu. Dengan nada marah ia bertanya, “Apakah Ayahanda memang memerintahkan demikian?” “Ya. Ayahanda Pangeran memerintahkan aku untuk menangkap Pangeran.” Pangeran Nayaka tidak dapat menolak ketika Tumenggung Jalatunda menyangkutkan kain cinde itu di lehernya sebagai pertanda bahwa Pangeran Nayaka adalah seorang tawanan. Betapa sakit hati anak itu. “Jika saja kau tidak membawa tunggul pertanda limpahan kuasa Ayahanda, kau tidak akan mampu menangkap aku, meskipun kau bawa pasukan segelar sepapan.” geram Pangeran Nayaka. “Tetapi ternyata aku membawa tunggul ini” jawab Tumenggung Jalatunda. Beberapa saat kemudian, Pangeran Nayaka telah dibawa oleh pasukan berkuda menuju ke Istana. Seekor kuda kemudian disediakan untuknya. Namun dengan demikian, maka ada sekelompok kecil prajurit yang harus berkuda perlahan-lahan bersama seorang prajurit yang menyediakan kuda untuk Pangeran Nayaka. Bagaimanapun Pangeran Nayaka adalah putra Prabu Ramapati. Tidak mungkin mereka menggiringnya dengan berjalan kaki. Ketika iring-iringan itu melewati jalan raya yang menuju ke Istana, beberapa orang berdiri berderet dipinggir jalan dengan heran melihat Pangeran Nayaka yang dikawal oleh sepasukan prajurit serta dikenakan kalung cinde di lehernya. “Akhirnya putera Prabu Ramapati itu ditangkap atas perintah Ayahandanya sendiri,” gumam beberapa orang. “Prabu Ramapati memang harus bertindak adil terhadap siapapun. Pangeran Nayaka memang nakal sekali,” desis yang lain. “Sebenarnya Pangeran Nayaka tidak memiliki tabiat buruk. Dia tidak pernah menjaga jarak dengan rakyat kecil seperti kita meskipun anak itu putra raja. Berbeda dengan para pangeran yang lain, yang akan mempertontonkan kekuasaannya yang memiliki jarak terpisah dengan rakyatnya.” ujar seorang laki-laki tua yang tengah duduk disebuah warung sambil menikmati segelas wedang jahe. “Kalau saja dia tidak nakal. Mungkin orang-orang tidak akan merasa tersinggung dengan tingkah lakunya.” sahut orang yang duduk didepannya. “Kita lihat saja 10 atau 20 tahun yang akan datang. Siapa diantara pangeran yang akan mewarisi sifat welas asih ayahandanya.” “Ya … semoga saja kelak Pangeran Nayaka bisa lebih berpikir dewasa sebelum bertindak.” sahut orang yang duduk di depan laki-laki tua itu. Tetapi kata-katanya tidak mendapat jawaban lagi, karena laki-laki tua itu telah meminta diri setelah ia membayar wedang jahe pesanannya itu.Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana. Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?" “Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit. “Kenapa?” “Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya." "Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?" “Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya." Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan ka
Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan. “Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak meny
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj