Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer
Di siang yang terik, seorang anak laki-laki dengan tubuh kekar dan tegap berjalan menyusuri jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun, kekuatan yang terpancar dari tubuhnya sudah menampakkan ciri-ciri kegagahan yang luar biasa. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa terdiam, mengagumi sosok anak itu dari kejauhan. Namun, kekaguman mereka segera berubah menjadi ketakutan saat tiba-tiba saja anak itu berhenti di depan sebuah pohon besar, menatapnya dengan wajah merah padam. Dalam sekejap, tanpa peringatan, anak itu mengamuk. Dengan satu gerakan cepat, ia mencabut pohon besar itu dari akarnya dan membuatnya tumbang dengan dentaman keras yang menggema ke seluruh penjuru. Orang-orang yang ada di sekitar segera berlarian, ketakutan dan terheran-heran. Mereka saling berbisik, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. "Apakah dia kerasukan Hantu Blandong?" gumam seseorang dengan suara bergetar. Anak itu mendengar gumaman itu, dan de
Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Nayaka mendapat hukuman atas kenakalannnya terhadap para pengamen. Namun, hukumannya kali lebih ringan dari sebelumnya. Ia hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Nayaka yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi, ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Nayaka telah berada didalam sebuah kedai yang baru saja dibuka. Tetapi di dalam kedai itu bukan saja ada dirinya, masih ada para pengunjung lain yang telah singgah untuk makan dikedai itu. Pangeran Nayaka pun duduk pula dikedai itu. Ia memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuhnya. Untuk beberapa saat Pangeran Nayaka yang duduk bersama seorang perempuan yang agak tua yan
Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana. Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?" “Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit. “Kenapa?” “Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya." "Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?" “Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya." Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan ka
Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan. “Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak meny
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman