Dalam pada itu, perjalanan Pandu dan bersama kedua prang perwiranya tidak menemui hambatan apapun. Dengan cepat mereka bisa sampai di Saung Galuh.Ketika mereka memasuki Kotarajw, mereka tidak melihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang diatas langit Kotaraja yang selalu ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jalan-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.Tanpa mendapat kesulitan apapun, Pandu dan kedua perwiranyq prajurit dari telah masuk ke Istana. Namun yang diterima oleh Ramapati, hanyalah Pandu saja.Dengan singkat Pandu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Nayaka, ia sama sekali tidak menyebut namanya dalam peristiwa itu.Sebenarnya siapapun yang melakukannya, bagi Prabu Ramapati tidak penting. Tetapi peristiwa itu sendiri yang justru menarik perhatiannya.Namun sang Pra
Di siang yang terik, seorang anak laki-laki dengan tubuh kekar dan tegap berjalan menyusuri jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun, kekuatan yang terpancar dari tubuhnya sudah menampakkan ciri-ciri kegagahan yang luar biasa. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa terdiam, mengagumi sosok anak itu dari kejauhan. Namun, kekaguman mereka segera berubah menjadi ketakutan saat tiba-tiba saja anak itu berhenti di depan sebuah pohon besar, menatapnya dengan wajah merah padam. Dalam sekejap, tanpa peringatan, anak itu mengamuk. Dengan satu gerakan cepat, ia mencabut pohon besar itu dari akarnya dan membuatnya tumbang dengan dentaman keras yang menggema ke seluruh penjuru. Orang-orang yang ada di sekitar segera berlarian, ketakutan dan terheran-heran. Mereka saling berbisik, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. "Apakah dia kerasukan Hantu Blandong?" gumam seseorang dengan suara bergetar. Anak itu mendengar gumaman itu, dan de
Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Nayaka mendapat hukuman atas kenakalannnya terhadap para pengamen. Namun, hukumannya kali lebih ringan dari sebelumnya. Ia hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Nayaka yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi, ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Nayaka telah berada didalam sebuah kedai yang baru saja dibuka. Tetapi di dalam kedai itu bukan saja ada dirinya, masih ada para pengunjung lain yang telah singgah untuk makan dikedai itu. Pangeran Nayaka pun duduk pula dikedai itu. Ia memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuhnya. Untuk beberapa saat Pangeran Nayaka yang duduk bersama seorang perempuan yang agak tua yan
Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana. Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?" “Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit. “Kenapa?” “Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya." "Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?" “Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya." Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan ka
Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan. “Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak meny
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Dalam pada itu, perjalanan Pandu dan bersama kedua prang perwiranya tidak menemui hambatan apapun. Dengan cepat mereka bisa sampai di Saung Galuh.Ketika mereka memasuki Kotarajw, mereka tidak melihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang diatas langit Kotaraja yang selalu ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jalan-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.Tanpa mendapat kesulitan apapun, Pandu dan kedua perwiranyq prajurit dari telah masuk ke Istana. Namun yang diterima oleh Ramapati, hanyalah Pandu saja.Dengan singkat Pandu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Nayaka, ia sama sekali tidak menyebut namanya dalam peristiwa itu.Sebenarnya siapapun yang melakukannya, bagi Prabu Ramapati tidak penting. Tetapi peristiwa itu sendiri yang justru menarik perhatiannya.Namun sang Pra
Pandu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia pun telah mulai mengamati keadaan sekitar.Ternyata, keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Pangeran Nayaka dan Pawana tidak sempat membuat perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawan mereka yang sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri.Orang-orang yang berada di hutan itu menjadi sangat kagum mendengar cerita Pawana tentang kemampuan Pangeran Nayaka yang mampu memadamkan api."Dari kedua tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Pangeran Nayaka sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." ujar Pawana "Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Pandu.Yang lain mengangguk-angguk. Pangeran Nayaka memang anak yang aneh. Tetapi juga satu-satunya putra Prabu Ramapati yang memiliki kelebihan yang sulit di takar. Karena
Pandu terkejut ketika ia melihat Pawana datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia pun bertanya, "Ada apa Pawana. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi?"Pawana menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya pun menjadi agak tenang.Sementara itu Parwati dan Ki Waskita pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Pawana tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan."Membakar hutan?" tanya Pandu dengan nada tinggi.“Ya. Membakar hutan," jawab Pawana yang kemudian menceritakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."Wajah Pandu menjadi tegang. Sementara itu Ki Waskita berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?""Di hutan tidak jauh dari lereng Gunung Indrayana. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng gunung itu dijamah api, maka ak
Dalam pada itu, Pawana pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Pangeran Nayaka. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng gunung, sehingga pegunungan itu pun akan menyala dan api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan untuk waktu yang lama.Sejenak kemudian Pawana telah berlari-lari pula mendekati Pangeran Nayaka yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Pawana pun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Pangeran, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menjalar lebih luas.""Terlambat. Betapapun cepat
Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Rupanya kalian memang sudah bosan hidup."Tetapi Pangeran Nayaka malah tertawa. "Justru kalianlah yang harus berdiri membelakangi kami mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Dan kami akan mengikat kalian satu persatu.""Setan!!" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam diantara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu.""Kalau begitu jangan hanya berbicara. Lakukanlah. Kalian atau kami berdua yang akan terbunuh disini."Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan. Karena itu, iapun langsung berteriak, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian diantara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung.""Tidak ada yang mengepung tempat ini." sahut Pangeran Nayaka”, sahut Pangeran Nayaka. "Yang mendapat tugas dari Senapati Pandu hanya kami berdua, sekaligus untuk menda
Sesaat Pawana pun kemudian berdiri termangu-mangu. Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Pangeran Nayaka, “Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu.”Pawana itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya, “Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan dan bagi Saung Galuh?.”Hampir diluar sadarnya Pawana menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser agak jauh ke Barat. Ternyata Pawana telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Pawana juga berbincang dengan Pangeran Nayaka sehingga agak melupakan waktu.Sejenak Pawana berbenah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Pawana pun kemudian meloncat ke tebing, dan naik keatas tanggul.Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan
Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang