Share

Bab 5. Mimpi Buruk

Author: Sritelasih
last update Last Updated: 2023-03-07 21:08:51

Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.”

“Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.”

“Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana.

“Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?”

“Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap kali ia merasa diuji oleh kenyataan, apakah penglihatannya benar atau tidak.” berkata Pawana.

Pangeran Nayaka tersenyum. Katanya, “Aku sependapat. Kau agaknya ingin melihat sepercik harapan di dalam hatiku bahwa isyarat itu bisa saja keliru. Tetapi aku harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan yang jauh dan mungkin tidak akan kembali lagi.”

Pawana tertegun sejenak. Meskipun Pangeran Nayaka tersenyum, tetapi nampaknya wajahnya diselimuti oleh kegelisahannya.

Sejenak kemudian, Pangeran Nayaka kembali berkata, “Tetapi masih ada waktu Pawana. Aku tidak akan pergi besok. Kita masih dapat berlatih lagi. Mudah-mudahan dalam kesempatan terakhir aku dapat membantu kemajuan ilmumu. Pada suatu saat, aku ingin berlatih bersamamu di bawah pengawasan langsung, bukan sekedar melihat-lihat. Aku ingin minta kepada gurumu, apa yang dapat dipetiknya dari ilmuku, karena aku tidak akan mempergunakannya lebih lama lagi."

Pawana mengangguk-angguk. Ia memang berharap untuk dapat meningkatkan ilmunya dalam latihan-latihan yang dilakukannya dengan Pangeran Nayaka. Sebagaimana dikatakan oleh gurunya, maka latihan-latihan itu memang sangat bermanfaat bagi dirinya.

Namun dalam pada itu, terdengar Pangeran Nayaka itu berkata, “Pawana. Apakah malam nanti kau akan tidur di sini?”

Pawana termangu-mangu sejenak. "Apakah tidak akan mengganggu Pangeran?"

“Kenapa mengganggu? Jika kau tidak tidur di sini, kau akan tidur dimana?”

“Aku masih sempat kembali ke Tanah Perdikan."

“Tidak, jangan pulang dulu. Malam nanti kau tidur di sini. Kau tidur bersama aku di dalam sanggar ini Siapa tahu, yang aku alami tidak sekedar berlaku padaku saja. Tetapi juga berlaku untuk orang lain yang berada di dalam sanggar ini.”

Pawana termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Nayaka telah mendesaknya, “Tentu tidak apa-apa. Seandainya kau tidak dapat mengalami seperti yang aku alami, bukankah tidak ada ruginya?”

Pawana masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia-pun berkata, “Tetapi Pangeran yang bertanggung jawab. Aku melakukannya atas keinginan Pangeran.”

“Ya. Aku akan bertanggung jawab."

Pawana mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya berdegupan oleh kegelisahan.

Demikianlah, hari itu Pawana tidak kembali ke Tanah Perdikan. Ia berada di dalam bilik Pangeran Nayaka yang sederhana. Bahkan ketika mereka makanpun, hidangan yang disuguhkan juga hidangan yang sederhana sebagaimana hidangan bagi Pangeran Nayaka sehari-hari.

Menjelang senja, Pangeran Nayaka mengajak Pawana untuk pergi ke belakang. Ditunjukkannya beberapa ekor kuda milik Pangeran Nayaka yang dipeliharanya dengan rajin. Seorang gamel dan seorang pekatik memelihara kuda-kuda itu dengan tekun dan tertib.

"Aku akan memberimu hadiah satu ekor kuda. Jika kau dapat melakukan apa yang aku perintahkan dengan baik."

"Tidak perlu."

"Tentu perlu. Aku memang sudah berniat dari hati yang terdalam untuk memberimu seekor kuda sebagai kenang-kenangan. Tenang saja, kuda yang aku berikan adalah kuda yang paling baik dan jinak. Meskipun tidak sebaik kudaku yang utama."

Pawana tidak mangatakan apa-apa.

Tetapi setelah hari menjadi gelap, keduanya kembali ke bilik Pangeran Nayaka.

Seperti dikatakan oleh Pangeran Nayaka, maka ketika malam menjadi semakin malam, Pawanapun dipersilahkan tidur di pembaringan di dalam sanggar itu bersama Pangeran Nayaka.

Namun Pawana merasa segan untuk tidur di sebelah Pangeran Nayaka. Bagaimanapun juga anak aneh ini adalah putera Prabu Ramapati yang berkuasa di Saung Galuh. Karena itu Pawanapun telah memilih untuk tidur di lantai di atas sehelai tikar pandan.

"Baiklah. Tetapi bukan aku yang menempatkanmu di lantai."

"Tidak apa-apa Pangeran. Aku memang lebih senang tidur di lantai."

Pangeran Nayaka tidak menjawab. Rasa-rasanya matanya sudah menjadi redup dan kantuknya kemudian tidak dapat ditahankannya lagi.

Sementara itu Pawana yang berbaring di lantai, mengamati sanggar itu dengan saksama. Terasa juga kulitnya meremang. Sementara itu Pangeran Nayaka telah tertidur nyenyak.

Namun akhirnya Pawanapun memejamkan matanya juga. Sejenak kemudian, maka iapun telah tertidur.

Tetapi dalam pada itu, Pangeran Nayaka tiba-tiba telah terkejut. Iapun segera meloncat dari pembaringannya dan mengguncang tubuh Pawana.

Pawana pun tergagap bangun. Keringatnya membasahi tubuhnya bagaikan diguyur hujan di halaman.

“Kenapa kau berteriak di dalam tidurmu?"

“Aku bermimpi buruk” jawab Pawana.

“Mimpi apa?”

“Aku telah hanyut oleh ombak yang besar. Namun beberapa saat kemudian tubuhku telah dihempaskan di batu karang. Beberapa kali dan setiap kali terasa tulang-tulangku berpatahan.” jawab Pawana.

Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak mengerti, kenapa kau harus bermimpi seburuk itu. Tetapi mimpi memang dapat saja terjadi di mana-mana. Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak bermimpi buruk lagi."

Keduanya pun kemudian kembali berbaring. Beberapa saat keduanya telah tertidur pula.

Namun sekali lagi Pawana berteriak-teriak dalam tidurnya sehingga Pangeran Nayaka sekali lagi meloncat dan membangunkannya.

“Kau bermimpi buruk lagi?”

“Ya. Aku melihat seekor ular raksasa yang muncul dari laut.” jawab Pawana. Tubuhnya menjadi semakin basah.

“Baiklah, berjaga-jagalah sejenak. Jangan tertidur sebelum aku tidur nyenyak.”

“Kenapa?” bertanya Pawana.

“Kita hanya mencoba. Mudah-mudahan kau tidak lagi mengalami mimpi buruk."

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia menjadi segan untuk terus tidur di dalam sanggar yang aneh itu. Tetapi Pangeran Nayaka terus memaksa, “Jangan lari ketakutan seperti seorang pengecut. Kau harus tetap berada di bilik ini sampai kau dapat tidur nyenyak.”

Pawana tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya, meskipun ia tidak berbaring lagi. Tetapi duduk bersandar dinding.

“Aku akan menunggu sampai Pangeran tidur nyenyak” desisnya kemudian.

Pangeran Nayaka mengangguk. "Bagus. Kau akan tinggal di sini sampai pagi.”

Pangeran Nayakapu telah berbaring lagi di pembaringannya. Untuk beberapa saat matanya tidak terpejam. Namun akhirnya Pangeran Nayaka itupun tertidur lagi, sementara Pawana menunggu sampai Pangeran Nayaka itu tertidur nyenyak.

Tetapi meskipun kemudian Pangeran Nayaka sudah tertidur nyenyak, namun Pawana rasa-rasanya sulit sekali untuk mencoba tidur meskipun ia sudah berbaring di sehelai tikar yang terbentang di lantai. Seperti pesan Pangeran Nayaka, bahwa ia sebaiknya mencoba untuk tidur lagi setelah Pangeran Nayaka tertidur nyenyak. Meskipun ia tidak tahu artinya, tetapi ia akan mencoba untuk mengikuti petunjuknya.

Beberapa saat lamanya Pawana memejamkan matanya meskipun ia belum tertidur. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengosongkan angan-angannya agar ia dapat segera tertidur. Tetapi rasa-rasanya ia masih saja terganggu oleh kecemasannya tentang mimpi-mimpinya.

Belum lagi Pawana dapat tertidur, Pangeran Nayaka justru telah terbangun. Sambil duduk di bibir pembaringannya iapun berdesis, “Kau tidak akan diganggu lagi.”

“Diganggu apa?” bertanya Pawana.

“Mimpi-mimpi buruk” jawab Pangeran Nayaka. "Di dalam mimpi, aku sudah menjelaskan, bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kehadiranmu disini.”

“Di dalam mimpi Pangeran?” bertanya Pawana.

“Ya, di dalam mimpiku.” jawab Pangeran Nayaka.

“Apakah hubungannya mimpi Pangeran dengan mimpiku?”

"Menurut nalar memang tidak ada hubungan apa-apa.Tetapi sudahlah, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang pasti kau tidak akan diganggu mimpi buruk lagi."

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat berbicara lebih banyak lagi, karena Pangeran Nayaka justru sudah berbaring sambil berdesis, “Aku masih mengantuk. Aku akan tidur lagi, meskipun aku akan terbangun di dalam dunia mimpiku.”

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mencoba lagi untuk tidur. Bahkan tanpa disadarinya iapun tertidur nyenyak.

Menjelang dini hari, Pawanapun kembali terbangun. Tetapi bukan karena mimpi buruk, ia terbangun sebagaiman kebiasaannya bangun menjelang dini hari. Namun Pawana tidak ke luar dari dalam sanggar. Tetapi ia duduk saja bersandar dinding.

Sesaat kemudian, Pangeran Nayaka telah terbangun pula. Sambil menggeliat ia berkata, “Tubuhku terasa segar sekali pagi ini. Apakah kau bermimpi buruk lagi?”

“Tidak Pangeran."

“Nah, bukankah yang aku katakan itu benar? Aku sudah minta agar kau tidak terganggu lagi. Dan permintaanku itu ternyata dipenuhi, sehingga kau tidak berteriak-teriak lagi karena mimpi buruk.” gumam Pangeran Nayaka yang masih saja berbaring.

Pawana tidak menjawab, sementara sekali lagi Pangeran Nayaka itu menggeliat dan bangkit duduk di bibir pembaringannya.

“Apakah kau terbiasa mandi pagi-pagi?”

“Aku terbiasa bangun pagi-pagi. Pergi kesawah dan kemudian mandi di sungai."

"Kebetulan sekali. Kita akan pergi ke sungai."

“Sungai yang mana?”

“Di sebelah Barat ada sungai yang tidak begitu besar. Tetapi di tikungan terdapat kedung kecil yang dapat untuk berendam. Apakah kau membawa pakaian ganti?"

“Aku membawa. Meskipun hanya selembar.”

“Kalau begitu marilah kita mandi. Berendam sebentar agar tubuh kita menjadi semakin segar.”

Mereka berduapun kemudian meninggalkan sanggar dan ke luar pula dari dalam bilik. Di regol butulan mereka memberitahu kepada penjaga yang bertugas, bahwa mereka akan pergi ke sungai.

Para prajurit tidak pernah mencegah apapun yang dilakukan oleh Pangeran Nayaka, sebagaimana pesan Ki Patih Pramanegara. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat saja mereka diminta untuk sekedar mencegah. Tetapi sebaiknya mereka langsung melaporkannya kepada Ki Patih.

Karena itu, maka para prajurit yang di regol halaman Wisma Kepatihan, maupun di pintu gerbang butulan kota, hanya menyapanya saja.

Demikianlah, dalam keremangan dini hari keduanya berendam di sebuah kedung kecil di sungai yang tidak begitu besar untuk menyegarkan tubuh-tubuh mereka.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Pawana terkejut. Ketika ia sedang berenang di kedung kecil itu, tiba-tiba saja ia telah melihat seekor buaya yang besar muncul dari dalam air. Dengan tangkasnya Pawana meloncat dan menghindar. Dengan satu loncatan Pawana telah berdiri di darat sambil bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Ketika Pawana melihat Pangeran Nayaka masih tetap berendam di air maka iapun berteriak, “Pangeran. Minggirlah. Seekor buaya raksasa.”

Related chapters

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 6. Kedung Di Pinggir Hutan

    Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman

    Last Updated : 2023-03-07
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 7. Menurunkan Ilmu

    Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba

    Last Updated : 2023-03-07
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 8. Keberhasilan Pawana

    Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger

    Last Updated : 2023-03-08
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 9. Perjalanan Pulang

    Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na

    Last Updated : 2023-03-09
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 10. Keributan Di Kedai

    Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj

    Last Updated : 2023-03-09
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 11. Bersikap Lunak

    "Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub

    Last Updated : 2023-09-25
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 12. Tumbangnya Gegedug Tempuran

    “Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah

    Last Updated : 2023-09-25
  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 13. Bilik Suram

    Sementara itu, Pawana sendiri telah berada di Wisama. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Nayaka. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana. “Tidurlah. Jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.” ujar Pangeran Nayaka. Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak terbangun oleh mimpi.” "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" Pawana mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Nayaka. “Tidur sajalah dahulu. Aku akan menghadap eyang Pramanegara.” "Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran?" “Biasa saja. Aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasa

    Last Updated : 2023-09-26

Latest chapter

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 26. Menghadap ke Kotaraja

    Dalam pada itu, perjalanan Pandu dan bersama kedua prang perwiranya tidak menemui hambatan apapun. Dengan cepat mereka bisa sampai di Saung Galuh.Ketika mereka memasuki Kotarajw, mereka tidak melihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang diatas langit Kotaraja yang selalu ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jalan-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.Tanpa mendapat kesulitan apapun, Pandu dan kedua perwiranyq prajurit dari telah masuk ke Istana. Namun yang diterima oleh Ramapati, hanyalah Pandu saja.Dengan singkat Pandu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Nayaka, ia sama sekali tidak menyebut namanya dalam peristiwa itu.Sebenarnya siapapun yang melakukannya, bagi Prabu Ramapati tidak penting. Tetapi peristiwa itu sendiri yang justru menarik perhatiannya.Namun sang Pra

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 25. Keinginan Sang Pangeran

    Pandu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia pun telah mulai mengamati keadaan sekitar.Ternyata, keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Pangeran Nayaka dan Pawana tidak sempat membuat perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawan mereka yang sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri.Orang-orang yang berada di hutan itu menjadi sangat kagum mendengar cerita Pawana tentang kemampuan Pangeran Nayaka yang mampu memadamkan api."Dari kedua tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Pangeran Nayaka sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." ujar Pawana "Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Pandu.Yang lain mengangguk-angguk. Pangeran Nayaka memang anak yang aneh. Tetapi juga satu-satunya putra Prabu Ramapati yang memiliki kelebihan yang sulit di takar. Karena

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 24. Persoalan Rumit

    Pandu terkejut ketika ia melihat Pawana datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia pun bertanya, "Ada apa Pawana. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi?"Pawana menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya pun menjadi agak tenang.Sementara itu Parwati dan Ki Waskita pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Pawana tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan."Membakar hutan?" tanya Pandu dengan nada tinggi.“Ya. Membakar hutan," jawab Pawana yang kemudian menceritakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."Wajah Pandu menjadi tegang. Sementara itu Ki Waskita berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?""Di hutan tidak jauh dari lereng Gunung Indrayana. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng gunung itu dijamah api, maka ak

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 23. Kemampuan Pangeran Nayaka

    Dalam pada itu, Pawana pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Pangeran Nayaka. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng gunung, sehingga pegunungan itu pun akan menyala dan api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan untuk waktu yang lama.Sejenak kemudian Pawana telah berlari-lari pula mendekati Pangeran Nayaka yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Pawana pun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Pangeran, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menjalar lebih luas.""Terlambat. Betapapun cepat

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 22. Pertarungan di Lereng Hutan

    Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Rupanya kalian memang sudah bosan hidup."Tetapi Pangeran Nayaka malah tertawa. "Justru kalianlah yang harus berdiri membelakangi kami mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Dan kami akan mengikat kalian satu persatu.""Setan!!" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam diantara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu.""Kalau begitu jangan hanya berbicara. Lakukanlah. Kalian atau kami berdua yang akan terbunuh disini."Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan. Karena itu, iapun langsung berteriak, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian diantara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung.""Tidak ada yang mengepung tempat ini." sahut Pangeran Nayaka”, sahut Pangeran Nayaka. "Yang mendapat tugas dari Senapati Pandu hanya kami berdua, sekaligus untuk menda

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 21. Penyusup

    Sesaat Pawana pun kemudian berdiri termangu-mangu. Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Pangeran Nayaka, “Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu.”Pawana itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya, “Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan dan bagi Saung Galuh?.”Hampir diluar sadarnya Pawana menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser agak jauh ke Barat. Ternyata Pawana telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Pawana juga berbincang dengan Pangeran Nayaka sehingga agak melupakan waktu.Sejenak Pawana berbenah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Pawana pun kemudian meloncat ke tebing, dan naik keatas tanggul.Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 20. Meningkatkan Diri

    Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 19. Pendadaran

    Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”

  • BHARATA (Pendekar Naga Bumi)   Bab 18. Latihan

    Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang

DMCA.com Protection Status