Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.”
“Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap kali ia merasa diuji oleh kenyataan, apakah penglihatannya benar atau tidak.” berkata Pawana. Pangeran Nayaka tersenyum. Katanya, “Aku sependapat. Kau agaknya ingin melihat sepercik harapan di dalam hatiku bahwa isyarat itu bisa saja keliru. Tetapi aku harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan yang jauh dan mungkin tidak akan kembali lagi.” Pawana tertegun sejenak. Meskipun Pangeran Nayaka tersenyum, tetapi nampaknya wajahnya diselimuti oleh kegelisahannya. Sejenak kemudian, Pangeran Nayaka kembali berkata, “Tetapi masih ada waktu Pawana. Aku tidak akan pergi besok. Kita masih dapat berlatih lagi. Mudah-mudahan dalam kesempatan terakhir aku dapat membantu kemajuan ilmumu. Pada suatu saat, aku ingin berlatih bersamamu di bawah pengawasan langsung, bukan sekedar melihat-lihat. Aku ingin minta kepada gurumu, apa yang dapat dipetiknya dari ilmuku, karena aku tidak akan mempergunakannya lebih lama lagi." Pawana mengangguk-angguk. Ia memang berharap untuk dapat meningkatkan ilmunya dalam latihan-latihan yang dilakukannya dengan Pangeran Nayaka. Sebagaimana dikatakan oleh gurunya, maka latihan-latihan itu memang sangat bermanfaat bagi dirinya. Namun dalam pada itu, terdengar Pangeran Nayaka itu berkata, “Pawana. Apakah malam nanti kau akan tidur di sini?” Pawana termangu-mangu sejenak. "Apakah tidak akan mengganggu Pangeran?" “Kenapa mengganggu? Jika kau tidak tidur di sini, kau akan tidur dimana?” “Aku masih sempat kembali ke Tanah Perdikan." “Tidak, jangan pulang dulu. Malam nanti kau tidur di sini. Kau tidur bersama aku di dalam sanggar ini Siapa tahu, yang aku alami tidak sekedar berlaku padaku saja. Tetapi juga berlaku untuk orang lain yang berada di dalam sanggar ini.” Pawana termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Nayaka telah mendesaknya, “Tentu tidak apa-apa. Seandainya kau tidak dapat mengalami seperti yang aku alami, bukankah tidak ada ruginya?” Pawana masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia-pun berkata, “Tetapi Pangeran yang bertanggung jawab. Aku melakukannya atas keinginan Pangeran.” “Ya. Aku akan bertanggung jawab." Pawana mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya berdegupan oleh kegelisahan. Demikianlah, hari itu Pawana tidak kembali ke Tanah Perdikan. Ia berada di dalam bilik Pangeran Nayaka yang sederhana. Bahkan ketika mereka makanpun, hidangan yang disuguhkan juga hidangan yang sederhana sebagaimana hidangan bagi Pangeran Nayaka sehari-hari. Menjelang senja, Pangeran Nayaka mengajak Pawana untuk pergi ke belakang. Ditunjukkannya beberapa ekor kuda milik Pangeran Nayaka yang dipeliharanya dengan rajin. Seorang gamel dan seorang pekatik memelihara kuda-kuda itu dengan tekun dan tertib. "Aku akan memberimu hadiah satu ekor kuda. Jika kau dapat melakukan apa yang aku perintahkan dengan baik." "Tidak perlu." "Tentu perlu. Aku memang sudah berniat dari hati yang terdalam untuk memberimu seekor kuda sebagai kenang-kenangan. Tenang saja, kuda yang aku berikan adalah kuda yang paling baik dan jinak. Meskipun tidak sebaik kudaku yang utama." Pawana tidak mangatakan apa-apa. Tetapi setelah hari menjadi gelap, keduanya kembali ke bilik Pangeran Nayaka. Seperti dikatakan oleh Pangeran Nayaka, maka ketika malam menjadi semakin malam, Pawanapun dipersilahkan tidur di pembaringan di dalam sanggar itu bersama Pangeran Nayaka. Namun Pawana merasa segan untuk tidur di sebelah Pangeran Nayaka. Bagaimanapun juga anak aneh ini adalah putera Prabu Ramapati yang berkuasa di Saung Galuh. Karena itu Pawanapun telah memilih untuk tidur di lantai di atas sehelai tikar pandan. "Baiklah. Tetapi bukan aku yang menempatkanmu di lantai." "Tidak apa-apa Pangeran. Aku memang lebih senang tidur di lantai." Pangeran Nayaka tidak menjawab. Rasa-rasanya matanya sudah menjadi redup dan kantuknya kemudian tidak dapat ditahankannya lagi. Sementara itu Pawana yang berbaring di lantai, mengamati sanggar itu dengan saksama. Terasa juga kulitnya meremang. Sementara itu Pangeran Nayaka telah tertidur nyenyak. Namun akhirnya Pawanapun memejamkan matanya juga. Sejenak kemudian, maka iapun telah tertidur. Tetapi dalam pada itu, Pangeran Nayaka tiba-tiba telah terkejut. Iapun segera meloncat dari pembaringannya dan mengguncang tubuh Pawana. Pawana pun tergagap bangun. Keringatnya membasahi tubuhnya bagaikan diguyur hujan di halaman. “Kenapa kau berteriak di dalam tidurmu?" “Aku bermimpi buruk” jawab Pawana. “Mimpi apa?” “Aku telah hanyut oleh ombak yang besar. Namun beberapa saat kemudian tubuhku telah dihempaskan di batu karang. Beberapa kali dan setiap kali terasa tulang-tulangku berpatahan.” jawab Pawana. Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak mengerti, kenapa kau harus bermimpi seburuk itu. Tetapi mimpi memang dapat saja terjadi di mana-mana. Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak bermimpi buruk lagi." Keduanya pun kemudian kembali berbaring. Beberapa saat keduanya telah tertidur pula. Namun sekali lagi Pawana berteriak-teriak dalam tidurnya sehingga Pangeran Nayaka sekali lagi meloncat dan membangunkannya. “Kau bermimpi buruk lagi?” “Ya. Aku melihat seekor ular raksasa yang muncul dari laut.” jawab Pawana. Tubuhnya menjadi semakin basah. “Baiklah, berjaga-jagalah sejenak. Jangan tertidur sebelum aku tidur nyenyak.” “Kenapa?” bertanya Pawana. “Kita hanya mencoba. Mudah-mudahan kau tidak lagi mengalami mimpi buruk." Pawana menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia menjadi segan untuk terus tidur di dalam sanggar yang aneh itu. Tetapi Pangeran Nayaka terus memaksa, “Jangan lari ketakutan seperti seorang pengecut. Kau harus tetap berada di bilik ini sampai kau dapat tidur nyenyak.” Pawana tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya, meskipun ia tidak berbaring lagi. Tetapi duduk bersandar dinding. “Aku akan menunggu sampai Pangeran tidur nyenyak” desisnya kemudian. Pangeran Nayaka mengangguk. "Bagus. Kau akan tinggal di sini sampai pagi.” Pangeran Nayakapu telah berbaring lagi di pembaringannya. Untuk beberapa saat matanya tidak terpejam. Namun akhirnya Pangeran Nayaka itupun tertidur lagi, sementara Pawana menunggu sampai Pangeran Nayaka itu tertidur nyenyak. Tetapi meskipun kemudian Pangeran Nayaka sudah tertidur nyenyak, namun Pawana rasa-rasanya sulit sekali untuk mencoba tidur meskipun ia sudah berbaring di sehelai tikar yang terbentang di lantai. Seperti pesan Pangeran Nayaka, bahwa ia sebaiknya mencoba untuk tidur lagi setelah Pangeran Nayaka tertidur nyenyak. Meskipun ia tidak tahu artinya, tetapi ia akan mencoba untuk mengikuti petunjuknya. Beberapa saat lamanya Pawana memejamkan matanya meskipun ia belum tertidur. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengosongkan angan-angannya agar ia dapat segera tertidur. Tetapi rasa-rasanya ia masih saja terganggu oleh kecemasannya tentang mimpi-mimpinya. Belum lagi Pawana dapat tertidur, Pangeran Nayaka justru telah terbangun. Sambil duduk di bibir pembaringannya iapun berdesis, “Kau tidak akan diganggu lagi.” “Diganggu apa?” bertanya Pawana. “Mimpi-mimpi buruk” jawab Pangeran Nayaka. "Di dalam mimpi, aku sudah menjelaskan, bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kehadiranmu disini.” “Di dalam mimpi Pangeran?” bertanya Pawana. “Ya, di dalam mimpiku.” jawab Pangeran Nayaka. “Apakah hubungannya mimpi Pangeran dengan mimpiku?” "Menurut nalar memang tidak ada hubungan apa-apa.Tetapi sudahlah, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang pasti kau tidak akan diganggu mimpi buruk lagi." Pawana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat berbicara lebih banyak lagi, karena Pangeran Nayaka justru sudah berbaring sambil berdesis, “Aku masih mengantuk. Aku akan tidur lagi, meskipun aku akan terbangun di dalam dunia mimpiku.” Pawana menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mencoba lagi untuk tidur. Bahkan tanpa disadarinya iapun tertidur nyenyak. Menjelang dini hari, Pawanapun kembali terbangun. Tetapi bukan karena mimpi buruk, ia terbangun sebagaiman kebiasaannya bangun menjelang dini hari. Namun Pawana tidak ke luar dari dalam sanggar. Tetapi ia duduk saja bersandar dinding. Sesaat kemudian, Pangeran Nayaka telah terbangun pula. Sambil menggeliat ia berkata, “Tubuhku terasa segar sekali pagi ini. Apakah kau bermimpi buruk lagi?” “Tidak Pangeran." “Nah, bukankah yang aku katakan itu benar? Aku sudah minta agar kau tidak terganggu lagi. Dan permintaanku itu ternyata dipenuhi, sehingga kau tidak berteriak-teriak lagi karena mimpi buruk.” gumam Pangeran Nayaka yang masih saja berbaring. Pawana tidak menjawab, sementara sekali lagi Pangeran Nayaka itu menggeliat dan bangkit duduk di bibir pembaringannya. “Apakah kau terbiasa mandi pagi-pagi?” “Aku terbiasa bangun pagi-pagi. Pergi kesawah dan kemudian mandi di sungai." "Kebetulan sekali. Kita akan pergi ke sungai." “Sungai yang mana?” “Di sebelah Barat ada sungai yang tidak begitu besar. Tetapi di tikungan terdapat kedung kecil yang dapat untuk berendam. Apakah kau membawa pakaian ganti?" “Aku membawa. Meskipun hanya selembar.” “Kalau begitu marilah kita mandi. Berendam sebentar agar tubuh kita menjadi semakin segar.” Mereka berduapun kemudian meninggalkan sanggar dan ke luar pula dari dalam bilik. Di regol butulan mereka memberitahu kepada penjaga yang bertugas, bahwa mereka akan pergi ke sungai. Para prajurit tidak pernah mencegah apapun yang dilakukan oleh Pangeran Nayaka, sebagaimana pesan Ki Patih Pramanegara. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat saja mereka diminta untuk sekedar mencegah. Tetapi sebaiknya mereka langsung melaporkannya kepada Ki Patih. Karena itu, maka para prajurit yang di regol halaman Wisma Kepatihan, maupun di pintu gerbang butulan kota, hanya menyapanya saja. Demikianlah, dalam keremangan dini hari keduanya berendam di sebuah kedung kecil di sungai yang tidak begitu besar untuk menyegarkan tubuh-tubuh mereka. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Pawana terkejut. Ketika ia sedang berenang di kedung kecil itu, tiba-tiba saja ia telah melihat seekor buaya yang besar muncul dari dalam air. Dengan tangkasnya Pawana meloncat dan menghindar. Dengan satu loncatan Pawana telah berdiri di darat sambil bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ketika Pawana melihat Pangeran Nayaka masih tetap berendam di air maka iapun berteriak, “Pangeran. Minggirlah. Seekor buaya raksasa.”Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub
“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah
Sementara itu, Pawana sendiri telah berada di Wisama. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Nayaka. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana. “Tidurlah. Jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.” ujar Pangeran Nayaka. Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak terbangun oleh mimpi.” "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" Pawana mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Nayaka. “Tidur sajalah dahulu. Aku akan menghadap eyang Pramanegara.” "Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran?" “Biasa saja. Aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasa