Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub
“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah
Sementara itu, Pawana sendiri telah berada di Wisama. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Nayaka. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana. “Tidurlah. Jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.” ujar Pangeran Nayaka. Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak terbangun oleh mimpi.” "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" Pawana mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Nayaka. “Tidur sajalah dahulu. Aku akan menghadap eyang Pramanegara.” "Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran?" “Biasa saja. Aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasa
Pawana perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk dilantai. Tetapi adalah di-luar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, “Jangan beringsut, Duduk sajalah disitu.” Pawana masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, “Aku menghendaki kau duduk di tempatmu.” Pawana tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnyalah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. “Jangan merasa segan,” berkata Ki Patih, “aku yang menghendaki kau duduk disitu. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak diantara kita.” Pawana tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan. “Pawana,” berkata Ki Patih kemudian, “biarlah aku yang mulai.” Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara?,” “Hamba Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Perdikan.” jawab Pawana sambil menunduk. “Sudah berapa hari kau berada disini?.” bertanya Ki Patih pula. Pawana te
Demikianlah, maka Pawanapun telah meninggalkan Wisma Kepatihan dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Pangeran Nayaka, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya. Pawana yang berada di punggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan dijalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lain-pun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Pawana itupun tersenyum sendiri. Ketika Pawana sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Pawana masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu. Sekali-sekali Pawana memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu. Namun Pawana juga sempat berkata kepada diri sendiri,
Parwati yang tengah berada di pawon terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Iapun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?,” “Pawana.” jawab pembantunya itu. “O,” Parwatipun segera bangkit dan keluar kehakiman samping. Pawana tentu sudah bertemu dengan Pandu dan Ki Waskita di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Saung Galuh. Ketika Parwati melihat Pawana yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Pawana, maka Parwatipun berdesis, “Bukan main. Bagus sekali kudamu itu, Pawan?” “Pangeran Nayaka telah memberikan seekor dari kuda-kuda miliknya, Mbok Ayu.” Parwati ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Pawana. Menurut Parwati agaknya kedatangun Pawana itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya. Namun setelah mengamati kuda itu sejenak, maka Parwatu bertanya kepada suaminya, “Kakang bertemu dengan anak ini di jalan?” “Ya. Dengan demikian, aku telah mengurungkan perjalananku.” jawab Pandu.