Demikianlah, maka Pawanapun telah meninggalkan Wisma Kepatihan dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Pangeran Nayaka, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya. Pawana yang berada di punggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan dijalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lain-pun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Pawana itupun tersenyum sendiri. Ketika Pawana sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Pawana masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu. Sekali-sekali Pawana memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu. Namun Pawana juga sempat berkata kepada diri sendiri,
Parwati yang tengah berada di pawon terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Iapun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?,” “Pawana.” jawab pembantunya itu. “O,” Parwatipun segera bangkit dan keluar kehakiman samping. Pawana tentu sudah bertemu dengan Pandu dan Ki Waskita di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Saung Galuh. Ketika Parwati melihat Pawana yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Pawana, maka Parwatipun berdesis, “Bukan main. Bagus sekali kudamu itu, Pawan?” “Pangeran Nayaka telah memberikan seekor dari kuda-kuda miliknya, Mbok Ayu.” Parwati ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Pawana. Menurut Parwati agaknya kedatangun Pawana itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya. Namun setelah mengamati kuda itu sejenak, maka Parwatu bertanya kepada suaminya, “Kakang bertemu dengan anak ini di jalan?” “Ya. Dengan demikian, aku telah mengurungkan perjalananku.” jawab Pandu.
Pawana kemudian minta diri. Mula-mula dimasukkannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung ekornya. “Kenapa?” bertanya Pawana. “Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat.” jawab anak itu. “Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya?” bertanya Pawana. “Kau bangga mempunyai kuda itu?” tiba-tiba saja anak itu bertanya. “Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.” “Apa bedanya yang penting selain ujud yang lebih besar” bertanya Pawana pula. “Kuda ini tegar dan nampaknya sangat kuat” jawab anak itu. “Bagus” gumam Pawana, “ternyata kau dapat mengenali pula.” “Marilah” tiba-tiba saja anak itu mengajak, “kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula.” “Kau bawa cangkul” berkata Pawana kemudian. “Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul?” bertanya anak itu. Pawana tertawa. Katanya, “Jangan
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer
Di siang yang terik, seorang anak laki-laki dengan tubuh kekar dan tegap berjalan menyusuri jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun, kekuatan yang terpancar dari tubuhnya sudah menampakkan ciri-ciri kegagahan yang luar biasa. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa terdiam, mengagumi sosok anak itu dari kejauhan. Namun, kekaguman mereka segera berubah menjadi ketakutan saat tiba-tiba saja anak itu berhenti di depan sebuah pohon besar, menatapnya dengan wajah merah padam. Dalam sekejap, tanpa peringatan, anak itu mengamuk. Dengan satu gerakan cepat, ia mencabut pohon besar itu dari akarnya dan membuatnya tumbang dengan dentaman keras yang menggema ke seluruh penjuru. Orang-orang yang ada di sekitar segera berlarian, ketakutan dan terheran-heran. Mereka saling berbisik, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. "Apakah dia kerasukan Hantu Blandong?" gumam seseorang dengan suara bergetar. Anak itu mendengar gumaman itu, dan de
Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Nayaka mendapat hukuman atas kenakalannnya terhadap para pengamen. Namun, hukumannya kali lebih ringan dari sebelumnya. Ia hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Nayaka yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi, ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Nayaka telah berada didalam sebuah kedai yang baru saja dibuka. Tetapi di dalam kedai itu bukan saja ada dirinya, masih ada para pengunjung lain yang telah singgah untuk makan dikedai itu. Pangeran Nayaka pun duduk pula dikedai itu. Ia memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuhnya. Untuk beberapa saat Pangeran Nayaka yang duduk bersama seorang perempuan yang agak tua yan