“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah
Sementara itu, Pawana sendiri telah berada di Wisama. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Nayaka. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana. “Tidurlah. Jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.” ujar Pangeran Nayaka. Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak terbangun oleh mimpi.” "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" Pawana mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Nayaka. “Tidur sajalah dahulu. Aku akan menghadap eyang Pramanegara.” "Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran?" “Biasa saja. Aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasa
Pawana perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk dilantai. Tetapi adalah di-luar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, “Jangan beringsut, Duduk sajalah disitu.” Pawana masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, “Aku menghendaki kau duduk di tempatmu.” Pawana tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnyalah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. “Jangan merasa segan,” berkata Ki Patih, “aku yang menghendaki kau duduk disitu. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak diantara kita.” Pawana tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan. “Pawana,” berkata Ki Patih kemudian, “biarlah aku yang mulai.” Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara?,” “Hamba Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Perdikan.” jawab Pawana sambil menunduk. “Sudah berapa hari kau berada disini?.” bertanya Ki Patih pula. Pawana te
Demikianlah, maka Pawanapun telah meninggalkan Wisma Kepatihan dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Pangeran Nayaka, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya. Pawana yang berada di punggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan dijalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lain-pun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Pawana itupun tersenyum sendiri. Ketika Pawana sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Pawana masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu. Sekali-sekali Pawana memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu. Namun Pawana juga sempat berkata kepada diri sendiri,
Parwati yang tengah berada di pawon terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Iapun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?,” “Pawana.” jawab pembantunya itu. “O,” Parwatipun segera bangkit dan keluar kehakiman samping. Pawana tentu sudah bertemu dengan Pandu dan Ki Waskita di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Saung Galuh. Ketika Parwati melihat Pawana yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Pawana, maka Parwatipun berdesis, “Bukan main. Bagus sekali kudamu itu, Pawan?” “Pangeran Nayaka telah memberikan seekor dari kuda-kuda miliknya, Mbok Ayu.” Parwati ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Pawana. Menurut Parwati agaknya kedatangun Pawana itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya. Namun setelah mengamati kuda itu sejenak, maka Parwatu bertanya kepada suaminya, “Kakang bertemu dengan anak ini di jalan?” “Ya. Dengan demikian, aku telah mengurungkan perjalananku.” jawab Pandu.
Pawana kemudian minta diri. Mula-mula dimasukkannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung ekornya. “Kenapa?” bertanya Pawana. “Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat.” jawab anak itu. “Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya?” bertanya Pawana. “Kau bangga mempunyai kuda itu?” tiba-tiba saja anak itu bertanya. “Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.” “Apa bedanya yang penting selain ujud yang lebih besar” bertanya Pawana pula. “Kuda ini tegar dan nampaknya sangat kuat” jawab anak itu. “Bagus” gumam Pawana, “ternyata kau dapat mengenali pula.” “Marilah” tiba-tiba saja anak itu mengajak, “kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula.” “Kau bawa cangkul” berkata Pawana kemudian. “Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul?” bertanya anak itu. Pawana tertawa. Katanya, “Jangan
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Dalam pada itu, perjalanan Pandu dan bersama kedua prang perwiranya tidak menemui hambatan apapun. Dengan cepat mereka bisa sampai di Saung Galuh.Ketika mereka memasuki Kotarajw, mereka tidak melihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang diatas langit Kotaraja yang selalu ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jalan-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.Tanpa mendapat kesulitan apapun, Pandu dan kedua perwiranyq prajurit dari telah masuk ke Istana. Namun yang diterima oleh Ramapati, hanyalah Pandu saja.Dengan singkat Pandu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Nayaka, ia sama sekali tidak menyebut namanya dalam peristiwa itu.Sebenarnya siapapun yang melakukannya, bagi Prabu Ramapati tidak penting. Tetapi peristiwa itu sendiri yang justru menarik perhatiannya.Namun sang Pra
Pandu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia pun telah mulai mengamati keadaan sekitar.Ternyata, keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Pangeran Nayaka dan Pawana tidak sempat membuat perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawan mereka yang sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri.Orang-orang yang berada di hutan itu menjadi sangat kagum mendengar cerita Pawana tentang kemampuan Pangeran Nayaka yang mampu memadamkan api."Dari kedua tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Pangeran Nayaka sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." ujar Pawana "Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Pandu.Yang lain mengangguk-angguk. Pangeran Nayaka memang anak yang aneh. Tetapi juga satu-satunya putra Prabu Ramapati yang memiliki kelebihan yang sulit di takar. Karena
Pandu terkejut ketika ia melihat Pawana datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia pun bertanya, "Ada apa Pawana. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi?"Pawana menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya pun menjadi agak tenang.Sementara itu Parwati dan Ki Waskita pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Pawana tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan."Membakar hutan?" tanya Pandu dengan nada tinggi.“Ya. Membakar hutan," jawab Pawana yang kemudian menceritakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."Wajah Pandu menjadi tegang. Sementara itu Ki Waskita berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?""Di hutan tidak jauh dari lereng Gunung Indrayana. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng gunung itu dijamah api, maka ak
Dalam pada itu, Pawana pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Pangeran Nayaka. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng gunung, sehingga pegunungan itu pun akan menyala dan api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan untuk waktu yang lama.Sejenak kemudian Pawana telah berlari-lari pula mendekati Pangeran Nayaka yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Pawana pun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Pangeran, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menjalar lebih luas.""Terlambat. Betapapun cepat
Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Rupanya kalian memang sudah bosan hidup."Tetapi Pangeran Nayaka malah tertawa. "Justru kalianlah yang harus berdiri membelakangi kami mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Dan kami akan mengikat kalian satu persatu.""Setan!!" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam diantara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu.""Kalau begitu jangan hanya berbicara. Lakukanlah. Kalian atau kami berdua yang akan terbunuh disini."Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan. Karena itu, iapun langsung berteriak, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian diantara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung.""Tidak ada yang mengepung tempat ini." sahut Pangeran Nayaka”, sahut Pangeran Nayaka. "Yang mendapat tugas dari Senapati Pandu hanya kami berdua, sekaligus untuk menda
Sesaat Pawana pun kemudian berdiri termangu-mangu. Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Pangeran Nayaka, “Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu.”Pawana itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya, “Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan dan bagi Saung Galuh?.”Hampir diluar sadarnya Pawana menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser agak jauh ke Barat. Ternyata Pawana telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Pawana juga berbincang dengan Pangeran Nayaka sehingga agak melupakan waktu.Sejenak Pawana berbenah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Pawana pun kemudian meloncat ke tebing, dan naik keatas tanggul.Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan
Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang