"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub
“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah
Sementara itu, Pawana sendiri telah berada di Wisama. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Nayaka. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana. “Tidurlah. Jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.” ujar Pangeran Nayaka. Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak terbangun oleh mimpi.” "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" Pawana mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Nayaka. “Tidur sajalah dahulu. Aku akan menghadap eyang Pramanegara.” "Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran?" “Biasa saja. Aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasa
Pawana perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk dilantai. Tetapi adalah di-luar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, “Jangan beringsut, Duduk sajalah disitu.” Pawana masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, “Aku menghendaki kau duduk di tempatmu.” Pawana tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnyalah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. “Jangan merasa segan,” berkata Ki Patih, “aku yang menghendaki kau duduk disitu. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak diantara kita.” Pawana tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan. “Pawana,” berkata Ki Patih kemudian, “biarlah aku yang mulai.” Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara?,” “Hamba Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Perdikan.” jawab Pawana sambil menunduk. “Sudah berapa hari kau berada disini?.” bertanya Ki Patih pula. Pawana te
Demikianlah, maka Pawanapun telah meninggalkan Wisma Kepatihan dengan seekor kuda yang tegar. Keinginannya untuk memiliki seekor kuda yang baik ternyata telah terpenuhi. Namun seperti pesan Pangeran Nayaka, ia tidak berpacu terlalu cepat sebelum terbiasa dengan kuda yang besar itu, agar ia tidak dilemparkan dari punggungnya. Pawana yang berada di punggung kuda yang besar itu memang merasa seperti seorang prajurit yang memenangkan perang. Orang-orang yang berpapasan dijalan nampak terlalu kecil. Bahkan kuda-kuda yang lain-pun nampak jauh lebih buruk dari kuda yang dinaikinya itu. Sehingga diluar sadarnya, Pawana itupun tersenyum sendiri. Ketika Pawana sudah keluar dari pintu gerbang kota, maka kudanya berlari agak cepat. Namun Pawana masih tetap menjaga agar kuda itu tidak berpacu. Sekali-sekali Pawana memang memperhatikan orang yang sedang berpapasan. Menurut perasaannya semua orang telah memperhatikan kudanya sangat bagus itu. Namun Pawana juga sempat berkata kepada diri sendiri,
Parwati yang tengah berada di pawon terkejut mendengar kehadiran ketiga orang itu. Iapun bertanya kepada pembantunya, “Siapa yang datang?,” “Pawana.” jawab pembantunya itu. “O,” Parwatipun segera bangkit dan keluar kehakiman samping. Pawana tentu sudah bertemu dengan Pandu dan Ki Waskita di jalan, karena keduanya belum terlalu lama berangkat menuju ke Saung Galuh. Ketika Parwati melihat Pawana yang menuntun kudanya, maka seperti yang disangka oleh Pawana, maka Parwatipun berdesis, “Bukan main. Bagus sekali kudamu itu, Pawan?” “Pangeran Nayaka telah memberikan seekor dari kuda-kuda miliknya, Mbok Ayu.” Parwati ternyata lebih tertarik kepada kuda itu dari pada mempertanyakan keselamatan Pawana. Menurut Parwati agaknya kedatangun Pawana itu sudah merupakan pernyataan dari keselamatannya. Namun setelah mengamati kuda itu sejenak, maka Parwatu bertanya kepada suaminya, “Kakang bertemu dengan anak ini di jalan?” “Ya. Dengan demikian, aku telah mengurungkan perjalananku.” jawab Pandu.
Pawana kemudian minta diri. Mula-mula dimasukkannya kudanya ke kandang. Sementara pembantu rumah itu dengan heran melihat kuda itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung ekornya. “Kenapa?” bertanya Pawana. “Kuda itu lebih besar dari kuda-kuda yang pernah aku lihat.” jawab anak itu. “Besarnya tidak banyak berselisih. Tetapi kau lihat perbedaan lainnya?” bertanya Pawana. “Kau bangga mempunyai kuda itu?” tiba-tiba saja anak itu bertanya. “Tentu. Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku.” “Apa bedanya yang penting selain ujud yang lebih besar” bertanya Pawana pula. “Kuda ini tegar dan nampaknya sangat kuat” jawab anak itu. “Bagus” gumam Pawana, “ternyata kau dapat mengenali pula.” “Marilah” tiba-tiba saja anak itu mengajak, “kita lihat pliridan kita. Mungkin aku belum sepenuhnya membuat pliridan itu pulih seperti semula.” “Kau bawa cangkul” berkata Pawana kemudian. “Kau mau enak-enak melenggang dan aku yang harus membawa cangkul?” bertanya anak itu. Pawana tertawa. Katanya, “Jangan
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang