Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan.
“Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak menyapa ketika Pangeran Nayaka lewat di hadapan mereka. Mereka hanya mengangguk hormat sementara Pangeran Nayaka hanya tersenyum saja kepada mereka. Ketika kedua orang itu memasuki bilik Pangeran Nayaka. Pawana terkejut. Ia melihat pada dinding bilik itu tergantung segala jenis senjata. Senjata pendek, senjata bertangkai pendek dan panjang, senjata lontar dan senjata-senjata kecil yang dilemparkan dengan tulup. Di dalam bilik itu terdapat juga berbagai macam senjata bertangkai. Tombak, canggah, trisula, tombak berujung rangkap dan bermacam-macam jenis yang di antaranya berasal dari seberang. Sejenis kapak dan kapak yang bermata ganda. Perisai berbagai macam bentuk dan macamnya. “Aku memang mempunyai kegemaran mengumpulkan segala jenis senjata. Tetapi aku sendiri jarang sekali membawa senjata.” ujar Pangeran Nayaka. "Darimana saja Pangeran mendapatkan berjenis-jenis senjata ini?” “Dari mana-mana. Sebagian besar aku sudah lupa.” Pawana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Nayaka berkata, “Duduklah. Bilik ini kotor. Tetapi Eyang Pramanegara tidak berkeberatan melihat senjata-senjata ini aku tempel di dinding. Semula senjata ini aku tempel di dinding bilikku di kasatrian di dalam istana Ayahanda. Tetapi setelah aku berada di sini, maka semuanya telah aku pindahkan kemari.” Pawana mengangguk-angguk. Iapun kemudian duduk di sebuah amben di sudut bilik yang agak luas itu. Sementara Pangeran Nayakapun telah pergi ke sebuah gledeg di sudut yang lain. “Aku haus” katanya sambil mengangkat sebuah gendi. Ternyata Pangeran Nayaka telah minum dari gendi itu. Air dingin. “Jika kau haus minumlah. Aku tidak terbiasa minum minuman panas dengan gula kelapa seperti seorang kakek-kakek yang kerjanya hanya minum dan makan jenang saja sambil duduk terkantuk-kantuk.” Pawana mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pangeran Nayaka bukan seorang yang manja. Karena itu, maka ia tidak akan telaten menunggu pelayan menghidangkan minuman panas jika ia merasa haus. “Kau dapat beristirahat dengan tenang di sini. Bilik ini adalah bilikku. Tidak ada orang yang berkeliaran di dalam bilik ini, selain seorang yang setiap hari membersihkan bilik ini. Di belakang bilik ini terdapat juga sebuah bilik yang aku pergunakan sebagai sanggar.” “Di belakang bilik ini?” "Iya. Jika kau ingin melihat, lihatlah.” Pawana memang ingin melihat apa yang terdapat di dalam sanggar. Bilik Pangeran Nayaka sudah penuh dengan senjata. Apalagi sanggarnya, tentu penuh dengan bermacam-macam senjata yang lebih baik dari yang terdapat di bilik ini. Namun ketika Pawana memasuki bilik itu ia menjadi heran. Bilik itu bukanlah bilik yang cukup luas dipergunakan untuk berlatih olah kanuragan. Bahkan tidak terdapat sebuah alat-pun yang dapat dipergunakan untuk itu. Yang terdapat di bilik itu justru sebuah pembaringan. Hanya itu. "Bagaimana mungkin bilik ini dapat dipergunakan sebagai sanggar? Apakah Pangeran dapat berlatih di tempat yang sesempit ini?" Pangeran Nayaka menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pawana sejenak, lalu katanya, “Aku tidak mengatakan kepada setiap orang. Tetapi aku akan mengatakan kepadamu. Aku tidak mengalami istilah-istilah sebagaimana sering kita lakukan jika aku berada di tepian sungai bersamamu. Aku tidak berlatih di sanggar sebagaimana kau lakukan.” “Jadi apa yang Pangeran lakukan di dalam sanggar ini?” Pangeran Nayaka tiba-tiba telah terduduk di pembaringan. Wajahnya tiba-tiba menjadi sayu. Pawana yang selalu melihat wajah itu cerah dan penuh kegembiraan, tiba-tiba dihadapkan pada satu kesan yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Kenapa?” bertanya Pawana termangu-mangu. “Duduklah” berkata Pangeran Nayaka. Pawana pun kemudian telah duduk di sebelah Pangeran Nayaka. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Nayaka. "Aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada diriku. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Yang terjadi itu adalah di luar kuasaku. Karena itu, maka aku hanya dapat menerimanya sebagai satu kenyataan. Memang kadang-kadang terbersit di dalam hati untuk melepaskan diri dari ikatan yang tidak dapat aku mengerti, tetapi aku sadari adanya.” Pawana hanya dapat mengangguk-angguk saja. "Tetapi semuanya itu akan segera berlalu." “Apa maksud Pangeran? "Ada rahasia yang menyelubungi diriku. Rahasia yang tidak dapat aku pecahkan sendiri. Tetapi itu terjadi dan mengikat diriku pada satu keadaan yang serba samar. Jika kau lihat sanggar ini, maka kau tentu menjadi heran. Justru itu adalah sangat wajar. Yang tidak wajar adalah yang terjadi di dalam sanggar ini.” “Apa yang telah terjadi?” hampir di luar sadarnya Pawana bertanya. “Nampaknya perjalananku sudah terlalu jauh, sehingga aku harus kembali pulang. Maka mungkin ada baiknya aku mengatakan kepadamu, setidak-tidaknya ada seseorang yang akan mengenangku dengan segala macam rahasianya yang tidak akan pernah dapat aku pecahkan.” Pawana menjadi berdebar-debar. “Di pembaringan inilah aku selalu menempa diri sehingga aku memiliki kelebihan dari kebanyakan orang, apalagi yang seumur dengan aku.” Pawana mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya bibirnya telah bergerak, “Bagaimana mungkin.” “Tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Aku selalu berlatih dalam dunia yang lain dari dunia kita sekarang ini.” “Aku tidak tahu yang Pangeran maksudkan,” desis Pawana. “Aku berlatih di dalam mimpi, dalam tidur aku menempa diri. Rahasia itulah yang tidak aku mengerti. Demikian aku terbangun, maka kemampuan dan ilmuku selalu bertambah-tambah. Waktuku di dalam mimpi rasa-rasanya berlipat dari waktu yang kita jalani bersama. Dalam sekejap aku tertidur disini, maka rasa-rasanya aku sudah berlatih untuk waktu lebih dari setengah hari. Itulah agaknya maka umurku pun merupakan umur ganda. Dalam kehidupan ini, aku memang masih sangat muda. Tetapi waktu-waktu yang terdapat di dalam mimpi menjadi dua kali lipat dari umurku saat ini. Sementara itu, kemampuanku pun menjadi sangat cepat, meningkat dan bertambah-tambah. Tetapi aku tidak akan dapat mengajarkannya kepada siapapun dengan cara sebagaimana aku tempuh. Karena itu, yang dapat aku lakukan, adalah sekedar bermain-main melawanmu dalam latihan-latihan yang tentu kau anggap berat.” Pawana mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya kulitnya telah meremang. Di dunia mimpi Pangeran Ardhakusuma ternyata hadir secara utuh sebagaimana di dalam hidupnya sehari-hari. Unsur wadag di dalam dunia mimpinya bukanlah wadagnya yang terbaring di pembaringan, namun Pangeran Nayaka tetap utuh. Yang berlaku di dalam mimpinya atas wadag semuanya, dapat ditrapkan di dalam kehidupannya yang nyata Sementara itu, ternyata waktu mempunyai kedalaman tersendiri, sehingga terasa waktunya di dalam dunia mimpinya jauh lebih panjang dari waktu di dunia nyata. Tetapi Pangeran Nayaka mampu memanfaatkan waktu itu untuk berlatih dan menguasainya dalam dunia nyatanya. Pawana nampak dicengkam oleh berbagai perasaan yang asing, sementara Pangeran Nayaka berkata dengan nada dalam, “Pawana, sepertinya waktu yang diberikan kepadaku untuk hidup dalam dunia wantah ini tidak akan terlalu lama. Rasa-rasanya di setiap mimpi, aku melihat tangan yang melambai memanggilku untuk kembali. Kadang-kadang aku melihat kereta yang meluncur di atas roda-roda yang besar, ditarik oleh beberapa ekor kuda semberani yang bersayap seperti sayap seekor burung rajawali raksasa melintas di atas gelombang-gelombang raksasa yang menghempas ke pantai. Kadang-kadang aku melihat ibuku duduk di atas kereta yang demikian dalam ujud yang asing dan hampir tidak dapat aku kenali, selain kelembutan wajahnya serta senyumnya yang selalu membelai perasaanku. Pakaiannya yang cemerlang seperti matahari, serta tatapan matanya yang bercahaya bagaikan bulan bulat, selalu membuat hatiku berdebaran. Ibuku adalah seorang yang sangat sederhana, tetapi di dalam mimpi, ibuku nampak seperti seorang puteri keraton.”Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub
“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah
Dalam pada itu, perjalanan Pandu dan bersama kedua prang perwiranya tidak menemui hambatan apapun. Dengan cepat mereka bisa sampai di Saung Galuh.Ketika mereka memasuki Kotarajw, mereka tidak melihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang diatas langit Kotaraja yang selalu ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jalan-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.Tanpa mendapat kesulitan apapun, Pandu dan kedua perwiranyq prajurit dari telah masuk ke Istana. Namun yang diterima oleh Ramapati, hanyalah Pandu saja.Dengan singkat Pandu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Nayaka, ia sama sekali tidak menyebut namanya dalam peristiwa itu.Sebenarnya siapapun yang melakukannya, bagi Prabu Ramapati tidak penting. Tetapi peristiwa itu sendiri yang justru menarik perhatiannya.Namun sang Pra
Pandu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia pun telah mulai mengamati keadaan sekitar.Ternyata, keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Pangeran Nayaka dan Pawana tidak sempat membuat perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawan mereka yang sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri.Orang-orang yang berada di hutan itu menjadi sangat kagum mendengar cerita Pawana tentang kemampuan Pangeran Nayaka yang mampu memadamkan api."Dari kedua tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Pangeran Nayaka sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." ujar Pawana "Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Pandu.Yang lain mengangguk-angguk. Pangeran Nayaka memang anak yang aneh. Tetapi juga satu-satunya putra Prabu Ramapati yang memiliki kelebihan yang sulit di takar. Karena
Pandu terkejut ketika ia melihat Pawana datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia pun bertanya, "Ada apa Pawana. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi?"Pawana menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya pun menjadi agak tenang.Sementara itu Parwati dan Ki Waskita pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Pawana tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan."Membakar hutan?" tanya Pandu dengan nada tinggi.“Ya. Membakar hutan," jawab Pawana yang kemudian menceritakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."Wajah Pandu menjadi tegang. Sementara itu Ki Waskita berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?""Di hutan tidak jauh dari lereng Gunung Indrayana. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng gunung itu dijamah api, maka ak
Dalam pada itu, Pawana pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Pangeran Nayaka. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng gunung, sehingga pegunungan itu pun akan menyala dan api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan untuk waktu yang lama.Sejenak kemudian Pawana telah berlari-lari pula mendekati Pangeran Nayaka yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Pawana pun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Pangeran, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menjalar lebih luas.""Terlambat. Betapapun cepat
Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Rupanya kalian memang sudah bosan hidup."Tetapi Pangeran Nayaka malah tertawa. "Justru kalianlah yang harus berdiri membelakangi kami mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Dan kami akan mengikat kalian satu persatu.""Setan!!" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam diantara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu.""Kalau begitu jangan hanya berbicara. Lakukanlah. Kalian atau kami berdua yang akan terbunuh disini."Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan. Karena itu, iapun langsung berteriak, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian diantara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung.""Tidak ada yang mengepung tempat ini." sahut Pangeran Nayaka”, sahut Pangeran Nayaka. "Yang mendapat tugas dari Senapati Pandu hanya kami berdua, sekaligus untuk menda
Sesaat Pawana pun kemudian berdiri termangu-mangu. Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Pangeran Nayaka, “Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu.”Pawana itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya, “Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan dan bagi Saung Galuh?.”Hampir diluar sadarnya Pawana menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser agak jauh ke Barat. Ternyata Pawana telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Pawana juga berbincang dengan Pangeran Nayaka sehingga agak melupakan waktu.Sejenak Pawana berbenah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Pawana pun kemudian meloncat ke tebing, dan naik keatas tanggul.Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan
Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang