Share

Bab 4. Sebuah Isyarat

Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan.

“Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka.

“Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?"

“Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan."

“Dan Pangeran menyadarinya?”

“Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.”

Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka.

“Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.”

Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak menyapa ketika Pangeran Nayaka lewat di hadapan mereka. Mereka hanya mengangguk hormat sementara Pangeran Nayaka hanya tersenyum saja kepada mereka.

Ketika kedua orang itu memasuki bilik Pangeran Nayaka. Pawana terkejut. Ia melihat pada dinding bilik itu tergantung segala jenis senjata. Senjata pendek, senjata bertangkai pendek dan panjang, senjata lontar dan senjata-senjata kecil yang dilemparkan dengan tulup. Di dalam bilik itu terdapat juga berbagai macam senjata bertangkai. Tombak, canggah, trisula, tombak berujung rangkap dan bermacam-macam jenis yang di antaranya berasal dari seberang. Sejenis kapak dan kapak yang bermata ganda. Perisai berbagai macam bentuk dan macamnya.

“Aku memang mempunyai kegemaran mengumpulkan segala jenis senjata. Tetapi aku sendiri jarang sekali membawa senjata.” ujar Pangeran Nayaka.

"Darimana saja Pangeran mendapatkan berjenis-jenis senjata ini?”

“Dari mana-mana. Sebagian besar aku sudah lupa.”

Pawana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Nayaka berkata, “Duduklah. Bilik ini kotor. Tetapi Eyang Pramanegara tidak berkeberatan melihat senjata-senjata ini aku tempel di dinding. Semula senjata ini aku tempel di dinding bilikku di kasatrian di dalam istana Ayahanda. Tetapi setelah aku berada di sini, maka semuanya telah aku pindahkan kemari.”

Pawana mengangguk-angguk. Iapun kemudian duduk di sebuah amben di sudut bilik yang agak luas itu. Sementara Pangeran Nayakapun telah pergi ke sebuah gledeg di sudut yang lain.

“Aku haus” katanya sambil mengangkat sebuah gendi. Ternyata Pangeran Nayaka telah minum dari gendi itu. Air dingin.

“Jika kau haus minumlah. Aku tidak terbiasa minum minuman panas dengan gula kelapa seperti seorang kakek-kakek yang kerjanya hanya minum dan makan jenang saja sambil duduk terkantuk-kantuk.”

Pawana mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pangeran Nayaka bukan seorang yang manja. Karena itu, maka ia tidak akan telaten menunggu pelayan menghidangkan minuman panas jika ia merasa haus.

“Kau dapat beristirahat dengan tenang di sini. Bilik ini adalah bilikku. Tidak ada orang yang berkeliaran di dalam bilik ini, selain seorang yang setiap hari membersihkan bilik ini. Di belakang bilik ini terdapat juga sebuah bilik yang aku pergunakan sebagai sanggar.”

“Di belakang bilik ini?”

"Iya. Jika kau ingin melihat, lihatlah.”

Pawana memang ingin melihat apa yang terdapat di dalam sanggar. Bilik Pangeran Nayaka sudah penuh dengan senjata. Apalagi sanggarnya, tentu penuh dengan bermacam-macam senjata yang lebih baik dari yang terdapat di bilik ini.

Namun ketika Pawana memasuki bilik itu ia menjadi heran. Bilik itu bukanlah bilik yang cukup luas dipergunakan untuk berlatih olah kanuragan. Bahkan tidak terdapat sebuah alat-pun yang dapat dipergunakan untuk itu. Yang terdapat di bilik itu justru sebuah pembaringan. Hanya itu.

"Bagaimana mungkin bilik ini dapat dipergunakan sebagai sanggar? Apakah Pangeran dapat berlatih di tempat yang sesempit ini?"

Pangeran Nayaka menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pawana sejenak, lalu katanya, “Aku tidak mengatakan kepada setiap orang. Tetapi aku akan mengatakan kepadamu. Aku tidak mengalami istilah-istilah sebagaimana sering kita lakukan jika aku berada di tepian sungai bersamamu. Aku tidak berlatih di sanggar sebagaimana kau lakukan.”

“Jadi apa yang Pangeran lakukan di dalam sanggar ini?”

Pangeran Nayaka tiba-tiba telah terduduk di pembaringan. Wajahnya tiba-tiba menjadi sayu. Pawana yang selalu melihat wajah itu cerah dan penuh kegembiraan, tiba-tiba dihadapkan pada satu kesan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Kenapa?” bertanya Pawana termangu-mangu.

“Duduklah” berkata Pangeran Nayaka.

Pawana pun kemudian telah duduk di sebelah Pangeran Nayaka. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Nayaka.

"Aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada diriku. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Yang terjadi itu adalah di luar kuasaku. Karena itu, maka aku hanya dapat menerimanya sebagai satu kenyataan. Memang kadang-kadang terbersit di dalam hati untuk melepaskan diri dari ikatan yang tidak dapat aku mengerti, tetapi aku sadari adanya.”

Pawana hanya dapat mengangguk-angguk saja.

"Tetapi semuanya itu akan segera berlalu."

“Apa maksud Pangeran?

"Ada rahasia yang menyelubungi diriku. Rahasia yang tidak dapat aku pecahkan sendiri. Tetapi itu terjadi dan mengikat diriku pada satu keadaan yang serba samar. Jika kau lihat sanggar ini, maka kau tentu menjadi heran. Justru itu adalah sangat wajar. Yang tidak wajar adalah yang terjadi di dalam sanggar ini.”

“Apa yang telah terjadi?” hampir di luar sadarnya Pawana bertanya.

“Nampaknya perjalananku sudah terlalu jauh, sehingga aku harus kembali pulang. Maka mungkin ada baiknya aku mengatakan kepadamu, setidak-tidaknya ada seseorang yang akan mengenangku dengan segala macam rahasianya yang tidak akan pernah dapat aku pecahkan.”

Pawana menjadi berdebar-debar.

“Di pembaringan inilah aku selalu menempa diri sehingga aku memiliki kelebihan dari kebanyakan orang, apalagi yang seumur dengan aku.”

Pawana mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya bibirnya telah bergerak, “Bagaimana mungkin.”

“Tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Aku selalu berlatih dalam dunia yang lain dari dunia kita sekarang ini.”

“Aku tidak tahu yang Pangeran maksudkan,” desis Pawana.

“Aku berlatih di dalam mimpi, dalam tidur aku menempa diri. Rahasia itulah yang tidak aku mengerti. Demikian aku terbangun, maka kemampuan dan ilmuku selalu bertambah-tambah. Waktuku di dalam mimpi rasa-rasanya berlipat dari waktu yang kita jalani bersama. Dalam sekejap aku tertidur disini, maka rasa-rasanya aku sudah berlatih untuk waktu lebih dari setengah hari. Itulah agaknya maka umurku pun merupakan umur ganda. Dalam kehidupan ini, aku memang masih sangat muda. Tetapi waktu-waktu yang terdapat di dalam mimpi menjadi dua kali lipat dari umurku saat ini. Sementara itu, kemampuanku pun menjadi sangat cepat, meningkat dan bertambah-tambah. Tetapi aku tidak akan dapat mengajarkannya kepada siapapun dengan cara sebagaimana aku tempuh. Karena itu, yang dapat aku lakukan, adalah sekedar bermain-main melawanmu dalam latihan-latihan yang tentu kau anggap berat.”

Pawana mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya kulitnya telah meremang.

Di dunia mimpi Pangeran Ardhakusuma ternyata hadir secara utuh sebagaimana di dalam hidupnya sehari-hari. Unsur wadag di dalam dunia mimpinya bukanlah wadagnya yang terbaring di pembaringan, namun Pangeran Nayaka tetap utuh. Yang berlaku di dalam mimpinya atas wadag semuanya, dapat ditrapkan di dalam kehidupannya yang nyata

Sementara itu, ternyata waktu mempunyai kedalaman tersendiri, sehingga terasa waktunya di dalam dunia mimpinya jauh lebih panjang dari waktu di dunia nyata.

Tetapi Pangeran Nayaka mampu memanfaatkan waktu itu untuk berlatih dan menguasainya dalam dunia nyatanya.

Pawana nampak dicengkam oleh berbagai perasaan yang asing, sementara Pangeran Nayaka berkata dengan nada dalam, “Pawana, sepertinya waktu yang diberikan kepadaku untuk hidup dalam dunia wantah ini tidak akan terlalu lama. Rasa-rasanya di setiap mimpi, aku melihat tangan yang melambai memanggilku untuk kembali. Kadang-kadang aku melihat kereta yang meluncur di atas roda-roda yang besar, ditarik oleh beberapa ekor kuda semberani yang bersayap seperti sayap seekor burung rajawali raksasa melintas di atas gelombang-gelombang raksasa yang menghempas ke pantai. Kadang-kadang aku melihat ibuku duduk di atas kereta yang demikian dalam ujud yang asing dan hampir tidak dapat aku kenali, selain kelembutan wajahnya serta senyumnya yang selalu membelai perasaanku. Pakaiannya yang cemerlang seperti matahari, serta tatapan matanya yang bercahaya bagaikan bulan bulat, selalu membuat hatiku berdebaran. Ibuku adalah seorang yang sangat sederhana, tetapi di dalam mimpi, ibuku nampak seperti seorang puteri keraton.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status