Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana.
Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?" “Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit. “Kenapa?” “Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya." "Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?" “Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya." Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan kalau banyak ternaknya yang dimangsa Harimau. Nah, sepertinya Pangeran Nayaka yang juga merasa geram itu, akhirnya menegur Tumenggung Jalatunda dengan caranya sendiri.” "Aku baru mendengar hal itu." "Sebetulnya Pangeran Nayaka itu, anak yang baik." Sementara itu di ruangan dalam, Tumenggung Jalatunda tampak menunggu kehadiran Prabu Ramapati. Dengan dada tengadah sekali-sekali ia memandangi Pangeran Nayaka yang duduk dengan kepala tunduk. Dilehernya masih tersangkut kain cinde, pertanda bahwa ia adalah seorang tahanan yang menunggu keputusan namun yang berasal dari keluarga terdekat raja. Dibelakangnya, dua orang prajurit mengawalnya dengan kebanggaan sebagaimana Tumenggung Jalatunda, bahwa mereka telah berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik. Mereka menjadi berdebar debar ketika seorang pelayan dalam memberitahukan bahwa Prabu Ramapati akan memasuki ruang dalam. Sejenak kemudian setelah suasana hening, terdengar Prabu Ramapati bertanya kepada Tumenggung Jalatunda “Sepertinya kau berhasil menangkap Nayaka, Tumenggung?,” “Hamba Sri Baginda,” jawab Tumenggung Jalatunda, “sebagaimana Sri Baginda ketahui, hamba telah menghadapkan Pangeran Nayaka yang sebagaimana Sri Baginda perintahkan.” Prabu Ramapati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpaling ke arah putranya dan kemudian berkata kepada Tumenggung Jalatunda “Ki Tumenggung. Tugasmu sudah kau jalankan dengan baik. Sekarang kau boleh meninggalkan Istana." Tumenggung Jalatunda mengerutkan keningnya, tetapi kemudian menunduk hormat sambil menyahut, “Hamba akan melakukan segala titah Sri Baginda.” Dengan nada datar Prabu Ramapati berkata, “Aku ambil kembali pertanda kuasaku.” Tumenggung Jalatunda kemudian menyerahkan tunggul kerajaan. Selanjutnya ia bergeser ke luar dari ruang dalam, diikuti oleh prajurit yang semula mengawal Pangeran Nayaka menghadap. Sementara di ruang dalam, Pangeran Nayaka masih duduk dengan kepala tunduk, dihadapan ayahandanya yang belum juga berbicara. "Kemarilah." Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya mendengar perintah yang sangat singkat itu. Hal apalagi kali ini yang akan dilakukan ayahandanya terhadap dirinya. Apakah hukuman yang lebih berat? Atau akan mengajaknya adu tanding hingga ia dikalahkan dengan cara yang lebih memalukan dari sekedar menarik ujung jari ayahandanya beberapa waktu yang lalu? Tetapi, Pangeran Nayaka tidak menunggu perintah itu untuk kedua kalinya. Ia segera bergerak maju mendekati ayahandanya dengan beringsut sambil berjongkok. "Perlihatkan kedua tanganmu." perintah Prabu Ramapati yang membuat Pangeran Nayaka bertambah bingung. Iapun memperlihatkan kedua tangannya dengan agak gemetaran. Prabu Ramapati tanpa berbicara sepatah katapun memperhatikan kedua tangan putranya yang nampak ada bekas-bekas luka cakaran dan luka lebam. Ternyata putranya memang benar telah menangkap seeokor harimau dalam keadaan hidup dan kemudian melepaskannya di halaman Tumenggung Jalatunda. Sang Prabu tahu alasan dibalik putranya melakukan hal itu, tetapi ia tidak mempertanyakannya. Ia memanggil salah seorang prajurit dan memerintahkan putranya di kawal kembali ke kediamannya. "Hukumanmu kalai ini. Kau harus diam selama satu pekan di bilikmu dan jangan berani-beraninya kau keluar tanpa seijinku. Pergilah." Pangeran Nayaka hanya mengangguk patuh, iapun dikawal menuju ke kediamannya. Sedangkan Prabu Ramapati telah memerintahkan prajurit lain untuk memanggil tabib Istana. "Pastikan, luka-luka Nayaka mendapatkan perawatan yang baik." Satu pekanpun berlalu. Seorang remaja tampak berjalan agak terburu-buru menyusuri sebuah jalan di tengah rimba. Namun, ia langsung menghela napas dalam-dalam ketika seorang remaja tanggung mencegat perjalanannya."Pangeran," desisnya "Kau ini lambat sekali, Pawana. Sampai-sampai aku harus menyusulmu hingga keluar gerbang Kota Raja," sahut Pangeran Nayaka. "Maaf, Pangeran. Sebelum berangkat, saya membantu Mbak Ayu Parwati terlebih dahulu." “Sudahlah. Kita akan kembali ke Kota Raja. Tetapi Kita tidak akan memasuki kota lewat gerbang utama. Kita akan memasuki kota lewat gerbang samping.” “Kenapa? Apakah karena Pangeran berjalan bersama aku?” “Tidak. Aku tadi keluar lewat gerbang samping. Biarlah para penjaga melihat bahwa aku sudah kembali bahkan bersama seseorang, sehingga para prajurit tidak mempunyai prasangka yang bukan-bukan terhadapku dan melaporkannya kepada Eyang Pramanegara.” Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya baginya tidak ada bedanya, apakah mereka akan memasuki kota lewat gerbang utama atau bukan. Namu ketika mereka sampai di pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas justru nampak terkejut ketika mereka melihat Pangeran Nayaka lewat di hadapan mereka. “Pangeran” bertanya perwira yang bertugas, “Pangeran pergi dari mana?” Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Sekedar melihat-lihat. Sudah lama aku tidak menyusuri pematang di antara tanaman-tanaman padi.” “Tetapi kami tidak melihat Pangeran ke luar? Apakah Pangeran ke luar dari gerbang yang lain?” bertanya perwira itu pula. “Sejak kapan kau bertugas disini?” Pangeran Nayaka balik bertanya. “Lewat fajar, kami sekelompok mendapat giliran bertugas di sini” “Dan kawan-kawanmu yang kau gantikan tidak mengatakan bahwa aku ke luar menjelang dini hari?” “Tidak Pangeran” jawab perwira itu. “Kalau begitu, biarlah aku yang memberitahukan kepadamu. Aku ke luar menjelang dini hari lewat pintu gerbang ini pula. Dan sekarang aku telah memasuki Kota Raja kembali." Perwira itu mengangguk-angguk. “Baik Pangeran. Silahkan.” Pangeran Nayaka tidak menjawab lagi. Tetapi beberapa langkah kemudian ia bergumam, “Ternyata para petugas di gerbang itu sudah berganti orang.” Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara kaki mereka berdua sudah mulai menyelusuri jalan-jalan kota. Ternyata Pangeran Nayaka memang seorang yang sudah terlalu dikenal oleh orang-orang di Kota Raja. Di sepanjang jalan banyak orang yang menyapanya, mengangguk hormat dan bahkan berbicara sepatah dua patah kata. Anak-anak muda nampaknya menyukainya dan mengaguminya. Namun nampaknya orang-orang Saung Galuh juga sudah terbiasa melihat Pangeran Nayaka berjalan sendiri atau bersama satu dua orang seperti yang mereka lihat saat itu. Tanpa pengawalan dan tanpa pertanda-pertanda apapun. Bahkan orang-orang Kota Raja sudah terbiasa melihat Pangeran Nayaka masuk ke dalam pasar dan duduk di dekat pandai besi yang sedang sibuk bekerja. Bahkan agaknya menjadi kesenangan Pangeran Nayaka menunggui pandai besi yang sedang menempa bermacam-macam alat, terutama alat pertanian. Tetapi, sekali Pangeran Nayaka membuat seorang pandai besi kehilangan akal ketika pandai besi itu mencari alat untuk mengambil besinya yang sudah membara untuk ditempa. “He, dimana tanggemku?” ia bertanya kepada pembantunya. Pembantunya menjadi sibuk. Namun tiba-tiba saja sambil tersenyum Pangeran Nayaka mengambil besi yang membara itu dengan tangannya. “Tempalah.” berkata Pangeran Nayaka. Orang itu menjadi bingung. Tetapi Pangeran Nayaka berkata, “Jangan takut memukul. Biar saja jika tanganku terkena.” Tetapi pandai besi itu tidak berani mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa besi yang telah membara yang dipegangi oleh Pangeran Nayaka meskipun terletak di atas paron. Pangeran Nayaka tersenyum. Sekali lagi berkata, “Tempalah.” Tetapi pandai besi itu menggeleng sambil berdesis, "Tidak Pangeran." Pangeran Nayaka tertawa. Dilepaskannya besi yang telah membara itu sambil berkata, “Itu tanggemmu berada dibawah tempat dudukmu.” “O” pandai besi itu bangkit. Tanggem yang dicarinya memang berada di bawah tempat duduknya, dan di belakang. “Bagaimana tanggem ini dapat sampai di sini.” geram pandai besi itu, “aku tidak bangkit sejak tadi pagi.” “Tanggemmu memang dapat merayap sendiri” jawab Pangeran Nayaka. Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat mengerti bagaimana tanggemnya dapat berada di bawah tempat duduknya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, ia telah meninggalkan tempat duduknya untuk minum beberapa teguk. Mungkin pembantunya telah berbuat sesuatu dan tanpa sengaja kakinya telah menggeser tanggem itu. Namun dengan demikian, pandai besi itu menjadi semakin kagum terhadap Pangeran Nayaka. Jika Pangeran Nayaka datang menungguinya bekerja, rasa-rasanya pekerjaannya menjadi lebih cepat selesai. Apalagi jika sekali-kali Pangeran Nayaka itu telah menggerakkan tangkai ububan. Rasa-rasanya apinya panasnya menjadi berlipat. Demikianlah Pangeran Nayaka ternyata sering berada diantara orang-orang kebanyakan, sehingga orang-orang itupun menjadi akrab dengannya. Namun orang-orang itu-pun menyadari, bahwa kadang-kadang Pangeran Nayaka telah melakukan permainan yang juga sering memusingkan kepala banyak orang.Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan. “Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak meny
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub
Dalam pada itu, perjalanan Pandu dan bersama kedua prang perwiranya tidak menemui hambatan apapun. Dengan cepat mereka bisa sampai di Saung Galuh.Ketika mereka memasuki Kotarajw, mereka tidak melihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang diatas langit Kotaraja yang selalu ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jalan-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.Tanpa mendapat kesulitan apapun, Pandu dan kedua perwiranyq prajurit dari telah masuk ke Istana. Namun yang diterima oleh Ramapati, hanyalah Pandu saja.Dengan singkat Pandu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Nayaka, ia sama sekali tidak menyebut namanya dalam peristiwa itu.Sebenarnya siapapun yang melakukannya, bagi Prabu Ramapati tidak penting. Tetapi peristiwa itu sendiri yang justru menarik perhatiannya.Namun sang Pra
Pandu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia pun telah mulai mengamati keadaan sekitar.Ternyata, keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Pangeran Nayaka dan Pawana tidak sempat membuat perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawan mereka yang sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri.Orang-orang yang berada di hutan itu menjadi sangat kagum mendengar cerita Pawana tentang kemampuan Pangeran Nayaka yang mampu memadamkan api."Dari kedua tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Pangeran Nayaka sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." ujar Pawana "Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Pandu.Yang lain mengangguk-angguk. Pangeran Nayaka memang anak yang aneh. Tetapi juga satu-satunya putra Prabu Ramapati yang memiliki kelebihan yang sulit di takar. Karena
Pandu terkejut ketika ia melihat Pawana datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia pun bertanya, "Ada apa Pawana. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi?"Pawana menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya pun menjadi agak tenang.Sementara itu Parwati dan Ki Waskita pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Pawana tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan."Membakar hutan?" tanya Pandu dengan nada tinggi.“Ya. Membakar hutan," jawab Pawana yang kemudian menceritakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."Wajah Pandu menjadi tegang. Sementara itu Ki Waskita berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?""Di hutan tidak jauh dari lereng Gunung Indrayana. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng gunung itu dijamah api, maka ak
Dalam pada itu, Pawana pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Pangeran Nayaka. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng gunung, sehingga pegunungan itu pun akan menyala dan api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan untuk waktu yang lama.Sejenak kemudian Pawana telah berlari-lari pula mendekati Pangeran Nayaka yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Pawana pun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Pangeran, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menjalar lebih luas.""Terlambat. Betapapun cepat
Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Rupanya kalian memang sudah bosan hidup."Tetapi Pangeran Nayaka malah tertawa. "Justru kalianlah yang harus berdiri membelakangi kami mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Dan kami akan mengikat kalian satu persatu.""Setan!!" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam diantara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu.""Kalau begitu jangan hanya berbicara. Lakukanlah. Kalian atau kami berdua yang akan terbunuh disini."Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan. Karena itu, iapun langsung berteriak, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian diantara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung.""Tidak ada yang mengepung tempat ini." sahut Pangeran Nayaka”, sahut Pangeran Nayaka. "Yang mendapat tugas dari Senapati Pandu hanya kami berdua, sekaligus untuk menda
Sesaat Pawana pun kemudian berdiri termangu-mangu. Diamatinya batu padas yang telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Pangeran Nayaka, “Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu.”Pawana itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah pertanyaan telah menggelitiknya, “Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan dan bagi Saung Galuh?.”Hampir diluar sadarnya Pawana menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang yang sudah bergeser agak jauh ke Barat. Ternyata Pawana telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Pawana juga berbincang dengan Pangeran Nayaka sehingga agak melupakan waktu.Sejenak Pawana berbenah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Pawana pun kemudian meloncat ke tebing, dan naik keatas tanggul.Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan
Ketika Pawana sudah siap untuk berlatih di tepian sungai sebagaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, "Kau terlalu rajin Pawana. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak menjadi terlalu cepat tua." Pawana mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera menyadari bahwa Pangeran Nayaka telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka ia pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah Pangeran. Mungkin sudah agak lama kita tidak berlatih bersama." Tetapi Pangeran Nayaka tertawa. Katanya, “Aku tidak ingin berlatih malam ini." "Jika demikian, marilah. Mungkin Pangeran ingin bercerita tentang kuda-kuda Pangeran?" "Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau yang bercerita" jawab Pangeran Nayaka. "beberapa malam, aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceritamu." Pawana mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Pangeran Nayaka. Namun mereka berdua pun kemudian telah duduk diatas batu di tepian. "Cer
Jawaban Pawana memang agak mengejutkan. Katanya, “Aku menerimanya dari Ki Patih Pramanegara. Tidak ada yang mengajari aku mempergunakan ikat pinggang itu. Tetapi ketika Pangeran Nayaka melihatnya, maka ia-pun telah memutar-mutar ikat pinggang itu beberapa saat dan memberikan sedikit petunjuk cara mempergunakannya. Selebihnya aku harus mengembangkan sendiri.” “Kami melihatnya” jawab Pandu, “namun di samping itu kami melihat sesuatu yang bergerak di dalam dadamu.” Pawana menunduk. Dengan nada datar ia mengatakan gejolak jiwanya ketika ia melihat langit yang luas tanpa tepi, bintang yang terhambur di langit dan dengan demikian ia menyadari tentang dirinya dihadapan Maha Penciptanya. Pandu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Satu segi telah dilihatnya. Pawana masih tetap merasa dirinya makhluk kecil bagi Penciptanya. Tidak lebih dari debu betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya. “Bagus Pawana” berkata Ki Waskita, “karena itu kau-pun harus tetap menyadari, buat apa ilmu itu bagi dirimu.”
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang meneguk segarnya air kelapa muda, angan-angan Pawana telah menyusuri kembali sungai kecil yang baru saja ditempuhnya. Di beberapa tempat terdapat arena yang sangat baik untuk melakukan latihan-latihan sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang agak lain pada perasaannya. Batu-batu yang besar dan berserakan itu akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi latihan-latihan yang akan dilakukan. Laku yang telah dijalaninya, memang terasa meningkatkan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Kekuatan, kemampuan, kecepatan bergerak, tenaga cadangan dan bahkan kekuatan ilmu yang ada di dalam dirinya, baik yang diterimanya dari Pandu mau-pun yang diterimanya dari Ki Waskita. Hubungan antara kehendak dan bangkitnya kekuatan ilmunya serasa menjadi jauh lebih cepat, sehingga dirasanya hampir tidak ada jarak waktu lagi yang diperlukan. Tanpa laku yang khusus, maka untuk mencapai tingkatan itu diperlukan waktu yang