Home / Pendekar / BHARATA (Pendekar Naga Bumi) / Bab 3. Kasih Yang Tersirat

Share

Bab 3. Kasih Yang Tersirat

Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana.

Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?"

“Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit.

“Kenapa?”

“Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya."

"Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?"

“Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya."

Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan kalau banyak ternaknya yang dimangsa Harimau. Nah, sepertinya Pangeran Nayaka yang juga merasa geram itu, akhirnya menegur Tumenggung Jalatunda dengan caranya sendiri.”

"Aku baru mendengar hal itu."

"Sebetulnya Pangeran Nayaka itu, anak yang baik."

Sementara itu di ruangan dalam, Tumenggung Jalatunda tampak menunggu kehadiran Prabu Ramapati. Dengan dada tengadah sekali-sekali ia memandangi Pangeran Nayaka yang duduk dengan kepala tunduk. Dilehernya masih tersangkut kain cinde, pertanda bahwa ia adalah seorang tahanan yang menunggu keputusan namun yang berasal dari keluarga terdekat raja. Dibelakangnya, dua orang prajurit mengawalnya dengan kebanggaan sebagaimana Tumenggung Jalatunda, bahwa mereka telah berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik.

Mereka menjadi berdebar debar ketika seorang pelayan dalam memberitahukan bahwa Prabu Ramapati akan memasuki ruang dalam.

Sejenak kemudian setelah suasana hening, terdengar Prabu Ramapati bertanya kepada Tumenggung Jalatunda “Sepertinya kau berhasil menangkap Nayaka, Tumenggung?,”

“Hamba Sri Baginda,” jawab Tumenggung Jalatunda, “sebagaimana Sri Baginda ketahui, hamba telah menghadapkan Pangeran Nayaka yang sebagaimana Sri Baginda perintahkan.”

Prabu Ramapati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpaling ke arah putranya dan kemudian berkata kepada Tumenggung Jalatunda “Ki Tumenggung. Tugasmu sudah kau jalankan dengan baik. Sekarang kau boleh meninggalkan Istana."

Tumenggung Jalatunda mengerutkan keningnya, tetapi kemudian menunduk hormat sambil menyahut, “Hamba akan melakukan segala titah Sri Baginda.”

Dengan nada datar Prabu Ramapati berkata, “Aku ambil kembali pertanda kuasaku.”

Tumenggung Jalatunda kemudian menyerahkan tunggul kerajaan. Selanjutnya ia bergeser ke luar dari ruang dalam, diikuti oleh prajurit yang semula mengawal Pangeran Nayaka menghadap.

Sementara di ruang dalam, Pangeran Nayaka masih duduk dengan kepala tunduk, dihadapan ayahandanya yang belum juga berbicara.

"Kemarilah."

Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya mendengar perintah yang sangat singkat itu. Hal apalagi kali ini yang akan dilakukan ayahandanya terhadap dirinya. Apakah hukuman yang lebih berat? Atau akan mengajaknya adu tanding hingga ia dikalahkan dengan cara yang lebih memalukan dari sekedar menarik ujung jari ayahandanya beberapa waktu yang lalu?

Tetapi, Pangeran Nayaka tidak menunggu perintah itu untuk kedua kalinya. Ia segera bergerak maju mendekati ayahandanya dengan beringsut sambil berjongkok.

"Perlihatkan kedua tanganmu." perintah Prabu Ramapati yang membuat Pangeran Nayaka bertambah bingung. Iapun memperlihatkan kedua tangannya dengan agak gemetaran.

Prabu Ramapati tanpa berbicara sepatah katapun memperhatikan kedua tangan putranya yang nampak ada bekas-bekas luka cakaran dan luka lebam. Ternyata putranya memang benar telah menangkap seeokor harimau dalam keadaan hidup dan kemudian melepaskannya di halaman Tumenggung Jalatunda.

Sang Prabu tahu alasan dibalik putranya melakukan hal itu, tetapi ia tidak mempertanyakannya. Ia memanggil salah seorang prajurit dan memerintahkan putranya di kawal kembali ke kediamannya.

"Hukumanmu kalai ini. Kau harus diam selama satu pekan di bilikmu dan jangan berani-beraninya kau keluar tanpa seijinku. Pergilah."

Pangeran Nayaka hanya mengangguk patuh, iapun dikawal menuju ke kediamannya. Sedangkan Prabu Ramapati telah memerintahkan prajurit lain untuk memanggil tabib Istana. "Pastikan, luka-luka Nayaka mendapatkan perawatan yang baik."

Satu pekanpun berlalu. Seorang remaja tampak berjalan agak terburu-buru menyusuri sebuah jalan di tengah rimba. Namun, ia langsung menghela napas dalam-dalam ketika seorang remaja tanggung mencegat perjalanannya."Pangeran," desisnya

"Kau ini lambat sekali, Pawana. Sampai-sampai aku harus menyusulmu hingga keluar gerbang Kota Raja," sahut Pangeran Nayaka.

"Maaf, Pangeran. Sebelum berangkat, saya membantu Mbak Ayu Parwati terlebih dahulu."

“Sudahlah. Kita akan kembali ke Kota Raja. Tetapi Kita tidak akan memasuki kota lewat gerbang utama. Kita akan memasuki kota lewat gerbang samping.”

“Kenapa? Apakah karena Pangeran berjalan bersama aku?”

“Tidak. Aku tadi keluar lewat gerbang samping. Biarlah para penjaga melihat bahwa aku sudah kembali bahkan bersama seseorang, sehingga para prajurit tidak mempunyai prasangka yang bukan-bukan terhadapku dan melaporkannya kepada Eyang Pramanegara.”

Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya baginya tidak ada bedanya, apakah mereka akan memasuki kota lewat gerbang utama atau bukan.

Namu ketika mereka sampai di pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas justru nampak terkejut ketika mereka melihat Pangeran Nayaka lewat di hadapan mereka.

“Pangeran” bertanya perwira yang bertugas, “Pangeran pergi dari mana?”

Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Sekedar melihat-lihat. Sudah lama aku tidak menyusuri pematang di antara tanaman-tanaman padi.”

“Tetapi kami tidak melihat Pangeran ke luar? Apakah Pangeran ke luar dari gerbang yang lain?” bertanya perwira itu pula.

“Sejak kapan kau bertugas disini?” Pangeran Nayaka balik bertanya.

“Lewat fajar, kami sekelompok mendapat giliran bertugas di sini”

“Dan kawan-kawanmu yang kau gantikan tidak mengatakan bahwa aku ke luar menjelang dini hari?”

“Tidak Pangeran” jawab perwira itu.

“Kalau begitu, biarlah aku yang memberitahukan kepadamu. Aku ke luar menjelang dini hari lewat pintu gerbang ini pula. Dan sekarang aku telah memasuki Kota Raja kembali."

Perwira itu mengangguk-angguk. “Baik Pangeran. Silahkan.”

Pangeran Nayaka tidak menjawab lagi. Tetapi beberapa langkah kemudian ia bergumam, “Ternyata para petugas di gerbang itu sudah berganti orang.”

Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara kaki mereka berdua sudah mulai menyelusuri jalan-jalan kota.

Ternyata Pangeran Nayaka memang seorang yang sudah terlalu dikenal oleh orang-orang di Kota Raja. Di sepanjang jalan banyak orang yang menyapanya, mengangguk hormat dan bahkan berbicara sepatah dua patah kata. Anak-anak muda nampaknya menyukainya dan mengaguminya.

Namun nampaknya orang-orang Saung Galuh juga sudah terbiasa melihat Pangeran Nayaka berjalan sendiri atau bersama satu dua orang seperti yang mereka lihat saat itu. Tanpa pengawalan dan tanpa pertanda-pertanda apapun. Bahkan orang-orang Kota Raja sudah terbiasa melihat Pangeran Nayaka masuk ke dalam pasar dan duduk di dekat pandai besi yang sedang sibuk bekerja. Bahkan agaknya menjadi kesenangan Pangeran Nayaka menunggui pandai besi yang sedang menempa bermacam-macam alat, terutama alat pertanian.

Tetapi, sekali Pangeran Nayaka membuat seorang pandai besi kehilangan akal ketika pandai besi itu mencari alat untuk mengambil besinya yang sudah membara untuk ditempa.

“He, dimana tanggemku?” ia bertanya kepada pembantunya.

Pembantunya menjadi sibuk. Namun tiba-tiba saja sambil tersenyum Pangeran Nayaka mengambil besi yang membara itu dengan tangannya.

“Tempalah.” berkata Pangeran Nayaka.

Orang itu menjadi bingung. Tetapi Pangeran Nayaka berkata, “Jangan takut memukul. Biar saja jika tanganku terkena.”

Tetapi pandai besi itu tidak berani mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa besi yang telah membara yang dipegangi oleh Pangeran Nayaka meskipun terletak di atas paron.

Pangeran Nayaka tersenyum. Sekali lagi berkata, “Tempalah.”

Tetapi pandai besi itu menggeleng sambil berdesis, "Tidak Pangeran."

Pangeran Nayaka tertawa. Dilepaskannya besi yang telah membara itu sambil berkata, “Itu tanggemmu berada dibawah tempat dudukmu.”

“O” pandai besi itu bangkit. Tanggem yang dicarinya memang berada di bawah tempat duduknya, dan di belakang.

“Bagaimana tanggem ini dapat sampai di sini.” geram pandai besi itu, “aku tidak bangkit sejak tadi pagi.”

“Tanggemmu memang dapat merayap sendiri” jawab Pangeran Nayaka.

Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat mengerti bagaimana tanggemnya dapat berada di bawah tempat duduknya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, ia telah meninggalkan tempat duduknya untuk minum beberapa teguk. Mungkin pembantunya telah berbuat sesuatu dan tanpa sengaja kakinya telah menggeser tanggem itu.

Namun dengan demikian, pandai besi itu menjadi semakin kagum terhadap Pangeran Nayaka. Jika Pangeran Nayaka datang menungguinya bekerja, rasa-rasanya pekerjaannya menjadi lebih cepat selesai.

Apalagi jika sekali-kali Pangeran Nayaka itu telah menggerakkan tangkai ububan. Rasa-rasanya apinya panasnya menjadi berlipat.

Demikianlah Pangeran Nayaka ternyata sering berada diantara orang-orang kebanyakan, sehingga orang-orang itupun menjadi akrab dengannya. Namun orang-orang itu-pun menyadari, bahwa kadang-kadang Pangeran Nayaka telah melakukan permainan yang juga sering memusingkan kepala banyak orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status