Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana.
Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?" “Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit. “Kenapa?” “Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya." "Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?" “Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya." Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan kalau banyak ternaknya yang dimangsa Harimau. Nah, sepertinya Pangeran Nayaka yang juga merasa geram itu, akhirnya menegur Tumenggung Jalatunda dengan caranya sendiri.” "Aku baru mendengar hal itu." "Sebetulnya Pangeran Nayaka itu, anak yang baik." Sementara itu di ruangan dalam, Tumenggung Jalatunda tampak menunggu kehadiran Prabu Ramapati. Dengan dada tengadah sekali-sekali ia memandangi Pangeran Nayaka yang duduk dengan kepala tunduk. Dilehernya masih tersangkut kain cinde, pertanda bahwa ia adalah seorang tahanan yang menunggu keputusan namun yang berasal dari keluarga terdekat raja. Dibelakangnya, dua orang prajurit mengawalnya dengan kebanggaan sebagaimana Tumenggung Jalatunda, bahwa mereka telah berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik. Mereka menjadi berdebar debar ketika seorang pelayan dalam memberitahukan bahwa Prabu Ramapati akan memasuki ruang dalam. Sejenak kemudian setelah suasana hening, terdengar Prabu Ramapati bertanya kepada Tumenggung Jalatunda “Sepertinya kau berhasil menangkap Nayaka, Tumenggung?,” “Hamba Sri Baginda,” jawab Tumenggung Jalatunda, “sebagaimana Sri Baginda ketahui, hamba telah menghadapkan Pangeran Nayaka yang sebagaimana Sri Baginda perintahkan.” Prabu Ramapati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpaling ke arah putranya dan kemudian berkata kepada Tumenggung Jalatunda “Ki Tumenggung. Tugasmu sudah kau jalankan dengan baik. Sekarang kau boleh meninggalkan Istana." Tumenggung Jalatunda mengerutkan keningnya, tetapi kemudian menunduk hormat sambil menyahut, “Hamba akan melakukan segala titah Sri Baginda.” Dengan nada datar Prabu Ramapati berkata, “Aku ambil kembali pertanda kuasaku.” Tumenggung Jalatunda kemudian menyerahkan tunggul kerajaan. Selanjutnya ia bergeser ke luar dari ruang dalam, diikuti oleh prajurit yang semula mengawal Pangeran Nayaka menghadap. Sementara di ruang dalam, Pangeran Nayaka masih duduk dengan kepala tunduk, dihadapan ayahandanya yang belum juga berbicara. "Kemarilah." Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya mendengar perintah yang sangat singkat itu. Hal apalagi kali ini yang akan dilakukan ayahandanya terhadap dirinya. Apakah hukuman yang lebih berat? Atau akan mengajaknya adu tanding hingga ia dikalahkan dengan cara yang lebih memalukan dari sekedar menarik ujung jari ayahandanya beberapa waktu yang lalu? Tetapi, Pangeran Nayaka tidak menunggu perintah itu untuk kedua kalinya. Ia segera bergerak maju mendekati ayahandanya dengan beringsut sambil berjongkok. "Perlihatkan kedua tanganmu." perintah Prabu Ramapati yang membuat Pangeran Nayaka bertambah bingung. Iapun memperlihatkan kedua tangannya dengan agak gemetaran. Prabu Ramapati tanpa berbicara sepatah katapun memperhatikan kedua tangan putranya yang nampak ada bekas-bekas luka cakaran dan luka lebam. Ternyata putranya memang benar telah menangkap seeokor harimau dalam keadaan hidup dan kemudian melepaskannya di halaman Tumenggung Jalatunda. Sang Prabu tahu alasan dibalik putranya melakukan hal itu, tetapi ia tidak mempertanyakannya. Ia memanggil salah seorang prajurit dan memerintahkan putranya di kawal kembali ke kediamannya. "Hukumanmu kalai ini. Kau harus diam selama satu pekan di bilikmu dan jangan berani-beraninya kau keluar tanpa seijinku. Pergilah." Pangeran Nayaka hanya mengangguk patuh, iapun dikawal menuju ke kediamannya. Sedangkan Prabu Ramapati telah memerintahkan prajurit lain untuk memanggil tabib Istana. "Pastikan, luka-luka Nayaka mendapatkan perawatan yang baik." Satu pekanpun berlalu. Seorang remaja tampak berjalan agak terburu-buru menyusuri sebuah jalan di tengah rimba. Namun, ia langsung menghela napas dalam-dalam ketika seorang remaja tanggung mencegat perjalanannya."Pangeran," desisnya "Kau ini lambat sekali, Pawana. Sampai-sampai aku harus menyusulmu hingga keluar gerbang Kota Raja," sahut Pangeran Nayaka. "Maaf, Pangeran. Sebelum berangkat, saya membantu Mbak Ayu Parwati terlebih dahulu." “Sudahlah. Kita akan kembali ke Kota Raja. Tetapi Kita tidak akan memasuki kota lewat gerbang utama. Kita akan memasuki kota lewat gerbang samping.” “Kenapa? Apakah karena Pangeran berjalan bersama aku?” “Tidak. Aku tadi keluar lewat gerbang samping. Biarlah para penjaga melihat bahwa aku sudah kembali bahkan bersama seseorang, sehingga para prajurit tidak mempunyai prasangka yang bukan-bukan terhadapku dan melaporkannya kepada Eyang Pramanegara.” Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya baginya tidak ada bedanya, apakah mereka akan memasuki kota lewat gerbang utama atau bukan. Namu ketika mereka sampai di pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas justru nampak terkejut ketika mereka melihat Pangeran Nayaka lewat di hadapan mereka. “Pangeran” bertanya perwira yang bertugas, “Pangeran pergi dari mana?” Pangeran Nayaka mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Sekedar melihat-lihat. Sudah lama aku tidak menyusuri pematang di antara tanaman-tanaman padi.” “Tetapi kami tidak melihat Pangeran ke luar? Apakah Pangeran ke luar dari gerbang yang lain?” bertanya perwira itu pula. “Sejak kapan kau bertugas disini?” Pangeran Nayaka balik bertanya. “Lewat fajar, kami sekelompok mendapat giliran bertugas di sini” “Dan kawan-kawanmu yang kau gantikan tidak mengatakan bahwa aku ke luar menjelang dini hari?” “Tidak Pangeran” jawab perwira itu. “Kalau begitu, biarlah aku yang memberitahukan kepadamu. Aku ke luar menjelang dini hari lewat pintu gerbang ini pula. Dan sekarang aku telah memasuki Kota Raja kembali." Perwira itu mengangguk-angguk. “Baik Pangeran. Silahkan.” Pangeran Nayaka tidak menjawab lagi. Tetapi beberapa langkah kemudian ia bergumam, “Ternyata para petugas di gerbang itu sudah berganti orang.” Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara kaki mereka berdua sudah mulai menyelusuri jalan-jalan kota. Ternyata Pangeran Nayaka memang seorang yang sudah terlalu dikenal oleh orang-orang di Kota Raja. Di sepanjang jalan banyak orang yang menyapanya, mengangguk hormat dan bahkan berbicara sepatah dua patah kata. Anak-anak muda nampaknya menyukainya dan mengaguminya. Namun nampaknya orang-orang Saung Galuh juga sudah terbiasa melihat Pangeran Nayaka berjalan sendiri atau bersama satu dua orang seperti yang mereka lihat saat itu. Tanpa pengawalan dan tanpa pertanda-pertanda apapun. Bahkan orang-orang Kota Raja sudah terbiasa melihat Pangeran Nayaka masuk ke dalam pasar dan duduk di dekat pandai besi yang sedang sibuk bekerja. Bahkan agaknya menjadi kesenangan Pangeran Nayaka menunggui pandai besi yang sedang menempa bermacam-macam alat, terutama alat pertanian. Tetapi, sekali Pangeran Nayaka membuat seorang pandai besi kehilangan akal ketika pandai besi itu mencari alat untuk mengambil besinya yang sudah membara untuk ditempa. “He, dimana tanggemku?” ia bertanya kepada pembantunya. Pembantunya menjadi sibuk. Namun tiba-tiba saja sambil tersenyum Pangeran Nayaka mengambil besi yang membara itu dengan tangannya. “Tempalah.” berkata Pangeran Nayaka. Orang itu menjadi bingung. Tetapi Pangeran Nayaka berkata, “Jangan takut memukul. Biar saja jika tanganku terkena.” Tetapi pandai besi itu tidak berani mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa besi yang telah membara yang dipegangi oleh Pangeran Nayaka meskipun terletak di atas paron. Pangeran Nayaka tersenyum. Sekali lagi berkata, “Tempalah.” Tetapi pandai besi itu menggeleng sambil berdesis, "Tidak Pangeran." Pangeran Nayaka tertawa. Dilepaskannya besi yang telah membara itu sambil berkata, “Itu tanggemmu berada dibawah tempat dudukmu.” “O” pandai besi itu bangkit. Tanggem yang dicarinya memang berada di bawah tempat duduknya, dan di belakang. “Bagaimana tanggem ini dapat sampai di sini.” geram pandai besi itu, “aku tidak bangkit sejak tadi pagi.” “Tanggemmu memang dapat merayap sendiri” jawab Pangeran Nayaka. Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat mengerti bagaimana tanggemnya dapat berada di bawah tempat duduknya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, ia telah meninggalkan tempat duduknya untuk minum beberapa teguk. Mungkin pembantunya telah berbuat sesuatu dan tanpa sengaja kakinya telah menggeser tanggem itu. Namun dengan demikian, pandai besi itu menjadi semakin kagum terhadap Pangeran Nayaka. Jika Pangeran Nayaka datang menungguinya bekerja, rasa-rasanya pekerjaannya menjadi lebih cepat selesai. Apalagi jika sekali-kali Pangeran Nayaka itu telah menggerakkan tangkai ububan. Rasa-rasanya apinya panasnya menjadi berlipat. Demikianlah Pangeran Nayaka ternyata sering berada diantara orang-orang kebanyakan, sehingga orang-orang itupun menjadi akrab dengannya. Namun orang-orang itu-pun menyadari, bahwa kadang-kadang Pangeran Nayaka telah melakukan permainan yang juga sering memusingkan kepala banyak orang.Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan. “Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak meny
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub