Beranda / Pendekar / BHARATA (Pendekar Naga Bumi) / Bab 6. Kedung Di Pinggir Hutan

Share

Bab 6. Kedung Di Pinggir Hutan

Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.”

“Aku melihatnya” Pawana menjelaskan.

“Dimana?”

Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar.

Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.”

Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu.

“Inikah buaya itu?”

Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu.

Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaimana ia mempelajari berbagai macam ilmu dari gurunya, maka penglihatan batinnya pun segera menangkap isyarat, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa.

"Pangeran mulai bermain-main. Demikian tiba-tiba sehingga aku tidak bersiap menanggapinya. Kini aku melihat, yang ada hanyalah Pangeran dan beberapa ekor ikan di bawah air. Tidak ada buaya dan tidak ada sebatang kayu. Jika sebatang kayu itu memang ada, tentu sudah mengapung dan hanyut ke hilir."

Pangeran Nayaka tertawa. "Luar biasa. Kau mampu mengamati dengan penglihatan batinmu. Benda-benda itu memang semu."

Pawana pun kemudian terjun lagi ke dalam air sambil berkata, "Pangeran mampu membuat benda-benda semu?"

"Hanya satu permainan yang barangkali kurang menarik bagi orang lain."

"Guruku juga pernah berceritera tentang ilmu yang demikian."

“Apakah gurumu juga mampu melakukannya?"

“Aku tidak tahu. Tapi kata guru Ki Patih Pramanegara adalah salah seorang yang memiliki kemampuan menumbuhkan bentuk-bentuk semu."

Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. 'Memang mungkin sekali ada satu dua orang yang mampu melakukannya. Jika kau bersedia, kau dapat mempelajarinya kepada Eyang Pramanegara. Sayang kau tidak dapat belajar padaku, karena aku sendiri tidak tahu, karena tiba-tiba saja aku memiliki kemampuan seperti itu.”

“Pangeran” berkata Pawana, “bukankah Pangeran pernah mengatakan, bahwa apa yang terjadi di dalam mimpi itu tidak ubahnya terjadi dalam kehidupan nyata? Yang terjadi di dalam mimpi itu akhirnya berujud di dalam kehidupan nyata Pangeran."

“Ya. Memang begitu."

“Bukankah dengan demikian Pangeran dapat mengingat, apa yang telah terjadi di dalam mimpi?”

“Aku mengerti maksudmu, kau memang cerdik. Tetapi tidak semua yang terjadi di dalam mimpi itu dapat diingat seluruhnya dengan jelas.”

“Tetapi bukankah tidak semuanya terlupakan? Mungkin Pangeran mampu mengingat beberapa peristiwa dan laku yang Pangeran jalani di dalam mimpi. Tentu sulit dan berat, sementara wadag Pangeran sendiri terbaring nyenyak di pembaringan tanpa melakukan perbuatan apa-pun juga.”

Pangeran Nayaka sejenak termangu-mangu. “Aku akan mencobanya. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku katakan kepadamu. Di dalam mimpi yang panjang, seolah-olah aku memang telah menjalani laku tiga hari tiga malam. Namun sebenarnya aku tidur tidak lebih dari satu malam."

“Silahkan mencoba Pangeran. Mungkin dengan demikian ada yang dapat Pangeran lakukan bagi orang lain.”

“Aku mengerti. Kau berharap untuk memiliki kemampuan yang khusus jika mungkin dapat aku tularkan kepadamu. Jika pada suatu saat aku menemukan kemungkinan itu, serta apabila gurumu tidak berkeberatan, aku dapat menularkan kemampuanku, tentu saja hanya yang mungkin. Apalagi menurut penglihatanku, maka sesuatu atau seseorang atau apapun telah memanggil aku untuk meninggalkan kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian ini.”

“Seharusnya Pangeran menghilangkan kesan itu. Dengan demikian kita memandang hidup ini dengan cerah, sebagaimana sebentar lagi matahari akan terbit."

Pangeran Nayaka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita sudah selesai. Sebentar lagi, banyak orang yang akan turun ke sungai ini untuk bermacam-macam keperluan."

Keduanya-pun kemudian telah naik ke tepian dan membenahi diri. Kemudian mencuci pakaian mereka yang basah dan sebelum banyak orang datang, merekapun telah meninggalkan kedung kecil itu.

“Kita menyusuri sungai ini” berkata Pangeran Nayaka, “di tempat yang sepi, yang tidak pernah dikunjungi orang, kita menjemur pakaian yang basah ini, jika matahari nanti terbit."

Pawana mengangguk-angguk. Merekapun kemudian telah pergi menyusuri tepian ke tempat yang tidak banyak dikunjungi orang. Sementara itu, matahari-pun telah terbit dan cahayanya yang lunak mulai meraba tepian yang berpasir.

Pawana dan Pangeran Nayaka telah menjemur pakaian mereka yang basah di atas batu-batu besar. Meskipun panas matahari masih belum terasa menggatalkan kulit, namun ternyata bahwa panas itu sudah mampu mengeringkan pakaian yang basah meskipun memerlukan waktu beberapa lama.

Ketika keduanya telah berada kembali di dalam bilik Pangeran Nayaka, maka Pawanapun berkata, “Aku tidak akan dapat terlalu lama berada di sini.”

“Apa maksudmu?”

“Hari ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan, Pangeran."

"Kenapa harus tergesa-gesa?"

“Aku mempunyai tugas-tugas khusus di Tanah Perdikan."

“Besok sajalah kembali, hari ini kau masih tetap di sini. Aku ingin melihat, apakah malam nanti kau dapat tidur nyenyak atau tidak.”

Pawana termangu-mangu. Namun Pangeran Nayaka mendesaknya, “Apakah kau benar-benar ketakutan tidur di sanggar itu? Atau barangkali kau tidak senang tidur di lantai dan aku tidur di pembaringan?”

“Tidak Pangeran. Bukan itu."

“Jika demikian kenapa?”

Pawana tidak dapat menjawab.

“Nah, bukankah kau tidak mempunyai alasan untuk memaksa pulang hari ini?”

Akhirnya Pawana menarik nafas sambil berdesis, “Baiklah Pangeran. Tetapi besok pagi-pagi aku akan kembali ke Tanah Perdikan. Kakang Pandu berpesan kalau aku jangan terlampau lama berada di Kota Raja."

"Suatu saat, kakakmu itu akan menjadi orang besar di Kota Raja. Kelak, kau juga akan menjadi penghuni Kota Raja."

"Pangeran jangan mengada-ada."

"Aku tidak mengada-ada. Tapi penilaianku atas seseorang tidak akan pernah salah. Siapa tahu dimasa mendatang kau akan menjadi Senapati yang disegani."

"Lalu jika semua itu menjadi kenyataan. Pangeran sendiri harusnya menjadi orang yang lebih hebat."

"Bukankah sudah aku katakan, keberadaanku ini tidak akan lama lagi."

Pawana seperti hendak membantah tapi Pangeran Nayaka telah mengajaknya untuk kembali ke Wisma Kepatihan.

Ketika malam turun, keduanya telah berada di sanggar sejak awal. Meskipun keduanya belum mengantuk, tetapi Pangeran Nayaka telah mengajaknya berada di dalam sanggarnya yang sempit itu.

Untuk beberapa lama mereka masih berbincang-bincang tentang berbagai macam persoalan. Dari unsur dan jenis olah kanuragan sampai jenis buah-buahan yang ditanam di dalam kebun-kebun di Tanah Perdikan.

Namun akhirnya keduanya-pun mengantuk pula. Menjelang sepi-uwong keduanya telah berbaring. Namun baru menjelang tengah malam, keduanya tertidur nyenyak.

Ternyata Pawana tidak lagi diganggu oleh mimpi-mimpi buruk. Bahkan malam itu ia benar-benar dapat tidur nyenyak sekali. Udara di dalam sanggar itu terasa hangat di dinginnya malam.

Ketika menjelang dini hari ia terbangun, maka ia melihat Pangeran Nayaka sudah duduk di bibir pembaringannya. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh sambil memandang Pawana dengan tajamnya.

“Berkemaslah."

“Untuk apa? Apakah kita akan pergi mandi seperti kemarin pagi?”

“Kita memang akan mandi. Tetapi tidak di kedung kecil itu” jawab Pangeran Nayaka.

"Lalu kemana?"

“Gumuk Payung."

“Gumuk Payung?” bertanya Pawana.

“Ya. marilah. Jangan terlambat.” ajak Pangeran Ardhakusuma.

Pawanapun kemudian membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian keduanya telah ke luar dari halaman Wisma Kepatihan, dan lewat gerbang butulan merekapun ke luar pula dari kota.

“Kita berjalan cepat. Jaraknya agak jauh” berkata Pangeran Nayaka.

Pawana tidak tahu maksud Pangeran Nayaka. Tetapi ia mengikuti saja arah perjalanan Pangeran Nayaka yang ternyata berjalan ke arah Timur.

Pawana menyadari, bahwa perjalanan mereka bukan sekedar perjalanan untuk mandi di sebuah belumbang di gumuk yang disebutnya Gumuk Payung, karena mereka telah menyusuri sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih nampak liar. Namun keduanya hanya menyentuh hutan itu di bagian tepinya dan tidak terlalu panjang. Beberapa saat kemudian, merekapun telah mengambil jalan sempit yang menjauhi hutan itu.

Pawana terpaksa mengerahkan kemampuannya untuk dapat berjalan secepat Pangeran Nayaka. Meskipun demikian, ia masih mendengar Pangeran Nayaka berdesah, “Langit sudah menjadi terang.”

Namun akhirnya mereka-pun telah berhenti di sebuah lingkungan yang ditumbuhi pepohonan yang lebat meskipun bukan bagian dari hutan yang pernah mereka lewati. Lingkungannya tidak lebih dari sebuah gumuk kecil yang tidak terlalu tinggi. Namun gumuk itu telah berada di kaki pegunungan yang memanjang.

“Kita naik ke gumuk itu” berkata Pangera Nayaka. Cahaya pagi sudah menjadi semakin terang. Keduanyapun kemudian menyusup rerungkutan, menyibakkan gerumbul-gerumbul perdu.

“Nah, kita kini berada di tepi sebuah belumbang” berkata Pangeran Nayaka.

“Belumbang?” bertanya Pawana.

“Di bawah rerungkutan itu adalah belumbang. Pohon preh itu tumbuh tepat di pinggirnya” jawab Pangeran Nayaka.

Pangeran Nayaka maju beberapa langkah, ketika ia kemudian mulai menyentuh air di rerungkutan dan pepohonan perdu, maka iapun berkata, “Aku sudah berada di pinggir belumbang.”

Pawana menarik nafas dalam-dalam. Belumbang itu adalah belumbang kecil yang hampir tidak nampak karena rerumputan ilalang yang liar dan pohon-pohon perdu yang tumbuh di sekitar dan di dalamnya. Beberapa batang pohon air dan sebatang pohon preh raksasa tumbuh di pinggirnya.

“Kita akan mandi di belumbang itu?” tanya Pawana.

“Kemarilah. Kau belum melihat airnya.” jawab Pangeran Nayaka.

Pawanapun bergeser maju. Ia kemudian merasakan pada kakinya, bahwa ia mulai turun ke dalam air. "Ya. Aku merasakannya." ucapanya.

“Lihat airnya, jangan hanya merasakannya."

Pawana kemudian menunduk. Ketika ia menyibakkan daun ilalang di bawah kakinya, maka iapun berdesis, "Airnya jernih sekali."

“Ya. Air di belumbang ini memang jernih meskipun dikotori oleh dedaunan yang runtuh dari pohon preh raksasa itu serta pohon-pohon perdu yang lain."

Pawana mengangguk-angguk Tetapi ia masih belum mengerti, kenapa Pangeran Nayaka memilih tempat itu untuk manndi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status