Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.”
“Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaimana ia mempelajari berbagai macam ilmu dari gurunya, maka penglihatan batinnya pun segera menangkap isyarat, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa. "Pangeran mulai bermain-main. Demikian tiba-tiba sehingga aku tidak bersiap menanggapinya. Kini aku melihat, yang ada hanyalah Pangeran dan beberapa ekor ikan di bawah air. Tidak ada buaya dan tidak ada sebatang kayu. Jika sebatang kayu itu memang ada, tentu sudah mengapung dan hanyut ke hilir." Pangeran Nayaka tertawa. "Luar biasa. Kau mampu mengamati dengan penglihatan batinmu. Benda-benda itu memang semu." Pawana pun kemudian terjun lagi ke dalam air sambil berkata, "Pangeran mampu membuat benda-benda semu?" "Hanya satu permainan yang barangkali kurang menarik bagi orang lain." "Guruku juga pernah berceritera tentang ilmu yang demikian." “Apakah gurumu juga mampu melakukannya?" “Aku tidak tahu. Tapi kata guru Ki Patih Pramanegara adalah salah seorang yang memiliki kemampuan menumbuhkan bentuk-bentuk semu." Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. 'Memang mungkin sekali ada satu dua orang yang mampu melakukannya. Jika kau bersedia, kau dapat mempelajarinya kepada Eyang Pramanegara. Sayang kau tidak dapat belajar padaku, karena aku sendiri tidak tahu, karena tiba-tiba saja aku memiliki kemampuan seperti itu.” “Pangeran” berkata Pawana, “bukankah Pangeran pernah mengatakan, bahwa apa yang terjadi di dalam mimpi itu tidak ubahnya terjadi dalam kehidupan nyata? Yang terjadi di dalam mimpi itu akhirnya berujud di dalam kehidupan nyata Pangeran." “Ya. Memang begitu." “Bukankah dengan demikian Pangeran dapat mengingat, apa yang telah terjadi di dalam mimpi?” “Aku mengerti maksudmu, kau memang cerdik. Tetapi tidak semua yang terjadi di dalam mimpi itu dapat diingat seluruhnya dengan jelas.” “Tetapi bukankah tidak semuanya terlupakan? Mungkin Pangeran mampu mengingat beberapa peristiwa dan laku yang Pangeran jalani di dalam mimpi. Tentu sulit dan berat, sementara wadag Pangeran sendiri terbaring nyenyak di pembaringan tanpa melakukan perbuatan apa-pun juga.” Pangeran Nayaka sejenak termangu-mangu. “Aku akan mencobanya. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku katakan kepadamu. Di dalam mimpi yang panjang, seolah-olah aku memang telah menjalani laku tiga hari tiga malam. Namun sebenarnya aku tidur tidak lebih dari satu malam." “Silahkan mencoba Pangeran. Mungkin dengan demikian ada yang dapat Pangeran lakukan bagi orang lain.” “Aku mengerti. Kau berharap untuk memiliki kemampuan yang khusus jika mungkin dapat aku tularkan kepadamu. Jika pada suatu saat aku menemukan kemungkinan itu, serta apabila gurumu tidak berkeberatan, aku dapat menularkan kemampuanku, tentu saja hanya yang mungkin. Apalagi menurut penglihatanku, maka sesuatu atau seseorang atau apapun telah memanggil aku untuk meninggalkan kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian ini.” “Seharusnya Pangeran menghilangkan kesan itu. Dengan demikian kita memandang hidup ini dengan cerah, sebagaimana sebentar lagi matahari akan terbit." Pangeran Nayaka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita sudah selesai. Sebentar lagi, banyak orang yang akan turun ke sungai ini untuk bermacam-macam keperluan." Keduanya-pun kemudian telah naik ke tepian dan membenahi diri. Kemudian mencuci pakaian mereka yang basah dan sebelum banyak orang datang, merekapun telah meninggalkan kedung kecil itu. “Kita menyusuri sungai ini” berkata Pangeran Nayaka, “di tempat yang sepi, yang tidak pernah dikunjungi orang, kita menjemur pakaian yang basah ini, jika matahari nanti terbit." Pawana mengangguk-angguk. Merekapun kemudian telah pergi menyusuri tepian ke tempat yang tidak banyak dikunjungi orang. Sementara itu, matahari-pun telah terbit dan cahayanya yang lunak mulai meraba tepian yang berpasir. Pawana dan Pangeran Nayaka telah menjemur pakaian mereka yang basah di atas batu-batu besar. Meskipun panas matahari masih belum terasa menggatalkan kulit, namun ternyata bahwa panas itu sudah mampu mengeringkan pakaian yang basah meskipun memerlukan waktu beberapa lama. Ketika keduanya telah berada kembali di dalam bilik Pangeran Nayaka, maka Pawanapun berkata, “Aku tidak akan dapat terlalu lama berada di sini.” “Apa maksudmu?” “Hari ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan, Pangeran." "Kenapa harus tergesa-gesa?" “Aku mempunyai tugas-tugas khusus di Tanah Perdikan." “Besok sajalah kembali, hari ini kau masih tetap di sini. Aku ingin melihat, apakah malam nanti kau dapat tidur nyenyak atau tidak.” Pawana termangu-mangu. Namun Pangeran Nayaka mendesaknya, “Apakah kau benar-benar ketakutan tidur di sanggar itu? Atau barangkali kau tidak senang tidur di lantai dan aku tidur di pembaringan?” “Tidak Pangeran. Bukan itu." “Jika demikian kenapa?” Pawana tidak dapat menjawab. “Nah, bukankah kau tidak mempunyai alasan untuk memaksa pulang hari ini?” Akhirnya Pawana menarik nafas sambil berdesis, “Baiklah Pangeran. Tetapi besok pagi-pagi aku akan kembali ke Tanah Perdikan. Kakang Pandu berpesan kalau aku jangan terlampau lama berada di Kota Raja." "Suatu saat, kakakmu itu akan menjadi orang besar di Kota Raja. Kelak, kau juga akan menjadi penghuni Kota Raja." "Pangeran jangan mengada-ada." "Aku tidak mengada-ada. Tapi penilaianku atas seseorang tidak akan pernah salah. Siapa tahu dimasa mendatang kau akan menjadi Senapati yang disegani." "Lalu jika semua itu menjadi kenyataan. Pangeran sendiri harusnya menjadi orang yang lebih hebat." "Bukankah sudah aku katakan, keberadaanku ini tidak akan lama lagi." Pawana seperti hendak membantah tapi Pangeran Nayaka telah mengajaknya untuk kembali ke Wisma Kepatihan. Ketika malam turun, keduanya telah berada di sanggar sejak awal. Meskipun keduanya belum mengantuk, tetapi Pangeran Nayaka telah mengajaknya berada di dalam sanggarnya yang sempit itu. Untuk beberapa lama mereka masih berbincang-bincang tentang berbagai macam persoalan. Dari unsur dan jenis olah kanuragan sampai jenis buah-buahan yang ditanam di dalam kebun-kebun di Tanah Perdikan. Namun akhirnya keduanya-pun mengantuk pula. Menjelang sepi-uwong keduanya telah berbaring. Namun baru menjelang tengah malam, keduanya tertidur nyenyak. Ternyata Pawana tidak lagi diganggu oleh mimpi-mimpi buruk. Bahkan malam itu ia benar-benar dapat tidur nyenyak sekali. Udara di dalam sanggar itu terasa hangat di dinginnya malam. Ketika menjelang dini hari ia terbangun, maka ia melihat Pangeran Nayaka sudah duduk di bibir pembaringannya. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh sambil memandang Pawana dengan tajamnya. “Berkemaslah." “Untuk apa? Apakah kita akan pergi mandi seperti kemarin pagi?” “Kita memang akan mandi. Tetapi tidak di kedung kecil itu” jawab Pangeran Nayaka. "Lalu kemana?" “Gumuk Payung." “Gumuk Payung?” bertanya Pawana. “Ya. marilah. Jangan terlambat.” ajak Pangeran Ardhakusuma. Pawanapun kemudian membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian keduanya telah ke luar dari halaman Wisma Kepatihan, dan lewat gerbang butulan merekapun ke luar pula dari kota. “Kita berjalan cepat. Jaraknya agak jauh” berkata Pangeran Nayaka. Pawana tidak tahu maksud Pangeran Nayaka. Tetapi ia mengikuti saja arah perjalanan Pangeran Nayaka yang ternyata berjalan ke arah Timur. Pawana menyadari, bahwa perjalanan mereka bukan sekedar perjalanan untuk mandi di sebuah belumbang di gumuk yang disebutnya Gumuk Payung, karena mereka telah menyusuri sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih nampak liar. Namun keduanya hanya menyentuh hutan itu di bagian tepinya dan tidak terlalu panjang. Beberapa saat kemudian, merekapun telah mengambil jalan sempit yang menjauhi hutan itu. Pawana terpaksa mengerahkan kemampuannya untuk dapat berjalan secepat Pangeran Nayaka. Meskipun demikian, ia masih mendengar Pangeran Nayaka berdesah, “Langit sudah menjadi terang.” Namun akhirnya mereka-pun telah berhenti di sebuah lingkungan yang ditumbuhi pepohonan yang lebat meskipun bukan bagian dari hutan yang pernah mereka lewati. Lingkungannya tidak lebih dari sebuah gumuk kecil yang tidak terlalu tinggi. Namun gumuk itu telah berada di kaki pegunungan yang memanjang. “Kita naik ke gumuk itu” berkata Pangera Nayaka. Cahaya pagi sudah menjadi semakin terang. Keduanyapun kemudian menyusup rerungkutan, menyibakkan gerumbul-gerumbul perdu. “Nah, kita kini berada di tepi sebuah belumbang” berkata Pangeran Nayaka. “Belumbang?” bertanya Pawana. “Di bawah rerungkutan itu adalah belumbang. Pohon preh itu tumbuh tepat di pinggirnya” jawab Pangeran Nayaka. Pangeran Nayaka maju beberapa langkah, ketika ia kemudian mulai menyentuh air di rerungkutan dan pepohonan perdu, maka iapun berkata, “Aku sudah berada di pinggir belumbang.” Pawana menarik nafas dalam-dalam. Belumbang itu adalah belumbang kecil yang hampir tidak nampak karena rerumputan ilalang yang liar dan pohon-pohon perdu yang tumbuh di sekitar dan di dalamnya. Beberapa batang pohon air dan sebatang pohon preh raksasa tumbuh di pinggirnya. “Kita akan mandi di belumbang itu?” tanya Pawana. “Kemarilah. Kau belum melihat airnya.” jawab Pangeran Nayaka. Pawanapun bergeser maju. Ia kemudian merasakan pada kakinya, bahwa ia mulai turun ke dalam air. "Ya. Aku merasakannya." ucapanya. “Lihat airnya, jangan hanya merasakannya." Pawana kemudian menunduk. Ketika ia menyibakkan daun ilalang di bawah kakinya, maka iapun berdesis, "Airnya jernih sekali." “Ya. Air di belumbang ini memang jernih meskipun dikotori oleh dedaunan yang runtuh dari pohon preh raksasa itu serta pohon-pohon perdu yang lain." Pawana mengangguk-angguk Tetapi ia masih belum mengerti, kenapa Pangeran Nayaka memilih tempat itu untuk manndi?Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na
Keduanyapun berjalan semakin mendekati sebuah pasar sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Nayaka. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman. Sebetulnya, Pawana juga merasa lapar. Karena itu, maka ia merasa kebetulan bahwa Pangeran Nayaka benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu. Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknyapun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang. Pawana dan Pangeran Nayaka duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanyapun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi. Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar. Keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar. Pawana mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Pangeran Nayaka hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuj
"Anak demit." orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang. Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka-pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka ketiganya-pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu-pun telah mencabut goloknya pula. “Jaga mereka agar tidak melarikan diri” teriak orang yang marah sekali itu, “aku sendiri akan membunuh mereka berdua.” Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Pangeran Nayaka dan Pawana. Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka. Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tub
“Kalian harus menjaga lingkungan di sekitar gumuk kecil yang ditumbuhi pohon raksasa itu. Kalian harus menjaga, agar lingkungan itu tidak berubah. Tidak boleh seorangpun yang berburu disana atau sekelompok orang yang akan merubah lingkungan itu.” berkata Pangeran Nayaka. Orang tertua diantara keempat orang gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak muda. Tidak akan ada orang yang berani merubah lingkungan itu. Juga tidak akan ada orang yang berani berburu didalamnya." “Kenapa?" “Ditempat itu, terdapat seekor ular raksasa yang menungguinya. Seorang petani yang pernah melihat dan mengejar seekor rusa telah hilang dan tidak pernah kembali. Seorang gembala juga pernah hilang bersama beberapa ekor kambingnya. Setelah itu, tidak ada yang berani memasuki lingkungan itu. Baru kemudian diketahui bahwa dilingkungan itu terdapat penunggunya, seekor ular raksasa.” jawab gegedug itu. Pangeran Nayaka mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus jika kalian dan banyak orang sudah
Sementara itu, Pawana sendiri telah berada di Wisama. Seperti biasanya Pawana tidur disanggar bersama Pangeran Nayaka. Sanggar yang agak lain dengan kebanyakan sanggar yang pernah dilihat oleh Pawana. “Tidurlah. Jika besok kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, kembalilah. Mungkin kau benar, bahwa kakakmu dan Ki Waskita menjadi gelisah.” ujar Pangeran Nayaka. Pawana mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Tetapi tolong, usahakan agar aku tidak terbangun oleh mimpi.” "Tidak, tentu tidak. Bukankah sebelum kita berangkat, kau tidak lagi diganggu oleh mimpi?" Pawana mengangguk sambil tersenyum. Namun pada saat yang demikian, justru ketika keduanya telah berbaring, datang seorang utusan dari Ki Patih Pramanegara untuk memanggil Pangeran Nayaka. “Tidur sajalah dahulu. Aku akan menghadap eyang Pramanegara.” "Kenapa Ki Patih Pramanegara memanggil Pangeran?" “Biasa saja. Aku harus berceritera apa yang aku lakukan selama aku pergi. Tidak ada apa-apa. Jika eyang marah kepadaku, biasa
Pawana perlahan-lahan telah beringsut dan berusaha untuk turun dan duduk dilantai. Tetapi adalah di-luar dugaannya bahwa Ki patih telah mencegahnya, “Jangan beringsut, Duduk sajalah disitu.” Pawana masih juga beringsut. Namun sekali lagi ia mendengar Ki Patih itu berkata, “Aku menghendaki kau duduk di tempatmu.” Pawana tidak berani bergeser lagi. Tetapi keringatnyalah yang kemudian membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. “Jangan merasa segan,” berkata Ki Patih, “aku yang menghendaki kau duduk disitu. Tidak apa-apa. Kita akan berbicara tanpa ketegangan karena jarak diantara kita.” Pawana tidak menjawab. Tetapi ia sudah lebih dahulu dicengkam ketegangan. “Pawana,” berkata Ki Patih kemudian, “biarlah aku yang mulai.” Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Apakah hari ini kau akan kembali ke Tanah Perdikan Madukara?,” “Hamba Ki Patih. Hamba akan kembali ke Tanah Perdikan.” jawab Pawana sambil menunduk. “Sudah berapa hari kau berada disini?.” bertanya Ki Patih pula. Pawana te