Di siang yang terik, seorang anak laki-laki dengan tubuh kekar dan tegap berjalan menyusuri jalanan yang dinaungi pohon-pohon besar. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun, kekuatan yang terpancar dari tubuhnya sudah menampakkan ciri-ciri kegagahan yang luar biasa. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa terdiam, mengagumi sosok anak itu dari kejauhan. Namun, kekaguman mereka segera berubah menjadi ketakutan saat tiba-tiba saja anak itu berhenti di depan sebuah pohon besar, menatapnya dengan wajah merah padam.
Dalam sekejap, tanpa peringatan, anak itu mengamuk. Dengan satu gerakan cepat, ia mencabut pohon besar itu dari akarnya dan membuatnya tumbang dengan dentaman keras yang menggema ke seluruh penjuru. Orang-orang yang ada di sekitar segera berlarian, ketakutan dan terheran-heran. Mereka saling berbisik, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. "Apakah dia kerasukan Hantu Blandong?" gumam seseorang dengan suara bergetar. Anak itu mendengar gumaman itu, dan dengan wajah marah ia menoleh, menatap tajam orang-orang yang mulai berkumpul di sekitarnya. "Siapa yang bilang saya kerasukan?" suaranya menggema, penuh amarah. Tak ada yang berani menjawab. Semua orang menundukkan kepala, takut menghadapi kemarahannya. Melihat itu, anak tersebut merasa semakin gusar, tapi sebelum sempat ia meluapkan amarahnya lagi, seorang prajurit tiba-tiba muncul di hadapannya. "Pangeran Nayaka," prajurit itu berbicara dengan hati-hati, "Ayahanda Pangeran telah menunggu Pangeran di istana." Anak itu, yang tak lain adalah Pangeran Nayaka, menegang sejenak. Namun, tanpa berkata apapun, ia segera berbalik, melangkah dengan angkuh menuju istana. Langkahnya tegap, penuh percaya diri, meski di dalam hatinya ada kegelisahan yang ia sembunyikan. Setibanya di istana, Pangeran Nayaka langsung menghadap ayahandanya, Prabu Ramapati. Sang Prabu duduk di singgasananya dengan wajah tenang namun penuh kewibawaan. Ketika melihat putranya memasuki ruangan, ia memandangnya dengan tatapan yang dalam. "Kau sudah beberapa kali memamerkan kesaktianmu, Nayaka," suara Prabu Ramapati terdengar tenang namun tegas. "Pertama ketika utusan dari Kerajaan Pagar Ruyung datang, kau menghajar mereka tanpa ampun. Kemudian, kau juga membunuh seorang begal sakti yang selama ini sulit ditangkap para prajurit kita. Ayahanda bangga memiliki anak yang sakti, tapi kesaktian itu bukan untuk disalahgunakan." Pangeran Nayaka membuka mulutnya untuk membela diri, namun Prabu Ramapati segera melanjutkan, memotong niatnya untuk berbicara. "Jika kau terus berperilaku seperti ini, kau akan membahayakan dirimu sendiri. Di atas langit masih ada langit, Nayaka. Kau mungkin sakti, tapi selalu ada yang lebih sakti darimu. Bagaimana jika suatu saat kau bertemu dengan seseorang yang lebih kuat? Kesombonganmu bisa membawamu pada kehancuran." Mendengar kata-kata itu, wajah Pangeran Nayaka memerah. Ia menunduk, merasa malu di hadapan ayahandanya. Prabu Ramapati kemudian menjulurkan telunjuknya ke arah anaknya ."Kau lihat telunjuk ini," tantang Prabu Ramapati dengan suara yang lebih rendah namun penuh arti. "Jika kau benar-benar sakti, patahkan telunjukku ini." Pangeran Nayaka dengan cepat meraih telunjuk ayahnya, berusaha keras untuk mematahkannya. Namun, sekuat apapun ia mencoba, telunjuk itu tetap bergeming. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, dan akhirnya ia menyerah, menunduk lebih dalam di hadapan Prabu Ramapati. "Maafkan hamba, Ayahanda," katanya dengan suara lirih, mengakui kekalahannya. Prabu Ramapati tersenyum tipis, namun tatapan matanya tetap tajam. "Kau harus belajar mengendalikan dirimu, Nayaka," nasihatnya dengan lembut tapi tegas. "Sebagai seorang pangeran, kau harus menjaga wibawamu, bukan hanya perkara kekutan dari ilmu kanuragan, tapi juga dengan kebijaksanaan. Aku ingin kau merenungkan ini. Pergilah ke tempat sepi selama sepekan. Jangan kembali sebelum kau menemukan jawaban dalam hatimu. Jika kau tidak menaati perintah ini, maka hukumannya akan menjadi dua kali lipat." Pangeran Nayaka hanya bisa mengangguk, masih dengan kepala menunduk dalam-dalam. Wajahnya menunjukkan kekecewaan, baik pada dirinya sendiri maupun pada ayahandanya yang telah mempermalukannya. Dengan langkah yang lebih lambat, ia meninggalkan ruangan itu, menuju tempat yang ditentukan ayahnya untuk menjalani hukuman. Seorang laki-laki sepuh yang duduk di samping Prabu Ramapati, Patih Kerajaan Saung Galuh, menghela nafas panjang. "Angger Prabu terlalu keras padanya," desisnya, mencoba memberikan pendapat. Prabu Ramapati menggeleng pelan. "Anak itu harus dihukum, Paman Pramanegara. Dia adalah putra raja, Pangeran Saung Galuh. Dia harus belajar menjaga wibawanya. Kesaktiannya memang luar biasa, tapi tanpa pengendalian diri, itu bisa menjadi bencana, bukan hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi kerajaan ini." Patih Pramanegara tidak bisa menyangkal kebenaran kata-kata Sang Prabu. Namun, ia juga merasa iba pada Pangeran Nayaka. "Dia masih anak-anak, Angger Prabu. Kenakalannya mungkin wajar untuk usianya. Tapi karena kekuatan luar biasa yang dimilikinya, kenakalan itu bisa menjadi masalah besar bagi orang lain yang tidak memahaminya." Prabu Ramapati hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa beban sebagai seorang raja dan seorang ayah tidaklah ringan. Ia membawa Pangeran Nayaka ke Saung Galuh dengan harapan anaknya akan tumbuh menjadi sosok yang lebih bijaksana. Namun, kenyataannya, Pangeran Nayaka justru menjadi semakin sulit diatur, kekuatannya semakin liar dan tidak terkendali. Waktu berlalu, dan meskipun Prabu Ramapati tidak mendengar lagi masalah yang ditimbulkan oleh putra bungsunya, ia tahu bahwa kedamaian itu mungkin hanya sementara. Hingga pada suatu hari, serombongan pengamen datang ke Kota Raja, menampilkan berbagai pertunjukan yang mengundang decak kagum dari penduduk Kota Raja. Mereka menunjukkan berbagai keahlian, mulai dari sulap, sihir, hingga permainan kekuatan ilmu kanuragan yang menantang. Di antara kerumunan penonton, Pangeran Nayaka menyelinap maju, berpakaian layaknya orang kebanyakan sehingga tidak ada yang mengenalinya sebagai pangeran. Dengan langkah mantap, ia mendekati pemimpin rombongan pengamen dan menantangnya."Kang, saya ingin ikut main," katanya dengan nada menantang. "Saya akan merentangkan tangan, dan lima orang di sebelah kanan serta lima orang di sebelah kiri boleh menarik tangan saya. Jika kalian berhasil menarikku, saya akan memberi upah lima keping uang emas." Pemimpin rombongan pengamen terperangah mendengar tantangan itu. Namun, karena merasa penasaran, ia memerintahkan sepuluh orang anak buahnya untuk menerima tantangan anak itu. Mereka segera bergerak, menarik kedua tangan Pangeran Nayaka dengan sekuat tenaga. Namun, meskipun mereka mengerahkan semua kekuatan, tubuh anak itu tidak bergeming sedikit pun. Penonton terpana, tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Namun, dua orang dari rombongan pengamen yang merasa dipermalukan oleh kekuatan anak itu menjadi marah. Mereka mencoba memukul Pangeran Nayaka, namun dengan mudah anak itu membanting mereka ke tanah. Melihat kejadian itu, pemimpin rombongan pengamen gusar, dan suasana di sekitarnya menjadi tegang. Pangeran Nayaka tertawa terbahak-bahak, merasa puas dengan kemampuannya. Namun, tawa itu membuat penonton lain ketakutan. Mereka mulai menyadari siapa anak itu sebenarnya. Dengan cepat, satu per satu mereka mulai menyingkir, meninggalkan tempat tersebut."Kenapa kalian pergi? Bukankah kita belum selesai bermain!" seru Pangeran Nayaka, merasa kecewa. Namun, tidak ada yang menjawab. Para penonton telah bubar, bahkan kedua orang yang telah ia banting pun segera berdiri dan pergi dengan tatapan kesal. Dalam kesendirian itu, Pangeran Nayaka hanya bisa berdiri termangu-mangu, tidak menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan. Orang itu, yang selama ini diam-diam memperhatikan keadaan sekitar, merasa semakin yakin bahwa sosok Pangeran Nayaka memang agak lain. Ia mengulangi dalam benaknya setiap keterangan dari seorang warga, mencoba merangkai potongan-potongan cerita menjadi gambaran yang utuh tentang pangeran muda itu. "Anak dari seorang gadis desa, dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan para pangeran lainnya," gumamnya pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. "Namun, tidak ada yang benar-benar buruk dalam dirinya, hanya saja ia masih terlalu muda dan mungkin belum mengerti dunia sebesar tanggung jawab yang diembannya." Penduduk itu, yang tampaknya masih meresapi pembicaraan mereka, menatap orang tersebut dengan rasa ingin tahu. "Kisanak, apakah engkau pernah mendengar cerita lain tentang Pangeran Nayaka? Sepertinya Kisanak tahu banyak hal tentang beliau." Orang itu tersenyum samar, menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya mendengar dari sana-sini. Tetapi, yang aku lihat, Pangeran Nayaka adalah anak yang dikarunia sebuah kelebihan yang luar biasa. Jika saja ia dibimbing dengan baik, mungkin ia akan tumbuh menjadi pemimpin yang jauh lebih hebat daripada yang kita bayangkan sekarang." Penduduk itu mengangguk, tetapi kemudian ia menghela napas panjang. "Mudah-mudahan saja, Kisanak. Sebab banyak orang yang khawatir, dengan sifatnya yang suka bertindak sesuka hati, ia bisa menciptakan masalah besar di kemudian hari." Orang itu tidak menjawab, hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia merasa bahwa penduduk itu mungkin benar. Namun, ia juga merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang harus dipahami tentang Pangeran Nayaka, sesuatu yang mungkin hanya bisa diketahui oleh mereka yang benar-benar mengenalnya. Setelah beberapa saat, orang itu berpamitan dan melangkah pergi, meninggalkan penduduk tersebut yang masih diliputi pikiran tentang Pangeran Nayaka. Langkahnya tenang dan mantap, seakan-akan ia tahu persis ke mana tujuan berikutnya. Mungkin ia akan mencari tahu lebih banyak tentang pangeran yang dikatakan memiliki bakat luar biasa itu, atau mungkin ia akan menunggu hingga waktu yang tepat untuk bertemu langsung dengan Pangeran Nayaka. Dalam perjalanannya, orang itu teringat akan seorang guru tua yang pernah ia dengar namanya, seorang yang bijaksana dan memiliki kemampuan luar biasa dalam mendidik. Mungkin, jika ia bisa bertemu dengan guru tua itu, ia bisa menyarankan kepada Prabu Ramapati untuk menjadi pembimbing Pangeran Nayaka. Matahari mulai condong ke barat ketika orang itu akhirnya menghilang di balik perbukitan, meninggalkan istana Saung Galuh di kejauhan. Di dalam istana, Pangeran Nayaka mungkin tengah menjalani hari-harinya seperti biasa, tanpa menyadari bahwa di luar sana ada seseorang yang tengah memikirkan masa depannya dengan begitu dalam.Beberapa hari setelah kejadian itu. Dan seperti biasa Pangeran Nayaka mendapat hukuman atas kenakalannnya terhadap para pengamen. Namun, hukumannya kali lebih ringan dari sebelumnya. Ia hanya disuruh membaca berpuluh-puluh rontal di dalam bilik khusus selama dua hari dua malam yang di awasi oleh para pelayan dalam. Tetapi Pangeran Nayaka yang tidak pernah membantah ayahandanya menjalani hukuman itu dengan kesungguhan hati. Ia membaca seluruh rontal yang ada di hadapanya itu. Meskipun ia harus menguap dan menahan rasa kantuk. Di suatu pagi, ketika mentari baru saja keluar dari peraduannya. Pangeran Nayaka telah berada didalam sebuah kedai yang baru saja dibuka. Tetapi di dalam kedai itu bukan saja ada dirinya, masih ada para pengunjung lain yang telah singgah untuk makan dikedai itu. Pangeran Nayaka pun duduk pula dikedai itu. Ia memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuhnya. Untuk beberapa saat Pangeran Nayaka yang duduk bersama seorang perempuan yang agak tua yan
Sementara itu, Tumenggung Jalatunda telah membawa Pangeran Nayaka ke Istana. Tumenggung Jalatunda sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, "Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?" “Tumenggung Jalatunda mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Nayaka” jawab seorang prajurit. “Kenapa?” “Tadi malam, Pangeran Nayaka telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Jalatunda dengan melepaskan seekor harimau di halaman kediamannya." "Dan Tumenggung Jalatunda melaporkannya kepada Gusti Prabu?" “Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Jalatunda untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya." Senapati itu menggeleng pelan. “Tumenggung Jalatunda tidak mengerti, kalau Sri Baginda sebetulnya sedang menyindirnya. Banyak persoalan besar yang diabaikannya, tetapi dia malah mengurusi persoalan kecil yang dibesar-besarkan. Aku mendengar suatu persoalan yang tidak ditangani oleh Tumenggung Jalatunda ketika ada seorang warga melaporkan ka
Beberapa saat kemudina Pangeran Nayaka telah sampai di Wisma Kepatihan. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan. “Aku tinggal di bagian belakang.” berkata Pangeran Nayaka. “Sejaka kapan Pangeran tinggal di sini? Kenpa tidak tinggal lagi di Istana?" “Aku sekarang tinggal di Wisma Kepatihan. Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan." “Dan Pangeran menyadarinya?” “Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Nayaka. “Marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.” Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak meny
Tiba-tiba Pawana seperti sadar dari sebuah mimpi. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Pangeran. Mungkin Pangeran menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.” “Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman panggrahita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, pastilah akan terjadi. Demikian juga tentang diriku sendiri.” “Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung” berkata Pawana. “Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobainya. Tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendak-Nya?” “Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh guruku Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sesekali guruku juga merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap
Pangeran Nayaka termangu-mangu. Namun ia-pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.” “Aku melihatnya” Pawana menjelaskan. “Dimana?” Pawana termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya sebesar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar. Sejenak Pawana termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia-pun berteriak, “Itu Pangeran. Di sebelah kiri.” Pangeran Nayaka memang berpaling. Tetapi iapun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Pangeran Nayaka adalah sepotong balok kayu. “Inikah buaya itu?” Wajah Pawana menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu. Tiba-tiba saja Pawana mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaiman
Pangeran Nayaka yang melihat Pawana termangu-mangu itu-pun kemudian berkata, “Pawana. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.” “Kepadaku?” tanya Pawana. “Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” “Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya” jawab Pawana. “Tapi kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku maka ilmu yang tinggi pun akan menjadi milikmu” Pawana mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Nayaka berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itupun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba
Ketika Pangeran Nayaka telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, ia bertanya apakah di dekat tempat itu terdapat pasar. Ternyata Pangeran Nayaka tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi di pasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang. Pangeran Nayaka telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Pawana. Bahkan ternyata Pangeran Nayaka tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia-pun telah mencari tempat untuk menunggui Pawana yang sedang berendam diri. Pangeran Nayaka telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Pawana menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam. Namun karena Pangeran Nayaka hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Pannger
Pangeran Nayaka yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Pawana sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Saung Galuh, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapan pun yang kita kehendaki.” Pawana menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semakin tinggi. Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Pawana menjadi semakin segar. Karena itu ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya-pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi sementara itu Pangeran Nayaka masih sempat menanyakan pendapat Pawana tentang tempat itu. “Disini banyak terdapat rusa-rusa kecil. Tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.” Pawana mengerutkan keningnya. Na