"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.
Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah. "Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa." Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil. "Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku." Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya. "Kamu ini kayak sama siapa aja sih? Kamu itu prioritasku," sahut Sofia sambil ikut menangis. Mereka dari kalangan yang berbeda, namun bisa bersahabat sampai saat ini tanpa ada yang mampu memisahkan. "Aku mau ngasih kejutan buat Mas Lingga," ucap Luna setelah pelukan mereka terlepas. Senyuman di wajah Sofia langsung menghilang, digantikan dengan raut wajah marah. "Lun, harus berapa kali aku menasihati kamu? Lingga itu nggak pernah mencintai kamu! Dia itu menikahi kamu karena takut masuk penjara. Dia udah membunuh ayah kamu!" kata Sofia dengan nada tinggi. Luna mengerjap beberapa kali. Wajahnya langsung murung. Kesalahan Kalingga Wisnuwardhana memang sangat besar dan tak termaafkan. Tapi dia mulai mencintai pria itu. Benih-benih cinta itu tumbuh ketika Kalingga mulai menyentuhnya dua bulan terakhir dengan lembut, meskipun lelaki itu akan menyebut nama...Renata setiap kali mencapai puncak. Dada Luna berdenyut nyeri. Tiba-tiba dia merasa kebahagiaan yang baru dia raih akan lenyap tak lama lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah meninggalkan Sofia di halaman belakang rumah. Meskipun masih sangat lambat, tapi Luna terus melangkah. Mengabaikan rasa kaku dan nyeri di kakinya karena otot-ototnya masih kaku. "Luna! Lun, please kali ini dengerin aku. Aku nggak mau kamu hancur," teriak Sofia yang tidak mengejarnya sama sekali. Luna tidak mengacuhkan teriakan Sofia. Dia terus melangkah sampai mencapai pintu belakang rumah. Berpegangan erat pada gagang pintu sambil menenangkan debar jantungnya yang tidak nyaman. Tidak, dia tidak mau kebahagiaan itu direnggut darinya! Dia bisa memaafkan Kalingga. Dia bisa melupakan kesalahan pria itu. Memaksa kakinya untuk kembali melangkah meskipun rasanya semakin sakit, Luna akhirnya menyeret langkahnya sambil berpegangan pada pintu, setelah itu meraih kitchen island untuk menopang tubuhnya. "Di mana perempuan lumpuh itu? Kenapa rumah kamu sepi sekali?" Tubuh Luna membeku. Suara Bu Devi, ibu mertuanya, membuat tubuh Luna otomatis gemetar. Wanita itu adalah mimpi buruknya selama dua tahun menikah dengan Kalingga. "Dia lagi terapi," jawab Kalingga tak acuh. "Kamu masih buang-buang duit buat dia? Mama nggak suka! Setelah ini, hentikan pengobatan dia. Nggak ada gunanya juga," sahut Bu Devi ketus. "Ma, Luna lumpuh karena aku. Kalau aja waktu itu..." "Alah, itu kan memang udah menjadi takdir dia lumpuh dan kehilangan bapaknya. Salah sendiri jalan kok di tengah-tengah. Yang salah dia, kenapa kamu yang harus tanggung jawab?" Luna bingung harus bagaimana. Tetap berada di dapur, dia takut ketahuan. Tapi dia juga penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan di belakangnya. Selama ini, dia tidak pernah mendengar mereka membahas tentang kecelakaan itu di depannya. "Udahlah, Ma. Kalau aku nggak mau tanggungjawab, dia bakalan melaporkan aku ke polisi. Mama mau aku masuk penjara? Sabar dulu kenapa sih?" "Ck! Kamu kasih aja dia duit yang banyak biar tutup mulut. Gitu aja kok repot." "Mama nggak usah khawatir. Aku udah ngasih dia banyak duit setiap bulannya dan aku udah memaksa Irfan untuk membuat kakinya cepat pulih. Kalau kakinya udah nggak lumpuh lagi, maka pernikahan kami akan berakhir. Kami udah membuat perjanjian pranikah soal itu." Deg! Luna menatap kosong kitchen Island di hadapannya. Tidak menyangka bahwa dia akan mendengar kalimat itu dari mulut pria yang dicintainya dengan setulus hati. Dia bahkan melupakan tentang perjanjian pranikah itu. Dia pikir, Kalingga sudah mulai mencintainya karena perlakuan pria itu begitu manis dan lembut dua bulan terakhir ini. "Aku udah nanya Irfan soal perkembangan kaki Luna. Katanya dia udah mulai bisa berdiri." "Yang bener kamu? Cepetan buat dia sembuh biar kalian bisa bercerai secepatnya. Mama udah nggak tahan menanggung malu punya menantu miskin dan jelek seperti dia." Air mata Luna mengalir menuruni pipinya. Ternyata rasanya masih sesakit ini mendengarkan perkataan pedas dari ibu mertuanya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekati dapur. Luna yang panik bingung harus melakukan apa, jadi dia hanya berdiri sambil berpegangan pada pinggiran kitchen island. Sampai sepasang tangan memegang pundaknya dan memaksanya untuk duduk. Luna terkesiap dan langsung menghela nafas lega ketika melihat Sofia. Wanita itu mendudukkannya di atas kursi roda, sebelum buru-buru membawanya keluar dari dapur menuju ke halaman belakang rumah. "Si Luna pernah masak buat kamu? Eh, tapi dia kan lumpuh. Orang lumpuh memangnya bisa apa selain nyusahin orang lain? Udahlah nggak berguna, miskin, nggak bisa apa-apa lagi. Seharusnya kamu menikah sama Renata, bukannya sama si lumpuh itu. Mama..." Suara Bu Devi akhirnya tidak terdengar lagi ketika Sofia membawanya ke bagian samping rumah. Mereka berdua hanya diam, tidak membuka percakapan sama sekali atau mereka bisa ketahuan. Luna memegang dada kirinya yang semakin nyeri. Sofia menggenggam tangannya dan tangisannya semakin keras meskipun tanpa suara. "Sakit," bisiknya. Genggaman Sofia semakin erat. Wanita itu tahu semua yang terjadi dalam rumah tangganya, karena Luna selalu menceritakannya pada Sofia. Termasuk ketika Kalingga tiba-tiba menyentuhnya namun menyebutkan nama Renata. "Please, tinggalin dia, Lun," mohon Sofia sambil ikut berbisik. Luna menggeleng. Dia mencintai Kalingga, dan ini pertama kalinya dia jatuh cinta. Dia ingin menikmati perasaan itu dengan rakus. Dia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan Kalingga. Termasuk berpura-pura masih lumpuh. "Aku masih mau bertahan, Sof. Selama aku masih lumpuh, dia nggak akan menceraikan aku." "Luna, tolong jangan menyiksa dirimu sendiri," mohon Sofia lagi. Luna tetap pada pendiriannya. Dia masih yakin bahwa Kalingga akan berubah mencintainya. "Kalian ngapain di sini?"Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini