Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.
Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras. "Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin. "Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga. Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku." Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya. Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuatnya diceraikan oleh Kalingga. "Aku udah muak berpura-pura baik padamu, Luna. Selama dua bulan ini aku bersikap baik padamu biar kamu semangat menjalani terapi, tapi kenapa masih lumpuh juga? Benar-benar nggak berguna!" Luna syok mendengar pengakuan dari pria itu. Jadi selama ini, Kalingga hanya berpura-pura saja agar dia bisa segera sembuh? "Mas, tapi selama dua bulan ini kamu begitu hangat..." Kalingga mendengkus. "Jangan terlalu percaya diri kamu! Aku cuma pura-pura. Aku udah muak sama kamu. Aku malu punya istri kampungan yang lumpuh! Kamu benar-benar mencoreng nama baikku." Luna menganga tak percaya. Pria itu benar-benar kejam. "Cepatlah sembuh agar aku bisa menceraikanmu. Aku udah ngasih kamu uang yang fantastis setiap bulannya sesuai dengan perjanjian pranikah kita. Anggap aja itu sebagai uang pengganti karena ayahmu meninggal." "Mas! Jadi kamu menganggap uang itu sebagai pengganti nyawa ayahku? Kamu benar-benar tega, Mas! Uang sebanyak apapun nggak akan bisa menggantikan nyawa manusia!" pekik Luna dengan mata berkaca-kaca. Lagi, Kalingga mendengkus lalu memutar mata. "Harusnya kamu bersyukur aku masih mau ngasih uang bulanan sebagai ganti gaji ayahmu. Sudah kunikahi, kukasih nafkah, masih aja bertingkah. Memang dasar orang miskin itu benalu dan nggak tahu diri!" Kalingga hendak beranjak pergi, namun Luna dengan cepat memeluk kaki pria itu. "Jangan pergi, Mas. Aku yakin kamu cuma pura-pura bilang begini biar aku makin semangat menjalani terapi, kan? Aku akan berusaha lebih keras lagi biar bisa cepat berjalan Mas." "Lepas!" "Nggak! Mas Kalingga juga cinta sama aku, kan? Kita semalam bercinta berkali-kali. Mas nggak mungkin mau melakukannya kalau nggak cinta." Luna masih ngotot. Kalingga tertawa terbahak-bahak, sebelum menatap Luna dengan tatapan menghina. "Kamu terlalu naif, Luna Gayatri. Pria bisa melakukan seks tanpa cinta. Kamu pikir kenapa banyak pelacur di luar sana dan banyak pria hidung belang yang membeli jasa mereka? Tidak perlu cinta untuk mendapatkan kesenangan itu. Dan kamu sama saja seperti mereka." Luna melepaskan tangannya dari kaki Kalingga dengan air mata mengalir deras. Perkataan laki-laki itu benar-benar menyakiti hatinya. Disamakan dengan pelacur adalah hal yang paling hina bagi seorang istri. "Kamu udah mendapatkan uang dariku setiap bulan, jadi sebagai gantinya, kamu harus melayaniku di atas ranjang. Tidak ada yang dirugikan di sini." Setelah itu, Kalingga pergi meninggalkannya yang sudah berdarah-darah. Tangannya meremas dada kirinya yang berdenyut nyeri. Dadanya sesak. Baru kali ini dia disamakan dengan pelacur, padahal statusnya adalah seorang istri. "Ada apa ini ribut-ribut?" Luna memejamkan mata mendengar suara yang menjadi mimpi buruknya sejak menikah dengan Kalingga. "Kamu udah merasa bangga bisa menikah sama Kalingga, jadi kamu pikir anak saya harus memperlakukanmu dengan baik? Huh, jangan mimpi! Wajar kalau dia memakai tubuh kamu. Kamu udah dibayar, jadi tahu diri dong!" Lagi, ucapan Bu Devi selalu berhasil mengiris hatinya. Dia hanya menunduk, tidak berani melawan. Mereka adalah orang kaya. Bisa apa dia kalau mau melawan mereka? Tiba-tiba Luna merasa kepalanya seperti dilempari oleh sesuatu. Dia tersentak begitu melihat uang berwarna merah berhamburan di hadapannya, bahkan beberapa terjatuh di atas pangkuannya. "Kamu masih kurang kan, makanya mohon-mohon sama anakku? Nih, aku kasih tambahan. Sebagai bayaran atas jasa kamu semalam. Jangan sampai kamu hamil. Aku nggak sudi punya cucu dari orang miskin dan nggak punya harga diri ngemis-ngemis sama lelaki macam kamu." Suara ketukan sepatu hak tinggi milik Bu Devi yang menjauhinya membuat Luna menangis semakin keras. Dia meremas dada kirinya dengan sekuat tenaga, memukul-mukulnya untuk menghilangkan rasa sakit itu. "Ya Allah, Bu. Astaghfirullah. Ya Allah. Yang sabar ya, Bu," ucap Peni dengan suara bergetar sambil membantu Luna untuk duduk kembali di kursi roda. "Memangnya aku salah kalau aku berusaha untuk menyenangkan hati suamiku, Mbak? Kenapa aku malah dianggap pelacur? Aku pengen membuat Mas Lingga senang, Mbak," ucap Luna di sela-sela tangisnya. Peni mengusap matanya melihat perlakuan Kalingga dan Bu Devi terhadap Luna. Perempuan itu melihat semuanya sejak tadi dan tidak berani menghampiri. Sudah sejak lama Peni menyaksikan perlakuan Kalingga dan Bu Devi yang semena-mena terhadap Luna. "Kenapa mereka jahat, Mbak? Memangnya orang miskin nggak boleh mencintai suaminya sendiri?" Luna menangis semakin keras. "Orang kaya memang begitu, Bu. Kita ini cuma orang miskin yang nggak punya kuasa apa-apa. Ibu yang sabar ya," jawab Peni sambil membalas pelukan dari Luna di pinggangnya. Selalu seperti ini. Setelah Luna dihina habis-habisan oleh Bu Devi, Peni akan memeluk Luna seperti adiknya sendiri. "Kenapa mencintai suami bisa sesakit ini? Kenapa Engkau menciptakan rasa cinta ini untuk Mas Lingga, Tuhan? Kenapa Kau menumbuhkan benih-benih cinta jika memang dia bukan jodohku?" Peni melepaskan pelukannya dan memungut uang yang berhamburan di lantai dengan tangan gemetar. Wanita itu ikut menangis. Ternyata menikah dengan orang kaya tidak seindah di film atau novel. Mereka akan tetap mencari yang sepadan. "Ini uangnya, Bu," kata Peni dengan wajah iba melihat Luna yang mengenaskan. Luna menggeleng dan mendorong uang itu. "Ambil buat kamu aja, Mbak. Aku bukan pelacur." Peni menggeleng. "Ibu bukan pelacur. Dalam agama, itu adalah kewajiban istri melayani suami. Jangan dengarkan apa kata mertua anda, Bu. Ini, simpan uang ini." "Nggak, Mbak. Buat kamu aja uangnya," kata Luna bersikeras menolak. "Bu, dengarkan saya. Anggap saja ini sebagai rejeki meskipun caranya menyakitkan. Simpan uang ini untuk pegangan di masa depan. Jika sewaktu-waktu Pak Kalingga membuang ibu, pasti membutuhkan biaya untuk bertahan hidup. Uangnya bisa buat modal buka usaha di kampung. Anggap aja ini rejeki dari Allah." Meskipun perkataan Peni sedikit menyakitkan, tapi ada benarnya juga. Dia tidak akan selamanya menjadi istri Kalingga. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar. Dia tidak akan bisa berpura-pura lumpuh lagi. "Ya sudah, Mbak. Makasih," kata Luna dengan suara serak. "Luna! Uang apa itu?""Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
Sudah jam 12 malam, tapi Luna belum bisa memejamkan mata. Dia sudah mondar-mandir untuk membunuh waktu sekaligus melatih kedua kakinya agar terbiasa berjalan, namun Kalingga tetap saja belum pulang.Dia teringat dengan adegan yang dilihatnya sebelum keluar dari mansion dengan hati hancur dan air mata berderai.Kalingga memeluk Renata dan mereka berciuman. Dia masih sangat ingat bagaimana tangan wanita itu mencengkeram lengan suaminya, sementara tangan lainnya mencengkeram rambut Kalingga.Bayangan bibir mereka saling melumat membuat hatinya perih bukan main. Dia menghentikan langkah sambil berpegangan pada sandaran sofa. Ternyata rasanya sesakit ini. Pantas saja banyak istri yang lepas kendali ketika mengetahui suami mereka berselingkuh.Apakah mereka sengaja pamer kemesraan di depannya? Apakah Kalingga sengaja ingin menunjukkan padanya bahwa wanita yang pria itu inginkan adalah Renata? Bahwa Luna hanyalah pengganggu bagi hubungan mereka dan seharusnya pergi?"Bu, kenapa belum tidur j
Tubuh Luna langsung membeku. Teringat dengan pertemuan mereka di toilet restoran yang ada di Palace Hotel. Renata yang melihat reaksinya langsung tersenyum miring."Bagaimana jika Kalingga tahu kalau kamu berpura-pura lumpuh, padahal sebenarnya kamu udah bisa jalan?" Renata menatapnya dengan tatapan mencemooh, lalu berdecak. "Nggak nyangka ya, ternyata gadis miskin kayak kamu tuh aslinya licik. Aku jadi curiga kamu sama ayahmu udah merencanakan ini semua biar bisa masuk ke keluarga Kalingga.""Jaga mulut kamu, dasar jalang!" teriak Luna marah.Ingin sekali dia merobek mulut perempuan itu dan meninju wajah penuh make-up itu berkali-kali, tapi tentu saja akan membuatnya berada dalam masalah di kemudian hari."What? Kamu manggil aku jalang?" Renata pura-pura terkesiap sambil menutup mulut. "Nggak kebalik ya?"Kedua tangan Luna terkepal."Perlu aku ingatkan lagi siapa yang masuk ke dalam hubunganku dan Kalingga di sini? Siapa yang tiba-tiba datang dan merusak hubungan kami? Seharusnya aku
Sudah 10 menit Luna duduk di hadapan dokter Irfan, namun pria itu hanya menatapnya dengan pandangan seperti menganalisis. Luna sendiri tidak bereaksi seperti sebelumnya ketika dia masih kukuh mempertahankan Kalingga dengan alasan cinta."Sepertinya kamu udah siap untuk meninggalkan keluarga Wisnuwardhana," ucap Irfan akhirnya.Luna tidak menanggapi. Dia hanya fokus pada kesembuhannya. Kedatangan Renata dan ketidakpulangan Kalingga membuat hatinya begitu sakit sekaligus marah.Dia akan membuktikan pada mereka bahwa dia bukanlah Luna yang bodoh hanya karena mencintai Kalingga. Dia tidak akan lagi mengemis-ngemis cinta pria itu. Jika Kalingga tidak menginginkannya, maka dia akan mengabulkannya. Meskipun hatinya masih perih karena rasa cinta itu masih tertanam di hatinya, dia tidak akan kalah. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada Kalingga."Renata sering menginap di mansion. Sepertinya pernikahan itu memang akan terjadi.""Bisakah anda hanya fokus membahas tentang perkembangan kaki saya?
Luna tidak tahu kenapa Ajeng dan wanita yang dipanggil "Mami" itu terkejut bukan main begitu dia menyebutkan nama ibu mertuanya. Dia mendongak untuk meminta penjelasan pada Elang yang bersikap biasa saja."Mi, kok aku kayaknya pernah denger nama itu ya?" tanya Ajeng bingung."Ck, Devi temennya Widya. Masa kamu lupa sih? Dulu pasti dia ikut-ikutan jelek-jelekin kamu kan karena hasutan Widya?" jawab wanita itu, Dahlia Braun, ibu mertua Ajeng.Sementara mereka sibuk mengobrol, Luna memilih untuk duduk di sofa karena kakinya terasa capek. Baru seperti ini aja sudah lelah, bagaimana bisa Irfan memaksanya untuk pergi jauh dari kota ini?"Sebentar, maksudnya gimana kok Devi bisa dipanggil ibu mertua?" Bu Dahlia menatap Luna yang sedang memijit kakinya. Wanita itu menyipitkan mata."Luna ini kan menantunya, Mi.""Yang bener kamu? Berarti istrinya Kalingga dong? Kok bisa?" tanya Bu Dahlia tak percaya, lalu kembali menatap Luna. "Bukannya Kalingga baru mau menikah ya? Tadi aja aku ketemu Devi s
"Buk, saya udah nggak kuat. Saya keluar aja ya," mohon Kalingga dengan wajah pucat.Penampilannya berantakan karena menjadi sasaran Luna selama masa pembukaan jalan lahir. Rambutnya acak-acakan, lengannya ada bekas cakaran, dan kaosnya kusut bukan main. Dia lebih mirip seperti korban angin putih beliung ketimbang pemilik perusahaan makanan di Surabaya dan beberapa Indomei di kota Malang dan Batu."Hush! Iki yo bojomu dewe. Masa nemenin istri sendiri kok nggak kuat?" tegur Bu Sekar yang memegangi kaki Luna di sebelah kanan, sedangkan Kalingga memegangi kaki sebelah kiri."Saya nggak tega, Bu," jawab Kalingga dengan wajah memelas.Keringat dingin terus membasahi pelipis dan dahinya, sedangkan wajahnya semakin pucat. Dia sudah pernah melihat orang berdarah-darah sebelumnya. Jangan lupakan bahwa dia pernah mengalaminya juga waktu dihajar oleh Alek dan anak buahnya. Belum lagi melihat video Grigori dihajar.Tapi ini beda kasus. Dia menyesal kenapa penasaran melihat jalan lahir Luna saat is
5 Bulan kemudian..."Mas, aku pengen makan mie level. Yang baru aja buka di Jalan Galunggung itu loh. Kayaknya enak makanya rame," pinta Luna sambil membayangkan nikmatnya makanan yang satu itu.Air liurnya bahkan hampir menetes saking inginnya merasakan mie yang digemari oleh para kaum muda tersebut."Jangan makan mie begituan. Kamu sebentar lagi melahirkan. Nanti kalau kenapa-napa gimana?" Kalingga menatapnya dengan wajah datar.Luna langsung cemberut. "Ya nggak usah pedes-pedes lah. Sambelnya sedikit aja. Nggak bakalan ngaruh ke bayi."Kalingga bergeming. Sama sekali tidak terpengaruh oleh kedua mata Luna yang berkaca-kaca dan bibir cemberut. Biasanya, pria itu akan langsung luluh karena gemas dengan keimutan wajah Luna yang sedang merajuk."Nanti dedek bayi ngiler loh kalau nggak diturutin.""Itu cuma mitos," jawab Kalingga datar.Nafas Luna langsung keluar masuk dengan cepat. Tiba-tiba ingin menangis dan tantrum layaknya anak kecil yang tidak dituruti keinginannya. Bibirnya semak
Kalingga menatap Luna yang masih terlelap, lalu menatap Alek yang masih memperhatikannya."Kenapa kamu melakukan ini?"Kening pria itu berkerut. "Pardon?""Perhatianmu pada Luna membuatku was-was. Kamu nggak ada maksud lain, kan?"Alek menatapnya seolah-olah dia gila. "Dia adikku."Kalingga mendengkus. "Aku tahu pergaulan orang barat. Nggak peduli pada aturan apapun, kalian bisa berhubungan dengan saudara sendiri.""Are you serious?" Alek menghampirinya dan mencengkeram kerah kaosnya dengan wajah memerah. "Jangan menggeneralisasi perbuatan rendahan itu seolah-olah kami semua juga melakukannya, you a**hole! Aku yakin di negaramu juga ada yang berbuat demikian. Bahkan ada kaum-kaum menyimpang lainnya, meskipun negaramu dikenal sebagai negara beragama. Jangan membuatku marah di rumahku sendiri."Kalingga langsung mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah, menyesal karena tidak berpikir dulu sebelum berkata."Maaf, Bro. Aku hanya takut kamu...merusak istriku. Dia gadis yang baik d
"Gila! Ini benar-benar gila!" gumam Kalingga ketika bangunan tua di hadapan mereka saat ini meledak, sesaat setelah Ethan dan Lena sibuk menceritakan tentang masa lalu.Untung mobil mereka cukup jauh dari lokasi, jadi mereka tidak begitu terdampak. Banyak anak buah Dimitri dan Alek yang sudah pergi terlebih dulu sebelum bangunan itu meledak. Menyisakan mobil-mobil yang dikendarai oleh Angelica beserta anak buahnya.Kalingga melihat ke sekitarnya. Beberapa mobil yang melintas mulai berhenti. Para penumpang di dalamnya mengeluarkan ponsel untuk merekam kejadian itu."Guys, kita pergi dari sini. Suasananya nggak kondusif!" teriaknya, mencoba memberi peringatan.Dalam hati dia merasa jengkel karena tiga manusia itu justru sibuk dengan drama masa lalu di saat-saat seperti ini. Kenapa tidak sebelum-sebelumnya saja? Atau menunggu nanti ketika pergi dari lokasi ini?Belum sempat Kalingga masuk ke dalam mobil, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya. Seorang pria bule turun dengan
"Aku memanggilmu ke sini bukan untuk membahas tentang pekerjaan, Noah. Melainkan untuk meminta penjelasan."Tidak biasanya presiden berbicara secara langsung tanpa basa-basi dulu seperti ini. Perasaan Noah Wilson mendadak tidak enak. Dia kira, presiden memanggilnya karena kasus penembakan massal yang kerap terjadi di berbagai negara bagian."Penjelasan tentang apa, Mr. Presiden?" jawab Noah dengan tenang, namun sebenarnya jantungnya berdegup tak karuan. Kedua tangannya berkeringat.Mr. Presiden melepaskan kacamata bacanya, lalu menyesap kopi dengan tenang. Pria itu memutar laptop ke arah Noah setelah meletakkan cangkir di atas tatakan."Baca semuanya." Mr. Presiden memberi kode pada ajudannya untuk menyerahkan laptop itu pada Noah."Baik, Mr. Presiden," jawab Noah dengan tegas.Laptop itu terasa berat dan panas di pangkuannya. Darah seperti meninggalkan wajahnya ketika kata demi kata di barisan paling atas dokumen yang tertera di layar laptop terserap ke dalam otaknya.[DAFTAR SKANDAL
Percakapan antara Alek dan Anastasia berlangsung cukup lama, namun Luna sama sekali tidak paham karena menggunakan bahasa Rusia. Ada satu orang lagi di sana, seorang pria. Mungkin Grigori seperti yang tadi disebutkan oleh Alek.Tapi setelah suara seperti dari telepon yang di-loudspeaker itu terdengar, Luna akhirnya mengerti duduk permasalahannya.Ternyata, Grigori bukanlah kakeknya, melainkan adik tiri dari kakeknya. Kakeknya yang asli bernama Boris kalau tadi dia tidak salah dengar. Jadi, sumber permasalahan sebenarnya kalau menurut Luna bukanlah Boris yang memperkosa Irina, sang nenek. Melainkan Grigori.Anak yang lahir di luar pernikahan tidaklah bersalah. Jadi, kejadian yang menimpa Luna dan ibu kandungnya bukanlah karena Lena anak haram. Banyak anak lahir di luar pernikahan, tapi tidak mengalami nasib seperti Lena yang terus-menerus hidup dalam ancaman pembunuhan, dan putrinya dibuang ke negara orang.Kesimpulannya, semua masalah yang terjadi di keluarganya adalah karena kedengki
Luna langsung melepaskan tangannya dari tubuh Anastasia dan berpura-pura jatuh."Aduh! Nyonya! Saya salah apa? Padahal saya hanya ingin berkenalan dengan anda dan bertanya di mana Alek. Kenapa anda menampar saya?" pekik Luna sambil memegang pipinya dengan kedua mata berkaca-kaca.Dia mendongak dengan sorot mata terluka, menatap Anastasia yang menganga dengan kedua mata melotot."Apa-apaan...""Apa yang terjadi?" Suara Alek terdengar dingin.Luna langsung menoleh dan berdiri dengan susah payah. Air matanya berlinang. Dia menghampiri Alek dan langsung memeluk pria itu dengan erat."Kak, Ibu itu tiba-tiba aja nampar aku. Aku nggak tahu salahku apa. Tapi tadi dia bilang, aku cuma parasit yang mengganggu. Katanya aku sengaja masuk ke mansion ini buat mengeruk harta kamu dengan alasan anak dalam kandunganku. Dia juga bilang, kamu pasti sebentar lagi bakalan nendang aku dari sini dan nggak mau bertanggungjawab atas kehamilan aku."Anastasia terengah dengan wajah tak percaya. "Apa? Aku tidak
Luna membuka mata dan melihat langit-langit ruangan yang terlihat asing. Terlalu mewah. Di mana dia? Otaknya memutar kejadian-kejadian sebelum ini, sampai pada kejadian penembakan di bandara yang hampir merenggut nyawanya.Dia menghela nafas panjang. Sejak kecelakaan yang merenggut nyawa ayah angkatnya, hidup Luna benar-benar berubah 180°. Tidak ada lagi kehidupan yang tenang dan sederhana. Dia rindu kehidupannya yang dulu. Saat dia hanya memiliki Sofia sebagai sahabatnya, satu-satunya orang kaya dan berpengaruh yang mau berteman dengannya.Tapi sekarang, semuanya begitu rumit. Masuknya ia ke dalam keluarga Wisnuwardhana, mengantarkannya pada bahaya demi bahaya yang terus mengancam nyawanya. Hingga akhirnya dia mengetahui fakta yang membuatnya tidak bisa lagi kembali ke kehidupannya yang dulu."Mas Kalingga lagi ngapain ya sekarang? Dia kangen nggak sama aku?" Tangannya refleks mengelus perutnya yang membesar. Tiba-tiba merasakan tendangan yang mulai biasa ia dapatkan. "Kamu juga kang
Nathan menatap datar perempuan tua yang seharusnya dia hormati. Perempuan yang melahirkan ibunya, tapi selalu menorehkan luka hingga sang ibu sering menangis secara diam-diam hingga terbawa ke dalam mimpi.Sejak berusia 5 tahun, Nathan sudah tahu ada yang salah dengan keluarganya. Meskipun dia masih belum bisa memahami apa yang dia lihat, dia masih ingat betul setiap momen yang terjadi di depan matanya. Hingga akhirnya dia paham begitu menginjak remaja.Ibunya tidak diinginkan oleh orangtuanya sendiri, dan sang ayah berkali-kali ingin melenyapkan sang ibu. How twisted is that?Tak ada yang tahu apa yang selama ini disimpan oleh Nathan. Dia bergerak dalam diam dan terus memupuk rasa marah, kecewa, tidak terima, kesal, dan putus asa. Hingga akhirnya hatinya menjadi dingin."Kau!" Nathan menodongkan sepucuk Desert Eagle ke arah pria muda yang masih memegang erat pistolnya dengan tangan gemetar. "Di mana ayah bajinganmu itu? Dialah sumber masalah di keluargaku. Aku harus menghentikannya."