Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.
Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras. "Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin. "Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga. Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku." Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya. Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuatnya diceraikan oleh Kalingga. "Aku udah muak berpura-pura baik padamu, Luna. Selama dua bulan ini aku bersikap baik padamu biar kamu semangat menjalani terapi, tapi kenapa masih lumpuh juga? Benar-benar nggak berguna!" Luna syok mendengar pengakuan dari pria itu. Jadi selama ini, Kalingga hanya berpura-pura saja agar dia bisa segera sembuh? "Mas, tapi selama dua bulan ini kamu begitu hangat..." Kalingga mendengkus. "Jangan terlalu percaya diri kamu! Aku cuma pura-pura. Aku udah muak sama kamu. Aku malu punya istri kampungan yang lumpuh! Kamu benar-benar mencoreng nama baikku." Luna menganga tak percaya. Pria itu benar-benar kejam. "Cepatlah sembuh agar aku bisa menceraikanmu. Aku udah ngasih kamu uang yang fantastis setiap bulannya sesuai dengan perjanjian pranikah kita. Anggap aja itu sebagai uang pengganti karena ayahmu meninggal." "Mas! Jadi kamu menganggap uang itu sebagai pengganti nyawa ayahku? Kamu benar-benar tega, Mas! Uang sebanyak apapun nggak akan bisa menggantikan nyawa manusia!" pekik Luna dengan mata berkaca-kaca. Lagi, Kalingga mendengkus lalu memutar mata. "Harusnya kamu bersyukur aku masih mau ngasih uang bulanan sebagai ganti gaji ayahmu. Sudah kunikahi, kukasih nafkah, masih aja bertingkah. Memang dasar orang miskin itu benalu dan nggak tahu diri!" Kalingga hendak beranjak pergi, namun Luna dengan cepat memeluk kaki pria itu. "Jangan pergi, Mas. Aku yakin kamu cuma pura-pura bilang begini biar aku makin semangat menjalani terapi, kan? Aku akan berusaha lebih keras lagi biar bisa cepat berjalan Mas." "Lepas!" "Nggak! Mas Kalingga juga cinta sama aku, kan? Kita semalam bercinta berkali-kali. Mas nggak mungkin mau melakukannya kalau nggak cinta." Luna masih ngotot. Kalingga tertawa terbahak-bahak, sebelum menatap Luna dengan tatapan menghina. "Kamu terlalu naif, Luna Gayatri. Pria bisa melakukan seks tanpa cinta. Kamu pikir kenapa banyak pelacur di luar sana dan banyak pria hidung belang yang membeli jasa mereka? Tidak perlu cinta untuk mendapatkan kesenangan itu. Dan kamu sama saja seperti mereka." Luna melepaskan tangannya dari kaki Kalingga dengan air mata mengalir deras. Perkataan laki-laki itu benar-benar menyakiti hatinya. Disamakan dengan pelacur adalah hal yang paling hina bagi seorang istri. "Kamu udah mendapatkan uang dariku setiap bulan, jadi sebagai gantinya, kamu harus melayaniku di atas ranjang. Tidak ada yang dirugikan di sini." Setelah itu, Kalingga pergi meninggalkannya yang sudah berdarah-darah. Tangannya meremas dada kirinya yang berdenyut nyeri. Dadanya sesak. Baru kali ini dia disamakan dengan pelacur, padahal statusnya adalah seorang istri. "Ada apa ini ribut-ribut?" Luna memejamkan mata mendengar suara yang menjadi mimpi buruknya sejak menikah dengan Kalingga. "Kamu udah merasa bangga bisa menikah sama Kalingga, jadi kamu pikir anak saya harus memperlakukanmu dengan baik? Huh, jangan mimpi! Wajar kalau dia memakai tubuh kamu. Kamu udah dibayar, jadi tahu diri dong!" Lagi, ucapan Bu Devi selalu berhasil mengiris hatinya. Dia hanya menunduk, tidak berani melawan. Mereka adalah orang kaya. Bisa apa dia kalau mau melawan mereka? Tiba-tiba Luna merasa kepalanya seperti dilempari oleh sesuatu. Dia tersentak begitu melihat uang berwarna merah berhamburan di hadapannya, bahkan beberapa terjatuh di atas pangkuannya. "Kamu masih kurang kan, makanya mohon-mohon sama anakku? Nih, aku kasih tambahan. Sebagai bayaran atas jasa kamu semalam. Jangan sampai kamu hamil. Aku nggak sudi punya cucu dari orang miskin dan nggak punya harga diri ngemis-ngemis sama lelaki macam kamu." Suara ketukan sepatu hak tinggi milik Bu Devi yang menjauhinya membuat Luna menangis semakin keras. Dia meremas dada kirinya dengan sekuat tenaga, memukul-mukulnya untuk menghilangkan rasa sakit itu. "Ya Allah, Bu. Astaghfirullah. Ya Allah. Yang sabar ya, Bu," ucap Peni dengan suara bergetar sambil membantu Luna untuk duduk kembali di kursi roda. "Memangnya aku salah kalau aku berusaha untuk menyenangkan hati suamiku, Mbak? Kenapa aku malah dianggap pelacur? Aku pengen membuat Mas Lingga senang, Mbak," ucap Luna di sela-sela tangisnya. Peni mengusap matanya melihat perlakuan Kalingga dan Bu Devi terhadap Luna. Perempuan itu melihat semuanya sejak tadi dan tidak berani menghampiri. Sudah sejak lama Peni menyaksikan perlakuan Kalingga dan Bu Devi yang semena-mena terhadap Luna. "Kenapa mereka jahat, Mbak? Memangnya orang miskin nggak boleh mencintai suaminya sendiri?" Luna menangis semakin keras. "Orang kaya memang begitu, Bu. Kita ini cuma orang miskin yang nggak punya kuasa apa-apa. Ibu yang sabar ya," jawab Peni sambil membalas pelukan dari Luna di pinggangnya. Selalu seperti ini. Setelah Luna dihina habis-habisan oleh Bu Devi, Peni akan memeluk Luna seperti adiknya sendiri. "Kenapa mencintai suami bisa sesakit ini? Kenapa Engkau menciptakan rasa cinta ini untuk Mas Lingga, Tuhan? Kenapa Kau menumbuhkan benih-benih cinta jika memang dia bukan jodohku?" Peni melepaskan pelukannya dan memungut uang yang berhamburan di lantai dengan tangan gemetar. Wanita itu ikut menangis. Ternyata menikah dengan orang kaya tidak seindah di film atau novel. Mereka akan tetap mencari yang sepadan. "Ini uangnya, Bu," kata Peni dengan wajah iba melihat Luna yang mengenaskan. Luna menggeleng dan mendorong uang itu. "Ambil buat kamu aja, Mbak. Aku bukan pelacur." Peni menggeleng. "Ibu bukan pelacur. Dalam agama, itu adalah kewajiban istri melayani suami. Jangan dengarkan apa kata mertua anda, Bu. Ini, simpan uang ini." "Nggak, Mbak. Buat kamu aja uangnya," kata Luna bersikeras menolak. "Bu, dengarkan saya. Anggap saja ini sebagai rejeki meskipun caranya menyakitkan. Simpan uang ini untuk pegangan di masa depan. Jika sewaktu-waktu Pak Kalingga membuang ibu, pasti membutuhkan biaya untuk bertahan hidup. Uangnya bisa buat modal buka usaha di kampung. Anggap aja ini rejeki dari Allah." Meskipun perkataan Peni sedikit menyakitkan, tapi ada benarnya juga. Dia tidak akan selamanya menjadi istri Kalingga. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar. Dia tidak akan bisa berpura-pura lumpuh lagi. "Ya sudah, Mbak. Makasih," kata Luna dengan suara serak. "Luna! Uang apa itu?""Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini