Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.
Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras. "Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin. "Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga. Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku." Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya. Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuatnya diceraikan oleh Kalingga. "Aku udah muak berpura-pura baik padamu, Luna. Selama dua bulan ini aku bersikap baik padamu biar kamu semangat menjalani terapi, tapi kenapa masih lumpuh juga? Benar-benar nggak berguna!" Luna syok mendengar pengakuan dari pria itu. Jadi selama ini, Kalingga hanya berpura-pura saja agar dia bisa segera sembuh? "Mas, tapi selama dua bulan ini kamu begitu hangat..." Kalingga mendengkus. "Jangan terlalu percaya diri kamu! Aku cuma pura-pura. Aku udah muak sama kamu. Aku malu punya istri kampungan yang lumpuh! Kamu benar-benar mencoreng nama baikku." Luna menganga tak percaya. Pria itu benar-benar kejam. "Cepatlah sembuh agar aku bisa menceraikanmu. Aku udah ngasih kamu uang yang fantastis setiap bulannya sesuai dengan perjanjian pranikah kita. Anggap aja itu sebagai uang pengganti karena ayahmu meninggal." "Mas! Jadi kamu menganggap uang itu sebagai pengganti nyawa ayahku? Kamu benar-benar tega, Mas! Uang sebanyak apapun nggak akan bisa menggantikan nyawa manusia!" pekik Luna dengan mata berkaca-kaca. Lagi, Kalingga mendengkus lalu memutar mata. "Harusnya kamu bersyukur aku masih mau ngasih uang bulanan sebagai ganti gaji ayahmu. Sudah kunikahi, kukasih nafkah, masih aja bertingkah. Memang dasar orang miskin itu benalu dan nggak tahu diri!" Kalingga hendak beranjak pergi, namun Luna dengan cepat memeluk kaki pria itu. "Jangan pergi, Mas. Aku yakin kamu cuma pura-pura bilang begini biar aku makin semangat menjalani terapi, kan? Aku akan berusaha lebih keras lagi biar bisa cepat berjalan Mas." "Lepas!" "Nggak! Mas Kalingga juga cinta sama aku, kan? Kita semalam bercinta berkali-kali. Mas nggak mungkin mau melakukannya kalau nggak cinta." Luna masih ngotot. Kalingga tertawa terbahak-bahak, sebelum menatap Luna dengan tatapan menghina. "Kamu terlalu naif, Luna Gayatri. Pria bisa melakukan seks tanpa cinta. Kamu pikir kenapa banyak pelacur di luar sana dan banyak pria hidung belang yang membeli jasa mereka? Tidak perlu cinta untuk mendapatkan kesenangan itu. Dan kamu sama saja seperti mereka." Luna melepaskan tangannya dari kaki Kalingga dengan air mata mengalir deras. Perkataan laki-laki itu benar-benar menyakiti hatinya. Disamakan dengan pelacur adalah hal yang paling hina bagi seorang istri. "Kamu udah mendapatkan uang dariku setiap bulan, jadi sebagai gantinya, kamu harus melayaniku di atas ranjang. Tidak ada yang dirugikan di sini." Setelah itu, Kalingga pergi meninggalkannya yang sudah berdarah-darah. Tangannya meremas dada kirinya yang berdenyut nyeri. Dadanya sesak. Baru kali ini dia disamakan dengan pelacur, padahal statusnya adalah seorang istri. "Ada apa ini ribut-ribut?" Luna memejamkan mata mendengar suara yang menjadi mimpi buruknya sejak menikah dengan Kalingga. "Kamu udah merasa bangga bisa menikah sama Kalingga, jadi kamu pikir anak saya harus memperlakukanmu dengan baik? Huh, jangan mimpi! Wajar kalau dia memakai tubuh kamu. Kamu udah dibayar, jadi tahu diri dong!" Lagi, ucapan Bu Devi selalu berhasil mengiris hatinya. Dia hanya menunduk, tidak berani melawan. Mereka adalah orang kaya. Bisa apa dia kalau mau melawan mereka? Tiba-tiba Luna merasa kepalanya seperti dilempari oleh sesuatu. Dia tersentak begitu melihat uang berwarna merah berhamburan di hadapannya, bahkan beberapa terjatuh di atas pangkuannya. "Kamu masih kurang kan, makanya mohon-mohon sama anakku? Nih, aku kasih tambahan. Sebagai bayaran atas jasa kamu semalam. Jangan sampai kamu hamil. Aku nggak sudi punya cucu dari orang miskin dan nggak punya harga diri ngemis-ngemis sama lelaki macam kamu." Suara ketukan sepatu hak tinggi milik Bu Devi yang menjauhinya membuat Luna menangis semakin keras. Dia meremas dada kirinya dengan sekuat tenaga, memukul-mukulnya untuk menghilangkan rasa sakit itu. "Ya Allah, Bu. Astaghfirullah. Ya Allah. Yang sabar ya, Bu," ucap Peni dengan suara bergetar sambil membantu Luna untuk duduk kembali di kursi roda. "Memangnya aku salah kalau aku berusaha untuk menyenangkan hati suamiku, Mbak? Kenapa aku malah dianggap pelacur? Aku pengen membuat Mas Lingga senang, Mbak," ucap Luna di sela-sela tangisnya. Peni mengusap matanya melihat perlakuan Kalingga dan Bu Devi terhadap Luna. Perempuan itu melihat semuanya sejak tadi dan tidak berani menghampiri. Sudah sejak lama Peni menyaksikan perlakuan Kalingga dan Bu Devi yang semena-mena terhadap Luna. "Kenapa mereka jahat, Mbak? Memangnya orang miskin nggak boleh mencintai suaminya sendiri?" Luna menangis semakin keras. "Orang kaya memang begitu, Bu. Kita ini cuma orang miskin yang nggak punya kuasa apa-apa. Ibu yang sabar ya," jawab Peni sambil membalas pelukan dari Luna di pinggangnya. Selalu seperti ini. Setelah Luna dihina habis-habisan oleh Bu Devi, Peni akan memeluk Luna seperti adiknya sendiri. "Kenapa mencintai suami bisa sesakit ini? Kenapa Engkau menciptakan rasa cinta ini untuk Mas Lingga, Tuhan? Kenapa Kau menumbuhkan benih-benih cinta jika memang dia bukan jodohku?" Peni melepaskan pelukannya dan memungut uang yang berhamburan di lantai dengan tangan gemetar. Wanita itu ikut menangis. Ternyata menikah dengan orang kaya tidak seindah di film atau novel. Mereka akan tetap mencari yang sepadan. "Ini uangnya, Bu," kata Peni dengan wajah iba melihat Luna yang mengenaskan. Luna menggeleng dan mendorong uang itu. "Ambil buat kamu aja, Mbak. Aku bukan pelacur." Peni menggeleng. "Ibu bukan pelacur. Dalam agama, itu adalah kewajiban istri melayani suami. Jangan dengarkan apa kata mertua anda, Bu. Ini, simpan uang ini." "Nggak, Mbak. Buat kamu aja uangnya," kata Luna bersikeras menolak. "Bu, dengarkan saya. Anggap saja ini sebagai rejeki meskipun caranya menyakitkan. Simpan uang ini untuk pegangan di masa depan. Jika sewaktu-waktu Pak Kalingga membuang ibu, pasti membutuhkan biaya untuk bertahan hidup. Uangnya bisa buat modal buka usaha di kampung. Anggap aja ini rejeki dari Allah." Meskipun perkataan Peni sedikit menyakitkan, tapi ada benarnya juga. Dia tidak akan selamanya menjadi istri Kalingga. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar. Dia tidak akan bisa berpura-pura lumpuh lagi. "Ya sudah, Mbak. Makasih," kata Luna dengan suara serak. "Luna! Uang apa itu?""Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
Sudah jam 12 malam, tapi Luna belum bisa memejamkan mata. Dia sudah mondar-mandir untuk membunuh waktu sekaligus melatih kedua kakinya agar terbiasa berjalan, namun Kalingga tetap saja belum pulang.Dia teringat dengan adegan yang dilihatnya sebelum keluar dari mansion dengan hati hancur dan air mata berderai.Kalingga memeluk Renata dan mereka berciuman. Dia masih sangat ingat bagaimana tangan wanita itu mencengkeram lengan suaminya, sementara tangan lainnya mencengkeram rambut Kalingga.Bayangan bibir mereka saling melumat membuat hatinya perih bukan main. Dia menghentikan langkah sambil berpegangan pada sandaran sofa. Ternyata rasanya sesakit ini. Pantas saja banyak istri yang lepas kendali ketika mengetahui suami mereka berselingkuh.Apakah mereka sengaja pamer kemesraan di depannya? Apakah Kalingga sengaja ingin menunjukkan padanya bahwa wanita yang pria itu inginkan adalah Renata? Bahwa Luna hanyalah pengganggu bagi hubungan mereka dan seharusnya pergi?"Bu, kenapa belum tidur j
Tubuh Luna langsung membeku. Teringat dengan pertemuan mereka di toilet restoran yang ada di Palace Hotel. Renata yang melihat reaksinya langsung tersenyum miring."Bagaimana jika Kalingga tahu kalau kamu berpura-pura lumpuh, padahal sebenarnya kamu udah bisa jalan?" Renata menatapnya dengan tatapan mencemooh, lalu berdecak. "Nggak nyangka ya, ternyata gadis miskin kayak kamu tuh aslinya licik. Aku jadi curiga kamu sama ayahmu udah merencanakan ini semua biar bisa masuk ke keluarga Kalingga.""Jaga mulut kamu, dasar jalang!" teriak Luna marah.Ingin sekali dia merobek mulut perempuan itu dan meninju wajah penuh make-up itu berkali-kali, tapi tentu saja akan membuatnya berada dalam masalah di kemudian hari."What? Kamu manggil aku jalang?" Renata pura-pura terkesiap sambil menutup mulut. "Nggak kebalik ya?"Kedua tangan Luna terkepal."Perlu aku ingatkan lagi siapa yang masuk ke dalam hubunganku dan Kalingga di sini? Siapa yang tiba-tiba datang dan merusak hubungan kami? Seharusnya aku
Sudah 10 menit Luna duduk di hadapan dokter Irfan, namun pria itu hanya menatapnya dengan pandangan seperti menganalisis. Luna sendiri tidak bereaksi seperti sebelumnya ketika dia masih kukuh mempertahankan Kalingga dengan alasan cinta."Sepertinya kamu udah siap untuk meninggalkan keluarga Wisnuwardhana," ucap Irfan akhirnya.Luna tidak menanggapi. Dia hanya fokus pada kesembuhannya. Kedatangan Renata dan ketidakpulangan Kalingga membuat hatinya begitu sakit sekaligus marah.Dia akan membuktikan pada mereka bahwa dia bukanlah Luna yang bodoh hanya karena mencintai Kalingga. Dia tidak akan lagi mengemis-ngemis cinta pria itu. Jika Kalingga tidak menginginkannya, maka dia akan mengabulkannya. Meskipun hatinya masih perih karena rasa cinta itu masih tertanam di hatinya, dia tidak akan kalah. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada Kalingga."Renata sering menginap di mansion. Sepertinya pernikahan itu memang akan terjadi.""Bisakah anda hanya fokus membahas tentang perkembangan kaki saya?
Luna tidak tahu kenapa Ajeng dan wanita yang dipanggil "Mami" itu terkejut bukan main begitu dia menyebutkan nama ibu mertuanya. Dia mendongak untuk meminta penjelasan pada Elang yang bersikap biasa saja."Mi, kok aku kayaknya pernah denger nama itu ya?" tanya Ajeng bingung."Ck, Devi temennya Widya. Masa kamu lupa sih? Dulu pasti dia ikut-ikutan jelek-jelekin kamu kan karena hasutan Widya?" jawab wanita itu, Dahlia Braun, ibu mertua Ajeng.Sementara mereka sibuk mengobrol, Luna memilih untuk duduk di sofa karena kakinya terasa capek. Baru seperti ini aja sudah lelah, bagaimana bisa Irfan memaksanya untuk pergi jauh dari kota ini?"Sebentar, maksudnya gimana kok Devi bisa dipanggil ibu mertua?" Bu Dahlia menatap Luna yang sedang memijit kakinya. Wanita itu menyipitkan mata."Luna ini kan menantunya, Mi.""Yang bener kamu? Berarti istrinya Kalingga dong? Kok bisa?" tanya Bu Dahlia tak percaya, lalu kembali menatap Luna. "Bukannya Kalingga baru mau menikah ya? Tadi aja aku ketemu Devi s
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika Fandi mengetuk pintu ruang kerja Kakek Ageng. Setelah mendapatkan telepon dari Noah Wilson, Kakek Ageng memutuskan untuk pulang kembali ke mansion dan menyerahkan acara pesta pada Brama, Anton, dan Danu.Waktunya tidak untuk dibuang dengan percuma. Anak buahnya yang tersebar di mana-mana melaporkan semua tentang tingkah laku Devi selama dia tinggal ke luar negeri. Termasuk skandal memalukan yang diam-diam dilakukan oleh perempuan jalang itu."Kurang ajar!""Maaf, Tuan?""Kenapa bisa kecolongan selama puluhan tahun?" bentak Kakek Ageng pada seseorang di seberang telepon.Fandi yang mengira bahwa dirinya yang dimarahi langsung menghela nafas lega."Kali ini kumaafkan. Lanjutkan tugasmu."Kakek Ageng membanting ponselnya ke atas meja dengan wajah memerah dan bahu naik turun dengan cepat. Devi memang sudah keterlaluan dan bertindak kelewat batas. Selama ini dia tidak terlalu memperhatikan perempuan jalang itu karena dia pikir Brama sudah menga
Di sebuah rumah mewah di Washington DC, seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda, terlihat gelisah setelah menerima pesan dari orang yang sangat tidak dia harapkan.Dia menggigit bibir bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Di satu sisi, dia bahagia karena akhirnya anaknya ditemukan. Tapi di sisi lain, dia takut karena anak dari mantan kekasihnya juga mengetahui di mana keberadaan putrinya, Luna Andreeva Wilson.Tidak perlu tes DNA untuk memastikan bahwa Luna adalah putrinya. Wajah Luna persis seperti wajahnya ketika masih remaja dulu.Tak berapa lama kemudian, sebuah pesan kembali masuk. Berisi foto Luna dengan gaun berwarna hitam di sebuah pesta. Foto itu diambil dari tangkapan layar dalam sebuah video di tiktak.[Aleksei Volkov : Kenapa menyembunyikan tunanganku, Mama? Bukankah kamu egois?]Lena Andreeva, wanita itu, melempar ponselnya sambil memekik ketakutan. Tidak boleh! Anak itu tidak boleh menemukan putrinya. Putri yang sengaja dibuat hilang oleh s
Malam semakin larut, namun jumlah kendaraan yang terparkir di sekitar gedung BAS masih belum berkurang. Semua karyawan selalu menyambut dengan sukacita acara ulang tahun perusahaan yang sudah pasti meriah dan seru.Kakek Ageng menatap beberapa karyawan Security Black yang sedang membereskan orang-orang suruhan Bu Devi dalam diam."Haruskah kita menyapa mereka, Tuan?" tanya Fandi, asisten pribadinya."Tidak perlu," jawab Kakek Ageng dengan gestur santai."Tapi mereka masuk ke wilayah perusahaan tanpa ijin," bantah Fandi.Kakek Ageng terkekeh kecil. Karyawan dari perusahaan keamanan asal Amerika Serikat itu memang benar-benar cekatan. Banyak yang memiliki wajah bule dan Asia Timur, membuat Kakek Ageng kagum dengan kinerja mereka.Semua orang tahu bagaimana kinerja orang-orang di negara ini. Gampang disuap, kurang disiplin, dan cenderung pemalas. Apalagi generasi muda. Sungguh sangat disayangkan. Padahal Security Black bisa dijadikan sebagai lahan empuk untuk mencari nafkah bagi penduduk
Suasana pesta begitu meriah meskipun tadi sempat kacau karena ibunya dan Renata membuat ulah yang jujur saja sangat memalukan. Tapi siapa yang berani mengolok-olok keluarga Wisnuwardhana secara terang-terangan? Mereka justru menjilat keluarganya demi bisa mendapatkan kerjasama yang menguntungkan.Beruntung pihak personalia bisa membuat suasana ulang tahun menjadi hidup dan santai. Mereka melupakan peristiwa tadi dengan cepat. Atau mungkin menyimpannya untuk sementara."Pak! Pak, gawat," seru Dewi di antara kerumunan tamu yang sebagian besar adalah karyawan BAS.Sekretaris kepercayaannya yang begitu setia dan patuh padanya itu menghampiri Kalingga dengan wajah panik dan pucat. Keringat membanjiri pelipis dan dahi wanita itu."Ada apa? Ada masalah dengan pestanya?" tanyanya sambil mengamati sekeliling aula. Tidak ada yang aneh."Pak, Bu Renata menyerang Bu Luna di toilet lantai satu. Ada banyak darah berceceran. Saya mau mendekat takut, soalnya banyak orang berpakaian serba hitam di lob
Tak ada yang tahu bahwa Luna sedang dibawa oleh seorang pria asing berpakaian serba hitam dan mengenakan penutup kepala. Renata menatap Luna dengan seringai sinis. "Ternyata semudah itu menyingkirkan dia." Renata mendengkus. "Kalingga benar-benar nggak peduli sama dia. Padahal seharusnya ada banyak pengawal yang menjaga si jalang itu." "Kamu nggak ikut?" tanya pria itu. "Nggak. Aku harus memperbaiki penampilanku dan kembali ke pesta. Aku nggak mau Kalingga dan yang lain curiga. Cepetan kamu bawa dia ke tempat yang udah aku siapin." Renata mengusir pria itu dan bergegas memperbaiki penampilannya yang berantakan. Dia mengutuk Luna berkali-kali karena penampilannya benar-benar sangat kacau. "Seharusnya wanita tua itu menyingkirkan dia waktu masih lumpuh. Ck! Merepotkan sekali. Katanya mau menculik Luna. Mana buktinya? Nyatanya tetap aku yang berhasil," gerutu Renata sambil memoleskan bedak untuk menutupi luka bekas cakaran Luna yang terasa perih. Renata mendesis. "Sialan emang
"Seharusnya kamu melawan. Kamu udah menyandang nama Bathara, jadi jangan diam aja seperti tadi," omel Elang dengan wajah ditekuk dan alis menukik.Luna menghela nafas lelah. "Aku cuma nggak mau semakin menjadi pusat perhatian, Mas. Udahlah biarin aja. Toh habis ini aku lepas dari keluarga itu."Rasanya Luna ingin segera pergi dan menjauh. Tidak lagi berhubungan dengan keluarga Wisnuwardhana. Dia tidak berharap akan dibela oleh Kakek Ageng atau Pak Brama. Tidak. Orang-orang seperti mereka tidak sepenuhnya tulus.Pasti ada sesuatu yang membuat Kakek Ageng begitu baik padanya yang tidak punya apa-apa dan hanyalah anak seorang satpam. Hidup ini tidak seperti dongeng Cinderella. Terlalu omong kosong."Aku mau ke toilet dulu, Mas. Maaf, gara-gara aku, kamu jadi melupakan tugas kamu dan meninggalkan Kak Ajeng," ucap Luna merasa tak enak.Belum apa-apa, dia sudah merepotkan orang yang baru dikenalnya."Kamu balik aja ke aula. Jangan sampai Kak Ajeng marah dan memecat kamu," paksanya sambil me
"Lingga, aku ditampar sama si jalang itu. Kenapa kamu cuma diam saja?" rengek Renata sambil menggoyangkan lengan Kalingga.Kalingga hanya diam saja. Hatinya terbakar ketika melihat pria sialan itu memeluk Luna di depan semua orang. Sialan! "Lingga, aku dipermalukan di depan semua orang. Kamu harus membalas perempuan jalang itu. Dia sudah membuat aku terjatuh. Gimana kalau aku keguguran?"Hampir saja Kalingga mendorong wanita itu karena terus menempelinya seperti lintah sejak tadi, namun dia urungkan. Semua orang tengah melihat mereka. Dia tersenyum pada Renata, menepuk-nepuk punggung tangan wanita itu untuk menenangkan."Nanti kita ke dokter untuk periksa," jawabnya dengan lembut, lalu melihat ke arah seluruh tamu yang sudah hadir."Maaf atas sedikit masalah tadi. Mari kita lanjutkan pestanya sambil menunggu Kakek Ageng." Kalingga memberikan pengumuman.Mereka semua kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun sebenarnya mereka tengah menggunjingkan keluarga Wisnuwardhana. K
Kalau dulu Luna akan diam saja dan menangis, maka sekarang tidak lagi. Sudah cukup! Dia tidak mau diinjak-injak lagi. Apalagi setelah dia sekarang menyandang nama Bathara di belakang namanya. Belum lagi Ayah Erwin dan Elang yang selalu mendoktrinnya untuk menjadi wanita tangguh.Tidak akan ada lagi yang meremehkan Luna begitu mereka tahu statusnya sekarang. Bukan lagi wanita miskin yatim piatu yang lumpuh dan menjadi beban di keluarga Wisnuwardhana, melainkan anak dari Erwin Bathara. Seorang jenderal bintang tiga yang dihormati oleh banyak orang."Saya tidak menyangka bahwa seorang nyonya Wisnuwardhana ternyata tidak cukup berpendidikan ketika berbicara. Untuk ukuran nyonya dari keluarga konglomerat, anda seperti tidak pernah mengenal apa itu sopan santun dan adab," ucap Luna sambil mengangkat dagunya.Mata Bu Devi membelalak. "Apa kamu bilang? Dasar kurang ajar! Orang miskin seperti kamu berani melawanku, hah?"Luna tersenyum miring. "Selama ini saya hanya diam saja ketika anda terus
Hati Luna semakin gelisah begitu mobil semakin mendekati kantor BAS. Seandainya saja dia ingat bahwa malam ini adalah acara itu, dia akan kabur dan berpura-pura lupa. Tapi sayangnya, dia benar-benar tidak bisa lari kemana-mana karena Irfan ternyata ikut satu mobil dengannya.Luna merasa seperti dijebak. Pintu mobil langsung dikunci begitu dia masuk dan melihat Irfan duduk di kursi depan."Bisa nggak sih aku nggak usah ikut aja? Toh sebentar lagi aku dan Kalingga bercerai," pinta Luna dengan wajah gelisah."Kamu mau membuat Kakek Ageng kecewa? Setidaknya datanglah untuk dia." Irfan menoleh ke belakang. "Untuk yang terakhir kalinya."Luna menggigit bibir bawahnya. Ingin langsung kabur, tapi dia juga tidak enak pada Kakek Ageng yang telah baik padanya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, seharusnya dia memiliki hak untuk menolak datang dan pergi dari keluarga itu tanpa pamit.Tapi sekali lagi, dia merasa tidak enak pada Kakek Ageng. Ketika pikirannya masih sibuk, mobil sudah berhenti di pelata