"Luna! Uang apa itu?"
Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya. "Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup. Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat. "Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik. "Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya. "Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?" Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis. "Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian. Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berpisah dari Kalingga. Sofia menghela nafas panjang, lalu ikut duduk di seberang Luna. Wanita itu terus mengamati Luna, sampai-sampai Luna tersedak. "Aku nggak akan tinggal diam kalau Kalingga dan ibunya ngapa-ngapain kamu, Lun. Kamu tahu papaku pekerjaannya apa. Begitu juga dengan Mas Elang. Mamaku juga udah nganggep kamu sebagai anaknya sendiri. Kami nggak akan melupakan kebaikan ibu kamu," kata Sofia dengan wajah serius. Luna mengangguk. Dia tidak ingin melibatkan keluarga Sofia dalam menghadapi masalahnya. Masuk ke keluarga Kalingga bukanlah keinginannya, melainkan wasiat dari sang ayah sebelum meninggal. Pria itu terus memohon agar dia mau menikah dengan Kalingga, anak dari pemilik perusahaan tempat sang ayah bekerja. Meskipun awalnya Luna menolak mentah-mentah karena merasa terintimidasi, tapi dengan sangat terpaksa dia menerimanya karena paksaan dari keluarga Kalingga. Dan sekarang, entah kenapa Kalingga justru ingin segera mengakhiri pernikahan ini. Kenapa mereka memaksanya menikah dengan Kalingga jika pada akhirnya memaksanya juga untuk berpisah dari lelaki itu? Ada yang aneh di sini. Tapi apa? Apa sebenarnya tujuan dari pernikahan ini? "Lun, kamu nggak apa-apa? Kakimu masih sakit?" Luna mengerjap. Dia mendongak dan tersenyum tipis. "Iya, Sof. Kakiku masih sakit dan kaku. Belum bisa dibuat berdiri dalam waktu yang lama." Sofia mengangguk. "Setelah ke dokter Irfan, nanti ke tempatku ya. Aku mau mengajak kamu jalan-jalan habis itu." *** "Pak, ada tamu yang ingin bertemu." Kalingga mendongak dan menatap Celine, sekretarisnya, dengan kening berkerut. "Siapa? Sudah buat janji dengan saya sebelumnya?" "Katanya mantan kekasih anda, Pak," jawab Celine takut-takut. Mata Kalingga langsung membelalak. Dia menegakkan punggungnya. "Renata maksud kamu?" Celine mengangguk. "Iya, Pak. Disuruh masuk atau menunggu di lobi?" "Suruh dia masuk," perintahnya. "Baik, Pak." Kalingga merapikan pakaian dan rambutnya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang mantan. Tidak, sebenarnya mereka adalah sepasang kekasih sebelum akhirnya dia terpaksa harus menikah dengan Luna Gayatri. Pintu terbuka, menampilkan wanita cantik dan anggun dengan pakaian mahal dan berkelas. Rambutnya berwarna hitam berkilau dan keriting gantung di ujungnya. Seperti rambut Luna. Tunggu! Kenapa juga dia malah memikirkan perempuan miskin itu? "Kalingga! Aku kangen!" pekik Renata sambil berlari lalu melompat ke dalam pelukannya. Rambut Renata begitu wangi, tapi entah kenapa malah terlalu menusuk hidungnya. Berbeda dengan wangi rambut Luna yang lembut dan... Kalingga mengerjap sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali untuk mengusir bayangan Luna yang memakai lingerie merah kemarin malam. Sialan! "Kamu bilang akan menceraikan perempuan miskin itu setelah dua tahun. Kamu udah bercerai kan dari dia? Aku mau kita kembali dan menikah. Nggak masalah kalau kamu statusnya duda," kata Renata setelah pelukan mereka terlepas, namun tangan wanita itu masih memegang kedua lengannya. Kalingga tertegun. Keinginan untuk menceraikan Luna yang sebelumnya begitu kuat, entah kenapa perlahan memudar. Dia sudah yakin akan menceraikan perempuan itu setelah Irfan bilang bahwa Luna sudah mulai bisa berdiri dan melangkah, tapi kemarin malam dia merasa ada yang aneh. "Lingga? Kamu udah bercerai dari dia kan?" tanya Renata curiga. Kalingga menelan ludah. Tidak menjawab pertanyaan itu. "Kamu belum bercerai dari dia?" pekik Renata marah. Wanita itu menatapnya tajam. "Mau menunggu apalagi? Atau jangan-jangan kamu udah tidur sama dia?" Kali ini, Kalingga melengos dan kembali duduk di kursi kerjanya. Dia tidak tahu kenapa tidak bisa jujur pada wanita itu. Dua bulan yang lalu, dia melakukan hal yang gila dengan berpura-pura baik pada Luna, hingga akhirnya mereka melakukan malam pertama. Plak! "Brengsek! Kamu bilang nggak bakalan menyentuh dia, tapi apa? Kamu udah mengkhianati cinta kita!" jerit Renata dengan wajah memerah dan mata melotot setelah menampar pipinya. "Renata, aku bisa jelasin. Aku sebenarnya cuma berpura-pura baik sama dia biar dia mau menjalani fisioterapi secara rutin. Kalau dia sembuh dari lumpuhnya, kami akan bercerai sesuai perjanjian pranikah yang udah kami buat sebelum menikah." Kening Kalingga mengernyit. Rasanya ada yang mengganjal ketika dia mengatakan tentang hal itu. Perasaannya mengatakan untuk tidak menceritakan tentang perjanjian pranikah itu pada Renata, tapi dia menepis pemikiran itu. "Benarkah?" Mata Renata membulat tidak percaya. "Kamu serius? Kamu nggak bohong, kan?" Kalingga mengangguk ragu. Kenapa perasaannya menjadi begini? Seharusnya dia yakin dengan keputusannya. Dia sudah berjanji pada Renata untuk menikahi perempuan itu setelah dia menceraikan Luna. Ya, seharusnya dia lebih fokus pada Renata. Perempuan itu sudah berkorban perasaan untuknya. Rela sakit hati melepaskan dirinya untuk menikah dengan perempuan lain. Bukankah Renata berhak untuk mengambil posisinya kembali? *** "Kenapa kamu berbohong pada Kalingga?" Luna melengos ketika Irfan, sahabat sekaligus sepupu Kalingga bertanya dengan tatapan penuh intimidasi. "Bukan urusan kamu," jawabnya dengan wajah datar. Tapi tiba-tiba dia tersadar akan sesuatu. Wajahnya menoleh ke arah pria itu dengan tatapan curiga. "Kenapa kamu bilang kalau aku udah bisa berjalan? Kamu tahu sendiri aku baru sampai pada tahap berdiri. Kamu...sengaja kan?" Ya, masuk akal. Tentu saja Kalingga akan menceritakan tentang perjanjian pranikah mereka pada Irfan. Pantas saja laki-laki itu memberikan pelayanan ekstra dan perhatian penuh selama dua bulan terakhir. Bersamaan dengan Kalingga yang tiba-tiba bersikap baik dan hangat padanya. "Kukira kamu berbeda. Satu-satunya orang baik di keluarga Mas Kalingga yang setidaknya bisa aku harapkan," ucapnya dengan hati kecewa. Irfan tersenyum miring. Pria berkulit putih itu menatapnya dengan ekspresi dingin. "Jangan pernah berharap pada manusia, Luna Gayatri." Irfan mencondongkan tubuh ke arahnya. "Lebih baik kamu cepat bisa berjalan dan pergi dari keluarga Wisnuwardhana sejauh mungkin." Luna menatap Irfan dengan dagu terangkat. "Aku mencintai Mas Lingga. Kamu atau keluarga besarmu nggak akan bisa menjauhkan aku dari dia." Pria itu mendengkus, lalu menggeleng dua kali. "Trust me, Luna. Kamu akan mencariku suatu saat nanti untuk meminta penjelasan." Luna menatap Irfan bingung. Apa maksudnya? "Dan ketika saat itu tiba, pastikan kamu dalam keadaan siap.""Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini