"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.
Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal. "It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar. Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet. "Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia. "Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri." Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik." Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar segera keluar dari toilet dan pergi dari restoran melalui pintu belakang. *** Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Perasaan Luna sejak tadi gelisah karena Kalingga tidak kunjung pulang. Meskipun pria itu setiap harinya selalu pulang malam, tapi kehadiran Renata entah kenapa membuat pikirannya macam-macam. Apakah pria itu berkencan dengan Renata? Apakah mereka akhirnya kembali berhubungan di belakangnya? Jangan-jangan Kalingga sudah sampai tahap berhubungan badan dengan wanita itu. Mengingat selama ini pria itu selalu menyebut nama Renata setiap kali mereka bercinta. "Bu, kenapa masih di luar? Di dalam saja ya. Saya buatkan wedang jahe biar perutnya enak," kata Peni dengan wajah iba. "Aku kok pengen ke rumah mertuaku ya, Mbak. Apa aku ke sana aja ya mumpung masih jam segini? Kayaknya Mas Lingga nginep di sana," ucapnya. "Bu, biasanya Pak Lingga kan memang pulang malam. Anda yakin mau ke rumah Bu Devi? Apa saya antar aja, Bu?" tawar Peni dengan wajah khawatir. Keduanya tahu, tidak ada kedamaian jika Bu Devi melihat Luna. Selalu ada caci maki yang terlontar di setiap kesempatan. "Boleh, deh," jawab Luna setelah berpikir beberapa saat. Dia masih belum sanggup menghadapi Bu Devi sendirian, belum lagi keluarga Wisnuwardhana yang lainnya. Mereka memang masih menginap di mansion besar keluarga Wisnuwardhana yang dikepalai oleh Kakek Ageng. "Pokoknya kalau mereka keterlaluan, kita langsung pulang ya, Bu. Saya nggak mau anda menjadi bulan-bulanan di sana. Pak Lingga juga tidak akan membela anda," omel Peni dengan wajah ditekuk. Hanya Peni yang peduli padanya selama ini di tengah-tengah keluarga besar Kalingga. Tanpa perempuan itu, mungkin Luna akan kehilangan kewarasannya. Luna tertawa kecil. Dia sudah seperti dimarahi oleh kakaknya sendiri. "Iya, iya. Kamu terus di dekatku ya. Aku sendiri juga masih belum sanggup menghadapi mereka semua sendirian." "Siap, Bu. Semoga nggak terjadi apa-apa nanti." *** Pikiran Kalingga tidak menentu setelah makan siang bersama Renata di restoran mewah yang ada di Palace Hotel. Dia tentu tidak salah mengenali istrinya sendiri meskipun baru dua bulan terakhir mulai berpura-pura bersikap baik pada wanita itu. Kedua matanya masih sehat. Dia yakin perempuan berambut hitam dengan ujung keriting gantung alami itu adalah Luna. Dia hafal postur tubuh wanita itu. Hafal bentuk tubuh dan lengannya. Wanita itu, bisa berjalan meskipun sangat pelan sekali seperti balita yang baru belajar berjalan. Andai saja dia tidak ingat ada teman-temannya di sana dan juga Renata, dia akan mengejar Luna dan meminta penjelasan. "Pernikahan kalian bisa segera dilaksanakan. Nggak perlu menunggu si lumpuh itu sembuh." Perkataan ibunya membuyarkan lamunan Kalingga. Dia menatap sang ibu dan paman bibinya yang kini menatapnya. "Pernikahan apa?" tanyanya tak paham. "Ck, pernikahan kamu sama Renata lah. Dia udah kembali ke sini demi kamu. Jarang lho ada wanita yang masih mau menerima kekasihnya yang sudah menikah. Lihatlah Renata. Udah baik, pengertian, anggun, berkelas, dan yang pasti berasal dari keluarga yang setara dengan kita. Jadi, kamu harus segera menikah sama dia," kata Bu Devi. Renata yang duduk di sebelah Bu Devi tersenyum malu-malu mendengar pujian itu. Kalingga menatap Renata sejenak. Masih tetap cantik seperti dulu, tapi entah kenapa terlihat biasa saja di matanya. Kalau dulu Kalingga melihat Renata sangat cantik dan bersinar, sekarang hatinya mulai merasa hambar setelah melihat Luna dengan lebih teliti. Kalau dipikir-pikir, Luna sebenarnya cantik dan terlihat lebih segar karena jarang dipoles dengan make-up tebal. "Sebulan lagi ulang tahun perusahaan. Kamu bisa mengumumkan pernikahan kalian. Berita itu pasti akan berdampak positif pada perusahaan," tambah Tante Sinta, adik Pak Brama, ayah Kalingga. "Aku sudah bilang sama mama, aku nggak akan menceraikan Luna sebelum dia bisa berjalan," ucapnya dengan wajah datar. Senyum yang tadi merekah di wajah mereka, terutama Renata, langsung lenyap. Mata Bu Devi melotot. "Buat apa kamu masih memikirkan perempuan itu? Mau dia bisa jalan atau nggak, bukan urusan kamu. Segera ceraikan dia. Mama nggak suka kamu masih serumah sama dia," titah Bu Devi. "Lagian kamu udah dua tahun menikahi dia, Ngga. Jadi Tante rasa, itu sudah cukup. Sebenarnya kamu nggak perlu menikahi dia, toh kamu udah ngasih santunan kan buat Luna? Buat apa malah terikat dengan perempuan itu? Dimana-mana kalau ada korban kecelakaan, ya cukup kasih santunan sebagai jalan damai," kali ini Tante Rika, ibunya Irfan, menyahuti. Seandainya sang kakek ada di sini, tentu pria tua itu akan menegur Bu Devi dan para menantu lainnya. Mereka tidak punya hak untuk mengatur apa yang sudah ditetapkan oleh kepala keluarga Wisnuwardhana. Tapi para pria sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kalingga mulai merasa muak. Dia yang dulunya menggebu-gebu ingin segera terlepas dari Luna, tiba-tiba merasa enggan. "Pikir nanti sajalah. Aku masih mau fokus ke perusahaan dulu," ujarnya malas. "Mama nggak mau tahu, Ngga. Pokoknya kamu harus tetap menikahi Renata. Minggu depan kita ke rumah Renata untuk lamaran," putus Bu Devi sepihak. "Mama cuma menganggap Renata sebagai menantu sampai kapanpun." "Terserahlah!" Kalingga berdiri dan beranjak dari ruang makan dengan suasana hati yang buruk. "Lingga! Kalingga tunggu!" Langkah Kalingga terhenti ketika melihat Luna duduk di kursi roda tak jauh dari ruang makan. Tubuhnya membeku. "Maaf sudah mengganggu kalian.""Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini