"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.
Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal. "Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat. Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal." Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam tidurnya, entah kenapa wanita itu berpesan padanya dan Sofia untuk mendonorkan organnya pada Bu Citra, ibu Sofia, setelah dia meninggal. Saat itu Luna marah-marah karena menganggap bahwa ibunya tengah melantur dan sedang bercanda. Tak disangkanya bahwa ternyata seminggu kemudian, wanita itu meninggal dalam tidurnya ketika Luna baru pulang dari sekolah SMA. "Sudah-sudah! Kok malah jadi melankolis gini sih?" Sofia mengibaskan tangan dan tertawa kecil. "Padahal aku penasaran sama apa yang sedang kamu pikirkan sampai kerutan di antara alismu dalam banget." Luna bingung harus bagaimana. Apakah sebaiknya dia jujur? Perasaannya mengatakan bahwa ucapan Irfan tidak main-main dan tersirat ancaman di dalamnya. "Tadi Irfan ngomong sesuatu. Agak aneh sih menurutku. Dia bilang aku harus cepat sembuh dan bisa berjalan, terus segera pergi jauh dari keluarga Wisnuwardhana. Eh, tapi kayaknya cuma perasaanku aja. Jelas maksudnya karena aku nggak setara sama Mas Lingga, kan?" Sofia menatapnya dengan kening berkerut dalam. Terlihat sekali tidak setuju dengan kalimat terakhirnya. "Kayaknya bukan it...Eh! Lun! Ada suami kamu sama cewek lain barusan masuk ke sini. Jangan noleh!" bisik Sofia heboh. "Masa sih? Di mana?" Sofia buru-buru mengulurkan tangan dan menahan wajahnya agar tidak menoleh dengan mata melotot, lalu berbisik. "Diam!" Terpaksa Luna menuruti perintah Sofia, meskipun hatinya penasaran setengah mati. Dadanya bergemuruh karena rasa cemburu. Kenapa Kalingga bersama dengan perempuan lain? Sedang apa di sini? Kenapa suaminya membawa perempuan lain ke restoran mewah dan bertaraf internasional? "Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak kunjung bercerai. Toh bapaknya sudah nggak ada kan? Jadi kamu nggak perlu meneruskan wasiat laki-laki miskin itu. Nggak ada yang menuntut kamu." Luna dan Sofia saling pandang mendengar suara wanita yang bersama Kalingga. Mereka menunggu jawaban dari Kalingga, tapi pria itu tidak bersuara. Luna yang sangat penasaran dengan reaksi suaminya harus menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Beberapa saat kemudian, terdengar suara beberapa pria yang menyapa Kalingga. "Wuih, masih lengket aja sama Renata. Kapan kalian nikah?" Tubuh Luna membeku mendengar nama perempuan itu disebut. Renata? Jadi itu perempuan yang selalu disebut oleh Kalingga setiap kali mereka bercinta? Tangannya menggenggam sendok dengan erat. Dari suaranya, Renata pastilah sangat cantik sampai-sampai Kalingga terus terbayang-bayang. Wanita itu sudah pasti dari kalangan atas seperti Kalingga. "Sebentar lagi. Doain aja ya guys. Kalian harus datang ke pesta pernikahan kami," jawab Renata dengan lembut. "Pastilah. Udah nggak sabar lihat kalian bersanding di pelaminan. Kalian ini kenapa bisa putus dua tahun yang lalu? Kalingga masih sendirian tuh selama kamu tinggal pergi." Wajah Luna sudah keruh bukan main. Ternyata Kalingga menyembunyikan pernikahan mereka. Pantas saja dia tidak pernah diajak kemana-mana. Bahkan ke acara keluarga sekalipun. "Lingga pengen fokus mengembangkan perusahaan, Dik. Jadi aku nggak mau menghambat dia. Lagian aku dulu ada kerjaan di luar kota," jawab Renata. "Ck, wanita idaman banget. Nggak rugi kamu jadiin dia sebagai istri. Pengertian banget." Luna heran kenapa Kalingga sejak tadi hanya diam saja. Dia menunggu respon dari pria itu. "Eh, boleh gabung nggak? Mumpung lagi free. Kita-kita kan susah kalau mau kumpul-kumpul sekarang gara-gara kerjaan," tanya salah satu dari mereka. "Boleh-boleh. Aku malah seneng makan rame-rame," jawab Renata dengan antusias. Mereka mengobrol seru sekali dan Renata selalu ikut dalam obrolan itu. Tertawa-tawa bahagia. Luna hanya bisa menatap makanan di hadapannya yang tidak lagi menarik minat. Apakah wanita seperti itu yang disukai Kalingga? Bisa berbaur dengan teman-temannya. Sedangkan Luna, dia hanya dari kalangan bawah yang sudah pasti tidak cocok bergabung dengan mereka yang level atas. Dia mendengar dari Peni kalau teman-teman Kalingga itu anak konglomerat semua. "Eh, aku ke toilet dulu ya," pamit Renata. Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian seksi dan ketat melewati meja Luna dan Sofia. Mereka berdua langsung menoleh dan melihat Renata. Cantik dan seksi seperti artis papan atas. Luna langsung minder. "Lun," bisik Sofia sambil meraih tangannya. Sahabatnya itu menatapnya dengan sorot mata menguatkan. "Bro, kok kamu nggak bilang sama Renata kalau udah nikah sama Luna?" "Dia udah tahu," jawab Kalingga. "Hah? Gila! Dia tahu dan dia masih mau balikan sama kamu? Kok bisa?" "Dia nggak mempermasalahkan soal itu." "Terus-terus, kamu udah bobok bareng dong sama Luna? Kalau dilihat-lihat, dia menarik kok." Kalingga hanya diam, dan itu menimbulkan kehebohan teman-temannya. "Memang b*ngsat si Kalingga. Bilangnya nggak mau, tapi diembat juga." "Dia istriku, jadi aku berhak meniduri dia sepuasku. Toh dia udah kubayar tiap bulannya," jawab Kalingga tak berperasaan. Luna yang mendengar kalimat itu dengan jelas langsung meneteskan air mata, namun buru-buru mengusapnya. Ternyata perkataan itu masih semenyakitkan itu meskipun dia sudah mendengarnya tadi pagi. "Bro, jangan gitulah. Kena karma baru tahu rasa. Jangan menganggap dia seperti pelacur. Aku lihat, dia nggak pernah neko-neko selama menjadi istri kamu. Nggak pernah nuntut ini itu juga." "Ya wajar sih kalau Lingga begitu. Eh tapi kamu nggak jijik tidur sama perempuan lumpuh?" "Aku selalu membayangkan Renata setiap kali tidur sama dia." Luna langsung berdiri dan melangkah dengan perlahan menuju ke toilet. Sofia buru-buru mengikutinya dan memapahnya karena dia memang belum lancar berjalan. "Jadi itu yang kamu dengar tadi pagi? Kenapa kamu nggak bilang sama aku, Lun?" Luna tidak menjawab. Pandangannya buram karena air mata terus mengalir deras bersamaan dengan sakit yang luar biasa di dada kirinya. Sekarang mereka tahu apa Luna bagi Kalingga. Hanya pelacur. "Aku bisa bilang ke papaku untuk ngasih pelajaran sama dia," kata Sofia menggebu-gebu. Luna menggeleng. Dia mendekati wastafel dan mencuci wajahnya yang baru saja perawatan di salon bersama Sofia tadi. Wajahnya sekarang memerah. "Bawa aku keluar dari sini, Sof," pintanya dengan suara bergetar. "Kamu pulang ke rumahku aja ya Lun." Tiba-tiba pintu toilet terbuka dan Renata keluar dari sana. Luna dan Renata saling pandang lewat cermin, sama-sama dengan tubuh membeku."Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini