"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.
Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main. Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya. Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna. Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka. "Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak? Mencari Kalingga ya?" tanya Om Anton. Luna mengangguk. "Saya sudah masak makanan kesukaan Mas Lingga, Om. Tapi kok dia nggak pulang-pulang juga. Jadi saya inisiatif mencarinya ke sini. Dia...ada perlu dengan mamanya kah?" Om Danu menggaruk kepalanya. "Itu...mungkin sebaiknya kamu pulang aja sebelum ibu mertuamu mengamuk. Kamu tahu sendiri kan, dia nggak suka melihat kamu." "Kami hanya nggak tega aja kalau kamu dicaci maki sama dia, Lun. Apa Om anterin pulang?" tawar Om Anton sambil berdiri. Luna tahu ada yang mereka sembunyikan. Dia memang tidak diterima di mansion ini, sehingga dia jarang datang ke sini. Tapi mereka tidak pernah mengusirnya secara terang-terangan. Dia yang akan pulang dengan sendirinya karena mentalnya tidak kuat. "Kan ada tamu. Kenapa kalian malah di luar, Om? Kenapa nggak nemenin tamunya?" selidik Luna. "Eh...itu...itu tamunya Mbak Devi. Iya...begitu," jawab Om Danu tanpa melihatnya. Luna semakin curiga. Memangnya siapa tamunya sampai dua pria itu berada di luar? Apakah jangan-jangan untuk berjaga-jaga jika dia datang? "Mbak, kita masuk aja," putus Luna akhirnya. "Eh, Lun! Temenin kami ngobrol aja yuk. Kami kepengen tahu mengenai perkembangan kaki kamu. Kata Irfan kamu udah bisa berdiri," cegah Om Danu, terlihat sekali panik. Semakin membuat Luna curiga. Luna memang istri dan menantu yang tak diinginkan, dia tahu itu. Tapi dia memiliki hak untuk datang ke mansion ini karena Kakek Ageng dan Pak Brama menyambutnya dengan senang hati. Entah kenapa dua pria itu begitu baik padanya, berbeda dengan para wanita di mansion ini. Mengabaikan dua pria yang gelagapan dan semakin panik, Luna tetap menyuruh Peni untuk mendorong kursi rodanya memasuki mansion. "Bu, kalau nanti dibully lagi sama Bu Devi gimana? Kita langsung pulang ya," ucap Peni dengan cemas. Luna menepuk tangan Peni yang mendorong kursi rodanya untuk menenangkan. Dia sudah terbiasa dibully oleh ibu mertuanya beserta bibi-bibi mertua. Meskipun rasanya tetap saja sakit. Terdengar percakapan di ruang makan ketika mereka masuk semakin dalam. Luna meminta Peni untuk berhenti di balik dinding agar bisa mendengarkan percakapan mereka. "Ck, pernikahan kamu sama Renata lah. Dia udah kembali ke sini demi kamu. Jarang lho ada wanita yang masih mau menerima kekasihnya yang sudah menikah. Lihatlah Renata. Udah baik, pengertian, anggun, berkelas, dan yang pasti berasal dari keluarga yang setara dengan kita. Jadi, kamu harus segera menikah sama dia." Deg! Pernikahan? Pernikahan siapa? Luna terus mendengarkan obrolan mereka, sampai akhirnya dia tahu siapa yang dimaksud. Ibu mertuanya menyuruh Kalingga untuk menikah dengan Renata, meskipun dia belum bisa berjalan. Hatinya terasa sakit dan lagi-lagi dada kirinya berdenyut nyeri. Padahal dia sudah tidak dianggap di keluarga ini, tapi kenapa dia tetap keras kepala? Jawabannya adalah karena dia mencintai Kalingga. Dia tetap akan mempertahankan pernikahan mereka, meskipun...Kalingga akan menikah lagi. Benarkah? Sanggupkah ia dimadu? Air matanya mengalir membayangkan dia akan tersisih begitu saja begitu Renata masuk ke dalam rumah tangganya dan Kalingga. Sudah jelas pemenangnya adalah Renata. "Bu, kita pulang ya. Jangan sampai mereka tahu anda ada di sini," bujuk Peni dengan suara lirih. "Dia akan menikah lagi, Mbak," balasnya dengan suara bergetar. Tangannya mengusap air mata yang terus mengalir. "Aku nggak sanggup melihat mereka bermesraan di rumah nanti." Membayangkan Kalingga akan menyentuh Renata seperti pria itu menyentuhnya selama ini membuat jantung Luna seperti diremas. Sakit luar biasa. Dia tidak rela berbagi suami. Dia tidak rela Kalingga bercinta dengan Renata sambil menyebut nama wanita itu. Dia menunduk untuk melihat kakinya yang belum sembuh sepenuhnya. Dibandingkan dengan dirinya, tentu Renata lebih menarik dan energik. Wanita itu pasti bisa mengimbangi keliaran Kalingga di atas ranjang. Tidak sanggup lagi memikirkan bayangan itu, dia mengajak Peni pulang. Namun, tiba-tiba saja langkah seseorang mendekat. Mereka belum sempat berbalik ketika Kalingga keluar dari ruang makan dengan tubuh membeku. Di belakang pria itu, ada Renata yang melihatnya dengan mata melebar, namun setelah itu tersenyum miring. Luna melihat bagaimana Kalingga diam saja ketika wanita itu memeluk lengannya. "Maaf, sudah mengganggu kalian," ucap Luna, tak bisa menyembunyikan kegetiran dalam suaranya. "Aku akan pulang." Luna meminta Peni untuk segera memutar kursi rodanya. Dia tidak sadar bahwa Kalingga menatapnya dengan pandangan rumit, dan tidak sadar bahwa dia masih mengenakan pakaiannya tadi siang ketika makan di restoran bersama Sofia. "Aduh! Lingga, jangan!" Luna menoleh dan terkejut dengan apa yang dilihatnya.Sudah jam 12 malam, tapi Luna belum bisa memejamkan mata. Dia sudah mondar-mandir untuk membunuh waktu sekaligus melatih kedua kakinya agar terbiasa berjalan, namun Kalingga tetap saja belum pulang.Dia teringat dengan adegan yang dilihatnya sebelum keluar dari mansion dengan hati hancur dan air mata berderai.Kalingga memeluk Renata dan mereka berciuman. Dia masih sangat ingat bagaimana tangan wanita itu mencengkeram lengan suaminya, sementara tangan lainnya mencengkeram rambut Kalingga.Bayangan bibir mereka saling melumat membuat hatinya perih bukan main. Dia menghentikan langkah sambil berpegangan pada sandaran sofa. Ternyata rasanya sesakit ini. Pantas saja banyak istri yang lepas kendali ketika mengetahui suami mereka berselingkuh.Apakah mereka sengaja pamer kemesraan di depannya? Apakah Kalingga sengaja ingin menunjukkan padanya bahwa wanita yang pria itu inginkan adalah Renata? Bahwa Luna hanyalah pengganggu bagi hubungan mereka dan seharusnya pergi?"Bu, kenapa belum tidur j
Tubuh Luna langsung membeku. Teringat dengan pertemuan mereka di toilet restoran yang ada di Palace Hotel. Renata yang melihat reaksinya langsung tersenyum miring."Bagaimana jika Kalingga tahu kalau kamu berpura-pura lumpuh, padahal sebenarnya kamu udah bisa jalan?" Renata menatapnya dengan tatapan mencemooh, lalu berdecak. "Nggak nyangka ya, ternyata gadis miskin kayak kamu tuh aslinya licik. Aku jadi curiga kamu sama ayahmu udah merencanakan ini semua biar bisa masuk ke keluarga Kalingga.""Jaga mulut kamu, dasar jalang!" teriak Luna marah.Ingin sekali dia merobek mulut perempuan itu dan meninju wajah penuh make-up itu berkali-kali, tapi tentu saja akan membuatnya berada dalam masalah di kemudian hari."What? Kamu manggil aku jalang?" Renata pura-pura terkesiap sambil menutup mulut. "Nggak kebalik ya?"Kedua tangan Luna terkepal."Perlu aku ingatkan lagi siapa yang masuk ke dalam hubunganku dan Kalingga di sini? Siapa yang tiba-tiba datang dan merusak hubungan kami? Seharusnya aku
Sudah 10 menit Luna duduk di hadapan dokter Irfan, namun pria itu hanya menatapnya dengan pandangan seperti menganalisis. Luna sendiri tidak bereaksi seperti sebelumnya ketika dia masih kukuh mempertahankan Kalingga dengan alasan cinta."Sepertinya kamu udah siap untuk meninggalkan keluarga Wisnuwardhana," ucap Irfan akhirnya.Luna tidak menanggapi. Dia hanya fokus pada kesembuhannya. Kedatangan Renata dan ketidakpulangan Kalingga membuat hatinya begitu sakit sekaligus marah.Dia akan membuktikan pada mereka bahwa dia bukanlah Luna yang bodoh hanya karena mencintai Kalingga. Dia tidak akan lagi mengemis-ngemis cinta pria itu. Jika Kalingga tidak menginginkannya, maka dia akan mengabulkannya. Meskipun hatinya masih perih karena rasa cinta itu masih tertanam di hatinya, dia tidak akan kalah. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada Kalingga."Renata sering menginap di mansion. Sepertinya pernikahan itu memang akan terjadi.""Bisakah anda hanya fokus membahas tentang perkembangan kaki saya?
Luna tidak tahu kenapa Ajeng dan wanita yang dipanggil "Mami" itu terkejut bukan main begitu dia menyebutkan nama ibu mertuanya. Dia mendongak untuk meminta penjelasan pada Elang yang bersikap biasa saja."Mi, kok aku kayaknya pernah denger nama itu ya?" tanya Ajeng bingung."Ck, Devi temennya Widya. Masa kamu lupa sih? Dulu pasti dia ikut-ikutan jelek-jelekin kamu kan karena hasutan Widya?" jawab wanita itu, Dahlia Braun, ibu mertua Ajeng.Sementara mereka sibuk mengobrol, Luna memilih untuk duduk di sofa karena kakinya terasa capek. Baru seperti ini aja sudah lelah, bagaimana bisa Irfan memaksanya untuk pergi jauh dari kota ini?"Sebentar, maksudnya gimana kok Devi bisa dipanggil ibu mertua?" Bu Dahlia menatap Luna yang sedang memijit kakinya. Wanita itu menyipitkan mata."Luna ini kan menantunya, Mi.""Yang bener kamu? Berarti istrinya Kalingga dong? Kok bisa?" tanya Bu Dahlia tak percaya, lalu kembali menatap Luna. "Bukannya Kalingga baru mau menikah ya? Tadi aja aku ketemu Devi s
"Mas, maaf aku udah ngerepotin kamu," kata Luna sambil menyembunyikan wajahnya di leher Elang.Tentu saja mereka menjadi pusat perhatian di sepanjang lorong rumah sakit."Ck, kayak sama siapa aja. Kamu ini udah dibilangin ke rumah sakit jangan sendirian, kenapa masih ngeyel sih? Begini kan jadinya?" omel Elang.Mereka sampai di tempat parkir yang lumayan ramai. Elang membawa Luna ke sebuah mobil mewah milih majikannya dan mendudukkannya di kursi depan, setelah itu memutari mobil untuk masuk ke kursi pengemudi."Aku nggak mau ngerepotin Mbak Peni. Dia seharusnya fokus dengan pekerjaan rumah, bukan malah nganterin aku kemana-mana," ujarnya.Elang membuka kaca jendela mobil dan melihat kerumunan orang yang masih belum pergi dari tempat parkir. Mungkin mereka adalah pengunjung atau ada yang kecelakaan."Jadi, kamu udah positif mau cerai dari Kalingga? Udah nggak ngemis-ngemis cinta lagi ke dia?"Luna tidak menghiraukan nada sarkas pria itu. Dia menatap pemandangan di luar jendela dengan p
"Beneran nggak perlu diantar sampai depan pintu, Mbak?" tanya ajudan Pak Erwin, jenderal yang sudah resmi menjadi ayah angkatnya setelah pengadilan mengabulkan permohonan adopsi.Luna menatap rumah yang baginya besar dan mewah, namun bagi keluarga Wisnuwardhana adalah gubuk kecil yang jelek."Nggak usah, Mas. Udah di depan rumah kok," tolak Luna."Mbak Luna beruntung sekali diadopsi oleh Pak Erwin. Beliau kelihatan sekali menyayangi Mbak seperti menyayangi Sofia. Kalian memang sedekat itu ya?" tanya ajudan itu, Fajar, dengan wajah penasaran."Ya, kami memang sedekat itu." Luna tersenyum. Mengingat kebaikan Pak Erwin dan Bu Citra sejak dia kecil, padahal status sosial keluarga mereka berbeda jauh. "Ayah Erwin memang sangat baik orangnya. Begitu juga dengan Ibu Citra."Luna tidak peduli mereka mengadopsinya sebagai bentuk balas budi atas pengorbanan ibunya yang mendonorkan organnya pada Bu Citra. Toh, tanpa ibunya mendonorkan organnya pun, Bu Citra sudah berjanji pada ibunya untuk menja
Dua tahun menikah, Kalingga sudah terbiasa melihat ekspresi takut dari istri yang tidak diinginkannya. Dia tidak peduli, bahkan sampai di titik muak.Kalingga menginginkan istri seperti Renata. Anggun, percaya diri, cerdas, pintar berbaur, dan yang pasti tidak akan membuatnya malu. Itulah kenapa dia tidak pernah mengumumkan pernikahannya dengan Luna.Dan dia berpura-pura baik pada gadis itu agar semakin bersemangat melakukan fisioterapi. Semakin cepat Luna sembuh dan bisa berjalan, semakin cepat dia menceraikan gadis itu.Dia tidak perlu lagi terikat dengan wasiat dari laki-laki yang dia tabrak, dan Luna tidak akan menang jika suatu saat gadis itu menuntutnya di pengadilan. Surat perjanjian pranikah mereka benar-benar membuat Luna tidak akan bisa berkutik, karena gadis itu menyetujui upaya damai dari keluarganya atas kematian ayahnya."Sepertinya kamu menyadari sesuatu." Irfan menyodorkan sekaleng soda dingin ke hadapannya.Kalingga membuka kaleng itu dan meminum isinya sampai tersisa
Kalingga menghentikan gerakan tangannya yang ingin menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Matanya menatap Renata yang terlihat panik sambil memelototi pembantu yang masih muda itu."Makasih ya, Rin. Kamu boleh kembali ke dapur," kata Bu Devi, lalu menepuk lengan Renata dengan lembut. "Ibu hamil harus minum susu biar janinnya sehat.""Eh, i-iya, Ma," jawab Renata gugup dan menghindari pandangan Kalingga."Oh iya, Ngga. Ini yang mama bilang kejutan tadi siang. Renata ternyata hamil! Pernikahan kalian harus dipercepat. Kalau bisa minggu depan. Mama seneng banget bisa mendapatkan keturunan dari keluarga terpandang dan terhormat. Nggak kayak si lumpuh miskin itu," cibir Bu Devi dengan raut wajah jijik ketika membicarakan tentang Luna.Kalingga tidak bereaksi apapun. Dia hanya menatap Renata yang sibuk dengan makanannya dan terlihat salah tingkah."Kok nggak dimakan nasinya, Ngga? Keburu dingin nanti nggak enak," tegur Bu Devi.Tanpa berniat untuk menanggapi ocehan ibunya, Kalingga menyuapkan n
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika Fandi mengetuk pintu ruang kerja Kakek Ageng. Setelah mendapatkan telepon dari Noah Wilson, Kakek Ageng memutuskan untuk pulang kembali ke mansion dan menyerahkan acara pesta pada Brama, Anton, dan Danu.Waktunya tidak untuk dibuang dengan percuma. Anak buahnya yang tersebar di mana-mana melaporkan semua tentang tingkah laku Devi selama dia tinggal ke luar negeri. Termasuk skandal memalukan yang diam-diam dilakukan oleh perempuan jalang itu."Kurang ajar!""Maaf, Tuan?""Kenapa bisa kecolongan selama puluhan tahun?" bentak Kakek Ageng pada seseorang di seberang telepon.Fandi yang mengira bahwa dirinya yang dimarahi langsung menghela nafas lega."Kali ini kumaafkan. Lanjutkan tugasmu."Kakek Ageng membanting ponselnya ke atas meja dengan wajah memerah dan bahu naik turun dengan cepat. Devi memang sudah keterlaluan dan bertindak kelewat batas. Selama ini dia tidak terlalu memperhatikan perempuan jalang itu karena dia pikir Brama sudah menga
Di sebuah rumah mewah di Washington DC, seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda, terlihat gelisah setelah menerima pesan dari orang yang sangat tidak dia harapkan.Dia menggigit bibir bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Di satu sisi, dia bahagia karena akhirnya anaknya ditemukan. Tapi di sisi lain, dia takut karena anak dari mantan kekasihnya juga mengetahui di mana keberadaan putrinya, Luna Andreeva Wilson.Tidak perlu tes DNA untuk memastikan bahwa Luna adalah putrinya. Wajah Luna persis seperti wajahnya ketika masih remaja dulu.Tak berapa lama kemudian, sebuah pesan kembali masuk. Berisi foto Luna dengan gaun berwarna hitam di sebuah pesta. Foto itu diambil dari tangkapan layar dalam sebuah video di tiktak.[Aleksei Volkov : Kenapa menyembunyikan tunanganku, Mama? Bukankah kamu egois?]Lena Andreeva, wanita itu, melempar ponselnya sambil memekik ketakutan. Tidak boleh! Anak itu tidak boleh menemukan putrinya. Putri yang sengaja dibuat hilang oleh s
Malam semakin larut, namun jumlah kendaraan yang terparkir di sekitar gedung BAS masih belum berkurang. Semua karyawan selalu menyambut dengan sukacita acara ulang tahun perusahaan yang sudah pasti meriah dan seru.Kakek Ageng menatap beberapa karyawan Security Black yang sedang membereskan orang-orang suruhan Bu Devi dalam diam."Haruskah kita menyapa mereka, Tuan?" tanya Fandi, asisten pribadinya."Tidak perlu," jawab Kakek Ageng dengan gestur santai."Tapi mereka masuk ke wilayah perusahaan tanpa ijin," bantah Fandi.Kakek Ageng terkekeh kecil. Karyawan dari perusahaan keamanan asal Amerika Serikat itu memang benar-benar cekatan. Banyak yang memiliki wajah bule dan Asia Timur, membuat Kakek Ageng kagum dengan kinerja mereka.Semua orang tahu bagaimana kinerja orang-orang di negara ini. Gampang disuap, kurang disiplin, dan cenderung pemalas. Apalagi generasi muda. Sungguh sangat disayangkan. Padahal Security Black bisa dijadikan sebagai lahan empuk untuk mencari nafkah bagi penduduk
Suasana pesta begitu meriah meskipun tadi sempat kacau karena ibunya dan Renata membuat ulah yang jujur saja sangat memalukan. Tapi siapa yang berani mengolok-olok keluarga Wisnuwardhana secara terang-terangan? Mereka justru menjilat keluarganya demi bisa mendapatkan kerjasama yang menguntungkan.Beruntung pihak personalia bisa membuat suasana ulang tahun menjadi hidup dan santai. Mereka melupakan peristiwa tadi dengan cepat. Atau mungkin menyimpannya untuk sementara."Pak! Pak, gawat," seru Dewi di antara kerumunan tamu yang sebagian besar adalah karyawan BAS.Sekretaris kepercayaannya yang begitu setia dan patuh padanya itu menghampiri Kalingga dengan wajah panik dan pucat. Keringat membanjiri pelipis dan dahi wanita itu."Ada apa? Ada masalah dengan pestanya?" tanyanya sambil mengamati sekeliling aula. Tidak ada yang aneh."Pak, Bu Renata menyerang Bu Luna di toilet lantai satu. Ada banyak darah berceceran. Saya mau mendekat takut, soalnya banyak orang berpakaian serba hitam di lob
Tak ada yang tahu bahwa Luna sedang dibawa oleh seorang pria asing berpakaian serba hitam dan mengenakan penutup kepala. Renata menatap Luna dengan seringai sinis. "Ternyata semudah itu menyingkirkan dia." Renata mendengkus. "Kalingga benar-benar nggak peduli sama dia. Padahal seharusnya ada banyak pengawal yang menjaga si jalang itu." "Kamu nggak ikut?" tanya pria itu. "Nggak. Aku harus memperbaiki penampilanku dan kembali ke pesta. Aku nggak mau Kalingga dan yang lain curiga. Cepetan kamu bawa dia ke tempat yang udah aku siapin." Renata mengusir pria itu dan bergegas memperbaiki penampilannya yang berantakan. Dia mengutuk Luna berkali-kali karena penampilannya benar-benar sangat kacau. "Seharusnya wanita tua itu menyingkirkan dia waktu masih lumpuh. Ck! Merepotkan sekali. Katanya mau menculik Luna. Mana buktinya? Nyatanya tetap aku yang berhasil," gerutu Renata sambil memoleskan bedak untuk menutupi luka bekas cakaran Luna yang terasa perih. Renata mendesis. "Sialan emang
"Seharusnya kamu melawan. Kamu udah menyandang nama Bathara, jadi jangan diam aja seperti tadi," omel Elang dengan wajah ditekuk dan alis menukik.Luna menghela nafas lelah. "Aku cuma nggak mau semakin menjadi pusat perhatian, Mas. Udahlah biarin aja. Toh habis ini aku lepas dari keluarga itu."Rasanya Luna ingin segera pergi dan menjauh. Tidak lagi berhubungan dengan keluarga Wisnuwardhana. Dia tidak berharap akan dibela oleh Kakek Ageng atau Pak Brama. Tidak. Orang-orang seperti mereka tidak sepenuhnya tulus.Pasti ada sesuatu yang membuat Kakek Ageng begitu baik padanya yang tidak punya apa-apa dan hanyalah anak seorang satpam. Hidup ini tidak seperti dongeng Cinderella. Terlalu omong kosong."Aku mau ke toilet dulu, Mas. Maaf, gara-gara aku, kamu jadi melupakan tugas kamu dan meninggalkan Kak Ajeng," ucap Luna merasa tak enak.Belum apa-apa, dia sudah merepotkan orang yang baru dikenalnya."Kamu balik aja ke aula. Jangan sampai Kak Ajeng marah dan memecat kamu," paksanya sambil me
"Lingga, aku ditampar sama si jalang itu. Kenapa kamu cuma diam saja?" rengek Renata sambil menggoyangkan lengan Kalingga.Kalingga hanya diam saja. Hatinya terbakar ketika melihat pria sialan itu memeluk Luna di depan semua orang. Sialan! "Lingga, aku dipermalukan di depan semua orang. Kamu harus membalas perempuan jalang itu. Dia sudah membuat aku terjatuh. Gimana kalau aku keguguran?"Hampir saja Kalingga mendorong wanita itu karena terus menempelinya seperti lintah sejak tadi, namun dia urungkan. Semua orang tengah melihat mereka. Dia tersenyum pada Renata, menepuk-nepuk punggung tangan wanita itu untuk menenangkan."Nanti kita ke dokter untuk periksa," jawabnya dengan lembut, lalu melihat ke arah seluruh tamu yang sudah hadir."Maaf atas sedikit masalah tadi. Mari kita lanjutkan pestanya sambil menunggu Kakek Ageng." Kalingga memberikan pengumuman.Mereka semua kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meskipun sebenarnya mereka tengah menggunjingkan keluarga Wisnuwardhana. K
Kalau dulu Luna akan diam saja dan menangis, maka sekarang tidak lagi. Sudah cukup! Dia tidak mau diinjak-injak lagi. Apalagi setelah dia sekarang menyandang nama Bathara di belakang namanya. Belum lagi Ayah Erwin dan Elang yang selalu mendoktrinnya untuk menjadi wanita tangguh.Tidak akan ada lagi yang meremehkan Luna begitu mereka tahu statusnya sekarang. Bukan lagi wanita miskin yatim piatu yang lumpuh dan menjadi beban di keluarga Wisnuwardhana, melainkan anak dari Erwin Bathara. Seorang jenderal bintang tiga yang dihormati oleh banyak orang."Saya tidak menyangka bahwa seorang nyonya Wisnuwardhana ternyata tidak cukup berpendidikan ketika berbicara. Untuk ukuran nyonya dari keluarga konglomerat, anda seperti tidak pernah mengenal apa itu sopan santun dan adab," ucap Luna sambil mengangkat dagunya.Mata Bu Devi membelalak. "Apa kamu bilang? Dasar kurang ajar! Orang miskin seperti kamu berani melawanku, hah?"Luna tersenyum miring. "Selama ini saya hanya diam saja ketika anda terus
Hati Luna semakin gelisah begitu mobil semakin mendekati kantor BAS. Seandainya saja dia ingat bahwa malam ini adalah acara itu, dia akan kabur dan berpura-pura lupa. Tapi sayangnya, dia benar-benar tidak bisa lari kemana-mana karena Irfan ternyata ikut satu mobil dengannya.Luna merasa seperti dijebak. Pintu mobil langsung dikunci begitu dia masuk dan melihat Irfan duduk di kursi depan."Bisa nggak sih aku nggak usah ikut aja? Toh sebentar lagi aku dan Kalingga bercerai," pinta Luna dengan wajah gelisah."Kamu mau membuat Kakek Ageng kecewa? Setidaknya datanglah untuk dia." Irfan menoleh ke belakang. "Untuk yang terakhir kalinya."Luna menggigit bibir bawahnya. Ingin langsung kabur, tapi dia juga tidak enak pada Kakek Ageng yang telah baik padanya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, seharusnya dia memiliki hak untuk menolak datang dan pergi dari keluarga itu tanpa pamit.Tapi sekali lagi, dia merasa tidak enak pada Kakek Ageng. Ketika pikirannya masih sibuk, mobil sudah berhenti di pelata