Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main.
"Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut. "Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik. Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya." Luna berdecak sambil mengibaskan tangan. "Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik. Peni mengangkat jempol. "Peni! Mana kopinya? Bikin kopi aja lama banget?" teriak Bu Devi. "Saya masuk dulu, Bu," pamit Peni dengan terburu-buru. Setelah kepergian Peni, ponsel Sofia bergetar. Wanita itu menatap Luna tak enak. "Lun, aku ada janji sama pasien lain. Kamu nggak apa-apa kan, sendirian nungguin sampai mereka pergi?" Luna menghela nafas panjang. Mau menahan Sofia pun rasanya tidak tahu diri, karena dia sudah berhutang banyak pada wanita itu. "Pergi aja, Sof. Aku nggak apa-apa kok," ujarnya. Sofia mengangguk. "Hubungi aku kalau ada apa-apa. Ingat, jangan bertindak gegabah." Setelah mengatakan hal itu, Sofia pergi lewat samping rumah dan buru-buru keluar agar tidak dipergoki oleh Kalingga dan Bu Devi. Untung saja Sofia datang ke rumah ini dengan menaiki taksi online. Sekarang hanya tinggal Luna sendirian sambil merenung. Memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya agar Kalingga tidak menceraikannya. Jangan sampai pria itu tahu bahwa dia sudah mulai bisa berjalan. Dia akan menghentikan pengobatannya di rumah sakit tempat sepupu Kalingga bekerja. "Maafin aku, Mas. Kalau saja kamu nggak berubah lembut sama aku, aku nggak akan jatuh cinta sama kamu," gumamnya. *** Selama hidupnya, Luna tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis karena sadar akan statusnya. Ayahnya hanyalah seorang satpam perusahaan, sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Tidak ada waktu untuk memikirkan laki-laki, karena dia sibuk membantu ekonomi sang ayah dengan berjualan kue dan aneka jajanan lainnya. Lalu sekarang, dia harus bisa menggoda suaminya agar tidak menceraikannya. Dia akan menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, karena Kalingga tidak lagi dingin padanya. Pintu kamar terbuka, menampilkan Kalingga dengan wajah kusut dan masih memakai pakaian kerja. Jantung Luna berdebar tak karuan. Tanpa sadar dia mengeratkan genggaman tangannya pada piyama berbentuk jubah yang dikenakannya. "Kok baru pulang, Mas?" tanya Luna dengan senyuman lembut di bibirnya. Seandainya dia sudah lancar berjalan, dia akan menghampiri sang suami dan memeluk pria itu. "Lembur," jawab Kalingga singkat. Pria itu melihat kursi roda di sebelah Luna, setelah itu melengos pergi menuju ke kamar mandi. Luna menggigit bibir bawahnya. Kecewa dengan respon dingin pria itu. Padahal biasanya Kalingga bersikap lembut. Sekarang, laki-laki itu kembali seperti semula. Dingin padanya. "Nggak, aku nggak boleh nyerah. Aku pasti bisa membuat Mas Lingga luluh lagi," ucapnya dengan percaya diri. Sebelum Kalingga pulang, Luna sengaja melakukan perawatan pada tubuhnya. Dengan menahan sakit di kakinya yang masih kaku, dia menyiapkan semuanya demi sang suami. Dia melihat tutorial di internet tentu saja. Sekarang, Luna melepaskan piyamanya untuk memperlihatkan apa yang tengah dipakainya. Lingerie dengan warna merah menyala, hadiah dari Irfan, sahabat Kalingga sekaligus dokter spesialis saraf yang menangani fisioterapinya. Jantung Luna seperti ingin melompat dari tempatnya ketika pintu kamar mandi terbuka. Dia berbaring dengan gugup, tidak sanggup untuk berpose seksi seperti tutorial yang dilihatnya tadi saking malunya. "Kenapa belum tidur? Nggak usah nunggu aku," ucap Kalingga. "Mas..." panggilnya ragu. Kalingga yang sejak tadi sibuk mengeringkan rambutnya akhirnya mendongak. Mata pria itu membelalak. Wajah Luna terasa panas ketika mata Kalingga menelusuri tubuhnya dengan liar. Bisa dia lihat pria itu menelan ludah. Tanpa bicara apa-apa, Kalingga melemparkan handuk sembarangan dan bergegas menghampirinya dengan sorot mata penuh gairah. Hal yang mulai dihafal oleh Luna setelah dua bulan mereka "berbaikan". "Mas..." Luna hanya bisa mendesahkan nama pria itu setiap kali Kalingga menyentuhnya, dan kali ini pria itu melakukannya dengan bersemangat. "Kamu wangi sekali," bisik Kalingga di sela-sela aktivitas panas mereka. Luna tersenyum puas. Ternyata sangat mudah menaklukkan pria. Atau setidaknya itulah yang dia kira. "Luna!" Tidak ada yang lebih membahagiakan Luna selain mendengar namanya yang baru kali ini disebut oleh lelaki yang telah mengisi hatinya ketika mencapai puncak. Usahanya berhasil. "Aku mencintaimu, Mas." *** Pagi ini, Luna merasa sangat bahagia. Dia terus saja tersenyum sejak bangun tidur. "Mbak Peni, jangan bilang sama Mas Lingga kalau aku udah bisa jalan dikit-dikit ya," pesan Luna sambil berbisik setelah mereka selesai masak. "Loh, kenapa Bu? Bukannya malah bagus kalau Pak Lingga tahu?" tanya Peni heran. Luna menggeleng. "Pokoknya jangan bilang siapa-siapa. Terutama Bu Devi." Peni yang memang merasa senasib dengan Luna karena sama-sama dari kampung, mengangguk sambil mengangkat dua jempolnya. Luna menyerahkan urusan plating makanan pada Peni agar Kalingga tidak curiga. Buru-buru dia duduk di kursi rodanya dan mengarahkannya pada ruang makan. Matanya langsung berbinar ketika mendapati Kalingga baru saja keluar dari kamar dengan pakaian kerja. Rambut pria itu basah, membuat Luna tersipu malu dan wajahnya memerah. Aktivitas malam mereka kemarin benar-benar luar biasa dan membuat Luna merasa berbunga-bunga. Dia semakin yakin bahwa Kalingga juga mencintainya, karena pria itu terus bercinta dengannya setelah dia menyatakan cinta. "Mas, ayo sarapan. Aku udah nyuruh Mbak Peni buat masak tumis udang kesukaan kamu," kata Luna antusias. Tak berapa lama kemudian, Peni datang dengan membawa berbagai lauk dan secangkir kopi untuk Kalingga. Mereka sarapan dalam diam. Luna terus memperhatikan reaksi Kalingga yang tengah memakan tumis udang buatannya. Rasanya jelas berbeda dari buatan Peni. Kalingga tidak berkomentar apa-apa. Pria itu hanya mengernyitkan alis dan sempat menghentikan kegiatan makannya, setelah itu kembali melanjutkan sarapannya. "Nanti pulang jam berapa, Mas?" tanya Luna dengan lembut. Kalingga yang tengah meminum kopi langsung berhenti. Pria itu menatapnya tajam dan dingin, membuat Luna kaget. Kenapa pria itu kembali seperti dulu? "Kenapa..." "Kamu sudah bisa berdiri kan?" Luna terengah kaget. Sedikit panik, namun setelah itu pura-pura memasang wajah bingung. "Belum Mas." Tiba-tiba saja, Kalingga berdiri dan berjalan mendekatinya. Tanpa diduga sama sekali oleh Luna, pria itu menarik tangannya kasar sampai dia berdiri. Karena tidak siap dan kakinya memang kembali sakit setelah lama berdiri, dia langsung terjatuh. "Aduh! Mas, kamu kenapa sih?" "Jangan berpura-pura di depanku, sialan! Kamu pasti udah bisa jalan, kan?"Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini
"Bu, kok perasaan saya nggak enak ya?" kata Peni ketika mereka sampai di mansion keluarga Wisnuwardhana.Mansion yang dihuni oleh 3 pasang suami istri beserta anak-anaknya dan 1 kepala keluarga yang memimpin, kakek Ageng Wisnuwardhana."Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak," balas Luna dengan sikap tenang, padahal hatinya gelisah bukan main.Ada dua mobil yang terparkir di halaman mansion yang luas, mobil Kalingga dan entah mobil siapa lagi. Mungkin tamu. Tapi Luna tidak peduli. Tujuannya ke sini adalah untuk menemui suaminya.Peni mendorong kursi rodanya memasuki halaman mansion sampai akhirnya tiba di teras yang luas. Kedua paman Kalingga sedang berbincang di kursi dengan serius, sampai mereka menyadari kehadiran Luna.Om Anton dan Om Danu terlihat gugup dan salah tingkah. Mereka saling lirik sebelum akhirnya tersenyum pada Luna. Kedua pria itu memang tidak ikut campur dengan pernikahan keponakannya. Berbeda dengan istri-istri mereka."Eh, Luna? Tumben kamu datang ke sini, Nak?
"Eh, sorry aku nggak sengaja denger percakapan kalian," ucap Renata.Luna langsung menunduk dan mencuci tangannya, tidak ingin melihat wanita itu lagi. Pantas saja Kalingga ingin cepat-cepat bercerai darinya. Renata benar-benar cantik karena make-up mahal dan perawatan tubuh yang pastinya juga mahal."It's okay," jawab Sofia dengan wajah datar.Mereka hanya diam ketika Renata pergi dari toilet."Cih! Yang kayak gitu digilai sama Kalingga? Tipe-tipe cewek terlalu friendly sama semua cowok. Kok mau sih suami kamu sama WC umum kayak dia?" cibir Sofia."Hush, jangan gitu, Sof. Aku memang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia," ujar Luna. "Kita keluar dari sini ya. Aku mau istirahat di rumah. Kakiku masih belum bisa lama-lama berdiri."Sofia memutar matanya. "Dibandingkan dengan kamu, jelas lebih cantik kamu lah. Cantiknya Renata itu biasa aja, ketolong make-up mahal. Kamu nggak pake make-up aja udah cantik."Luna tidak mempedulikan ocehan Sofia. Dia menarik tangan wanita itu agar s
"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak? Apa perlu kita pindah restoran?" tanya Sofia dengan wajah khawatir.Luna buru-buru menggeleng. Tidak mungkin dia sangat tidak tahu diri meminta Sofia untuk pindah ke restoran lain, sedangkan restoran ini sudah yang paling mewah dan mahal."Enak kok. Seharusnya kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini, Sof. Jangan buang-buang banyak uang cuma buat makan. Apalagi buat...aku," ucapnya lirih di akhir kalimat.Sofia tentu saja menatapnya tak suka. Wanita itu sangat membenci responnya yang seperti itu. "Bisa nggak sih kamu berhenti merendahkan diri kamu sendiri? Memangnya kenapa kalau aku buang-buang duit buat kamu? Bukan karena kamu sekarang yatim piatu. Dulu waktu Pak Sakur masih hidup, aku tetap beliin kamu ini itu kan? Itu nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan ibu kamu mendonorkan hati dan paru-parunya buat mama setelah meninggal."Luna menggenggam tangan Sofia yang matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya memang sebaik itu. Sebelum meninggal dalam
"Luna! Uang apa itu?"Luna buru-buru menyembunyikan uang itu di belakang punggungnya."Sofia? Hari ini jadwalku terapi ke dokter Irfan. Kenapa kamu ke sini?" tanya Luna gugup.Dia melirik Peni yang buru-buru pergi begitu Sofia semakin mendekat."Perasaanku nggak enak, jadi aku ke sini. Kamu habis nangis? Kalingga ngapain kamu lagi?" cecar Sofia dengan mata menyelidik."Eh? Nggak kok. Aku tadi cuma keinget almarhum ayah aja makanya nangis." Luna buru-buru mengusap air mata di wajahnya."Aku tadi melihat ibu mertuamu dari rumah ini, makanya aku nungguin dia keluar dulu. Kamu habis dimaki-maki lagi sama dia? Kali ini soal apalagi?"Luna langsung mengalihkan pandangannya dan kembali memakan sarapan yang belum habis."Sarapan dulu yuk. Mumpung Mbak Peni masak banyak lauk. Ini tumis udang buatanku loh," kata Luna mengalihkan perhatian.Dia hanya tidak mau Sofia histeris kalau tahu apa yang diucapkan oleh Kalingga dan Bu Devi tadi. Sudah bisa dipastikan bahwa Sofia akan memaksanya untuk berp
Luna memegangi kakinya yang sakit. Dia masih terduduk di lantai keramik yang dingin sambil meringis karena tangannya juga sakit akibat menahan beban tubuhnya.Kalingga langsung melepaskan tangannya setelah memaksa Luna untuk berdiri, sehingga Luna terjatuh dengan keras."Aku nggak berpura-pura Mas. Kakiku masih sakit," kata Luna sambil mendongak.Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Kalingga benar-benar berubah menjadi dingin."Irfan bilang kamu udah bisa berdiri dan berjalan, jadi jangan berbohong!" hardik Kalingga.Luna menggeleng. "Enggak, Mas. Aku beneran belum bisa jalan. Kakiku aja masih sakit dan kaku."Dia tidak sepenuhnya berbohong. Kakinya masih terasa kaku dan sakit setiap kali dibuat berdiri. Sofia bilang, dia harus tetap menjalani fisioterapi sampai kakinya benar-benar bisa digunakan untuk berjalan sepenuhnya.Selain dengan Irfan, Luna memang diam-diam menjalankan terapi dengan Sofia agar bisa cepat sembuh. Tapi ternyata kesembuhannya justru akan membuat
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main."Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut."Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."Luna berdecak sambil mengibaskan tangan."Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.Peni mengang
"Sof, kakiku bisa digerakkan!" seru Luna antusias dengan hati terasa penuh.Rasanya dia ingin melompat-lompat saking senangnya karena akhirnya bisa menggerakkan kakinya dalam keadaan berdiri. Luna mencoba mengangkat kaki kanannya ke depan hingga menghasilkan satu langkah."Bagus! Kesabaran kamu membuahkan hasil, Lun!" sahut Sofia dengan senyum lebar. "Ayo, satu langkah lagi. Kamu pasti bisa."Luna berpegangan pada kedua tangan Sofia, sahabat sejak kecil yang kini berprofesi sebagai dokter spesialis saraf. Kaki kirinya kembali melangkah dengan sangat perlahan, dan akhirnya berhasil."Sof," panggil Luna dengan suara bergetar dan kedua mata berkaca-kaca saking bahagianya. "Sof, makasih banyak udah mau bersabar merawat aku."Luna memeluk sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu karena bahagia. Tidak ada lagi orang yang bisa dia jadikan sebagai sandaran selain wanita dalam pelukannya ini setelah ayahnya meninggal karena ditabrak oleh Kalingga, laki-laki yang kini menjadi suaminya."Kamu ini