Pikirku dulu, saat kita berjanji dengan nyanyian laut,
Aku akan mampu merapikan hidupmu yang semrawut.
Kaupun akan mampu membantuku sifatku yang sering kalut.
Pikirku dulu, cinta kita takkan pernah surut.
Keinginan akan kehadiraanmu jadi candu,
Kepercayaanku padamu menjadi megah mengabut.
Aku rasa, dulu samudera tentram adalah impianku.
Saat bahtera ini kita bangun bersama,
Tempat ternyaman untukku adalah samudera.
Aku menjadi nahkoda, kau membaca peta.
Kita pergi jelajahi dunia dengan angin yang menuntun kita.
Pikirku kini, ternyata cinta itu rasa yang rapuh.
Bahteraku tak lagi mampu bersauh,
Jangkarku pun telah jatuh.
Saat ada nahkoda lain, kau pun ikut menjauh.
Membiarkan bahtera megah yang kita bangun runtuh.
Hingar bingar kota besar memang selalu menjanjikan setiap orang. Meskipun panas terik saat ini, terlihat lalu lalang kendaraan yang terus mengeluarkan emisi. Membuat ibu kota negara ini semakin panas. Masker yang digunakan sebagai tameng dari virus yang sedang diperangi kurang lebih setahun ini sekarang makin berfungsi sebagai penyaring udara dari jahatnya emisi kendaraan bermotor. Di tengah panasnya ibu kota, Arya menatap Indira yang sedang mengikat sneakersnya. Arya tak menyangka adiknya sudah dewasa. Mahasiswa semester 5 ini dulunya dia jahili sampai menangis hingga melapor pada Papa, kini bermetamorfosa menjadi seseorang yang melampaui imajinasinya. “Bang, gue balik ya.” Indira berdiri sembari membetulkan outernya yang sedikit berantakan. “Papa udah kangen. Oh iya, itu bingkisan yang di meja makan kasihin ke Mba Mila ya. Titipan Mama soalnya.” “Isinya apaan emang?” Arya masih melirik adiknya yang kini sedang menyelipkan loop masker ke salah satu telin
Arya kembali memeriksa perlengkapannya untuk pergi ke toko mebeul milik salah satu rekannya. Hand sanitizer dan masker cadangan sudah ia masukan ke tasnya. Hal yang sama juga ia lakukan pada laptop, ponsel dan juga dompetnya. Hari ini Arya mendapat orderan yang cukup besar dari orang kaya baru yang sedang mentransformasi sebuah gubuk menjadi istana.Rumah Arya sedari jam 7 pagi sudah sepi. Pembantunya yang bertugas untuk memasak dan bersih-bersih rumah kini tengah pergi untuk belanja sayuran. Mila sudah pergi sejak pukul setengah 7. Ia berangkat lebih awal karena tidak ingin kena macet dalihnya. Arya tidak pedulikan. Yang jelas, saat ini ia harus bangkit karena selain dirinya yang butuh uang, pegawainya juga harus meneruskan kehidupan, juga rekan kerjanya juga ada yang harus dibiayai. Pandemi ini memang mengharuskan seseorang untuk bertindak seaktif dan sekreatif mungkin.Dengan sedikit terburu juga berbekal sebuah kue gandum dimulutnya, Arya bergegas masuk ke mobilnya, menyalakan mes
Hari berganti hari. Matahari demi matahari yang kian terasa panjang karena pandemi yang menyengsarakan segala aspek kehidupan kini mulai terasa jadi sahabat. Masker, alkohol, menjaga jarak, protokol kesehatan, aturan pemerintah dan segala acara prevented lainnya yang melelahkan. Di kasurnya yang tebal dan empuk ini Arya masih terlelap dengan telungkup. Punggungnya yang lebar juga berotot tercetak dari kaos yang ia gunakan selama tidur. Setelah setahun belakangan ini, Arya tidak pernah merasa dirinya selelah ini. Jiwa dan raganya serasa diperas sekering-keringnya. Rasa lelap Arya kini terusik karena merasa badannya cukup terisi baterai. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Sebelum menegakkan badannya, kepala Arya melirik ke arah kasur di sebelahnya. Kosong. Mila sudah pergi untuk bekerja. Arya melirik jam di ponselnya yang semalaman menyala, 7.30 tercetak jelas disana. Teringat jika tengah hari nanti ia harus kembali mengurus pengiriman untuk keluar neg
Di kantornya pribadi yang jauh dari kantor Arya, di depan jendela Mila menunduk menatap ponsel. Hatinya gelisah tidak nyaman. Sembari sesekali melihat foto pre-weddingnya bersama Arya, Mila menggigiti bibirnya. Sebuah kebiasaan saat gugup, stress, atau bingung. Jemari Mila merayap mengambil ponselnya. Menggulirkan ibu jari pada kontak yang menjadi panggilan masuk beberapa bulan ini. Menekan tombol telpon lalu menempelkan ke telinganya. Perasaan bersalah seakan menghantui, namun akal sehatnya sering membantah. “Halo” sapa seorang pria dari ponsel Mila. “Ada apa?” “Kita harus ketemu. Penting.” “Dimana?” “Besok di tempat biasa, jam 3 sore.” tukas Mila lalu memutuskan sambungan teleponnya. Mengakhiri sambungan telpon dari pria ini membuat Mila makin merasa bersalah. Bersalah atas dua hal lebih tepatnya, pada Arya dan pada pria yang ia telepon. Mendua memang pilihan yang salah. Tidak ada paham yang bisa membenarkan. Namun perasaan dimana M
Situasi kantor eskpor furniture saat ini sangat sibuk. Pesanan domestik membludak karena trend renovasi kamar. Telepon, whatsapp, pesan, e-mail, bahkan inbox di sosial media sangat ramai akan yang betulan beli atau hanya sekedar basa-basi. Arya dan rekan sedikit kewalahan setelah saling tertawa karena pesanan divan prisma segilima. Sudah kurang lebih 3 jam mereka saling membalas segala pesan, e-mail dan telepon juga merancang segala jenis janji temu untuk mendiskusikan barang. Total pesanan yang entah berapa belum sempat mereka rekap masih terus bertambah hingga mereka harus lembur hari ini. Sekarang cahaya matahari sudah mulai menghilang terganti gelap dan suasana panas karena emisi gas dari orang-orang yang bubar kantor. “Man, janji temu dalam kota minggu ini penuh ga?” tanya Arya yang mengintip dari balik meja kerjanya ke luar ruang kantor. Lukman mengangguk. “Full sampe Minggu. Guys kita punya jam tambahan ya.” jawab Lukman disambung memberikan pengum
Seminggu telah berlalu. Semua pesanan dan janji temu sudah diselesaikan dengan baik oleh 4 sekawan eksportir ini. Pekerjaan mereka yang menggunung kini sudah beres. Mereka sedang berkumpul di kantor dengan agenda healingnya masing-masing; Arya meminum boba dingin, David yang menghisap rokok putih, Brandon yang main game, dan Lukman yang mencukur kumis. “Man, gak bawain martabak apa?” David yang baru saja menghembuskan asap rokoknya memberi saran. Lukman menggeleng. “Nanti kalau ada sisaan.” lalu melanjukan mencukur bulu halus yang tumbuh di atas bibirnya. “Itu si Donny Lazuardi belum ngabarin?” tanya Arya yang disusul hal serupa oleh Brandon. “Udah selesai semua nih, mumpung free jadi kita bisa lembur lagi.” Ucapan Arya yang mengajak lembur membuahkan tatapan serentak ketidaksetujuan dari para rekannya. “Vid, buat si Arya meet upnya pending aja biar gak lembur lagi. Bini gue kangen dikelonin.” protes Brandon sang pengantin baru. Di ant
“Ini si Donny gak ada tindakan lanjut apa?” keluh Brandon yang kini duduk di samping David. Mengambil sebuah permen dari meja David lalu membuka bungkusnya. “Dia gak tepatin janji.” Lukman mengiyakan pernyataan Brandon. “Molor 3 hari dari janji yang dia kasih.” “Gue follow up.” David beringsut mengambil ponsel, lalu mencari kontak Donny. “Kalau kita gak ketemu dia, itu projekkan gak bakal beres. Divan prisma segilima hanya angan belaka.” jawab Lukman lalu diiringi gelakan tawa khas miliknya. Arya datang menenteng beberapa kresek berwarna putih. Dipastikan isi dari kresek itu adalah makan siang mereka untuk hari ini. Jemari Arya segera mengeluarkan isi dari kresek tersebut. Melihat catatan kecil yang ditulis di atas bungkus busa. “Ini jadwal ketemu Donny kapan bisanya kalian semua?” “As soon as possible lah.” Brandon berbicara dengan mulut berisi. “Kasian pengrajin gak punya kerjaan. Handphone si Arya berisik noh ama pengrajin
Indira meneguk habis es kelapa jeruk yang dibawanya dari luar. Sembari duduk di mini bar rumah Arya, tangan Indira yang lentik mengorek kelapa yang berdiam di dasar gelas menggunakan sedotan stainless yang juga diambil dari laci dapur Arya. Menggalang dana untuk acara kampus di siang hari buta membuatnya kelelahan. “Numpang bentar ya. Jam 3 juga keluar. Males balik.” Indira mengeluh lalu kembali mengorek isi gelas. “Lah mau kemana emang?” Arya yang memang ada di rumah hari ini. Ia meminta izin setengah hari karena Mae protes jika kabel di kantor Arya sering menyentrum sapu yang ia pakai. “Pacaran.” Indira memasukan es batu yang ia temukan dari gelas berisi air kelapa bercampur perasan jeruk yang sudah tidak ada airnya itu ke dalam mulut. Hanya kelapa serut dan es batu 6 kotak. Arya mengernyit, “Punya pacar emang?” Indira menganggguk. “Gue diem-diem punya pacar. Ganteng, pinter, tajir.” Ary