Arya kembali memeriksa perlengkapannya untuk pergi ke toko mebeul milik salah satu rekannya. Hand sanitizer dan masker cadangan sudah ia masukan ke tasnya. Hal yang sama juga ia lakukan pada laptop, ponsel dan juga dompetnya. Hari ini Arya mendapat orderan yang cukup besar dari orang kaya baru yang sedang mentransformasi sebuah gubuk menjadi istana.
Rumah Arya sedari jam 7 pagi sudah sepi. Pembantunya yang bertugas untuk memasak dan bersih-bersih rumah kini tengah pergi untuk belanja sayuran. Mila sudah pergi sejak pukul setengah 7. Ia berangkat lebih awal karena tidak ingin kena macet dalihnya. Arya tidak pedulikan. Yang jelas, saat ini ia harus bangkit karena selain dirinya yang butuh uang, pegawainya juga harus meneruskan kehidupan, juga rekan kerjanya juga ada yang harus dibiayai. Pandemi ini memang mengharuskan seseorang untuk bertindak seaktif dan sekreatif mungkin.
Dengan sedikit terburu juga berbekal sebuah kue gandum dimulutnya, Arya bergegas masuk ke mobilnya, menyalakan mesin lalu segera tancap gas menuju tujuannya. Dadanya dipenuhi oleh semua senyawa bermuatan positif yang membuat sedikit sesak karena rasa senang. Arya juga menyugestikan bahwa projek ini berhasil untuk menaikkan mood dan juga menaikan persentase keberuntungannya.
45 menit memacu kuda besinya, akhirnya sampai juga. Setelah membaca doa, Arya bergegas keluar mobil. Tasnya langsung ia sampirkan di bahu kanannya, mengusap tangannya dengan tisu basah, lalu segera menemui Lukman. Lukman adalah rekan kerjanya sedari awal mendirikan usaha yang ia geluti hingga menjadikannya begini.
“Kabar dari Robert Brown udah gue kantongin. Jadi kita tinggal kirim aja. Yang ngurus pengiriman, gue ama tim ekspedisi.” Lukman menyerahkan sebuah berkas yang terdiri dari beberapa lembar kertas yang distapler bersama.
Arya membacanya lamat-lamat hingga tidak ada kalimat, kata, titik, koma, hingga tanda baca lain yang terlewat. “Robert Brown clear berarti tinggal Steve Wu?” tanya Arya sembari menatap Lukman.
Pertanyaan Arya dibalas anggukan oleh Lukman. “Chiness accent. Gue nyerah. Kayaknya harus sama si Brandon deh. Dia udah balik dari Singapura belum?”
Arya mengangguk cepat. “Karantina.”
Mendengar jawaban Arya, Lukman menggaruk alisnya yang tidak gatal. “Jadi gimana? Kita gak punya banyak waktu. Mumpung aturan agak longgar. Kita bisa kirim banyak.”
“Orderan kita banyak banget ya bulan ini?” Arya menyimpan berkas yang Lukman berikan ke atas meja.
“25 paket buat keluar. Domestik 80. Termasuk furniture sama decorative aspect.” Lukman membuka laptopnya, lalu menyerahkan kepada Arya untuk dianalisa.
“Kita cuma punya waktu 5 hari kerja. Pengiriman cuma satu hari. Bisa deh. Yuk kerja.” Setelah menganalisa semua aspek dan resiko Arya mengajak rekannya satu ini mulai berkerja.
“Gue yakin kita bangkit, Man. Kita semua bakal bangkit. Kita gak boleh kalah.” ucap Arya sembari bangkit dari kursinya lalu tersenyum kepada kawannya.
“Abis semedi di rumah seminggu, ditambah protes pegawai yang gak berenti. Lu bisa balik dengan positif mind. Aryasatya do the comeback.” guyon Lukman lalu mengikuti Arya untuk bekerja.
***
Matahari yang sudah meninggi menandakan suhu Jakarta makin panas. Arya dan Lukman sudah menggulung lengan kemeja mereka hingga batas sikut. Semua pesanan telah dikemas dan sebagian telah dikirim. Hari ini begitu berat juga melelahkan. Lukman sudah berulang kali menenggak minuman dingin yang ada di hadapannya.
“AC rusak jadi gini dah. Panas bener.” keluh Lukman sembari mengelap keringatnya di dahi.
“Punya AC tuh kewajiban kalau di Jakarta. Selain bayar pajak.” Arya yang bercanda saat sahabatnya ini kegerahaan membuahkan protes.
“Jangan ingetin pajak bro. Gue nunggak 2 bulan gara-gara usaha martabak gue sepi.” Lukman mengeluh karena pendapatannya menipis.
“Mana istri lu lagi hamil gede.” timpal Arya.
“Ah bangsat lu! Diingetin mulu.” Lukman kembali protes sembari memukul pelan Arya yang tergelak.
Bagi Arya maupun Lukman sindiran begini sudah menjadi kebiasaan. Tentang Lukman, ia adalah sahabat Arya sejak SMA hingga bangku kuliah. Mereka sudah biasa nongkrong bareng, berebut perempuan, taruhan bola, hingga maling mangga sudah mereka lakoni. Hingga mereka memutuskan bersama mendirikan usaha ekspor furniture ini mereka tetap bersama dan akur-akur saja.
“By the way, Ya. Lu ama istri baik?” tanya Lukman setelah melayangkan puluhan protes terhadap pernyataan fakta menyakitkan yang Arya lontarkan.
Dalam keraguan Arya mengangguk. “Baik.”
“Gue udah jarang liat lu bawa Mila kesini. Atau nganter Mila kerja.” timpal Lukman sembari kembali meminum minumannya.
Arya tersenyum. “Dia kan guru kelas. Jamnya udah naik juga. Jadi agak sibuk.”
“Guru SD kan dia?” Pertanyaan Lukman dijawab anggukan oleh Arya.
“Yang gue tahu, guru SD gak sesibuk yang lo kira. Apalagi lagi pandemi gini. Banyak di rumahnya kali.” lanjut Lukman yang kini membuat Arya berpikir.
“Lo tahu dari mana?”
“Ponakan gua SD kelas 4. Dia di rumah terus sekolah pake laptop. Gurunya juga di rumah. Emaknya aja rewel tagihan wi-fi naik.”
Arya kembali ingat jika keponakan Lukman sekolah di sekolah tempat Mila bekerja. Arya kembali curiga kepada istrinya. Benarkah asumsinya jika istrinya itu bekrhianat?
“Kalau kerja di rumah, kok Mila ke kantor terus ya?”
“Punya jabatan penting kali Mila di sana.” tukas Lukman sembari mengelap keringatnya yang bercucuran di keningnya.
Sembari memeriksa jadwal pengiriman keluar dari laptopnya, dugaan Arya tentang asumsi perselingkuhan istrinya memudar. Ia mengiyakan dugaan sahabatnya ini. Arya yakini jika memang benar, Mila istrinya itu memiliki jabatan khusus di sekolah sehingga memang mengharuskannya selalu ada di lokasi.
Arya menutup laptopnya pelan. Kebingungaanya atas asumsi pribadi kini menyiksanya. Ada dua cara yang harus dia lakukan agar asumsi-asumsi yang ada dalam kepalanya tidak menjadi. Yang pertama, melupakan apa yang sudah terjadi, atau kedua mencari kepastian akan sebuah bukti terhadap perselingkuhan istrinya sendiri.
***
Matahari yang meninggi kini bergeser ke barat. Langit ikut menguning. Jalanan sudah mulai macet. Para pekerja dari gedung-gedung pencakar langit dan juga kantor-kantor lain juga sudah mulai menampakan diri di jalanan ibu kota. Memperparah kepadatan kendaraan di jalan.
Arya memilih untuk pulang ketika adzan magrib terdengar. Dari seluruh penjuru terdengar panggilan solat. Arya kini sudah sampai tepat di gerbang utama klaster perumahaannya. Terlihat beberapa satpam yang berjaga sembari bermain catur dan meminum kopi.
Dengan kuda besinya Arya membunyikan klakson agar dibukakan portal. Seolah mengerti, salah satu satpam bergegas membukakan portal untuk Arya lewat.
“Selamat malam Pak Arya,” sapa salah satu satpam yang sudah Arya kenal baik. Suryono namanya.
“Tumben udah ditutup, Pak. Kenapa?”
“Takut ada tawuran yang maksa masuk, Pak. Kita takut kewalahan.” balas Suryono dengan logat jawanya yang kental sembari menutup kembali portal.
“Oh iya, Pak. Bu Mila baru saja masuk.” lanjut Suryono sembari mendekati mobil Arya dengan kaca jendela yang terbuka.
Jidat Arya mengernyit pelan. “Baru banget?”
“Iya. Ada 10 menit yang lalu.” balas Suryono lagi. “Sama orang suruhan bapak juga ibu pulangnya.”
“Laki-laki, pak?” tanya Arya bergegas.
Suryono membalas. “Nggeh, Pak. Naek mobil juga ibu pulangnya. Duduknya di depan sama orang itu.”
“Mobilnya bapak kenal?” Arya kini bersikukuh untuk menggali informasi dari satpam klasternya ini.
“Yo ya ndak toh, Pak. Temen bapak yang sering jemput ibu kan buanyak. Mana iso saya ingat.” jawab Suryono kembali.
Informasi dari Suryono kembali membuat Arya yang mengubur asumsi pengkhianatan istrinya kembali terbuka. Haruskah ia benar-benar mencari bukti? Otak Arya kembali diperas untuk menyimpan kecurigaan kepada istrinya.
“Makasih, Pak. Ini Pak buat temen jaga.” ujar Arya sembari memberikan bungkusan roti bakar dan juga beberapa gorengan yang tak sempat ia makan di tempatnya bekerja tadi. Suryono menerimanya dengan antusias.
Setelah obrolan singkat dengan Suryono, Arya menjalankan mobilnya pulang. Hari ini begitu campur aduk untuknya. Berat, pusing, bingung, curiga, ragu, optimis, ah entahlah sisanya. Dari kesemua rasa yang ia alami hari ini, kesimpulannya adalah capek. Tidak ada lagi.
Di balik rasa penatnya. Arya melemparkan badannya ke kasur setelah mandi dan bersih-bersih. Dihadapannya, Mila terduduk sembari menyisir rambut indahnya yang terurai di depan meja rias.
“Kamu pulang jam berapa Mil?” suara bungkam Arya kini terdengar. Mungkin Arya akan menentukan pilihan yang ia buat tadi di tempat kerjanya.
“Gak jauh dari Abang kok. Mungkin 15 atau 20 menitan lah. Duluan aku.” Mila menyemprotkan minyak wangi ke lehernya. Semerbak wangi tercium oleh hidung Arya.
“Sama siapa pulang?” Mila terkesiap mendengar pertanyaan Arya. Kegiatannya yang menumpuk lapisan jenis perawatan kulit dihentikannya sejenak.
“Kenapa, bang? Abang curigain aku jalan sama yang lain?” Nada suara Mila sedikit meninggi.
Arya menggeleng dalam posisi rebahannya. “Bukan. Abang nanya aja. Udah lama kamu gak minta abang jemput.”
“Aku pulang sama taksi online bang. Gak sempet hubungin abang tadi.” kilah Mila yang sepersekian detik beranjak dari tempat duduknya.
“Aku gak mau ganggu Abang yang udah mulai kerja lagi.” Mila kini duduk di sebelah Arya. “Abang jangan cemburuan gitu. Udah bukan waktunya cemburuin aku.”
Mila mengecup kening suaminya dengan penuh perasaan yang Arya rasakan suatu perbedaan signifikan. Tidak bisa Arya jelaskan. Arya balas tersenyum lalu mengatupkan kedua matanya. Arya terlalu lelah untuk membantah atau mempertanyakan segala yang ia curigai hari ini. Namun ada satu hal yang jelas ia garis bawahi. Perkataan Mila yang menyuruhnya untuk jangan cemburu adalah suatu kesalahan.
Arya bukan orang yang mudah cemburu. Semua teman, sahabat, rekan kerja, hingga keluarganya tahu. Jika Arya bertanya dengan penuh selidik, berarti Arya menemukan suatu ganjalan dalam hubungan rumah tangganya. Arya menelan ludahnya. Ia mengambil sebuah keputusan kali ini, ia harus mencari sebuah bukti agar kegelisahaan dalam hatinya ini terselesaikan.
Dengan tindakannya yang mengambil tindakan ini, pepatah ‘ada sebab ada akibat’ berlaku. Arya harus menerima dua kenyataan, pertama bahteranya ini bisa hancur tak bersisa atau kedua bahtera tetap bisa melaut namun sudah terkoyak disatu bagian. Entah bagaimana nantinya.
Hari berganti hari. Matahari demi matahari yang kian terasa panjang karena pandemi yang menyengsarakan segala aspek kehidupan kini mulai terasa jadi sahabat. Masker, alkohol, menjaga jarak, protokol kesehatan, aturan pemerintah dan segala acara prevented lainnya yang melelahkan. Di kasurnya yang tebal dan empuk ini Arya masih terlelap dengan telungkup. Punggungnya yang lebar juga berotot tercetak dari kaos yang ia gunakan selama tidur. Setelah setahun belakangan ini, Arya tidak pernah merasa dirinya selelah ini. Jiwa dan raganya serasa diperas sekering-keringnya. Rasa lelap Arya kini terusik karena merasa badannya cukup terisi baterai. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Sebelum menegakkan badannya, kepala Arya melirik ke arah kasur di sebelahnya. Kosong. Mila sudah pergi untuk bekerja. Arya melirik jam di ponselnya yang semalaman menyala, 7.30 tercetak jelas disana. Teringat jika tengah hari nanti ia harus kembali mengurus pengiriman untuk keluar neg
Di kantornya pribadi yang jauh dari kantor Arya, di depan jendela Mila menunduk menatap ponsel. Hatinya gelisah tidak nyaman. Sembari sesekali melihat foto pre-weddingnya bersama Arya, Mila menggigiti bibirnya. Sebuah kebiasaan saat gugup, stress, atau bingung. Jemari Mila merayap mengambil ponselnya. Menggulirkan ibu jari pada kontak yang menjadi panggilan masuk beberapa bulan ini. Menekan tombol telpon lalu menempelkan ke telinganya. Perasaan bersalah seakan menghantui, namun akal sehatnya sering membantah. “Halo” sapa seorang pria dari ponsel Mila. “Ada apa?” “Kita harus ketemu. Penting.” “Dimana?” “Besok di tempat biasa, jam 3 sore.” tukas Mila lalu memutuskan sambungan teleponnya. Mengakhiri sambungan telpon dari pria ini membuat Mila makin merasa bersalah. Bersalah atas dua hal lebih tepatnya, pada Arya dan pada pria yang ia telepon. Mendua memang pilihan yang salah. Tidak ada paham yang bisa membenarkan. Namun perasaan dimana M
Situasi kantor eskpor furniture saat ini sangat sibuk. Pesanan domestik membludak karena trend renovasi kamar. Telepon, whatsapp, pesan, e-mail, bahkan inbox di sosial media sangat ramai akan yang betulan beli atau hanya sekedar basa-basi. Arya dan rekan sedikit kewalahan setelah saling tertawa karena pesanan divan prisma segilima. Sudah kurang lebih 3 jam mereka saling membalas segala pesan, e-mail dan telepon juga merancang segala jenis janji temu untuk mendiskusikan barang. Total pesanan yang entah berapa belum sempat mereka rekap masih terus bertambah hingga mereka harus lembur hari ini. Sekarang cahaya matahari sudah mulai menghilang terganti gelap dan suasana panas karena emisi gas dari orang-orang yang bubar kantor. “Man, janji temu dalam kota minggu ini penuh ga?” tanya Arya yang mengintip dari balik meja kerjanya ke luar ruang kantor. Lukman mengangguk. “Full sampe Minggu. Guys kita punya jam tambahan ya.” jawab Lukman disambung memberikan pengum
Seminggu telah berlalu. Semua pesanan dan janji temu sudah diselesaikan dengan baik oleh 4 sekawan eksportir ini. Pekerjaan mereka yang menggunung kini sudah beres. Mereka sedang berkumpul di kantor dengan agenda healingnya masing-masing; Arya meminum boba dingin, David yang menghisap rokok putih, Brandon yang main game, dan Lukman yang mencukur kumis. “Man, gak bawain martabak apa?” David yang baru saja menghembuskan asap rokoknya memberi saran. Lukman menggeleng. “Nanti kalau ada sisaan.” lalu melanjukan mencukur bulu halus yang tumbuh di atas bibirnya. “Itu si Donny Lazuardi belum ngabarin?” tanya Arya yang disusul hal serupa oleh Brandon. “Udah selesai semua nih, mumpung free jadi kita bisa lembur lagi.” Ucapan Arya yang mengajak lembur membuahkan tatapan serentak ketidaksetujuan dari para rekannya. “Vid, buat si Arya meet upnya pending aja biar gak lembur lagi. Bini gue kangen dikelonin.” protes Brandon sang pengantin baru. Di ant
“Ini si Donny gak ada tindakan lanjut apa?” keluh Brandon yang kini duduk di samping David. Mengambil sebuah permen dari meja David lalu membuka bungkusnya. “Dia gak tepatin janji.” Lukman mengiyakan pernyataan Brandon. “Molor 3 hari dari janji yang dia kasih.” “Gue follow up.” David beringsut mengambil ponsel, lalu mencari kontak Donny. “Kalau kita gak ketemu dia, itu projekkan gak bakal beres. Divan prisma segilima hanya angan belaka.” jawab Lukman lalu diiringi gelakan tawa khas miliknya. Arya datang menenteng beberapa kresek berwarna putih. Dipastikan isi dari kresek itu adalah makan siang mereka untuk hari ini. Jemari Arya segera mengeluarkan isi dari kresek tersebut. Melihat catatan kecil yang ditulis di atas bungkus busa. “Ini jadwal ketemu Donny kapan bisanya kalian semua?” “As soon as possible lah.” Brandon berbicara dengan mulut berisi. “Kasian pengrajin gak punya kerjaan. Handphone si Arya berisik noh ama pengrajin
Indira meneguk habis es kelapa jeruk yang dibawanya dari luar. Sembari duduk di mini bar rumah Arya, tangan Indira yang lentik mengorek kelapa yang berdiam di dasar gelas menggunakan sedotan stainless yang juga diambil dari laci dapur Arya. Menggalang dana untuk acara kampus di siang hari buta membuatnya kelelahan. “Numpang bentar ya. Jam 3 juga keluar. Males balik.” Indira mengeluh lalu kembali mengorek isi gelas. “Lah mau kemana emang?” Arya yang memang ada di rumah hari ini. Ia meminta izin setengah hari karena Mae protes jika kabel di kantor Arya sering menyentrum sapu yang ia pakai. “Pacaran.” Indira memasukan es batu yang ia temukan dari gelas berisi air kelapa bercampur perasan jeruk yang sudah tidak ada airnya itu ke dalam mulut. Hanya kelapa serut dan es batu 6 kotak. Arya mengernyit, “Punya pacar emang?” Indira menganggguk. “Gue diem-diem punya pacar. Ganteng, pinter, tajir.” Ary
Agenda makan malam kali ini sedikit berbeda kala Indira mengajak serta Fauzan sang kekasih. Semua seragam mengenakai pakaian berwarna putih, kecuali Indira yang memakai kaos kebesaran berwarna hitam. Ia berkilah jika baju putihnya akan ia pakai ke kampus dan takut kotor karena menu kali ini hidangan kesukaan Edwin, opor ayam kuah kuning. Di meja persegi panjang ini, 4 pasangan sedang berkumpul menikmati hidangan penutup setelah menyantap hidangan utama. Untungnya Fauzan sempat mampir ke toko kue membeli bolu coklat dan pudding buah. Indira menatap sendok yang ia genggam sedikit erat sesaat guna mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya keberanian itu terkumpul untuk mengatakan, “Mbak Mila, tadi ke Pujasera deket jalan Kemuning itu gak?” Dalam hatinya Indira sedikit enggan untuk menanyakan ini. Tapi untuk validasi jika apa yang ia lihat sepanjang sore tadi betul adanya. Mila mengangguk. “Iya, Dek. Kenapa?” Diakhiri oleh senyuman setela
Bukti perselingkuhan Mila dari Indira memang tidak bisa dijadikan sebuah kepastian. Arya terduduk di depan meja kerja, matanya kosong menatap palm botol, namun kepala berambut hitam legam itu berpikir keras. Jika Indira saja bisa memergoki Mila bersama kekasih gelapnya, maka ia juga bisa. Strategi yang dibuatnya harus benar-benar sempurna untuk menangkap pencurian istri ini. Diraihlah ponselnya, lalu membuka aplikasi ‘catatan’. Jemari itu lincah mengetikkan beberapa saksi yang pernah melihat sang istri dengan lelaki lain. Segala perih harus ia kesampingkan karena kebenaran harus terungkap. Diketiklah judul ‘Bukti Mendua’ di ponselnya. Paragraf pertama, ia mengetik kata ‘Febby’ dilanjutkan dengan ‘Orchid Park Residence’. Lalu Arya menekan enter. Kalimat berikutnya, ‘Utari’. Sebelum mengetikan di mana Ut