Hari berganti hari. Matahari demi matahari yang kian terasa panjang karena pandemi yang menyengsarakan segala aspek kehidupan kini mulai terasa jadi sahabat. Masker, alkohol, menjaga jarak, protokol kesehatan, aturan pemerintah dan segala acara prevented lainnya yang melelahkan.
Di kasurnya yang tebal dan empuk ini Arya masih terlelap dengan telungkup. Punggungnya yang lebar juga berotot tercetak dari kaos yang ia gunakan selama tidur. Setelah setahun belakangan ini, Arya tidak pernah merasa dirinya selelah ini. Jiwa dan raganya serasa diperas sekering-keringnya.
Rasa lelap Arya kini terusik karena merasa badannya cukup terisi baterai. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Sebelum menegakkan badannya, kepala Arya melirik ke arah kasur di sebelahnya. Kosong. Mila sudah pergi untuk bekerja.
Arya melirik jam di ponselnya yang semalaman menyala, 7.30 tercetak jelas disana. Teringat jika tengah hari nanti ia harus kembali mengurus pengiriman untuk keluar negeri. Ponselnya juga sudah berisik karena Lukman yang terus mengirimnya pengingat agar tidak terlambat.
Arya mengusap wajahnya sembari terduduk di kasur, lalu berdiri dan berjalan menuju dapur. Rumah tipe klasik modern hasil karya seorang Arya juga bantuan seorang arsitek atas dasar dream house istrinya kini terasa kosong.
“Selamat pagi Pak.” sapa Mpok Mae yang baru selesai mengepel lantai.
“Pagi Mpok.” Arya menjawab sapaan Mae sembari meminum segelas air putih hingga tak bersisa. “Gak pulang Mpok?”
“Idih Pak Arya mah pelupa. Kan Bapak bilang disini seminggu abis itu baru pulang.” jawab Mae dengan logat betawinya. Arya hanya menjawab dengan mengangguk lalu tertawa karena kebodohannya bisa lupa hal sepele ini.
“Pak, Bu Mila kok ngantor mulu ya?” sambung Mae yang baru saja kembali dari gudang untuk menyimpan peralatan kebersihan.
Arya menggeleng sembari kembali meminum air putih yang sudah ia pegang di dalam gelas. “Saya gak sempet nanya Mpok. Mungkin dia punya jabatan baru di sekolah.”
“Aneh saya Pak sama Bu Mila. Anak bungsu Mpok aja sekolah di henpon loh Pak. Gurunya juga jarang ke sekolah. Mereka pake wassap aja sekolahnya. Tapi kok Ibu ngantor terus. Apa muridnya sekolahnya normal gitu ya?” tanya Mae sedikit mengorek informasi.
“Itu semua begitu Mpok? Anaknya Lukman juga sekolahnya di rumah.” tanya Arya yang basa basi. Padahal ia tahu persis regulasi yang mengatakan jika pembatasan segala pertemuan kecuali mendesak.
“Anak Mpok ke sekolah cuma seminggu sekali. Hari Jumat atau Kamis Pak. Ngasih tugas doang. Mana banyak.” cerocos Mae tak berhenti.
“Gurunya?”
“Ya gurunya mah, Mpok gak tahu.”
***
Hari berbalas hari, minggu kian terus berganti. Pandemi belum juga menemui ajalnya. Kerja terus dilakukan di rumah, lockdown terus menerus, bahkan perekonomian rakyat makin tiarap. Arya yang sedikit demi sedikit mengepakkan sayapnya kini harus menekuknya kembali. Aturan PPKM yang mengharuskan diam di rumah membuat geraknya kembali terbatas. Ia hanya bisa membuat janji dengan para rekan, kolega bisnis, juga customernya lewat jaringan internet. Bahkan janji temu hanya dilakukan seminggu sekali. Kantor di rumahnya kini sangat berguna sekali.
Arya baru saja menyelesaikan janji meeting online dengan Lukman, Brandon, dan juga yang lain untuk membahas tentang renovasi rumah seorang selebgram yang banyak maunya. Selebgram itu ingin custom beberapa furniture agar rumahnya terlihat berbeda. Karena keinginannya yang sulit direalisasikan, maka dari itu meeting online ini diperlukan meskipun 2 atau 3 hari ke depan mereka akan mendiskusikan ulang segala konsepnya secara tatap muka.
Earphone yang sedari tadi menutup telinga kini sudah Arya lepas. Sembari mengurut kulit di antara kedua alisnya, Arya sayup-sayup mendengar suara Mila sedang mengobrol. Hatinya berat sekali untuk menyimpan segala premis kecurigaan terhadap istrinya. Cukup mencari nafkah untuk menghidupi segala orang yang ia sayangi saja yang membuat ia sakit kepala.
Keinginannya hanya sebatas ekspektasi, realitanya Arya harus membuat premis kecurigaan karena Mila kembali terdengar seperti orang yang sedang jatuh cinta di telepon kembali terjadi. Arya teringat harus membuat pilihan agar bahtera yang ia dan Mila tumpangi ini selamat. Arya tidak punya pilihan lain selain mencari bukti nyata jika benar Mila tak lagi setia akan janjinya, ia mengkhianati Arya untuk lelaki lain.
Bahtera tidak akan bergerak jika tak ada angin maupun layar, tapi bahtera juga tidak akan bisa sampai ke tujuan jika tak ada nahkoda. Selain sebagai seorang kepala rumah tangga, Arya juga berlaku sebagai nahkoda yang dimana ia bertugas untuk memutuskan arah bahtera ini. Berat? Sangat. Tapi tidak ada pilihan lain selain menjadi tegas. Sembari menghembuskan nafasnya, Arya mengetukkan pulpen yang ia pegang 3 kali pada permukaan meja kerjanya sebari batinnya bergumam “Ayo kita buktikan kecurigaan ini.”
Tindakan pertamanya saat ini Arya akan menanyakan tentang pekerjaan Mila. Sepengetahuannya, Mila sering sekali bercerita tentang pekerjaannya apabila Arya sedang beristirahat. Saling berbagi keluh kesah. Namun sudah kurang lebih sebulanan ini Mila tidak lagi melakukannya.
Arya dengan sedikit kasar mendorong kursi yang menghimpit badannya dari meja kerja. Mengambil sebuah teapot dan berjalan keluar ruang kerjanya. Dari arah lubang pintu ruang kerjanya, Arya melihat istrinya yang tengah berbincang dengan seseorang di telpon sembari mukanya berseri-seri. Jika tidak mengenal istrinya dengan baik, Arya akan menyangka jika istrinya baik-baik saja.
Arya mengenal Mila sangat baik, hingga Arya mengetahui bagaimana Mila akan datang bulan, mood swing, lapar, bosan, sakit, atau mungkin sedang bahagia. Raut muka Mila menunjukan jika ia sedang dalam mode bahagia yang memancarkan bunga-bunga di hatinya. Raut muka seperti ini mirip saat Arya mengucap akad di hadapan ayahnya.
“Mil,” Suara Arya yang begitu jantan memanggil nama istrinya sedikit melembut.
Mendengar namanya dipanggil, Mila menoleh pada sumber suara, tak lain suara suaminya.
“Kenapa, Bang?” Kentara sekali jika suara Mila terkaget. Mila buru-buru menutup sambungan teleponnya.
“Siapa? Suaranya kayak cowok.” selidik Arya sembari menuang minuman dan mengambil cemilan dari arah dapur.
“Mm.. iya Bang. Rekan kerja aku. Abis apa itu, mm.. konsultasi masalah anaknya.” Mila kembali tergagap.
Arya melahap satu buah macaron yang ia pegang, “Anaknya kenapa?”
“Anaknya kena mental illness. Hehe..” Kikuk, Mila menjawab pertanyaan suaminya. Bingung juga bagaimana ia bisa menutupi sebuah rahasia yang sedang ia sembunyikan dari suaminya.
Dengan sisa remahan macaron yang ada pada ujung bibirnya, Arya membalas jawaban Mila dengan datar, sedikit emosi. "Kamu guru kelas kan? Bukan psikolog sekolah?”
Mila mengangguk. Bingung kembali mendatanginya. “Terus siapa yang konsultasi masalah anak yang kena mental illness? Gak nyambung gitu.”
“T-temen aku.” Mila menjilat bibirnya yang kering. Badannya sedikit panas dingin karena gugup.
“Mil, are you cheating on me?” Arya langsung bertanya tanpa basa-basi.
Mila terkesiap. Raut mukanya menunjukan sebuah keterkejutan. Mila menelan ludahnya segera sebelum bersuara. “Nggaklah, buat apa aku cheating dari Abang.”
“Masa?” Arya kembali memasukan sebuah macaron ke dalam mulutnya. Melihat tingkah laku istrinya yang kian menggagap karena pertanyaanya semakin membuat Arya harus curiga.
“Ih, Abang nyebelin! Ngga lah Bang. Buat apa aku selingkuh kalau Abang juga udah perfect buat aku.” balas Mila disertai senyuman termanisnya. Arya tidak mampu menahan pesona senyuman itu. Hatinya melunak, namun logikanya berkata jangan. Arya hanya mengangguk sembari kembali mengisi perutnya dengan macaron satu persatu.
“Kamu dapat jabatan penting ya di sekolah?” Mengalihkan topik pembicaraan memang hal yang benar saat ini. Ini adalah hal mendasar karena Mila sering pergi ke sekolah meskipun harus diperintahkan pemerintah untuk tetap bekerja di rumah. Kepergiannya ke tempat kerja merupakan kecurigaan mendasar yang Arya tangkap selama ini.
“Kenapa emang Bang?” Informasi penting ini harus segera dibuktikan jika segala premis di kepala Arya ingin segera tuntas.
“PPKM gini kamu ngantor terus. Kebanyakan kan pada di rumah.” Datar. Begitulah suara Arya saat ini.
Sebelum menjawab pertanyaan sang suami di sampingnya, Mila menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mm, iya Bang. Jadi bendahara para guru juga. Mila megang arisan sama uang buat study tour anak-anak tahun depan kalau pandemi udah gak parah.”
Arya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Masalah yang ngobrol sama kamu di telepon, temen kamu itu. Boleh Abang ketemu sama dia?”
“B-buat apa Bang?”
“Masalah yang kena mental illness itu, adiknya Brandon psikolog. Barang kali bisa bantu.” Arya tersenyum setelah menjawab pertanyaan Mila.
“Oh iya, nanti aku kasih tahu dia. Kalau gak sibuk dianya, aku juga ajak ketemuan sama Abang.” balas Mila dengan tersenyum gugup. Kecurigaan Arya meningkat sepuluh kali sekarang.
“Abang gak balik kerja? Katanya ada big package buat ke Korea?” Pengalihan topik terjadi kembali.
“Oh iya, Abang balik kerja dulu.” Arya berdiri dari posisi duduknya, melangkah ke arah kantornya. Sebelum mendekat ke lubang pintu, Arya berbalik.
“Mil, sekiranya Abang gak memberikan kamu sesuatu yang berarti, atau kamu kekurangan sesuatu bilang ya. Jangan sampai ada kecurigaan antara kita. Abang sayang sama kamu.” Arya kembali membalikkan badannya. Meneruskan perjalanan ke kantornya untuk kembali bekerja.
Pandangan Mila mengantarkan Arya masuk ke kantornya. Terlihat dari sorot matanya ada perasaan bersalah. Tapi entahlah. Akal dan perasaan sering berbanding terbalik.
Ponsel Mila kembali berdering, matanya yang sedari tadi melihat punggung lebar Arya, sekarang mengintip pada layar ponselnya. Panggilan telepon dari orang ini yang sudah membuat Mila mabuk kepayang akan indahnya dunia yang tidak pernah ia rasakan bersama Arya. Namun, rasa bersalah pada Arya yang mencurigainya mendua lebih besar dari keinginannya mengangkat telepon tersebut.
Mila menatap layar TV yang tidak menyala dihapadannya dengan kosong. Kebingungan jelas tercetak dalam raut wajahnya. Mila mematung, menyelaraskan pikiran dan perasaannya yang saling berkecamuk memenarkan suatu paham yang bertentangan.
***
Di dalam kantornya, Arya duduk nyaman menatap monitor komputernya. Sembari mendengarkan presentasi dari Lukman dan David, pikiran Arya berkelana. Sebuah gertakan berselimutkan pengingat kepada istrinya telah dilayangkan.
Selesai presentasi yang memerlukan banyak basa-basi, tuntas juga keputusan yang Arya buat di kepalanya. Fokus Arya yang terbelah tidak sia-sia. Ia harus mengutamakan mencari fakta agar bahteranya ini tetap bisa berlayar tanpa gangguan. Entah akan ada rintangan dan hambatan apa nantinya, Arya harus tetap menerjang semua. Alasannya hanya sederhana, ia tidak ingin rumah tangganya yang kurang lebih 8 tahun ini berakhir begitu saja. Menyisakan kesakitan yang mendalam, penyesalan yang tiada akhir, maupun dendam yang tersisa. Arya tidak ingin ada semua itu.
Arya kembali mengambil pulpennya, lalu mengetukkan ke permukaan meja kerja sebanyak 3 kali. Secara resmi, Arya mendeklarasikan jika dirinya sebagai nahkoda rumah tangganya, akan mempertahankan rumah tangganya dari segala godaan yang ada. Baik itu gelombang, penumpang gelap, ataupun bajak laut.
Di kantornya pribadi yang jauh dari kantor Arya, di depan jendela Mila menunduk menatap ponsel. Hatinya gelisah tidak nyaman. Sembari sesekali melihat foto pre-weddingnya bersama Arya, Mila menggigiti bibirnya. Sebuah kebiasaan saat gugup, stress, atau bingung. Jemari Mila merayap mengambil ponselnya. Menggulirkan ibu jari pada kontak yang menjadi panggilan masuk beberapa bulan ini. Menekan tombol telpon lalu menempelkan ke telinganya. Perasaan bersalah seakan menghantui, namun akal sehatnya sering membantah. “Halo” sapa seorang pria dari ponsel Mila. “Ada apa?” “Kita harus ketemu. Penting.” “Dimana?” “Besok di tempat biasa, jam 3 sore.” tukas Mila lalu memutuskan sambungan teleponnya. Mengakhiri sambungan telpon dari pria ini membuat Mila makin merasa bersalah. Bersalah atas dua hal lebih tepatnya, pada Arya dan pada pria yang ia telepon. Mendua memang pilihan yang salah. Tidak ada paham yang bisa membenarkan. Namun perasaan dimana M
Situasi kantor eskpor furniture saat ini sangat sibuk. Pesanan domestik membludak karena trend renovasi kamar. Telepon, whatsapp, pesan, e-mail, bahkan inbox di sosial media sangat ramai akan yang betulan beli atau hanya sekedar basa-basi. Arya dan rekan sedikit kewalahan setelah saling tertawa karena pesanan divan prisma segilima. Sudah kurang lebih 3 jam mereka saling membalas segala pesan, e-mail dan telepon juga merancang segala jenis janji temu untuk mendiskusikan barang. Total pesanan yang entah berapa belum sempat mereka rekap masih terus bertambah hingga mereka harus lembur hari ini. Sekarang cahaya matahari sudah mulai menghilang terganti gelap dan suasana panas karena emisi gas dari orang-orang yang bubar kantor. “Man, janji temu dalam kota minggu ini penuh ga?” tanya Arya yang mengintip dari balik meja kerjanya ke luar ruang kantor. Lukman mengangguk. “Full sampe Minggu. Guys kita punya jam tambahan ya.” jawab Lukman disambung memberikan pengum
Seminggu telah berlalu. Semua pesanan dan janji temu sudah diselesaikan dengan baik oleh 4 sekawan eksportir ini. Pekerjaan mereka yang menggunung kini sudah beres. Mereka sedang berkumpul di kantor dengan agenda healingnya masing-masing; Arya meminum boba dingin, David yang menghisap rokok putih, Brandon yang main game, dan Lukman yang mencukur kumis. “Man, gak bawain martabak apa?” David yang baru saja menghembuskan asap rokoknya memberi saran. Lukman menggeleng. “Nanti kalau ada sisaan.” lalu melanjukan mencukur bulu halus yang tumbuh di atas bibirnya. “Itu si Donny Lazuardi belum ngabarin?” tanya Arya yang disusul hal serupa oleh Brandon. “Udah selesai semua nih, mumpung free jadi kita bisa lembur lagi.” Ucapan Arya yang mengajak lembur membuahkan tatapan serentak ketidaksetujuan dari para rekannya. “Vid, buat si Arya meet upnya pending aja biar gak lembur lagi. Bini gue kangen dikelonin.” protes Brandon sang pengantin baru. Di ant
“Ini si Donny gak ada tindakan lanjut apa?” keluh Brandon yang kini duduk di samping David. Mengambil sebuah permen dari meja David lalu membuka bungkusnya. “Dia gak tepatin janji.” Lukman mengiyakan pernyataan Brandon. “Molor 3 hari dari janji yang dia kasih.” “Gue follow up.” David beringsut mengambil ponsel, lalu mencari kontak Donny. “Kalau kita gak ketemu dia, itu projekkan gak bakal beres. Divan prisma segilima hanya angan belaka.” jawab Lukman lalu diiringi gelakan tawa khas miliknya. Arya datang menenteng beberapa kresek berwarna putih. Dipastikan isi dari kresek itu adalah makan siang mereka untuk hari ini. Jemari Arya segera mengeluarkan isi dari kresek tersebut. Melihat catatan kecil yang ditulis di atas bungkus busa. “Ini jadwal ketemu Donny kapan bisanya kalian semua?” “As soon as possible lah.” Brandon berbicara dengan mulut berisi. “Kasian pengrajin gak punya kerjaan. Handphone si Arya berisik noh ama pengrajin
Indira meneguk habis es kelapa jeruk yang dibawanya dari luar. Sembari duduk di mini bar rumah Arya, tangan Indira yang lentik mengorek kelapa yang berdiam di dasar gelas menggunakan sedotan stainless yang juga diambil dari laci dapur Arya. Menggalang dana untuk acara kampus di siang hari buta membuatnya kelelahan. “Numpang bentar ya. Jam 3 juga keluar. Males balik.” Indira mengeluh lalu kembali mengorek isi gelas. “Lah mau kemana emang?” Arya yang memang ada di rumah hari ini. Ia meminta izin setengah hari karena Mae protes jika kabel di kantor Arya sering menyentrum sapu yang ia pakai. “Pacaran.” Indira memasukan es batu yang ia temukan dari gelas berisi air kelapa bercampur perasan jeruk yang sudah tidak ada airnya itu ke dalam mulut. Hanya kelapa serut dan es batu 6 kotak. Arya mengernyit, “Punya pacar emang?” Indira menganggguk. “Gue diem-diem punya pacar. Ganteng, pinter, tajir.” Ary
Agenda makan malam kali ini sedikit berbeda kala Indira mengajak serta Fauzan sang kekasih. Semua seragam mengenakai pakaian berwarna putih, kecuali Indira yang memakai kaos kebesaran berwarna hitam. Ia berkilah jika baju putihnya akan ia pakai ke kampus dan takut kotor karena menu kali ini hidangan kesukaan Edwin, opor ayam kuah kuning. Di meja persegi panjang ini, 4 pasangan sedang berkumpul menikmati hidangan penutup setelah menyantap hidangan utama. Untungnya Fauzan sempat mampir ke toko kue membeli bolu coklat dan pudding buah. Indira menatap sendok yang ia genggam sedikit erat sesaat guna mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya keberanian itu terkumpul untuk mengatakan, “Mbak Mila, tadi ke Pujasera deket jalan Kemuning itu gak?” Dalam hatinya Indira sedikit enggan untuk menanyakan ini. Tapi untuk validasi jika apa yang ia lihat sepanjang sore tadi betul adanya. Mila mengangguk. “Iya, Dek. Kenapa?” Diakhiri oleh senyuman setela
Bukti perselingkuhan Mila dari Indira memang tidak bisa dijadikan sebuah kepastian. Arya terduduk di depan meja kerja, matanya kosong menatap palm botol, namun kepala berambut hitam legam itu berpikir keras. Jika Indira saja bisa memergoki Mila bersama kekasih gelapnya, maka ia juga bisa. Strategi yang dibuatnya harus benar-benar sempurna untuk menangkap pencurian istri ini. Diraihlah ponselnya, lalu membuka aplikasi ‘catatan’. Jemari itu lincah mengetikkan beberapa saksi yang pernah melihat sang istri dengan lelaki lain. Segala perih harus ia kesampingkan karena kebenaran harus terungkap. Diketiklah judul ‘Bukti Mendua’ di ponselnya. Paragraf pertama, ia mengetik kata ‘Febby’ dilanjutkan dengan ‘Orchid Park Residence’. Lalu Arya menekan enter. Kalimat berikutnya, ‘Utari’. Sebelum mengetikan di mana Ut
Kala surya bergeser ke arah barat, mobil Arya yang membawa Mila juga motor matic Indira saling susul masuk ke halaman rumah Arya. Saat itu juga membuat Mae kelabakan untuk membuka pintu gerbang dan menghentikan aktifitasnya menyusun pot pot bunga kesayangan Arya. “Kenapa disusun ulang Mpok?” Indira melepas helmnya dan masih di atas motor. “Ada kadal lewat, Neng. Nyenggol pot ini, tanahnya tumpah.” jelas Mae kemudian. “Udah dibenerin Mpok? Kalau belum sama saya aja nanti.” Arya menutup pintu mobilnya, lalu disusul Mila yang keluar. “Udah Pak. Ini tinggal nyusun aja,” “Biar sama saya aja. Mpok anter Dira ke kamar aja.” ti
Aryasatya kini bercerita, untuk Mila. Yang telah hancur hatinya.Mil, mohon maaf. Ku tulis kabar ini kala pelayaranku dimulai kembali. Namaku yang telah kau jadikan sejarah usanglah sudah. Ku bawa kabar dari utara bukan dari Lokapala. Sejenak angin sepoi dari barat membawa cerita nan ceria, namun juga hujaman bengis angkara murka.Indira sang sastrawati meracuniku dengan kata-kata puitisnya. Prosa yang jadi surat penutup ini bukanlah lahir dari Batu Belah Batangkup, melainkan lahir atas kesadaran diriku yang sedang memaafkan jati diri pribadi. Semoga engkaupun serupa.Edwin sang pemersatu antara aku dan Indira yang sering bertengkar sering menanyakan kabarmu, Mil. Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena kisah kita sudah selesai, begitu saja. Ku harap, Ancol membuatmu baik-baik saja. Bersama Seruni di meja kecil itu, kita duduk bersama membahas segala perasaanmu setelah setahun tanpaku. Aku senang kau baik-baik saja Mil. Aku bisa bercerita pada Edwi
Waktu yang bergulir tak terasa menyisakan semesta yang kian memaksa orang-orang untuk tetap hidup. Menyisakan kehidupan lampau yang ada yang mengenakan maupun tidak. Puing-puing memori yang terseok-seok enggan dilupakan hangus dimakan waktu. Hal ini berlaku juga untuk Arya. Sisa-sisa memorinya bersama Mila yang menyesakkan dada perlahan hangus dimakan waktu. Tak terasa, sudah setengah tahun ia menyandang statusnya sebagai orang yang sudah bercerai. Setengah tahun sudah juga ia mengobati luka menganga yang disebabkan oleh Mila. Saat ini di bawah teriknya surya, Arya menatap rumahnya yang sudah berganti warna. Kurang lebih satu tahun ia tinggalkan, kini terasa asing. Rumah modern minimalis yang ia buat atas dasar dream house Mila kini hilang jati dirinya. Berganti menjadi jati diri Arya. Kepala Arya menoleh ke sisi kanan, angkreknya yang tampak sehat dan baik-baik berjajar indah.&
“Saya sudah berada di restoran yang Bapak sebut. Mohon maaf bila Bapak menunggu. Saya kejebak macet.” Tukas Alexis Sinaga yang serasa berbincang langsung dengan Arya 5 menit lalu. Meski lewat sambungan telepon suaranya yang serak-serak basah tengiang-ngiang. Meninggalkan ciri khas dari Alex. Resto Tanah Betawi yang pernah dipesan Ardi Purnomo saat awal kerja sama dengan Arya dan rekan-rekan ini adalah pilihan. Duduk di sebuah kursi kayu mahoni, Arya dengan santai menunggu Alex tiba. Di meja yang sudah tersedia secangkir penuh bir pletok dan juga salad buah. Cangkir dan mangkok itu ditemani oleh amplop coklat yang berisikan ‘bukti’ perselingkuhan Mila dan Donny Lazuardi. Sebuah mobil sedan berwarna merah maroon dengan deru mesin yang halus sampai di parkiran resto. Alex yang perlente dengan jaket hitam mengilap, sepatu yang
inggu siang, Papa mengajak Arya untuk membantunya membetulkan rak buku kesayangan Papa yang alas belakangnya retak juga usang dimakan usia. Tripleks yang sudah tipis, dengan retakan lebar di sana-sini juga lembab karena terciprat air hujan. Anak dan Bapak ini sibuk berjibaku memotong, memukul, memasang paku, mengukur dan juga mengecat ulang. Meskipun satu barang, namun ukuran besar melelahkan Arya dan Papa juga. “Beli baru aja kenapa si Pa?” Saran Indira sembari menyimpan nampan berisikan dua gelas air kelapa jeruk yang ia beli dari pedagang di ujung jalan. Lalu duduk bersila menyaksikan Papa dan Abangnya ini berjibaku memasang tripleks. “Eh, ini hadiah dari Engkongmu. Mana bisa Papa beli lagi.” “Sama Bang Edw
Haji Gumilar mematung di depan pintu kamar Indira. Semenjak meja tulis baru datang kemarin siang, Indira tak lagi menulis skripsi di ruang makan. Sesekali suara-suara lagu dari Kunto Aji, Payung Teduh, Fourtwnty, Blackpink, maupun Treasure sayup-sayup bergantian. Papa mengetuk pintu kamar Indira. Hingga anak bontotnya yang tengah semedi di dalam teriak “Apa?” “Mau makan apa? Arya mau beli makan.” Dari posisinya berdiri, Papa mendengar suara langkah kaki yang bersahutan dengan lagu How You Like That. Pintu kamar terbuka, menampakan Indira dengan celana panjang yang menyapu lantai, rambut dicepol tinggi, dan kaos kebesaran. Dalam benak Papa, ‘apakah begini yang namanya fashion skripsian?’ “Papa pesen
Donny enggan pergi. Kala malam yang sudah larut ini, ia kukuh menunggui Mila. Mila sudah menolak namun sudah terlalu larut untuk pulang. Hingga akhirnya Mila tak tega untuk tak mengijinkan menginap. Perbincangan antar mereka kini beralih kembali ke masalah kehamilan Mila. Dalam semilir angin malam yang katanya dapat membuat orang sakit, Donny menatap Mila dalam. “Bagaimana bisa Arya tahu jika kau hamil bukan anaknya?” Mila mendengus pelan. “Bukannya sudah ku jelaskan waktu di telepon?” Donny mengangguk. “Aku tahu, tapi kenapa?” “Karena kita melakukan hal itu saat aku mencoba program hamil dengan Abang. Aku juga tidak tahu aku sedang hami
Tidak ada yang lebih nyaman kala Jakarta yang turun suhunya menurun juga segelas teh hangat. Mila dengan perutnya yang mulai membuncit membungkus diri dengan selimut tipis agar tidak terlalu dingin. Dengan nafas yang sering terbuang bersamaan dengan rasa kesedihan yang menumpuk di dada, ia menatap layar Tv yang mati. Di seberang Mila, ada Arini yang tengah menggarisbawahi kalimat-kalimat dengan warna kuning neon di empat lembar kertas HVS. Dalihnya untuk presentasi esok hari. Mahasiswa semester 5 ini tengah serius mempelajari segala materi. Dalam diam, Mila kembali mengelus perutnya yang terasa bergerak dari dalam. Perkembangan sang jabang bayi yang kian membaik banyak dipuji dokter. Namun baginya, ini menjadi beban pikiran yang benar-benar memusingkan. Terlebih yang menjadi beban pikiran adalah statusnya sendiri. Secara sah masih jadi istri Arya, namun Arya juga tak memerlakukan dirinya bak istri. Sedangkan dengan Donny, ia belum sah menjadi istri
Hari sudah Senin kembali. Dari waktu yang bergulir begitu cepat, lamat-lamat doa yang terus terpanjat, Mila tetap berdua di rumah megah ini bersama Arini. Sejak ia yang ‘memergoki’ Arya yang tengah tertawa dengan Kinasih di rumah sakit itu, Mila tak bisa lagi merasakan cinta. Perkembangan janinnya pun sering ia abaikan jika sang jabang bayi bergerak atau menendang. Perut yang sudah membesar itu kian hari kian tak diperhatikan keberadaannya. Mila sering stress sendiri. Terlebih ayah si jabang bayi, Donny Lazuardi tak kunjung menghadiahi kabar tentang hubungan mereka. Menyesal sudah bagaikan sahabat bagi Mila. Kala Arini memergoki Mila yang menangis menjadi-jadi, ia hanya mampu memeluknya. Tidak berkata apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya “Nasi wes dadi bubur Mbak.” Adalah kalimat andalan Arini karena ia sendiri tak mampu merubah takdir. Dengan begini, Mila hanya mampu mengiklaskan. Juga segala cerita yang Tuhan berikan karena ia pikir salah Tuhan me
Di tengah keterasingan Arini ini, ia menatap Mila tajam. Mila meraung-raung dengan muka yang ditutupi kedua telapak tangan. Suara tangis yang ia tahan selama ini akhirnya pecah bagaikan jeritan orang tersakiti. Arini menatap Mila nanar. Ia masih bingung bagaimana ia bereaksi terhadap saluran emosi sang kakak. Arini menyimpan tangannya ke meja. Masih menatap Mila yang sudah tidak terisak. Air matanya sudah mereda. “Mas Arya tahu masalah Mbak sama cowok itu?” Bagaikan anak panah, pertanyaan Arini ini langsung menuju jantung Mila. Untuk saat ini, Arini tidak mempertimbangkan ilmu masalah kesehatan mental yang ia pelajari mati-matian, kejelasan masalah rumah tangga kakaknya ini adalah prioritas. Arini menatap tajam Mila yang mendongakan kepalanya perlahan. Penyamaran terhadap hati dan jiwanya