“Ini si Donny gak ada tindakan lanjut apa?” keluh Brandon yang kini duduk di samping David. Mengambil sebuah permen dari meja David lalu membuka bungkusnya. “Dia gak tepatin janji.” Lukman mengiyakan pernyataan Brandon. “Molor 3 hari dari janji yang dia kasih.” “Gue follow up.” David beringsut mengambil ponsel, lalu mencari kontak Donny. “Kalau kita gak ketemu dia, itu projekkan gak bakal beres. Divan prisma segilima hanya angan belaka.” jawab Lukman lalu diiringi gelakan tawa khas miliknya. Arya datang menenteng beberapa kresek berwarna putih. Dipastikan isi dari kresek itu adalah makan siang mereka untuk hari ini. Jemari Arya segera mengeluarkan isi dari kresek tersebut. Melihat catatan kecil yang ditulis di atas bungkus busa. “Ini jadwal ketemu Donny kapan bisanya kalian semua?” “As soon as possible lah.” Brandon berbicara dengan mulut berisi. “Kasian pengrajin gak punya kerjaan. Handphone si Arya berisik noh ama pengrajin
Indira meneguk habis es kelapa jeruk yang dibawanya dari luar. Sembari duduk di mini bar rumah Arya, tangan Indira yang lentik mengorek kelapa yang berdiam di dasar gelas menggunakan sedotan stainless yang juga diambil dari laci dapur Arya. Menggalang dana untuk acara kampus di siang hari buta membuatnya kelelahan. “Numpang bentar ya. Jam 3 juga keluar. Males balik.” Indira mengeluh lalu kembali mengorek isi gelas. “Lah mau kemana emang?” Arya yang memang ada di rumah hari ini. Ia meminta izin setengah hari karena Mae protes jika kabel di kantor Arya sering menyentrum sapu yang ia pakai. “Pacaran.” Indira memasukan es batu yang ia temukan dari gelas berisi air kelapa bercampur perasan jeruk yang sudah tidak ada airnya itu ke dalam mulut. Hanya kelapa serut dan es batu 6 kotak. Arya mengernyit, “Punya pacar emang?” Indira menganggguk. “Gue diem-diem punya pacar. Ganteng, pinter, tajir.” Ary
Agenda makan malam kali ini sedikit berbeda kala Indira mengajak serta Fauzan sang kekasih. Semua seragam mengenakai pakaian berwarna putih, kecuali Indira yang memakai kaos kebesaran berwarna hitam. Ia berkilah jika baju putihnya akan ia pakai ke kampus dan takut kotor karena menu kali ini hidangan kesukaan Edwin, opor ayam kuah kuning. Di meja persegi panjang ini, 4 pasangan sedang berkumpul menikmati hidangan penutup setelah menyantap hidangan utama. Untungnya Fauzan sempat mampir ke toko kue membeli bolu coklat dan pudding buah. Indira menatap sendok yang ia genggam sedikit erat sesaat guna mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya keberanian itu terkumpul untuk mengatakan, “Mbak Mila, tadi ke Pujasera deket jalan Kemuning itu gak?” Dalam hatinya Indira sedikit enggan untuk menanyakan ini. Tapi untuk validasi jika apa yang ia lihat sepanjang sore tadi betul adanya. Mila mengangguk. “Iya, Dek. Kenapa?” Diakhiri oleh senyuman setela
Bukti perselingkuhan Mila dari Indira memang tidak bisa dijadikan sebuah kepastian. Arya terduduk di depan meja kerja, matanya kosong menatap palm botol, namun kepala berambut hitam legam itu berpikir keras. Jika Indira saja bisa memergoki Mila bersama kekasih gelapnya, maka ia juga bisa. Strategi yang dibuatnya harus benar-benar sempurna untuk menangkap pencurian istri ini. Diraihlah ponselnya, lalu membuka aplikasi ‘catatan’. Jemari itu lincah mengetikkan beberapa saksi yang pernah melihat sang istri dengan lelaki lain. Segala perih harus ia kesampingkan karena kebenaran harus terungkap. Diketiklah judul ‘Bukti Mendua’ di ponselnya. Paragraf pertama, ia mengetik kata ‘Febby’ dilanjutkan dengan ‘Orchid Park Residence’. Lalu Arya menekan enter. Kalimat berikutnya, ‘Utari’. Sebelum mengetikan di mana Ut
Kala surya bergeser ke arah barat, mobil Arya yang membawa Mila juga motor matic Indira saling susul masuk ke halaman rumah Arya. Saat itu juga membuat Mae kelabakan untuk membuka pintu gerbang dan menghentikan aktifitasnya menyusun pot pot bunga kesayangan Arya. “Kenapa disusun ulang Mpok?” Indira melepas helmnya dan masih di atas motor. “Ada kadal lewat, Neng. Nyenggol pot ini, tanahnya tumpah.” jelas Mae kemudian. “Udah dibenerin Mpok? Kalau belum sama saya aja nanti.” Arya menutup pintu mobilnya, lalu disusul Mila yang keluar. “Udah Pak. Ini tinggal nyusun aja,” “Biar sama saya aja. Mpok anter Dira ke kamar aja.” ti
Lukman melirik parkiran kantor sesekali, lalu memalingkan pandangannya ke arah smartwatch yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Orang yang ia tunggu; Aryasatya, tak jua menampakkan diri. “Lu nungguin si Arya udah kek cewek yang mau diapelin!” Brandon meledek Lukman yang gelisah sedari tadi. Lukman menghiraukan ledekan itu dingin. Baru saja di group chat David bilang semua crew harus berkumpul karena ada hal penting yang akan ia kabarkan. David membuat janji semua harus berkumpul setelah jam makan siang, kurang lebih 10 menit lagi selesai jam makan siang. Namun Arya belum juga datang. Sebuah aturan tidak tertulis bagi mereka jika belum berkumpul maka tidak akan disampaikan pesan itu. “Alhamdulilah!” seru Lukman sedikit berteriak saat melihat mobil Arya masuk ke parkiran.
Arya sudah perlente dengan kemeja berwarna biru navy yang dua kancing terbuka di bagian atasnya, ditambah kedua lengan kemeja yang digulung hingga sikut. Aura seorang pria mapan terpancar dari dirinya. Arya bersender pada mobilnya di parkiran kampus Indira, berniat menjemput adik semata wayang itu. Arya menjadi pusat perhatian para mahasiswi yang berlalu lalang di parkiran. Sesekali ada yang sengaja membuka masker untuk tersenyum pada Arya, atau juga ada yang nekat mengajak kenalan. Berbekal badan berorot nan seksi, juga paras yang sedikit mumpuni membuat Arya begitu mudah mendapatkan daun muda seusia Indira. “Ngapain ke sini?” ketus Indira bersuara di hadapan Arya. “Jemput.” “Kan dibilang kagak usah,&rd
Angin semilir menebak sun catcher yang Mila pasang di jendela halaman belakang rumah. Bias warna pelangi menembak ke arah tembok dapur di dalam. Saat angin bertiup sepoi ini, pandangan Mila berfokus pada rak tempat angkrek Arya berjajar. Mila tidak fokus pada bunga yang mekar berwarna warni, kepalanya hanya penuh dengan anxiety akan ketakutan menutupi perselingkuhan. Sudah 5 hari ini progres kerja sama antara Arya dan Donny berjalan baik. Koneksi antar mereka kian membaik, team work juga apik. Kala suami dan kekasihnya menjadi akrab, justru Mila yang menjadi stress. Hatinya ikut tidak tenang. Kemampuan berlakon saat ia kuliah pun hanya sanggup menutupi 75 persen dari semua scenario yang dibuatnya bersama Donny. Dalam proses daydreaming, Mila teringat akan perkataan Donny pada pesan singkatnya. “The ending of your story, is to decide.” Memutuskan pada siapa cintanya harus diberikan. Jika ada yang bisa mengerti, Mila ingin mengutarakan apa yang ia rasakan jika berhadapan dengan dua l