Suara tawa anak-anak yang bermain sepeda lalu lalang di jalanan klaster Arjuna. Begitu pula aroma nasi goreng babat sapi yang dibuat Mae untuk makan siang Arini yang semalaman terjaga, menggoda iman siapapun yang bersembunyi di rumah ini. Mila belum juga pulang dari sekolah meskipun jam sekolah sudah habis waktunya. Sedangkan Arya, memilih tidak masuk kantor karena dari semalam ia sakit perut. Setelah menelpon Fauzan dan disarankan minum obat rekomendasinya, berakhir baikan juga. Tapi aroma nasi goreng babat buatan Mae benar-benar menggugah nafsunya. “Wangi bener Mpok. Ke kantor sampe kecium.” Kekaguman Arya pada setiap aroma masakan Mae memang tidak pernah kendor. Mae asisten rumah tangga itu sudah mengabdi selama 7 tahun di rumah Arya. Mereka sudah layaknya keluarga. “Mpok M
Jam 2 siang, suara senyap dari keegoisan tiap-tiap orang di kantor ini dibungkam oleh kebutuhan akan menyambung hidup. Suara ketikan dari keyboard mekanik yang dipakai Arya pada personal komputernya menambah kemerduan diatas kesunyian ini. Lalu, suara siulan Brandon kala berhasil menghandle permintaan kostumer dari luar negara menambah suara-suara atas kesenyapan mereka, 4 orang pengusaha muda. Para kerah putih yang melebur, menyamaratakan diri dengan para kerah biru kenalannya. Berdiam untuk menyelesaikan pekerjaan mereka pribadi sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Berkat kebiasaan ini, semua progress atas tujuan kantor ini menjadi kantor yang sukses akhirnya tercapai. Kesejahteraan pekerjanya pun terpenuhi. Misi mereka untuk mewadahi UMKM dibidang furniture sudah berhasil. Tapi, ketika Donny Lazuardi hadir, kantor ini layaknya kereta yang lepas dari rel. Tidak lagi mengedepankan misi mereka untuk mewadahi peng
Panas dari matahari menusuk ke bumi. Jakarta terasa sangat terbakar siang ini. Kepala David yang panas juga terasa terbakar. Permintaan Sakhila Wibowo membuat idenya habis tak bersisa. David menatap kertas daftar keinginan Sakhila yang diberikan oleh Donny. “Ini yakin?” David memastikan Donny atas apa yang dilihatnya. “Yakinlah! Masalah uang jangan risau. Ardi Purnomo gak punya limit.” Donny meremehkan tentang produksi furniture yang David tangani untuk ini. David yakin Ardi mampu membayar lebih mahal jika ia meminta, pengrajin kenalannya juga mampu merekayasa bentuk abnormal. Tapi jika harus barang susah begini. David juga perlu referensi. “Izinin buat ketemu Ardi sekarang juga. Ada hal yang perlu dibahas.” Tegas David. Batas antara David dan Donny sudah terlalu t
Mobil SUV hitam legam itu parkir sudah parkir dengan baik. Gontai Arya melepas sepatu dan menyampirkan sebuah jaket ke bahu. Hari ini benar-benar melelahkan jiwa dan raganya. Sapaan Mae hanya dibalas deheman singkat. Muka Arya benar-benar kusut seperti kertas baru diremas. Tas kerja yang ia tenteng saban hari hingga mobil, ia simpan di atas meja kerja di kantor pribadinya. Kekhawatiran tentang hal macam-macam akan apa yang dilihat tadi di Grand Indah Hotel menghasilkan kelumpuhan sementara pada badan kekar Arya. Nalarnya mengatakan penolakan. Namun jika kedua netra itu menatap dengan jelas segala tindakan Mila, apa yang mampu Arya lakukan selain memastikan? Arya duduk memangku dagu di depan layar monitor yang mati. Terkadang mengusap wajah ketika mengingat Donny yang mengetuk pintu. Tiba-tiba saja Arya mengingat ucapan Indira waktu sang adik mengerjakan tugas t
Embun-embun masih menempel pada pucuk paling atas pepohonan. Angin dingin juga masih semilir hingga mampu menusuk tulang. Jam 4 pagi, Arya sudah diam di sebuah pusat kebugaran. Sudah 15 menit ia berlari diatas sebuah treadmill. Keringat sudah keluar dari seluruh badannya. Melepaskan stress maupun menyelaraskan emosi dengan olahraga merupakan pilihan Arya. Pusat kebugaran satu-satunya di block ini sering buka hingga 24 jam. Dan dini hari ini termasuk jam kosong. Arya tidak perlu menunggu beberapa waktu hingga orang lain selesai menggunakan alat. Orang-orang jarang pergi ngegym saat pagi buta. Meskipun iya, mungkin makhluk insomnia atau orang bermasalah seperti dirinya. Kini Arya memilih untuk skipping. Dengan Bluetooth headphone menutup telinga akan bisingnya dunia, Arya melompat dengan tali yang melingkar melewati tubuhnya. Dalam 5 menit pertama ia beristirahat
Cahaya matahari pagi yang mengintip di sela-sela gorden menyilaukan mata. Hari terus berganti, tak terasa kini sudah pagi kembali. Jam 6, semua orang sudah beraktifitas kembali. Arya membuka matanya yang tertidur di sofa ruang kerja pribadi, menghindari Mila. Meskipun ia memutuskan untuk memaafkan, namun kecanggunan masih berdiam dalam dada jika berdekatan dengan sang istri. Arya menegakan badan, lalu duduk. Ia kini telah mirip dengan sang istri. Bersifat manipulatif. Semalam, setelah berbaikan, Arya mengaku akan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda hingga larut malam. Di ruang kerjanya itu, Arya hanya memeriksa beberapa berkas. Lalu menonton video di monitor. Sisanya, tidur di sofa.Sungguh, ia ingin sekali berdiam di rumah hari ini. Hari Sabtu, biasanya ia mengurus semua anggrek yang berjajar sebagai koleksi. Tapi hari ini, rasanya ia harus
Matahari yang ditutupi awan cerah membuat teduh. Anggrek yang berjajar sebagai koleksi ini selama 3 bulan terakhir hanya diurusi oleh Mae. Hari Minggu ini, Arya turun langsung melihat kondisi bunga-bunga koleksinya. Tangan Mae yang terampil mengurusi anggreknya sangat Arya hargai. Tiada lagi daun yang jadi santapan ulat, bunga yang mekar dengan indah. Benar-benar bagus sekali semua anggreknya. Arya hanya cukup memberikan pupuk saat ini. “Bagus ya Pak Mpok rawatnya?” Mae menyapa Arya yang sedang menyemprot pestisida organik pada jajaran anggrek putih di rak atas. Arya terkekeh lalu memuji Mae. “Hebat Mpok!” Kedua jempol Arya mengacung untuk Mae. “Belajar dari mana Mpok?” “Dari Babehnya Mpok. Kan ini, dia petani sayur dia waktu mudanya. Itu Pak Babehnya Mpok kalau nanam sawi bakso, beuh manis bener. Padahal pupuknya Cuma tai kambing.” Mae lalu tertawa saat itu. Arya mendengarkan dengan saksama. Lalu Mae kembali bercerita tentang cara merawat tanaman denga
Sembari memasukan sebuah cimol berbumbu keju yang dibeli dari tukang yang berkeliling komplek, Indira membaca sebuah skrip cerita perang bajak laut yang ia pegang dengan seksama. Sesekali keningnya berkerut, alisnya menyatu. Atau juga menggaruk kulit kepala dengan rambut yang dicepol ke atas. “Baca apaan si?” tanya Arya yang ikut membaca skrip yang dipegang Indira. “Lu ngarti kagak?” Indira menunjuk sebuah kalimat tentang pengertian Drunken Sailor. “Drunken itu mabuk, sailor itu pelaut. Drunker Sailor jadinya pelaut yang mabuk.” Terang Arya secara etimologi akan semua pertanyaan Indira. Arya malah dibalas tatapan datar seakan ‘bukan gitu’ oleh Indira. “Itu juga gue ngarti. Si Danish jug