Sembari memasukan sebuah cimol berbumbu keju yang dibeli dari tukang yang berkeliling komplek, Indira membaca sebuah skrip cerita perang bajak laut yang ia pegang dengan seksama. Sesekali keningnya berkerut, alisnya menyatu. Atau juga menggaruk kulit kepala dengan rambut yang dicepol ke atas. “Baca apaan si?” tanya Arya yang ikut membaca skrip yang dipegang Indira. “Lu ngarti kagak?” Indira menunjuk sebuah kalimat tentang pengertian Drunken Sailor. “Drunken itu mabuk, sailor itu pelaut. Drunker Sailor jadinya pelaut yang mabuk.” Terang Arya secara etimologi akan semua pertanyaan Indira. Arya malah dibalas tatapan datar seakan ‘bukan gitu’ oleh Indira. “Itu juga gue ngarti. Si Danish jug
Tumpukan kertas yang tercetak beberapa desain untuk sebuah butik untuk brand yang dibuat Shakila dan Ardi Purnomo sebagai salah satu gurita bisnis mereka menggunung di sebuah meja di kantor Arya dan kawan-kawan. Brand yang dinamai Arashi itu mengusung pakaian rancangan tangan Shakila secara langsung. Image Shakila yang dibingkai publik sebagai seorang jelita dengan penuh kemewahan mendasari beberapa desain butik ini. Mayoritas rancangan yang menumpuk ini mengusung aksen khas Eropa, Modern, Royal Kingdom, juga bertema semua pink. Namun, mengapa desain sederhana dari Donny Lazuardi memenangi hati Shakila untuk hal ini. “Orang kaya bebas ya. Desain si Donny simple bener. Ini bukan buat butik sebenernya, buat gudang toko online biasa juga jadi. Tinggal display beberapa barang, kelar.” Brandon menelaah konsep 3D pada kertas yang mencetak gambar dari computer. “Kayak gak tahu Shakila bae lu Koh. Kan dia tuh kalau misal udah 30% suka tiba-tiba minta ganti konsep. Nah ini kayaknya, Donny b
Mendengar jika sang suami berkerja sama lagi dengan Donny, membuat hati Mila tidak karuan. Ia kembali harus berlakon sedangkan win-win solution yang ia janjikan pada Donny tak kunjung ia temukan. Saat ini, Mila menatap layar ponselnya tidak percaya. Donny mengirimkan foto dirinya dengan Arya saat pertemuan hari ini. Konsentrasi Mila hilang sementara. Jika bukan karena siswanya yang bertanya tentang suatu hal, mungkin Mila akan mengumpat saat itu juga. Ia kembali pada konsentrasinya, lalu menjadi professional kembali. Menjadi dewasa merupakan tingkat umur dimana sering sakit kepala karena masalah kecil maupun besar. Dan Mila sedang mengalami pendewasaan karena masalah kecil jika ia tidak pernah menyulut api perselingkuhan itu terlebih dahulu. Kini, ia sudah terjerumus terlalu dalam, susah untuk keluar. “Bu Mila.” Seorang pegawai tata usaha yang melongokan kepala melambaikan tangan pada Mila. Mila izin terlebih dulu pada siswanya, lalu bergegas menemui reka
Binatang jalang yang berbunyi dalam gelapnya malam menyertai perjalanan Mila yang berjalan kaki saat membawa sebuah paket dari pos satpam. Di jalan-jalan yang dihiasi lampu solar ini, Mila berjalan menunduk. Sisa-sisa kekhawatiran pada Donny tertinggal dalam kepala juga dadanya. Ia merasakan rasa bersalah karena meninggalkan Donny saat ia sedang terpuruk juga butuh dukungan penuh. Terlebih lagi Donny tak punya saudara lain, ia seorang anak tunggal. Mila memilih duduk di salah satu bangku taman di bawah temaram sinar lampu jalan. Matanya menatap pada layar ponsel. Pesan yang ia kirim pada Donny belum berubah centang biru. Mungkin masih bercerita panjang lebar kepada sang ibunda tentang bagaimana hari-harinya berjalan. Mila menghembuskan nafasnya panjang, lalu kembali berjalan pulang. “Ada paketnya?” Arya menutup pintu mobilnya. Melihat Arya yang baru saja pulang, membuat Mila menatap layar ponsel. Pukul 8 lewat 20 menit. Lemburan yang lain. Mila
Kata sebagian orang, hujan di Bandung beraroma romantis. Wangi petrikor yang menghantam aspal jalan Asia Afrika kala Arya menurunkan kaca jendela terasa segar dalam ingatan. Karena wangi yang semerbak itu, Arya merasa badannya terisi sebuah energi yang tidak bisa ia jelaskan bagaimana rasanya. Energi itu hanya menghasilkan tenteram, menyegarkan. Sudah 5 menit Arya menuggu balasan dari pesan yang ia kirim pada sang istri. Pikirannya tidak menjalar ke arah manapun. Melelahkan jika harus terus-terusan menyimpan kecurigaan. Selama seminggu ini, di Kota Kembang ini biarlah Arya menikmati pekerjaannya. Menghilangkan segala jenis teritip yang menempel di hati juga kepala yang selama di Ibu Kota menjadikannya gundah. Mata Arya melihat ke luar jendela. Orang-orang terlihat menenuh, membuka payung, atau memakai jas hujan. Aroma hujan di kota kembang ini, membuat Arya mabuk kepayang hingga mengingat kisah-kisahnya saat kenal dengan ke 2 temannya yang lain di kota ini saat k
Menjelang malam, udara terasa menusuk tulang. Bandung kembali diguyur hujan. Romantisme yang dikatakan orang-orang berkurang setengahnya. Bandung saat ini, di mata Arya melahirkan puluhan kecemasan. Sudah 2 jam lebih Edwin belum menghubunginya terkait kabar Mama. Arya sudah tak bersama Ardi. Kini ia tengah berada di kamar hotel dengan secangkir kopi yang masih ngebul. Arya masih memandangi ponselnya lekat. Menunggu informasi sekecil apapun untuk memecahkan kecemasan dalam dadanya. Doa dan mantra-mantra pengungat harapan terus dipanjatkan agar Mama baik-baik saja. 10 menit kemudian, kala Arya menutup mata. Ponsel yang ia tunggu-tunggu untuk bereaksi akhirnya berbunyi. EDWIN yang tercetak jelas di layar ponselnya mengirim pesan. “Mama gak apa-apa. Dia lupa kontrol selama 3 kali pertemuan. Obatnya udah abis juga. Udah disuntik insulin juga tadi. Lu fokus kerja aja di Bandung. Masalah Mama di sini, ada gue, Papa, Utari, sama Indira.” Pesan dari
Kamis siang menjelang sore, pukul 15.00 Arya dan Mila sudah sampai di pekarangan rumah orang tuanya. Setelah memarkirkan mobil dan menutup gerbang, Arya dan Mila masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, pasutri ini disambut oleh Indira dengan celana pendek selutut, kaos oblong kebesaran, juga rambut yang dipasang jedai. Di atas meja, terdapat segelas plastik kopi berwarna coklat. Mungkin sejenis latte. Muka Indira terlihat mengantuk, namun ia paksakan untuk tetap terjaga dengan bantuan kopi. “Masih ngurus perang bajak laut?” Mendengar suara Arya, Indira mendongakan kepalanya. “Udah ngga.” “Ngurus apaan lagi sekarang?” “Hantu laut.” Arya membelalakan matanya. “Gimana?” “Nih, naga kepala sembilan namanya Hydra, terus ini kembaran Hydra. Namanya Scylla sama Charybdis.” Terang Indira memperlihatkan gambar pada Arya. Monster-monter laut yang diperkirakan sebagai mitologi Yunani ini berhasil menjadi bulan-bulanan pulpen Indira.
Pagi kembali menjemput hari. Bulan diganti matahari. Jam 7 pagi Arya sudah bersiap. Penerbangannya pukul 9, namun ia harus berdiam diri selama 2 hari di sana sebelum menemui Erik. Guna karantina dan mengobservasi kesehatan, maka dari itu perlengkapan yang ia bawa juga cukup banyak.Mila sengaja berangkat ke sekolah terlambat. Bermaksud untuk mengantar Arya pergi dinas. Dalam artian lain, Mila tengah melakukan solusi terbaik bagi Arya karena setelah kemarin seharian bersama Donny. Mila kembali berlakon menjadi istri yang baik.“Kalau udah sampe kabarin ya Bang.” Mila memberikan koper yang sudah Arya isi dengan kebutuhannya. Arya hanya balas mengangguk sembari tersenyum. Tangan Arya meraih masker KF 94 berwarna hitam yang sudah ia simpan dalam saku kemeja. Arya menarik kopernya mendekat. Lalu tangan kanannya menjawil strap kanan tas ransel yang berisikan buku agenda, laptop, komputer tablet, juga beberapa alat tulis. Tas tersebut ia sampirkan ke tangan kanan, selanjutn