Menjelang malam, udara terasa menusuk tulang. Bandung kembali diguyur hujan. Romantisme yang dikatakan orang-orang berkurang setengahnya. Bandung saat ini, di mata Arya melahirkan puluhan kecemasan. Sudah 2 jam lebih Edwin belum menghubunginya terkait kabar Mama. Arya sudah tak bersama Ardi. Kini ia tengah berada di kamar hotel dengan secangkir kopi yang masih ngebul. Arya masih memandangi ponselnya lekat. Menunggu informasi sekecil apapun untuk memecahkan kecemasan dalam dadanya. Doa dan mantra-mantra pengungat harapan terus dipanjatkan agar Mama baik-baik saja. 10 menit kemudian, kala Arya menutup mata. Ponsel yang ia tunggu-tunggu untuk bereaksi akhirnya berbunyi. EDWIN yang tercetak jelas di layar ponselnya mengirim pesan. “Mama gak apa-apa. Dia lupa kontrol selama 3 kali pertemuan. Obatnya udah abis juga. Udah disuntik insulin juga tadi. Lu fokus kerja aja di Bandung. Masalah Mama di sini, ada gue, Papa, Utari, sama Indira.” Pesan dari
Kamis siang menjelang sore, pukul 15.00 Arya dan Mila sudah sampai di pekarangan rumah orang tuanya. Setelah memarkirkan mobil dan menutup gerbang, Arya dan Mila masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, pasutri ini disambut oleh Indira dengan celana pendek selutut, kaos oblong kebesaran, juga rambut yang dipasang jedai. Di atas meja, terdapat segelas plastik kopi berwarna coklat. Mungkin sejenis latte. Muka Indira terlihat mengantuk, namun ia paksakan untuk tetap terjaga dengan bantuan kopi. “Masih ngurus perang bajak laut?” Mendengar suara Arya, Indira mendongakan kepalanya. “Udah ngga.” “Ngurus apaan lagi sekarang?” “Hantu laut.” Arya membelalakan matanya. “Gimana?” “Nih, naga kepala sembilan namanya Hydra, terus ini kembaran Hydra. Namanya Scylla sama Charybdis.” Terang Indira memperlihatkan gambar pada Arya. Monster-monter laut yang diperkirakan sebagai mitologi Yunani ini berhasil menjadi bulan-bulanan pulpen Indira.
Pagi kembali menjemput hari. Bulan diganti matahari. Jam 7 pagi Arya sudah bersiap. Penerbangannya pukul 9, namun ia harus berdiam diri selama 2 hari di sana sebelum menemui Erik. Guna karantina dan mengobservasi kesehatan, maka dari itu perlengkapan yang ia bawa juga cukup banyak.Mila sengaja berangkat ke sekolah terlambat. Bermaksud untuk mengantar Arya pergi dinas. Dalam artian lain, Mila tengah melakukan solusi terbaik bagi Arya karena setelah kemarin seharian bersama Donny. Mila kembali berlakon menjadi istri yang baik.“Kalau udah sampe kabarin ya Bang.” Mila memberikan koper yang sudah Arya isi dengan kebutuhannya. Arya hanya balas mengangguk sembari tersenyum. Tangan Arya meraih masker KF 94 berwarna hitam yang sudah ia simpan dalam saku kemeja. Arya menarik kopernya mendekat. Lalu tangan kanannya menjawil strap kanan tas ransel yang berisikan buku agenda, laptop, komputer tablet, juga beberapa alat tulis. Tas tersebut ia sampirkan ke tangan kanan, selanjutn
Hari kedua karantina di Singapura. Arya baru saja selesai melakukan pemeriksaan oleh dokter yang dibawa oleh Ardi. Setelah dokter itu menyatakan Arya sehat, ia izin menggunakan fasilitas gym hotel. Arya sekarang tengah melakukan pull up. Otot punggungnya menonjol bagaikan bukit. Ditambah beberapa bulir keringat yang keluar dari kulit punggung menambah kesan maskulin mengguar dari Arya. Mengikuti jejak Arya, Ardi memilih berlari diatas treadmill. Seiring berjalannya waktu, ia menambah kecepatan. Nafasnya sudah ngos-ngosan karena sudah berlari keliling Monas 10 kali. “Pak, mau sarapan?” Tawar Ardi sembari menurunkan kecepatan treadmill yang ia pakai sembari nafasnya terputus. Arya meloncat turun dari kegiatan pull upnya. “Boleh Pak. Smooties, pakai madu, less sugar.” Tangan kiri Ardi terangkat setengah. Dirga, sang sekertaris pribadinya datang mendekat. “2 smooties, pakai madu, gulanya sedikit.” Dirga mengangguk lalu segera menghilang di balik tembok pembatas gym dan ru
Panas menelan hari. Singapura yang panas terik ini mengharuskan Arya dan Ardi berhenti sejenak sebelum mencari barang di studio Erik. Tempat yang Erik namakan studio ini layak disebut sebagai toko mebeulir bersifat swalayan daripada studio. Studio ini lebih luas 3 kali dari studio milik Kang Rusdi. Sebotol isotonic yang dibawa Ardi sudah habis setengah. “Erik nyimpennya di mana si Pak? Duh cape banget saya ini.” Ardi berkeluh kesah. Lututnya sama lemasnya dengan berlari di atas treadmill tadi pagi. Arya hanya tersenyum. Ingin mencoba menenangkan, tapi ia tak sanggup. “Sorry for make you guys waiting. This one must be Arya.” Dari jauh terlihat Erik bergegas. Setelah sampai, ia menunjuk Arya. “Pleasure to meet you.” Arya menjulurkan tangannya, lalu dijabat oleh Erik.
Selama seminggu berada di Semarang. Intensitas ‘kencan’ Mila dan Donny bertambah. Kejadian yang melibatkan Arini sore itu hanya dianggap sebagai angin lalu oleh Mila. Kedekatan dirinya dan Donny cukup diketahui oleh Arini sebagai teman biasa. Meskipun Arini menyimpan kecurigaan bagi dirinya, Mila tetap acuhkan. Perasaannya bagi Donny terlalu dalam hanya untuk mengurusi kecurigaan adiknya. Mila menambah cutinya menjadi 10 hari kepada kepala sekolahnya tadi siang. Alibinya yang mengatakan jika ia sakit karena perjalanan jauh dan sedang dalam masa pemulihan. Kenyataannya, Mila tengah makan bersama dengan Donny di restoran sebuah hotel mewah. Dari kemewahan yang diberikan Donny padanya ini, muncul kembali keraguannya pada Arya. Hadiah-hadiah dari Donny yang berupa benda besar dengan berat hati harus ia tolak karena itu akan mencolok, sedangkan benda kec
Waktu bergulir sedikit lambat. Mila yang duduk berhadap-hadapan dengan Donny merasa tersudutkan. Dengan kedua matanya sendiri, Mila melihat Donny yang menyeringai. Berkat pertanyaannya tadi, hidangan Italia yang disusun secara menggugah nafsu makan malah membuat Mila hilang selera. Mila menyimpan garpu yang ia pegang ke sebelah kiri piring cekung dengan sebuah lingkaran di dalamnya. Kini ia menopang dagu, kembali menatap Donny langsung pada mata. “Jika kau terus membahas hal ini, aku pulang.” Ancaman ini membuat seringaian yang Donny buat di wajahnya sirna. Bibirnya itu kini melengkungkan senyum. “Baiklah.” Donny menyuap makanan untuk dirinya. Mila kembali meraih garpu, kemudian menikmati lagi hidangan yang tersedia. 
Arya pulang dengan langkah gontai. Jasad Mama yang disimpan di rumah sakit untuk dikebumikan esok pagi. Arya berniat untuk menungguinya meski tidak diminta. Pemulasaraan jenazah dan segala administrasinya Arya yang tanggung. Sebuah rasa bersalahnya karena tak ada saat Mama berpulang. Rumah besar ini kosong. Mae sudah pulang sejam sebelum Arya sampai. Lampu-lampu yang sudah menyala, juga Bagas dan Suryono yang bergantian berpatroli pada saat senja yang mulai menua ini. Langit yang menangis tadi siang berganti menjingga dengan iringan awan yang ikut serta. Di bawah langit dengan menginjak bumi, waktu Arya seakan enggan mendukung jiwanya untuk berkabung. Arya memilih untuk bersiap menunggui jasad Mama di rumah sakit. Mungkin sembari mengobrol dengan dokter dan beberapa tenaga kesehatan yang berjaga. Tungkai kakinya itu dia giring masuk kamar mandi yang tersedia di