Pagi kembali menjemput hari. Bulan diganti matahari. Jam 7 pagi Arya sudah bersiap. Penerbangannya pukul 9, namun ia harus berdiam diri selama 2 hari di sana sebelum menemui Erik. Guna karantina dan mengobservasi kesehatan, maka dari itu perlengkapan yang ia bawa juga cukup banyak.
Mila sengaja berangkat ke sekolah terlambat. Bermaksud untuk mengantar Arya pergi dinas. Dalam artian lain, Mila tengah melakukan solusi terbaik bagi Arya karena setelah kemarin seharian bersama Donny. Mila kembali berlakon menjadi istri yang baik. “Kalau udah sampe kabarin ya Bang.” Mila memberikan koper yang sudah Arya isi dengan kebutuhannya. Arya hanya balas mengangguk sembari tersenyum. Tangan Arya meraih masker KF 94 berwarna hitam yang sudah ia simpan dalam saku kemeja. Arya menarik kopernya mendekat. Lalu tangan kanannya menjawil strap kanan tas ransel yang berisikan buku agenda, laptop, komputer tablet, juga beberapa alat tulis. Tas tersebut ia sampirkan ke tangan kanan, selanjutnHari kedua karantina di Singapura. Arya baru saja selesai melakukan pemeriksaan oleh dokter yang dibawa oleh Ardi. Setelah dokter itu menyatakan Arya sehat, ia izin menggunakan fasilitas gym hotel. Arya sekarang tengah melakukan pull up. Otot punggungnya menonjol bagaikan bukit. Ditambah beberapa bulir keringat yang keluar dari kulit punggung menambah kesan maskulin mengguar dari Arya. Mengikuti jejak Arya, Ardi memilih berlari diatas treadmill. Seiring berjalannya waktu, ia menambah kecepatan. Nafasnya sudah ngos-ngosan karena sudah berlari keliling Monas 10 kali. “Pak, mau sarapan?” Tawar Ardi sembari menurunkan kecepatan treadmill yang ia pakai sembari nafasnya terputus. Arya meloncat turun dari kegiatan pull upnya. “Boleh Pak. Smooties, pakai madu, less sugar.” Tangan kiri Ardi terangkat setengah. Dirga, sang sekertaris pribadinya datang mendekat. “2 smooties, pakai madu, gulanya sedikit.” Dirga mengangguk lalu segera menghilang di balik tembok pembatas gym dan ru
Panas menelan hari. Singapura yang panas terik ini mengharuskan Arya dan Ardi berhenti sejenak sebelum mencari barang di studio Erik. Tempat yang Erik namakan studio ini layak disebut sebagai toko mebeulir bersifat swalayan daripada studio. Studio ini lebih luas 3 kali dari studio milik Kang Rusdi. Sebotol isotonic yang dibawa Ardi sudah habis setengah. “Erik nyimpennya di mana si Pak? Duh cape banget saya ini.” Ardi berkeluh kesah. Lututnya sama lemasnya dengan berlari di atas treadmill tadi pagi. Arya hanya tersenyum. Ingin mencoba menenangkan, tapi ia tak sanggup. “Sorry for make you guys waiting. This one must be Arya.” Dari jauh terlihat Erik bergegas. Setelah sampai, ia menunjuk Arya. “Pleasure to meet you.” Arya menjulurkan tangannya, lalu dijabat oleh Erik.
Selama seminggu berada di Semarang. Intensitas ‘kencan’ Mila dan Donny bertambah. Kejadian yang melibatkan Arini sore itu hanya dianggap sebagai angin lalu oleh Mila. Kedekatan dirinya dan Donny cukup diketahui oleh Arini sebagai teman biasa. Meskipun Arini menyimpan kecurigaan bagi dirinya, Mila tetap acuhkan. Perasaannya bagi Donny terlalu dalam hanya untuk mengurusi kecurigaan adiknya. Mila menambah cutinya menjadi 10 hari kepada kepala sekolahnya tadi siang. Alibinya yang mengatakan jika ia sakit karena perjalanan jauh dan sedang dalam masa pemulihan. Kenyataannya, Mila tengah makan bersama dengan Donny di restoran sebuah hotel mewah. Dari kemewahan yang diberikan Donny padanya ini, muncul kembali keraguannya pada Arya. Hadiah-hadiah dari Donny yang berupa benda besar dengan berat hati harus ia tolak karena itu akan mencolok, sedangkan benda kec
Waktu bergulir sedikit lambat. Mila yang duduk berhadap-hadapan dengan Donny merasa tersudutkan. Dengan kedua matanya sendiri, Mila melihat Donny yang menyeringai. Berkat pertanyaannya tadi, hidangan Italia yang disusun secara menggugah nafsu makan malah membuat Mila hilang selera. Mila menyimpan garpu yang ia pegang ke sebelah kiri piring cekung dengan sebuah lingkaran di dalamnya. Kini ia menopang dagu, kembali menatap Donny langsung pada mata. “Jika kau terus membahas hal ini, aku pulang.” Ancaman ini membuat seringaian yang Donny buat di wajahnya sirna. Bibirnya itu kini melengkungkan senyum. “Baiklah.” Donny menyuap makanan untuk dirinya. Mila kembali meraih garpu, kemudian menikmati lagi hidangan yang tersedia. 
Arya pulang dengan langkah gontai. Jasad Mama yang disimpan di rumah sakit untuk dikebumikan esok pagi. Arya berniat untuk menungguinya meski tidak diminta. Pemulasaraan jenazah dan segala administrasinya Arya yang tanggung. Sebuah rasa bersalahnya karena tak ada saat Mama berpulang. Rumah besar ini kosong. Mae sudah pulang sejam sebelum Arya sampai. Lampu-lampu yang sudah menyala, juga Bagas dan Suryono yang bergantian berpatroli pada saat senja yang mulai menua ini. Langit yang menangis tadi siang berganti menjingga dengan iringan awan yang ikut serta. Di bawah langit dengan menginjak bumi, waktu Arya seakan enggan mendukung jiwanya untuk berkabung. Arya memilih untuk bersiap menunggui jasad Mama di rumah sakit. Mungkin sembari mengobrol dengan dokter dan beberapa tenaga kesehatan yang berjaga. Tungkai kakinya itu dia giring masuk kamar mandi yang tersedia di
Waktu yang terus bergulir, mengharuskan Gumilar Family harus terus hidup dan mencari penghidupan. Demi diri sendiri atau demi keluarga masing-masing. Papa si Haji Gumilar sudah baik-baik saja. Meski setiap malam menyimpan bunga melati susun di depan foto Mama. Edwin sudah kembali seperti semula terlebih Utari sudah masuk trimester 3, adik Danishwara siap datang ke dunia sebentar lagi. Indira, masih disibukan dengan kuliah dan juga pekerjaannya sebagai asisten editor di publisher. Cerita perang bajak laut sudah ia buang karena semakin kemari mirip opera sabun yang ada di TV. Entah kapan selesainya. Arya sendiri, meski sudah susah payah menata hati karena cinta pertamanya pergi ia kini sudah pulih. Mengurusi pengiriman luar negeri cukup menyita segalanya.“Pagi guys!” Seru Arya saat memasuki kantor. Raut mukanya berseri-seri.Suara Rizky Febian menggema di speaker yang tersambung dengan ponsel Lukman. Lagu Mantra Cinta tengah menjadi lagu favorit pria dewasa
Rasa sepi menjelma menjadi sebuah kesibukan di kantor Arya. Ketikan dari keyboard mekanik, atau suara bising dari mesin cetak yang mencetak resi, terkadang ada suara telepon masuk bergantian. Dalam konsentrasi 4 kawan ini yang terpusat pada urusannya masing-masing, sebuah titik bernama kesedihan yang dibalut ketidakpercayaan hadir di dada Arya. Pasca Fauzan mengabarkan keadaannya yang ‘tidak sehat’, kalimat itu menghantui Arya dari semalam. Ia terlihat sering diam dan sedikit melamun. “I need a hand bro. Tolong ketikin.” Brandon menyerahkan sebuah dokumen yang sudah dijilid rapi. Brandon menyadari jika kawannya ini sedikit tidak fokus. Ia menepuk bahu Arya pelan. “Lu gak kenapa-napa kan?” Arya menghembuskan nafasnya sedikit berat. “I’m OK dude. Santuy.”
Surya terbit dari ufuk timur membangunkan Arya. Hari Sabtu ini Arya harus ikut pengawasan pengepakan barang bersama Kang Rusdi. Namun sebelum bangun, badannya terasa lelah. Kebanyakan berfikir, kecemasan berlebih, ditambah kekecewaan terhadap realita menampar Arya dalam sekali pukul. Arya sudah tak berdaya, serasa hidupnya jauh berada di bawah jurang. Sofa di kantornya kembali menjadi tempat tidurnya. Tak sanggup ia tidur dengan Mila dengan membawa rasa kecewa. Masih membawa kecewa itu, Arya meraih ponsel. Layarnya menunjukkan jam 6.15 pagi. Masih banyak waktu hingga pukul 9. Ponsel Arya riuh oleh ucapan selamat dari rekan kerjanya hingga keluarga atas kehamilan Mila. Sebelum tidurnya tadi malam Mila mengunggah pembaharuan sosial medianya. Arya membaca semua pesan yang masuk. Kedua tangannya sudah me