Waktu yang terus bergulir, mengharuskan Gumilar Family harus terus hidup dan mencari penghidupan. Demi diri sendiri atau demi keluarga masing-masing. Papa si Haji Gumilar sudah baik-baik saja. Meski setiap malam menyimpan bunga melati susun di depan foto Mama. Edwin sudah kembali seperti semula terlebih Utari sudah masuk trimester 3, adik Danishwara siap datang ke dunia sebentar lagi. Indira, masih disibukan dengan kuliah dan juga pekerjaannya sebagai asisten editor di publisher. Cerita perang bajak laut sudah ia buang karena semakin kemari mirip opera sabun yang ada di TV. Entah kapan selesainya. Arya sendiri, meski sudah susah payah menata hati karena cinta pertamanya pergi ia kini sudah pulih. Mengurusi pengiriman luar negeri cukup menyita segalanya.
“Pagi guys!” Seru Arya saat memasuki kantor. Raut mukanya berseri-seri.
Suara Rizky Febian menggema di speaker yang tersambung dengan ponsel Lukman. Lagu Mantra Cinta tengah menjadi lagu favorit pria dewasa
Rasa sepi menjelma menjadi sebuah kesibukan di kantor Arya. Ketikan dari keyboard mekanik, atau suara bising dari mesin cetak yang mencetak resi, terkadang ada suara telepon masuk bergantian. Dalam konsentrasi 4 kawan ini yang terpusat pada urusannya masing-masing, sebuah titik bernama kesedihan yang dibalut ketidakpercayaan hadir di dada Arya. Pasca Fauzan mengabarkan keadaannya yang ‘tidak sehat’, kalimat itu menghantui Arya dari semalam. Ia terlihat sering diam dan sedikit melamun. “I need a hand bro. Tolong ketikin.” Brandon menyerahkan sebuah dokumen yang sudah dijilid rapi. Brandon menyadari jika kawannya ini sedikit tidak fokus. Ia menepuk bahu Arya pelan. “Lu gak kenapa-napa kan?” Arya menghembuskan nafasnya sedikit berat. “I’m OK dude. Santuy.”
Surya terbit dari ufuk timur membangunkan Arya. Hari Sabtu ini Arya harus ikut pengawasan pengepakan barang bersama Kang Rusdi. Namun sebelum bangun, badannya terasa lelah. Kebanyakan berfikir, kecemasan berlebih, ditambah kekecewaan terhadap realita menampar Arya dalam sekali pukul. Arya sudah tak berdaya, serasa hidupnya jauh berada di bawah jurang. Sofa di kantornya kembali menjadi tempat tidurnya. Tak sanggup ia tidur dengan Mila dengan membawa rasa kecewa. Masih membawa kecewa itu, Arya meraih ponsel. Layarnya menunjukkan jam 6.15 pagi. Masih banyak waktu hingga pukul 9. Ponsel Arya riuh oleh ucapan selamat dari rekan kerjanya hingga keluarga atas kehamilan Mila. Sebelum tidurnya tadi malam Mila mengunggah pembaharuan sosial medianya. Arya membaca semua pesan yang masuk. Kedua tangannya sudah me
Mendengar jawaban dari Mila, Arya tecenung. Badannya yang lunglai seketika terduduk di kasur. Badanya terasa lemas bukan main. Dadanya yang bidang naik turun menelan kekecewaan, lagi. “Sudah berapa lama Mil?” Rendah Arya berbicara. Suara bassnya bergetar. Mila ikut duduk di sebelah Arya. “8 bulan lebih.” Perih menyayat hati Arya. Sebuah luka yang tak mengeluarkan darah, tapi rasanya lebih hebat dari luka fisik. Arya tidak banyak bicara. Buliran air mata turun begitu saja tanpa komando. Mila mengulurkan tangannya memeluk sang suami. Arya tidak banyak menolak. Mila ikut menangis saat memeluk Arya. Bahu Mila naik turun menahan tangisnya yang hebat. “Ab
Gerimis turun dari langit seakan menangis. Sejak subuh, air yang jatuh menghasilkan suhu dingin. Dalam rintihan langit yang tak kunjung usai, pukul 7 pagi ini Arya bergegas untuk berangkat bekerja. Suhu yang menurun hampir 5 derajat ini tak usut membuatnya takut. Terburu, Arya memasang sepatu. Ponsel menempel pada telinganya yang diapit oleh bahu. Setelah memasang sepatu, Arya membawa tasnya terburu keluar rumah. Saat itu juga, Mila turun dari tangga dengan muka pucat dan mata sembab. Dengan berpakaiannya yang formal, Arya mengindikasikan jika Mila siap untuk bekerja. Arya menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, “Kamu siap kerja?” Mila mengangguk lemah. Sembari menuang air ke dalam gelas, Mila menatap Arya yang terlihat biasa saja setelah pengakuannya kemarin. “Abang semalam tidu
Selamat malam (ketika saya menulis ini) para penikmat Berlayar yang saya cintai,Bersama dengan bab yang terbuka ini, saya ingin mengabarkan sebuah berita penting. Bahwasannya Berlayar akan berhenti melaut untuk sementara, karena ada kendala teknis yang tidak bisa saya ceritakan pada bab ini. Kemudian, kesehatan dari penulis yang tengah sedikit menurun mengakibatkan produktifitas penulisan ikut terhambat. Oleh karena itu, saya selaku penulis meminta maklum kepada para pembaca Berlayar terkait masalah ini. Saya akan kembali mengunggah bab-bab selanjutnya secepat yang saya bisa. Dan saya pastikan akan cerita yang saya post akan lebih panjang. Juga saya akan mencoba menghibur para pembaca sekalian untuk merasakan ombak cerita yang disuguhkan pada novel Berlayar ini. Mohon untuk jangan lupa memberi like, komentar, ikuti dan juga tetap berlangganan cerita dari saya.Terima Kasih,Salam HangatTUNDRA
Arya pulang dalam keadaan hampa. Kamar yang pernah digunakan Indira menjadi tempat ia tidur malam ini. Tubuh kekarnya terlentang diatas kasur dengan warna sprei cream. Hatinya pun perlahan mengiklas takdir, tak lagi menganggap hal ini sebuah nadir yang menghantui sepanjang waktu. Kedua tangannya ia simpan di atas bantal menyangga kepala. Arya menyingkirkan pikiran-pikiran negative tentang meratapi nasib. Hal itu tidak akan pernah surut jika terus menerus dibahas. Kini otaknya mendingin, ia kembali ingat perkataan Papa di halaman belakang tadi. Strategi yang ia ucapkan dalam otaknya ia timbang-timbang agar tak menyakiti pihak manapun. Arya rasa, cukup dialah yang tersakiti karena adanya orang ketiga dalam bahteranya. Kini, Arya ingin melepaskan sang navigator untuk membuat bahagia dengan pilihannya. Untuk Arya, biarkan ia memulihkan dengan cara sendiri. Ce
Temaram lampu kamar tak mengindahkan Mila untuk segera masuk ke alam tidur. Ia masih terlentang dengan mata terbuka menatap langit-langit. Di luar, sahutan-sahutan orang yang mulai mereda menambah saksi atas malam yang kian larut. Dengan ini pula, Mila resmi enggan terlelap. Pikiran-pikiran berlebih dengan tajuk menyalahkan diri terus berputar-putar menghasilkan jaring-jaring kusut sulit diurai di kepalanya yang berambut panjang sebahu. Mata Mila kian hari kian cekung, begitupun dengan setengah lingkaran yang ikut menghitam saban harinya. Kepala Mila menoleh ke samping. Kasur king size yang biasa diisi dua orang ini terlalu luas untuk ia seorang diri. Mila menarik nafas mengais harum parfum yang bercampur dengan wangi alami tubuh sang suami. Nihil ia dapat. Dulu, wangi itu mampu menyuruhnya pulang dengan segera, menghasilkan rasa aman, nyaman dan tentram meskip
Ramainya Warmindo Marlina tak begitu terasa bagi Arya. Sukmanya seakan tertarik ke dalam dimensi yang tiada entitas lain membersamai. Sendiri di ruang hampa dengan membawa berjuta kecewa. Nafasnya yang berat untuk keluar adalah tanda-tanda Arya masih hidup. Nalarnya mati seketika. Tak tahu harus memproses informasi yang ia dapat semerta-merta seperti ini. Hembusan demi hembusan nafas berasas kekecewaan menjadi kebiasaan repetisi. Alunan suara Rossa di radio yang warung ini putar tak terdengar bagi telinganya. Menulikan sejenak semua indera, Arya mencoba kembali menjalankan nalarnya. Satu hembusan nafas kembali dibuang. “Terus tentang info yang di Semarang itu, kamu tahu?” Siti mengangguk perlahan. “Tahu, Bang. Abang gak apa-apa? Saya bisa hentikan ceritanya kalau misal Abang..&rdquo