inggu siang, Papa mengajak Arya untuk membantunya membetulkan rak buku kesayangan Papa yang alas belakangnya retak juga usang dimakan usia. Tripleks yang sudah tipis, dengan retakan lebar di sana-sini juga lembab karena terciprat air hujan.
Anak dan Bapak ini sibuk berjibaku memotong, memukul, memasang paku, mengukur dan juga mengecat ulang. Meskipun satu barang, namun ukuran besar melelahkan Arya dan Papa juga.
“Beli baru aja kenapa si Pa?” Saran Indira sembari menyimpan nampan berisikan dua gelas air kelapa jeruk yang ia beli dari pedagang di ujung jalan. Lalu duduk bersila menyaksikan Papa dan Abangnya ini berjibaku memasang tripleks.
“Eh, ini hadiah dari Engkongmu. Mana bisa Papa beli lagi.”
“Sama Bang Edw
“Saya sudah berada di restoran yang Bapak sebut. Mohon maaf bila Bapak menunggu. Saya kejebak macet.” Tukas Alexis Sinaga yang serasa berbincang langsung dengan Arya 5 menit lalu. Meski lewat sambungan telepon suaranya yang serak-serak basah tengiang-ngiang. Meninggalkan ciri khas dari Alex. Resto Tanah Betawi yang pernah dipesan Ardi Purnomo saat awal kerja sama dengan Arya dan rekan-rekan ini adalah pilihan. Duduk di sebuah kursi kayu mahoni, Arya dengan santai menunggu Alex tiba. Di meja yang sudah tersedia secangkir penuh bir pletok dan juga salad buah. Cangkir dan mangkok itu ditemani oleh amplop coklat yang berisikan ‘bukti’ perselingkuhan Mila dan Donny Lazuardi. Sebuah mobil sedan berwarna merah maroon dengan deru mesin yang halus sampai di parkiran resto. Alex yang perlente dengan jaket hitam mengilap, sepatu yang
Waktu yang bergulir tak terasa menyisakan semesta yang kian memaksa orang-orang untuk tetap hidup. Menyisakan kehidupan lampau yang ada yang mengenakan maupun tidak. Puing-puing memori yang terseok-seok enggan dilupakan hangus dimakan waktu. Hal ini berlaku juga untuk Arya. Sisa-sisa memorinya bersama Mila yang menyesakkan dada perlahan hangus dimakan waktu. Tak terasa, sudah setengah tahun ia menyandang statusnya sebagai orang yang sudah bercerai. Setengah tahun sudah juga ia mengobati luka menganga yang disebabkan oleh Mila. Saat ini di bawah teriknya surya, Arya menatap rumahnya yang sudah berganti warna. Kurang lebih satu tahun ia tinggalkan, kini terasa asing. Rumah modern minimalis yang ia buat atas dasar dream house Mila kini hilang jati dirinya. Berganti menjadi jati diri Arya. Kepala Arya menoleh ke sisi kanan, angkreknya yang tampak sehat dan baik-baik berjajar indah.&
Aryasatya kini bercerita, untuk Mila. Yang telah hancur hatinya.Mil, mohon maaf. Ku tulis kabar ini kala pelayaranku dimulai kembali. Namaku yang telah kau jadikan sejarah usanglah sudah. Ku bawa kabar dari utara bukan dari Lokapala. Sejenak angin sepoi dari barat membawa cerita nan ceria, namun juga hujaman bengis angkara murka.Indira sang sastrawati meracuniku dengan kata-kata puitisnya. Prosa yang jadi surat penutup ini bukanlah lahir dari Batu Belah Batangkup, melainkan lahir atas kesadaran diriku yang sedang memaafkan jati diri pribadi. Semoga engkaupun serupa.Edwin sang pemersatu antara aku dan Indira yang sering bertengkar sering menanyakan kabarmu, Mil. Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena kisah kita sudah selesai, begitu saja. Ku harap, Ancol membuatmu baik-baik saja. Bersama Seruni di meja kecil itu, kita duduk bersama membahas segala perasaanmu setelah setahun tanpaku. Aku senang kau baik-baik saja Mil. Aku bisa bercerita pada Edwi
Pikirku dulu, saat kita berjanji dengan nyanyian laut,Aku akan mampu merapikan hidupmu yang semrawut.Kaupun akan mampu membantuku sifatku yang sering kalut.Pikirku dulu, cinta kita takkan pernah surut.Keinginan akan kehadiraanmu jadi candu,Kepercayaanku padamu menjadi megah mengabut.Aku rasa, dulu samudera tentram adalah impianku.Saat bahtera ini kita bangun bersama,Tempat ternyaman untukku adalah samudera.Aku menjadi nahkoda, kau membaca peta.Kita pergi jelajahi dunia dengan angin yang menuntun kita.Pikirku kini, ternyata cinta itu rasa yang rapuh.Bahteraku tak lagi mampu bersauh,Jangkarku pun telah jatuh.Saat ada nahkoda lain, kau pun ikut menjauh.Membiarkan bahtera megah yang kita bangun runtuh.
Hingar bingar kota besar memang selalu menjanjikan setiap orang. Meskipun panas terik saat ini, terlihat lalu lalang kendaraan yang terus mengeluarkan emisi. Membuat ibu kota negara ini semakin panas. Masker yang digunakan sebagai tameng dari virus yang sedang diperangi kurang lebih setahun ini sekarang makin berfungsi sebagai penyaring udara dari jahatnya emisi kendaraan bermotor. Di tengah panasnya ibu kota, Arya menatap Indira yang sedang mengikat sneakersnya. Arya tak menyangka adiknya sudah dewasa. Mahasiswa semester 5 ini dulunya dia jahili sampai menangis hingga melapor pada Papa, kini bermetamorfosa menjadi seseorang yang melampaui imajinasinya. “Bang, gue balik ya.” Indira berdiri sembari membetulkan outernya yang sedikit berantakan. “Papa udah kangen. Oh iya, itu bingkisan yang di meja makan kasihin ke Mba Mila ya. Titipan Mama soalnya.” “Isinya apaan emang?” Arya masih melirik adiknya yang kini sedang menyelipkan loop masker ke salah satu telin
Arya kembali memeriksa perlengkapannya untuk pergi ke toko mebeul milik salah satu rekannya. Hand sanitizer dan masker cadangan sudah ia masukan ke tasnya. Hal yang sama juga ia lakukan pada laptop, ponsel dan juga dompetnya. Hari ini Arya mendapat orderan yang cukup besar dari orang kaya baru yang sedang mentransformasi sebuah gubuk menjadi istana.Rumah Arya sedari jam 7 pagi sudah sepi. Pembantunya yang bertugas untuk memasak dan bersih-bersih rumah kini tengah pergi untuk belanja sayuran. Mila sudah pergi sejak pukul setengah 7. Ia berangkat lebih awal karena tidak ingin kena macet dalihnya. Arya tidak pedulikan. Yang jelas, saat ini ia harus bangkit karena selain dirinya yang butuh uang, pegawainya juga harus meneruskan kehidupan, juga rekan kerjanya juga ada yang harus dibiayai. Pandemi ini memang mengharuskan seseorang untuk bertindak seaktif dan sekreatif mungkin.Dengan sedikit terburu juga berbekal sebuah kue gandum dimulutnya, Arya bergegas masuk ke mobilnya, menyalakan mes
Hari berganti hari. Matahari demi matahari yang kian terasa panjang karena pandemi yang menyengsarakan segala aspek kehidupan kini mulai terasa jadi sahabat. Masker, alkohol, menjaga jarak, protokol kesehatan, aturan pemerintah dan segala acara prevented lainnya yang melelahkan. Di kasurnya yang tebal dan empuk ini Arya masih terlelap dengan telungkup. Punggungnya yang lebar juga berotot tercetak dari kaos yang ia gunakan selama tidur. Setelah setahun belakangan ini, Arya tidak pernah merasa dirinya selelah ini. Jiwa dan raganya serasa diperas sekering-keringnya. Rasa lelap Arya kini terusik karena merasa badannya cukup terisi baterai. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Sebelum menegakkan badannya, kepala Arya melirik ke arah kasur di sebelahnya. Kosong. Mila sudah pergi untuk bekerja. Arya melirik jam di ponselnya yang semalaman menyala, 7.30 tercetak jelas disana. Teringat jika tengah hari nanti ia harus kembali mengurus pengiriman untuk keluar neg
Di kantornya pribadi yang jauh dari kantor Arya, di depan jendela Mila menunduk menatap ponsel. Hatinya gelisah tidak nyaman. Sembari sesekali melihat foto pre-weddingnya bersama Arya, Mila menggigiti bibirnya. Sebuah kebiasaan saat gugup, stress, atau bingung. Jemari Mila merayap mengambil ponselnya. Menggulirkan ibu jari pada kontak yang menjadi panggilan masuk beberapa bulan ini. Menekan tombol telpon lalu menempelkan ke telinganya. Perasaan bersalah seakan menghantui, namun akal sehatnya sering membantah. “Halo” sapa seorang pria dari ponsel Mila. “Ada apa?” “Kita harus ketemu. Penting.” “Dimana?” “Besok di tempat biasa, jam 3 sore.” tukas Mila lalu memutuskan sambungan teleponnya. Mengakhiri sambungan telpon dari pria ini membuat Mila makin merasa bersalah. Bersalah atas dua hal lebih tepatnya, pada Arya dan pada pria yang ia telepon. Mendua memang pilihan yang salah. Tidak ada paham yang bisa membenarkan. Namun perasaan dimana M