Hingar bingar kota besar memang selalu menjanjikan setiap orang. Meskipun panas terik saat ini, terlihat lalu lalang kendaraan yang terus mengeluarkan emisi. Membuat ibu kota negara ini semakin panas. Masker yang digunakan sebagai tameng dari virus yang sedang diperangi kurang lebih setahun ini sekarang makin berfungsi sebagai penyaring udara dari jahatnya emisi kendaraan bermotor.
Di tengah panasnya ibu kota, Arya menatap Indira yang sedang mengikat sneakersnya. Arya tak menyangka adiknya sudah dewasa. Mahasiswa semester 5 ini dulunya dia jahili sampai menangis hingga melapor pada Papa, kini bermetamorfosa menjadi seseorang yang melampaui imajinasinya.
“Bang, gue balik ya.” Indira berdiri sembari membetulkan outernya yang sedikit berantakan. “Papa udah kangen. Oh iya, itu bingkisan yang di meja makan kasihin ke Mba Mila ya. Titipan Mama soalnya.”
“Isinya apaan emang?” Arya masih melirik adiknya yang kini sedang menyelipkan loop masker ke salah satu telinganya.
“Gak tahu.” Loop masker sudah terpasang di kedua telinga Indira. “Jangan lu cek! Mama bilang buat Mba Mila.” Cerocosnya sembari menggaet ransel yang disimpan di belakangnya sedari tadi.
“Iya, bawel!” Arya membalas ketus pernyataan adiknya. “Dek, maaf ya Abang belom bisa bayarin kuliah lu semester ini. Sama bilangin ke Papa, belom bisa bantuin renov dapur juga.” Suara Arya melirih. Semakin ia mengakhiri kalimatnya, semakin terdengar kesedihan bercampur keraguan yang bersatu pada satu suara.
Indira mengangguk. Sembari menarik masker ke arah hidungnya ia membalas “Gak apa-apa gua juga ngerti kok, Bang. Usaha lu juga lagi gini kan. Gue juga malu ngerepotin mulu.” Masker sudah menutupi setengah wajah Indira. Tas ransel miliknya juga turut serta sudah berada ditempat seharusnya. Indira melangkahkan kakinya ke arah luar, taksi onlinenya telah sampai.
“Gua pamit ya, Bang.” Indira kini memasuki taksi pesanannya. Sembari tersenyum Arya mengangguk.
“Hati-hati di jalan, Dek. Kasih tahu kalau udah nyampe.” Dengan masker yang menahan suaranya, Arya berpesan kepada adik semata wayangnya itu. Indira hanya membalas dengan anggukan.
Taksi online yang membawa Indira meninggalkan kediaman Arya. Semakin menjauh hingga tak terlihat. Pikiran Arya pun ikut menjauh selagi mobil tersebut berjalan. Pikirannya kini bercabang. Kelumit yang ada dalam kepalanya tak terselesaikan. Dari sekian cabang yang menetap dalam kepala, akar tunggalnya masih sama yaitu masalah ekonomi dan rumah tangganya.
***
Arya duduk di sebuah kursi rotan hasil kreasi pengrajin kenalannya. Ponselnya sedari tadi berisik akan notifikasi yang masuk. Tangannya terampil membuka satu persatu pesan masuk. Mayoritas yang adalah pegawai yang meminta bayaran dan juga klien yang membatalkan pesanan. Namun ada satu pesan yang membuat Arya memprioritaskannya dari semua pesan masuk, ialah pesan dari ayah mertuanya.
“Nak Arya, Ayah minta tolong segera kirimkan uang yang sudah kamu janjikan. Ayah sangat butuh. Terima kasih.”
Pasca membaca pesan dari ayah mertuanya, kepala Arya terasa pening juga nafasnya terasa pendek. Satu lagi masalah yang harus dihadapinya. Masalah yang satu ini harus segera ia tuntaskan. Sembari merasakan kepalanya yang berdenyit kecil, Arya mengusap wajahnya yang kian hari kian kusut seperti kertas yang diremas. Masalah yang terus datang membuat wajah Arya menua terlalu cepat.
Dalam kemelut yang sedang dirasakannya, terdengar derap langkah pantopel dengan hak rendah yang menggesek lantai. Mila pulang terlambat. Biasanya Mila pulang sebelum matahari tenggelam, kini ia pasti pulang setelah adzan magrib terdengar. Dan ini sudah memasuki hari ke lima.
“Terlambat lagi?” suara Arya yang sejak tadi terbisu mendadak dikeluarkan. Mengagetkan Mila yang tengah mengganti pantopelnya dengan sandal rumahan. Sudah selama ini Arya merasa aneh dengan terlambatnya Mila pulang ke rumah. Ketika ditanya, ia pasti mengelak dengan berbagai alasan.
“Maaf, Bang. Mila tadi ada konsultasi orang tua dulu. Abang tahu kan Naura?” Mila kembali berkilah. Insting Arya berkata ada yang Mila sembunyikan, bukan tentang pekerjaannya. Tapi tentang hal yang lain.
“Kenapa dia?” Arya kini memilih untuk mengikuti permainan Mila yang ia curigai berbohong.
“Mmm..gimana ya ceritanya.” Mila menggaruk kepalanya menandakan jika ia kebingungan. Sepuluh detik kemudian setelah ia menarik napas, ia kembali bercerita.
“Jadi gini, Bang. Naura itu pada dasarnya pinter. Cuma dia itu gak belajar. Dia udah baca bisa ngerti materi gitu aja. Tapi dia gak sejalan sama orang tuanya yang strict parent gituloh.” Mila dengan bersungguh-sungguh menceritakan seorang anak didiknya. Arya tak berreaksi apapun, hanya memasang wajah yang seakan mengatakan ‘iya teruskan ceritamu, aku mendengarkan.’
“Tadi Mila panggil orang tuanya dan ketika dengerin penjelasannya, mereka pengen Naura lebih giat belajar gitu dengan metode yang mereka awasi. Naura berontak. Dan jadi gak mau belajar.” jelas Mila kemudian. Arya mengangguk paham.
“Aku harap nanti kalau punya anak aku gak se-strict kayak mereka Bang. Kasian anaknya nanti.” lanjut Mila kemudian. Arya tertegun. Keinginan baru yang tiba-tiba Mila utarakan membuat air mukanya kembali menua.
Arya hanya bisa menarik nafas berat. Seperti ada batu yang ikut meperberat kegiatan wajib bernafasnya. “Aamin.” Tak ada pilihan lain untuk Arya selain mengaminkan keinginan yang juga doa untuk mereka berdua.
“Kamu bersih-bersih dulu ya. Oh iya di meja ada titipan dari Mama. Tadi Dira kesini.” lanjut Arya yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan. Mila hanya mengiyakan lalu menuruti perintah suaminya.
Hari demi hari selama pandemi ini membuat kehidupan Arya semakin berat. Bahu lebarnya yang sering ia sombongkan mampu menahan Kilimanjaro di bahunya, kini harus ia akui tak mampu menahan apapun. Ia ingin terus berjalan terbungkuk-bungkuk karena begitu beratnya beban yang ia pikul.
Jika saja ia tak tercekoki paham toxic maskulinitas Arya mungkin akan menangis tersedu saat mandi atau berada di kantornya. Ibarat sebuah mobil, ia tengah kehilangan jalurnya, dengan ban yang kempis juga mesin yang hampir mati. Jika tidak dikuatkan oleh keinginan dirinya sendiri, Arya sudah gila saat ini.
Kelumit di kepala yang enggan hilang ini mengantarkan Arya untuk masuk ke ruang kerjanya, lalu duduk di sebuah sofa sembari memangku dagu. Pandangannya kosong menatap ke arah sebuah pohon palem botol yang ditanam di dalam pot anyaman. Lirih Arya berucap “Sampai kapan akan begini, Tuhan?”
***
Aryasatya yang biasa dipanggil Arya, seorang pria dewasa campuran Sunda dan Betawi yang berumur 35 tahun. Sedari muda ia sudah mendirikan usaha ekspor furniture ke berbagai belahan dunia. Asia, Eropa hingga Amerika sudah ia jejaki. Arya menjual berbagai perabotan dari yang fungsional seperti lemari hingga dipan, atau hanya dekorasi seperti pot kembang.
Sejak umur 23 tahun Arya mengembangkan bisnisnya dengan beberapa rekannya. Memadukan teknologi dan juga ilmu bisnis. Bisnis Arya dan rekannya pesat, hingga mampu mengasilkan 1 milyar pertamanya hanya dalam 1 tahun. Hingga pada umur 26 tahun, Arya jatuh cinta pada Mila. Seorang perempuan setengah Jawa dan setengah Belanda yang 4 tahun lebih muda dengannya.
Mila dan Arya menjalani hubungan yang membuat siapapun iri. Dari sisi Mila, semua sahabatnya iri terhadapnya karena mendapat pria rupawan yang tajir melintir diusia muda. Begitu juga Arya, banyak rekan kerjanya yang iri karena Arya mampu menaklukan Mila yang selain susah didekati, background keluarganya yang misterius juga mampu Arya hadapi.
Setelah 1 tahun berpacaran, Arya memutuskan untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Namun, perijinan yang Arya dapatkan sedikit rumit. Orang tua Mila berhutang ke sana kemari karena menyekolahkan adik-adik Mila. Ayah Mila seorang lazy bones. Ia hanya sanggup bekerja hanya untuk makan saja. Sehingga ibunya yang bersusah payah untuk menyekolahkan Mila dan 3 adiknya. Ibunya Mila yang mantan model bekerja sebagai penata gaya juga penata rias beberapa artis ibu kota.
Kemalangan jatuh saat Mila lulus kuliah, ibunya jatuh sakit lalu meninggal seketika. Diagnosa dokter adalah serangan jantung. Semenjak ibunya Mila meninggal, beberapa adik Mila masih bersekolah. Paling kecil baru masuk SMP. Ayahnya masih seorang lazy bones jadi beliau meminjam ke sana-sini untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Hingga akhirnya 750 juta sudah hutang yang ditimbun ayahnya Mila untuk kebutuhan sekolah saja.
Berlatarkan orang tua yang banyak hutang, Mila segan menerima siapapun yang hendak melamarnya. Hingga datanglah Arya dengan latar belakang ekonomi yang memadai. Mila yang kelelahan mencari nafkah untuk membantu melunasi hutang-hutang untuk sekolah adik-adiknya merasa menemukan secercah cahaya yang bisa membantunya sedikit lepas dari jeratan kewajiban membayar hutang orang tuanya. Mila sudah bercerita panjang lebar tentang berapa, kemana saja, dan kapan jatuh tempo semua hutang orang tuanya tersebut. Dengan jiwa idealisnya Arya menyanggupi semuanya. Pembayaran yang tidak sedikit, beberapa aset miliknya harus disimpan sebagai jaminan, dan juga tabungan pribadinya hampir habis membantu Mila.
Arya memercayai teori ‘rejeki orang yang mau menikah pasti ada’. Dan memang betul adanya. Usahanya lancar, pesanannya banyak, untungnya besar, juga beberapa kekayaan miliknya yang disimpan dalam bentuk saham naik besar. Karena banyaknya uang yang Arya dapat, pernikahannya dengan Mila diselenggarakan dalam waktu 2 hari dengan sangat mewah dan meriah.
Selepas pesta meriah itu, Arya dan Mila selayaknya pasangan rumah tangga muda pada umumnya. Saling dicumbu oleh perasaan kasih sayang tak bermuara, rindu yang tak mampu memisahkan. Hingga mungkin mereka tak sanggup hidup jika tak bersama.
Langkah berani Arya pada saat tahun awal pernikahan adalah melunasi hutang Mila lebih dari setengahnya. Dan terealisasi. Semua asetnya sudah kembali. Dan Mila sudah bisa bernafas lega dari lilitan hutang yang mencekik lehernya.
Pernikahannya memang belum lengkap karena Mila dan Arya sama-sama mendambakan momongan tapi hingga 8 tahun pernikahannya mereka belum diberi. Mereka sudah berusaha kemana-mana untuk menjalani program hamil, namun belum diberi amanah tersebut. Digunjing tetangga, atau dicap mandul oleh keluarga dan sanak saudara juga sudah menjadi makanan sehari-hari Arya dan Mila. Tapi mereka tetaplah menjadi sepasang suami istri yang tetap harmonis hingga saat ini.
***
Arya keluar dari ruang kerjanya setelah membaca beberapa proposal dan menjawab juga beberapa panggilan dari pelanggan tetapnya dari Amerika. Rambutnya yang sejak sore tadi disisir rapi, sekarang sudah semrawut karena digaruk dan diacak-acak.
Biasanya jika Arya sedang mengurung diri di ruang kerjanya, Mila akan membawakan teh hijau hangat juga beberapa buah kue basah sebagai cemilan. Kini sudah 5 hari semenjak Mila sering pulang terlambat ia tidak melakukannya. Arya mengetahui kejanggalan ini namun ia tak ungkapkan. Alasannya, hanya tak ingin membuat Mila tambah lelah karena pulang bekerja.
Sekarang Arya berjalan menuju dapur untuk membuat teh hijaunya sendiri. Dari arah berjalannya, di ruang keluarga di depan TV, Mila tengah menerima telepon. Bersenda gurau lalu tertawa sesekali. Dari raut wajah yang Arya lihat sekilas, Mila terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta; bersemu-semu, bahagia, dan juga suasana hatinya berbunga-bunga. Hal ini membuat Arya mengernyitkan dahi, lalu dalam batinnya ia mengeluarkan pertanyaan besar “Siapa yang Mila telepon hingga mampu membuatnya seperti ini?”
Arya melangkahkan kakinya kembali ke arah ruang kerjanya yang tidak pernah ia kunci. Dengan sengaja Arya menunjukan diri ke arah istrinya. Mengetahui Arya melintas dihadapannya, Mila terlihat kaget lalu ekspresinya mendatar. Arya bingung dengan keadaan istrinya.
“Telponan sama siapa?” tanya Arya yang mematung di depan pintu ruang kerjanya.
Mila menelan ludah dan sedikit tergagap menjawab pertanyaan Arya. “I-itu Bang teman kuliah aku. Siti yang gendut tahu kan?”
“I..ya. Abang inget. Kenapa dia?” Arya memaksakan untuk menjawab ingat meskipun ia tidak kenal siapa yang dimaksud.
“Dia sekarang udah kurus loh Bang. Dari 80 kilo jadi 50. Tadi ketemu sekarang telponan.” Mila menurunkan ponselnya.
“Ketemu di mana?”
“Anaknya sekolah di tempat aku kerja.” jawab Mila seperti menyembunyikan sesuatu.
“Oh gitu. Yaudah terusin aja.” Arya masuk ke ruangannya, lalu menutup pintunya dengan tidak rapat, menyisakan sedikit celah yang memungkinkan suara terdengar dari celah tersebut.
Sepeninggal Arya ke ruangannya, Mila kembali menempelkan ponsel ke telinganya. Sayup terdengar dari ruangannya, Mila berucap “Maaf keganggu. Abang lewat.” Lalu terdengar kembali cekikikan.
Arya mematung dibalik dinding ruangannya sementara, lalu berjalan ke arah sofa. Setelah mendudukinya Arya tertegun. Sepanjang perjalanan dari pintu ke sofa, Arya menelaah. Suara yang dibuat Mila tadi mirip dengan suaranya saat mereka berpacaran. Malu-malu dan sedikit lembut. Ditambah jika Ayahnya Mila memergoki mereka sedang telponan, jawaban Mila pun akan sama seperti itu.
Dengan kelumit tentang ekonomi keluarganya yang morat-marit di kepalanya, Arya menelan pil pahit dengan asumsinya sendiri. Ia mengasumsikan jika Mila sedang jatuh cinta dan disinyalir memiliki kekasih. Dalam artian lain, istrinya berselingkuh.
Arya kembali memeriksa perlengkapannya untuk pergi ke toko mebeul milik salah satu rekannya. Hand sanitizer dan masker cadangan sudah ia masukan ke tasnya. Hal yang sama juga ia lakukan pada laptop, ponsel dan juga dompetnya. Hari ini Arya mendapat orderan yang cukup besar dari orang kaya baru yang sedang mentransformasi sebuah gubuk menjadi istana.Rumah Arya sedari jam 7 pagi sudah sepi. Pembantunya yang bertugas untuk memasak dan bersih-bersih rumah kini tengah pergi untuk belanja sayuran. Mila sudah pergi sejak pukul setengah 7. Ia berangkat lebih awal karena tidak ingin kena macet dalihnya. Arya tidak pedulikan. Yang jelas, saat ini ia harus bangkit karena selain dirinya yang butuh uang, pegawainya juga harus meneruskan kehidupan, juga rekan kerjanya juga ada yang harus dibiayai. Pandemi ini memang mengharuskan seseorang untuk bertindak seaktif dan sekreatif mungkin.Dengan sedikit terburu juga berbekal sebuah kue gandum dimulutnya, Arya bergegas masuk ke mobilnya, menyalakan mes
Hari berganti hari. Matahari demi matahari yang kian terasa panjang karena pandemi yang menyengsarakan segala aspek kehidupan kini mulai terasa jadi sahabat. Masker, alkohol, menjaga jarak, protokol kesehatan, aturan pemerintah dan segala acara prevented lainnya yang melelahkan. Di kasurnya yang tebal dan empuk ini Arya masih terlelap dengan telungkup. Punggungnya yang lebar juga berotot tercetak dari kaos yang ia gunakan selama tidur. Setelah setahun belakangan ini, Arya tidak pernah merasa dirinya selelah ini. Jiwa dan raganya serasa diperas sekering-keringnya. Rasa lelap Arya kini terusik karena merasa badannya cukup terisi baterai. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Sebelum menegakkan badannya, kepala Arya melirik ke arah kasur di sebelahnya. Kosong. Mila sudah pergi untuk bekerja. Arya melirik jam di ponselnya yang semalaman menyala, 7.30 tercetak jelas disana. Teringat jika tengah hari nanti ia harus kembali mengurus pengiriman untuk keluar neg
Di kantornya pribadi yang jauh dari kantor Arya, di depan jendela Mila menunduk menatap ponsel. Hatinya gelisah tidak nyaman. Sembari sesekali melihat foto pre-weddingnya bersama Arya, Mila menggigiti bibirnya. Sebuah kebiasaan saat gugup, stress, atau bingung. Jemari Mila merayap mengambil ponselnya. Menggulirkan ibu jari pada kontak yang menjadi panggilan masuk beberapa bulan ini. Menekan tombol telpon lalu menempelkan ke telinganya. Perasaan bersalah seakan menghantui, namun akal sehatnya sering membantah. “Halo” sapa seorang pria dari ponsel Mila. “Ada apa?” “Kita harus ketemu. Penting.” “Dimana?” “Besok di tempat biasa, jam 3 sore.” tukas Mila lalu memutuskan sambungan teleponnya. Mengakhiri sambungan telpon dari pria ini membuat Mila makin merasa bersalah. Bersalah atas dua hal lebih tepatnya, pada Arya dan pada pria yang ia telepon. Mendua memang pilihan yang salah. Tidak ada paham yang bisa membenarkan. Namun perasaan dimana M
Situasi kantor eskpor furniture saat ini sangat sibuk. Pesanan domestik membludak karena trend renovasi kamar. Telepon, whatsapp, pesan, e-mail, bahkan inbox di sosial media sangat ramai akan yang betulan beli atau hanya sekedar basa-basi. Arya dan rekan sedikit kewalahan setelah saling tertawa karena pesanan divan prisma segilima. Sudah kurang lebih 3 jam mereka saling membalas segala pesan, e-mail dan telepon juga merancang segala jenis janji temu untuk mendiskusikan barang. Total pesanan yang entah berapa belum sempat mereka rekap masih terus bertambah hingga mereka harus lembur hari ini. Sekarang cahaya matahari sudah mulai menghilang terganti gelap dan suasana panas karena emisi gas dari orang-orang yang bubar kantor. “Man, janji temu dalam kota minggu ini penuh ga?” tanya Arya yang mengintip dari balik meja kerjanya ke luar ruang kantor. Lukman mengangguk. “Full sampe Minggu. Guys kita punya jam tambahan ya.” jawab Lukman disambung memberikan pengum
Seminggu telah berlalu. Semua pesanan dan janji temu sudah diselesaikan dengan baik oleh 4 sekawan eksportir ini. Pekerjaan mereka yang menggunung kini sudah beres. Mereka sedang berkumpul di kantor dengan agenda healingnya masing-masing; Arya meminum boba dingin, David yang menghisap rokok putih, Brandon yang main game, dan Lukman yang mencukur kumis. “Man, gak bawain martabak apa?” David yang baru saja menghembuskan asap rokoknya memberi saran. Lukman menggeleng. “Nanti kalau ada sisaan.” lalu melanjukan mencukur bulu halus yang tumbuh di atas bibirnya. “Itu si Donny Lazuardi belum ngabarin?” tanya Arya yang disusul hal serupa oleh Brandon. “Udah selesai semua nih, mumpung free jadi kita bisa lembur lagi.” Ucapan Arya yang mengajak lembur membuahkan tatapan serentak ketidaksetujuan dari para rekannya. “Vid, buat si Arya meet upnya pending aja biar gak lembur lagi. Bini gue kangen dikelonin.” protes Brandon sang pengantin baru. Di ant
“Ini si Donny gak ada tindakan lanjut apa?” keluh Brandon yang kini duduk di samping David. Mengambil sebuah permen dari meja David lalu membuka bungkusnya. “Dia gak tepatin janji.” Lukman mengiyakan pernyataan Brandon. “Molor 3 hari dari janji yang dia kasih.” “Gue follow up.” David beringsut mengambil ponsel, lalu mencari kontak Donny. “Kalau kita gak ketemu dia, itu projekkan gak bakal beres. Divan prisma segilima hanya angan belaka.” jawab Lukman lalu diiringi gelakan tawa khas miliknya. Arya datang menenteng beberapa kresek berwarna putih. Dipastikan isi dari kresek itu adalah makan siang mereka untuk hari ini. Jemari Arya segera mengeluarkan isi dari kresek tersebut. Melihat catatan kecil yang ditulis di atas bungkus busa. “Ini jadwal ketemu Donny kapan bisanya kalian semua?” “As soon as possible lah.” Brandon berbicara dengan mulut berisi. “Kasian pengrajin gak punya kerjaan. Handphone si Arya berisik noh ama pengrajin
Indira meneguk habis es kelapa jeruk yang dibawanya dari luar. Sembari duduk di mini bar rumah Arya, tangan Indira yang lentik mengorek kelapa yang berdiam di dasar gelas menggunakan sedotan stainless yang juga diambil dari laci dapur Arya. Menggalang dana untuk acara kampus di siang hari buta membuatnya kelelahan. “Numpang bentar ya. Jam 3 juga keluar. Males balik.” Indira mengeluh lalu kembali mengorek isi gelas. “Lah mau kemana emang?” Arya yang memang ada di rumah hari ini. Ia meminta izin setengah hari karena Mae protes jika kabel di kantor Arya sering menyentrum sapu yang ia pakai. “Pacaran.” Indira memasukan es batu yang ia temukan dari gelas berisi air kelapa bercampur perasan jeruk yang sudah tidak ada airnya itu ke dalam mulut. Hanya kelapa serut dan es batu 6 kotak. Arya mengernyit, “Punya pacar emang?” Indira menganggguk. “Gue diem-diem punya pacar. Ganteng, pinter, tajir.” Ary
Agenda makan malam kali ini sedikit berbeda kala Indira mengajak serta Fauzan sang kekasih. Semua seragam mengenakai pakaian berwarna putih, kecuali Indira yang memakai kaos kebesaran berwarna hitam. Ia berkilah jika baju putihnya akan ia pakai ke kampus dan takut kotor karena menu kali ini hidangan kesukaan Edwin, opor ayam kuah kuning. Di meja persegi panjang ini, 4 pasangan sedang berkumpul menikmati hidangan penutup setelah menyantap hidangan utama. Untungnya Fauzan sempat mampir ke toko kue membeli bolu coklat dan pudding buah. Indira menatap sendok yang ia genggam sedikit erat sesaat guna mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya keberanian itu terkumpul untuk mengatakan, “Mbak Mila, tadi ke Pujasera deket jalan Kemuning itu gak?” Dalam hatinya Indira sedikit enggan untuk menanyakan ini. Tapi untuk validasi jika apa yang ia lihat sepanjang sore tadi betul adanya. Mila mengangguk. “Iya, Dek. Kenapa?” Diakhiri oleh senyuman setela