Agenda makan malam kali ini sedikit berbeda kala Indira mengajak serta Fauzan sang kekasih. Semua seragam mengenakai pakaian berwarna putih, kecuali Indira yang memakai kaos kebesaran berwarna hitam. Ia berkilah jika baju putihnya akan ia pakai ke kampus dan takut kotor karena menu kali ini hidangan kesukaan Edwin, opor ayam kuah kuning. Di meja persegi panjang ini, 4 pasangan sedang berkumpul menikmati hidangan penutup setelah menyantap hidangan utama. Untungnya Fauzan sempat mampir ke toko kue membeli bolu coklat dan pudding buah. Indira menatap sendok yang ia genggam sedikit erat sesaat guna mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya keberanian itu terkumpul untuk mengatakan, “Mbak Mila, tadi ke Pujasera deket jalan Kemuning itu gak?” Dalam hatinya Indira sedikit enggan untuk menanyakan ini. Tapi untuk validasi jika apa yang ia lihat sepanjang sore tadi betul adanya. Mila mengangguk. “Iya, Dek. Kenapa?” Diakhiri oleh senyuman setela
Bukti perselingkuhan Mila dari Indira memang tidak bisa dijadikan sebuah kepastian. Arya terduduk di depan meja kerja, matanya kosong menatap palm botol, namun kepala berambut hitam legam itu berpikir keras. Jika Indira saja bisa memergoki Mila bersama kekasih gelapnya, maka ia juga bisa. Strategi yang dibuatnya harus benar-benar sempurna untuk menangkap pencurian istri ini. Diraihlah ponselnya, lalu membuka aplikasi ‘catatan’. Jemari itu lincah mengetikkan beberapa saksi yang pernah melihat sang istri dengan lelaki lain. Segala perih harus ia kesampingkan karena kebenaran harus terungkap. Diketiklah judul ‘Bukti Mendua’ di ponselnya. Paragraf pertama, ia mengetik kata ‘Febby’ dilanjutkan dengan ‘Orchid Park Residence’. Lalu Arya menekan enter. Kalimat berikutnya, ‘Utari’. Sebelum mengetikan di mana Ut
Kala surya bergeser ke arah barat, mobil Arya yang membawa Mila juga motor matic Indira saling susul masuk ke halaman rumah Arya. Saat itu juga membuat Mae kelabakan untuk membuka pintu gerbang dan menghentikan aktifitasnya menyusun pot pot bunga kesayangan Arya. “Kenapa disusun ulang Mpok?” Indira melepas helmnya dan masih di atas motor. “Ada kadal lewat, Neng. Nyenggol pot ini, tanahnya tumpah.” jelas Mae kemudian. “Udah dibenerin Mpok? Kalau belum sama saya aja nanti.” Arya menutup pintu mobilnya, lalu disusul Mila yang keluar. “Udah Pak. Ini tinggal nyusun aja,” “Biar sama saya aja. Mpok anter Dira ke kamar aja.” ti
Lukman melirik parkiran kantor sesekali, lalu memalingkan pandangannya ke arah smartwatch yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Orang yang ia tunggu; Aryasatya, tak jua menampakkan diri. “Lu nungguin si Arya udah kek cewek yang mau diapelin!” Brandon meledek Lukman yang gelisah sedari tadi. Lukman menghiraukan ledekan itu dingin. Baru saja di group chat David bilang semua crew harus berkumpul karena ada hal penting yang akan ia kabarkan. David membuat janji semua harus berkumpul setelah jam makan siang, kurang lebih 10 menit lagi selesai jam makan siang. Namun Arya belum juga datang. Sebuah aturan tidak tertulis bagi mereka jika belum berkumpul maka tidak akan disampaikan pesan itu. “Alhamdulilah!” seru Lukman sedikit berteriak saat melihat mobil Arya masuk ke parkiran.
Arya sudah perlente dengan kemeja berwarna biru navy yang dua kancing terbuka di bagian atasnya, ditambah kedua lengan kemeja yang digulung hingga sikut. Aura seorang pria mapan terpancar dari dirinya. Arya bersender pada mobilnya di parkiran kampus Indira, berniat menjemput adik semata wayang itu. Arya menjadi pusat perhatian para mahasiswi yang berlalu lalang di parkiran. Sesekali ada yang sengaja membuka masker untuk tersenyum pada Arya, atau juga ada yang nekat mengajak kenalan. Berbekal badan berorot nan seksi, juga paras yang sedikit mumpuni membuat Arya begitu mudah mendapatkan daun muda seusia Indira. “Ngapain ke sini?” ketus Indira bersuara di hadapan Arya. “Jemput.” “Kan dibilang kagak usah,&rd
Angin semilir menebak sun catcher yang Mila pasang di jendela halaman belakang rumah. Bias warna pelangi menembak ke arah tembok dapur di dalam. Saat angin bertiup sepoi ini, pandangan Mila berfokus pada rak tempat angkrek Arya berjajar. Mila tidak fokus pada bunga yang mekar berwarna warni, kepalanya hanya penuh dengan anxiety akan ketakutan menutupi perselingkuhan. Sudah 5 hari ini progres kerja sama antara Arya dan Donny berjalan baik. Koneksi antar mereka kian membaik, team work juga apik. Kala suami dan kekasihnya menjadi akrab, justru Mila yang menjadi stress. Hatinya ikut tidak tenang. Kemampuan berlakon saat ia kuliah pun hanya sanggup menutupi 75 persen dari semua scenario yang dibuatnya bersama Donny. Dalam proses daydreaming, Mila teringat akan perkataan Donny pada pesan singkatnya. “The ending of your story, is to decide.” Memutuskan pada siapa cintanya harus diberikan. Jika ada yang bisa mengerti, Mila ingin mengutarakan apa yang ia rasakan jika berhadapan dengan dua l
Suara tawa anak-anak yang bermain sepeda lalu lalang di jalanan klaster Arjuna. Begitu pula aroma nasi goreng babat sapi yang dibuat Mae untuk makan siang Arini yang semalaman terjaga, menggoda iman siapapun yang bersembunyi di rumah ini. Mila belum juga pulang dari sekolah meskipun jam sekolah sudah habis waktunya. Sedangkan Arya, memilih tidak masuk kantor karena dari semalam ia sakit perut. Setelah menelpon Fauzan dan disarankan minum obat rekomendasinya, berakhir baikan juga. Tapi aroma nasi goreng babat buatan Mae benar-benar menggugah nafsunya. “Wangi bener Mpok. Ke kantor sampe kecium.” Kekaguman Arya pada setiap aroma masakan Mae memang tidak pernah kendor. Mae asisten rumah tangga itu sudah mengabdi selama 7 tahun di rumah Arya. Mereka sudah layaknya keluarga. “Mpok M
Jam 2 siang, suara senyap dari keegoisan tiap-tiap orang di kantor ini dibungkam oleh kebutuhan akan menyambung hidup. Suara ketikan dari keyboard mekanik yang dipakai Arya pada personal komputernya menambah kemerduan diatas kesunyian ini. Lalu, suara siulan Brandon kala berhasil menghandle permintaan kostumer dari luar negara menambah suara-suara atas kesenyapan mereka, 4 orang pengusaha muda. Para kerah putih yang melebur, menyamaratakan diri dengan para kerah biru kenalannya. Berdiam untuk menyelesaikan pekerjaan mereka pribadi sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Berkat kebiasaan ini, semua progress atas tujuan kantor ini menjadi kantor yang sukses akhirnya tercapai. Kesejahteraan pekerjanya pun terpenuhi. Misi mereka untuk mewadahi UMKM dibidang furniture sudah berhasil. Tapi, ketika Donny Lazuardi hadir, kantor ini layaknya kereta yang lepas dari rel. Tidak lagi mengedepankan misi mereka untuk mewadahi peng