Jam 2 siang, suara senyap dari keegoisan tiap-tiap orang di kantor ini dibungkam oleh kebutuhan akan menyambung hidup. Suara ketikan dari keyboard mekanik yang dipakai Arya pada personal komputernya menambah kemerduan diatas kesunyian ini. Lalu, suara siulan Brandon kala berhasil menghandle permintaan kostumer dari luar negara menambah suara-suara atas kesenyapan mereka, 4 orang pengusaha muda. Para kerah putih yang melebur, menyamaratakan diri dengan para kerah biru kenalannya.
Berdiam untuk menyelesaikan pekerjaan mereka pribadi sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Berkat kebiasaan ini, semua progress atas tujuan kantor ini menjadi kantor yang sukses akhirnya tercapai. Kesejahteraan pekerjanya pun terpenuhi. Misi mereka untuk mewadahi UMKM dibidang furniture sudah berhasil. Tapi, ketika Donny Lazuardi hadir, kantor ini layaknya kereta yang lepas dari rel. Tidak lagi mengedepankan misi mereka untuk mewadahi peng
Panas dari matahari menusuk ke bumi. Jakarta terasa sangat terbakar siang ini. Kepala David yang panas juga terasa terbakar. Permintaan Sakhila Wibowo membuat idenya habis tak bersisa. David menatap kertas daftar keinginan Sakhila yang diberikan oleh Donny. “Ini yakin?” David memastikan Donny atas apa yang dilihatnya. “Yakinlah! Masalah uang jangan risau. Ardi Purnomo gak punya limit.” Donny meremehkan tentang produksi furniture yang David tangani untuk ini. David yakin Ardi mampu membayar lebih mahal jika ia meminta, pengrajin kenalannya juga mampu merekayasa bentuk abnormal. Tapi jika harus barang susah begini. David juga perlu referensi. “Izinin buat ketemu Ardi sekarang juga. Ada hal yang perlu dibahas.” Tegas David. Batas antara David dan Donny sudah terlalu t
Mobil SUV hitam legam itu parkir sudah parkir dengan baik. Gontai Arya melepas sepatu dan menyampirkan sebuah jaket ke bahu. Hari ini benar-benar melelahkan jiwa dan raganya. Sapaan Mae hanya dibalas deheman singkat. Muka Arya benar-benar kusut seperti kertas baru diremas. Tas kerja yang ia tenteng saban hari hingga mobil, ia simpan di atas meja kerja di kantor pribadinya. Kekhawatiran tentang hal macam-macam akan apa yang dilihat tadi di Grand Indah Hotel menghasilkan kelumpuhan sementara pada badan kekar Arya. Nalarnya mengatakan penolakan. Namun jika kedua netra itu menatap dengan jelas segala tindakan Mila, apa yang mampu Arya lakukan selain memastikan? Arya duduk memangku dagu di depan layar monitor yang mati. Terkadang mengusap wajah ketika mengingat Donny yang mengetuk pintu. Tiba-tiba saja Arya mengingat ucapan Indira waktu sang adik mengerjakan tugas t
Embun-embun masih menempel pada pucuk paling atas pepohonan. Angin dingin juga masih semilir hingga mampu menusuk tulang. Jam 4 pagi, Arya sudah diam di sebuah pusat kebugaran. Sudah 15 menit ia berlari diatas sebuah treadmill. Keringat sudah keluar dari seluruh badannya. Melepaskan stress maupun menyelaraskan emosi dengan olahraga merupakan pilihan Arya. Pusat kebugaran satu-satunya di block ini sering buka hingga 24 jam. Dan dini hari ini termasuk jam kosong. Arya tidak perlu menunggu beberapa waktu hingga orang lain selesai menggunakan alat. Orang-orang jarang pergi ngegym saat pagi buta. Meskipun iya, mungkin makhluk insomnia atau orang bermasalah seperti dirinya. Kini Arya memilih untuk skipping. Dengan Bluetooth headphone menutup telinga akan bisingnya dunia, Arya melompat dengan tali yang melingkar melewati tubuhnya. Dalam 5 menit pertama ia beristirahat
Cahaya matahari pagi yang mengintip di sela-sela gorden menyilaukan mata. Hari terus berganti, tak terasa kini sudah pagi kembali. Jam 6, semua orang sudah beraktifitas kembali. Arya membuka matanya yang tertidur di sofa ruang kerja pribadi, menghindari Mila. Meskipun ia memutuskan untuk memaafkan, namun kecanggunan masih berdiam dalam dada jika berdekatan dengan sang istri. Arya menegakan badan, lalu duduk. Ia kini telah mirip dengan sang istri. Bersifat manipulatif. Semalam, setelah berbaikan, Arya mengaku akan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda hingga larut malam. Di ruang kerjanya itu, Arya hanya memeriksa beberapa berkas. Lalu menonton video di monitor. Sisanya, tidur di sofa.Sungguh, ia ingin sekali berdiam di rumah hari ini. Hari Sabtu, biasanya ia mengurus semua anggrek yang berjajar sebagai koleksi. Tapi hari ini, rasanya ia harus
Matahari yang ditutupi awan cerah membuat teduh. Anggrek yang berjajar sebagai koleksi ini selama 3 bulan terakhir hanya diurusi oleh Mae. Hari Minggu ini, Arya turun langsung melihat kondisi bunga-bunga koleksinya. Tangan Mae yang terampil mengurusi anggreknya sangat Arya hargai. Tiada lagi daun yang jadi santapan ulat, bunga yang mekar dengan indah. Benar-benar bagus sekali semua anggreknya. Arya hanya cukup memberikan pupuk saat ini. “Bagus ya Pak Mpok rawatnya?” Mae menyapa Arya yang sedang menyemprot pestisida organik pada jajaran anggrek putih di rak atas. Arya terkekeh lalu memuji Mae. “Hebat Mpok!” Kedua jempol Arya mengacung untuk Mae. “Belajar dari mana Mpok?” “Dari Babehnya Mpok. Kan ini, dia petani sayur dia waktu mudanya. Itu Pak Babehnya Mpok kalau nanam sawi bakso, beuh manis bener. Padahal pupuknya Cuma tai kambing.” Mae lalu tertawa saat itu. Arya mendengarkan dengan saksama. Lalu Mae kembali bercerita tentang cara merawat tanaman denga
Sembari memasukan sebuah cimol berbumbu keju yang dibeli dari tukang yang berkeliling komplek, Indira membaca sebuah skrip cerita perang bajak laut yang ia pegang dengan seksama. Sesekali keningnya berkerut, alisnya menyatu. Atau juga menggaruk kulit kepala dengan rambut yang dicepol ke atas. “Baca apaan si?” tanya Arya yang ikut membaca skrip yang dipegang Indira. “Lu ngarti kagak?” Indira menunjuk sebuah kalimat tentang pengertian Drunken Sailor. “Drunken itu mabuk, sailor itu pelaut. Drunker Sailor jadinya pelaut yang mabuk.” Terang Arya secara etimologi akan semua pertanyaan Indira. Arya malah dibalas tatapan datar seakan ‘bukan gitu’ oleh Indira. “Itu juga gue ngarti. Si Danish jug
Tumpukan kertas yang tercetak beberapa desain untuk sebuah butik untuk brand yang dibuat Shakila dan Ardi Purnomo sebagai salah satu gurita bisnis mereka menggunung di sebuah meja di kantor Arya dan kawan-kawan. Brand yang dinamai Arashi itu mengusung pakaian rancangan tangan Shakila secara langsung. Image Shakila yang dibingkai publik sebagai seorang jelita dengan penuh kemewahan mendasari beberapa desain butik ini. Mayoritas rancangan yang menumpuk ini mengusung aksen khas Eropa, Modern, Royal Kingdom, juga bertema semua pink. Namun, mengapa desain sederhana dari Donny Lazuardi memenangi hati Shakila untuk hal ini. “Orang kaya bebas ya. Desain si Donny simple bener. Ini bukan buat butik sebenernya, buat gudang toko online biasa juga jadi. Tinggal display beberapa barang, kelar.” Brandon menelaah konsep 3D pada kertas yang mencetak gambar dari computer. “Kayak gak tahu Shakila bae lu Koh. Kan dia tuh kalau misal udah 30% suka tiba-tiba minta ganti konsep. Nah ini kayaknya, Donny b
Mendengar jika sang suami berkerja sama lagi dengan Donny, membuat hati Mila tidak karuan. Ia kembali harus berlakon sedangkan win-win solution yang ia janjikan pada Donny tak kunjung ia temukan. Saat ini, Mila menatap layar ponselnya tidak percaya. Donny mengirimkan foto dirinya dengan Arya saat pertemuan hari ini. Konsentrasi Mila hilang sementara. Jika bukan karena siswanya yang bertanya tentang suatu hal, mungkin Mila akan mengumpat saat itu juga. Ia kembali pada konsentrasinya, lalu menjadi professional kembali. Menjadi dewasa merupakan tingkat umur dimana sering sakit kepala karena masalah kecil maupun besar. Dan Mila sedang mengalami pendewasaan karena masalah kecil jika ia tidak pernah menyulut api perselingkuhan itu terlebih dahulu. Kini, ia sudah terjerumus terlalu dalam, susah untuk keluar. “Bu Mila.” Seorang pegawai tata usaha yang melongokan kepala melambaikan tangan pada Mila. Mila izin terlebih dulu pada siswanya, lalu bergegas menemui reka