Indira meneguk habis es kelapa jeruk yang dibawanya dari luar. Sembari duduk di mini bar rumah Arya, tangan Indira yang lentik mengorek kelapa yang berdiam di dasar gelas menggunakan sedotan stainless yang juga diambil dari laci dapur Arya. Menggalang dana untuk acara kampus di siang hari buta membuatnya kelelahan. “Numpang bentar ya. Jam 3 juga keluar. Males balik.” Indira mengeluh lalu kembali mengorek isi gelas. “Lah mau kemana emang?” Arya yang memang ada di rumah hari ini. Ia meminta izin setengah hari karena Mae protes jika kabel di kantor Arya sering menyentrum sapu yang ia pakai. “Pacaran.” Indira memasukan es batu yang ia temukan dari gelas berisi air kelapa bercampur perasan jeruk yang sudah tidak ada airnya itu ke dalam mulut. Hanya kelapa serut dan es batu 6 kotak. Arya mengernyit, “Punya pacar emang?” Indira menganggguk. “Gue diem-diem punya pacar. Ganteng, pinter, tajir.” Ary
Agenda makan malam kali ini sedikit berbeda kala Indira mengajak serta Fauzan sang kekasih. Semua seragam mengenakai pakaian berwarna putih, kecuali Indira yang memakai kaos kebesaran berwarna hitam. Ia berkilah jika baju putihnya akan ia pakai ke kampus dan takut kotor karena menu kali ini hidangan kesukaan Edwin, opor ayam kuah kuning. Di meja persegi panjang ini, 4 pasangan sedang berkumpul menikmati hidangan penutup setelah menyantap hidangan utama. Untungnya Fauzan sempat mampir ke toko kue membeli bolu coklat dan pudding buah. Indira menatap sendok yang ia genggam sedikit erat sesaat guna mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya keberanian itu terkumpul untuk mengatakan, “Mbak Mila, tadi ke Pujasera deket jalan Kemuning itu gak?” Dalam hatinya Indira sedikit enggan untuk menanyakan ini. Tapi untuk validasi jika apa yang ia lihat sepanjang sore tadi betul adanya. Mila mengangguk. “Iya, Dek. Kenapa?” Diakhiri oleh senyuman setela
Bukti perselingkuhan Mila dari Indira memang tidak bisa dijadikan sebuah kepastian. Arya terduduk di depan meja kerja, matanya kosong menatap palm botol, namun kepala berambut hitam legam itu berpikir keras. Jika Indira saja bisa memergoki Mila bersama kekasih gelapnya, maka ia juga bisa. Strategi yang dibuatnya harus benar-benar sempurna untuk menangkap pencurian istri ini. Diraihlah ponselnya, lalu membuka aplikasi ‘catatan’. Jemari itu lincah mengetikkan beberapa saksi yang pernah melihat sang istri dengan lelaki lain. Segala perih harus ia kesampingkan karena kebenaran harus terungkap. Diketiklah judul ‘Bukti Mendua’ di ponselnya. Paragraf pertama, ia mengetik kata ‘Febby’ dilanjutkan dengan ‘Orchid Park Residence’. Lalu Arya menekan enter. Kalimat berikutnya, ‘Utari’. Sebelum mengetikan di mana Ut
Kala surya bergeser ke arah barat, mobil Arya yang membawa Mila juga motor matic Indira saling susul masuk ke halaman rumah Arya. Saat itu juga membuat Mae kelabakan untuk membuka pintu gerbang dan menghentikan aktifitasnya menyusun pot pot bunga kesayangan Arya. “Kenapa disusun ulang Mpok?” Indira melepas helmnya dan masih di atas motor. “Ada kadal lewat, Neng. Nyenggol pot ini, tanahnya tumpah.” jelas Mae kemudian. “Udah dibenerin Mpok? Kalau belum sama saya aja nanti.” Arya menutup pintu mobilnya, lalu disusul Mila yang keluar. “Udah Pak. Ini tinggal nyusun aja,” “Biar sama saya aja. Mpok anter Dira ke kamar aja.” ti
Lukman melirik parkiran kantor sesekali, lalu memalingkan pandangannya ke arah smartwatch yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Orang yang ia tunggu; Aryasatya, tak jua menampakkan diri. “Lu nungguin si Arya udah kek cewek yang mau diapelin!” Brandon meledek Lukman yang gelisah sedari tadi. Lukman menghiraukan ledekan itu dingin. Baru saja di group chat David bilang semua crew harus berkumpul karena ada hal penting yang akan ia kabarkan. David membuat janji semua harus berkumpul setelah jam makan siang, kurang lebih 10 menit lagi selesai jam makan siang. Namun Arya belum juga datang. Sebuah aturan tidak tertulis bagi mereka jika belum berkumpul maka tidak akan disampaikan pesan itu. “Alhamdulilah!” seru Lukman sedikit berteriak saat melihat mobil Arya masuk ke parkiran.
Arya sudah perlente dengan kemeja berwarna biru navy yang dua kancing terbuka di bagian atasnya, ditambah kedua lengan kemeja yang digulung hingga sikut. Aura seorang pria mapan terpancar dari dirinya. Arya bersender pada mobilnya di parkiran kampus Indira, berniat menjemput adik semata wayang itu. Arya menjadi pusat perhatian para mahasiswi yang berlalu lalang di parkiran. Sesekali ada yang sengaja membuka masker untuk tersenyum pada Arya, atau juga ada yang nekat mengajak kenalan. Berbekal badan berorot nan seksi, juga paras yang sedikit mumpuni membuat Arya begitu mudah mendapatkan daun muda seusia Indira. “Ngapain ke sini?” ketus Indira bersuara di hadapan Arya. “Jemput.” “Kan dibilang kagak usah,&rd
Angin semilir menebak sun catcher yang Mila pasang di jendela halaman belakang rumah. Bias warna pelangi menembak ke arah tembok dapur di dalam. Saat angin bertiup sepoi ini, pandangan Mila berfokus pada rak tempat angkrek Arya berjajar. Mila tidak fokus pada bunga yang mekar berwarna warni, kepalanya hanya penuh dengan anxiety akan ketakutan menutupi perselingkuhan. Sudah 5 hari ini progres kerja sama antara Arya dan Donny berjalan baik. Koneksi antar mereka kian membaik, team work juga apik. Kala suami dan kekasihnya menjadi akrab, justru Mila yang menjadi stress. Hatinya ikut tidak tenang. Kemampuan berlakon saat ia kuliah pun hanya sanggup menutupi 75 persen dari semua scenario yang dibuatnya bersama Donny. Dalam proses daydreaming, Mila teringat akan perkataan Donny pada pesan singkatnya. “The ending of your story, is to decide.” Memutuskan pada siapa cintanya harus diberikan. Jika ada yang bisa mengerti, Mila ingin mengutarakan apa yang ia rasakan jika berhadapan dengan dua l
Suara tawa anak-anak yang bermain sepeda lalu lalang di jalanan klaster Arjuna. Begitu pula aroma nasi goreng babat sapi yang dibuat Mae untuk makan siang Arini yang semalaman terjaga, menggoda iman siapapun yang bersembunyi di rumah ini. Mila belum juga pulang dari sekolah meskipun jam sekolah sudah habis waktunya. Sedangkan Arya, memilih tidak masuk kantor karena dari semalam ia sakit perut. Setelah menelpon Fauzan dan disarankan minum obat rekomendasinya, berakhir baikan juga. Tapi aroma nasi goreng babat buatan Mae benar-benar menggugah nafsunya. “Wangi bener Mpok. Ke kantor sampe kecium.” Kekaguman Arya pada setiap aroma masakan Mae memang tidak pernah kendor. Mae asisten rumah tangga itu sudah mengabdi selama 7 tahun di rumah Arya. Mereka sudah layaknya keluarga. “Mpok M
Aryasatya kini bercerita, untuk Mila. Yang telah hancur hatinya.Mil, mohon maaf. Ku tulis kabar ini kala pelayaranku dimulai kembali. Namaku yang telah kau jadikan sejarah usanglah sudah. Ku bawa kabar dari utara bukan dari Lokapala. Sejenak angin sepoi dari barat membawa cerita nan ceria, namun juga hujaman bengis angkara murka.Indira sang sastrawati meracuniku dengan kata-kata puitisnya. Prosa yang jadi surat penutup ini bukanlah lahir dari Batu Belah Batangkup, melainkan lahir atas kesadaran diriku yang sedang memaafkan jati diri pribadi. Semoga engkaupun serupa.Edwin sang pemersatu antara aku dan Indira yang sering bertengkar sering menanyakan kabarmu, Mil. Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena kisah kita sudah selesai, begitu saja. Ku harap, Ancol membuatmu baik-baik saja. Bersama Seruni di meja kecil itu, kita duduk bersama membahas segala perasaanmu setelah setahun tanpaku. Aku senang kau baik-baik saja Mil. Aku bisa bercerita pada Edwi
Waktu yang bergulir tak terasa menyisakan semesta yang kian memaksa orang-orang untuk tetap hidup. Menyisakan kehidupan lampau yang ada yang mengenakan maupun tidak. Puing-puing memori yang terseok-seok enggan dilupakan hangus dimakan waktu. Hal ini berlaku juga untuk Arya. Sisa-sisa memorinya bersama Mila yang menyesakkan dada perlahan hangus dimakan waktu. Tak terasa, sudah setengah tahun ia menyandang statusnya sebagai orang yang sudah bercerai. Setengah tahun sudah juga ia mengobati luka menganga yang disebabkan oleh Mila. Saat ini di bawah teriknya surya, Arya menatap rumahnya yang sudah berganti warna. Kurang lebih satu tahun ia tinggalkan, kini terasa asing. Rumah modern minimalis yang ia buat atas dasar dream house Mila kini hilang jati dirinya. Berganti menjadi jati diri Arya. Kepala Arya menoleh ke sisi kanan, angkreknya yang tampak sehat dan baik-baik berjajar indah.&
“Saya sudah berada di restoran yang Bapak sebut. Mohon maaf bila Bapak menunggu. Saya kejebak macet.” Tukas Alexis Sinaga yang serasa berbincang langsung dengan Arya 5 menit lalu. Meski lewat sambungan telepon suaranya yang serak-serak basah tengiang-ngiang. Meninggalkan ciri khas dari Alex. Resto Tanah Betawi yang pernah dipesan Ardi Purnomo saat awal kerja sama dengan Arya dan rekan-rekan ini adalah pilihan. Duduk di sebuah kursi kayu mahoni, Arya dengan santai menunggu Alex tiba. Di meja yang sudah tersedia secangkir penuh bir pletok dan juga salad buah. Cangkir dan mangkok itu ditemani oleh amplop coklat yang berisikan ‘bukti’ perselingkuhan Mila dan Donny Lazuardi. Sebuah mobil sedan berwarna merah maroon dengan deru mesin yang halus sampai di parkiran resto. Alex yang perlente dengan jaket hitam mengilap, sepatu yang
inggu siang, Papa mengajak Arya untuk membantunya membetulkan rak buku kesayangan Papa yang alas belakangnya retak juga usang dimakan usia. Tripleks yang sudah tipis, dengan retakan lebar di sana-sini juga lembab karena terciprat air hujan. Anak dan Bapak ini sibuk berjibaku memotong, memukul, memasang paku, mengukur dan juga mengecat ulang. Meskipun satu barang, namun ukuran besar melelahkan Arya dan Papa juga. “Beli baru aja kenapa si Pa?” Saran Indira sembari menyimpan nampan berisikan dua gelas air kelapa jeruk yang ia beli dari pedagang di ujung jalan. Lalu duduk bersila menyaksikan Papa dan Abangnya ini berjibaku memasang tripleks. “Eh, ini hadiah dari Engkongmu. Mana bisa Papa beli lagi.” “Sama Bang Edw
Haji Gumilar mematung di depan pintu kamar Indira. Semenjak meja tulis baru datang kemarin siang, Indira tak lagi menulis skripsi di ruang makan. Sesekali suara-suara lagu dari Kunto Aji, Payung Teduh, Fourtwnty, Blackpink, maupun Treasure sayup-sayup bergantian. Papa mengetuk pintu kamar Indira. Hingga anak bontotnya yang tengah semedi di dalam teriak “Apa?” “Mau makan apa? Arya mau beli makan.” Dari posisinya berdiri, Papa mendengar suara langkah kaki yang bersahutan dengan lagu How You Like That. Pintu kamar terbuka, menampakan Indira dengan celana panjang yang menyapu lantai, rambut dicepol tinggi, dan kaos kebesaran. Dalam benak Papa, ‘apakah begini yang namanya fashion skripsian?’ “Papa pesen
Donny enggan pergi. Kala malam yang sudah larut ini, ia kukuh menunggui Mila. Mila sudah menolak namun sudah terlalu larut untuk pulang. Hingga akhirnya Mila tak tega untuk tak mengijinkan menginap. Perbincangan antar mereka kini beralih kembali ke masalah kehamilan Mila. Dalam semilir angin malam yang katanya dapat membuat orang sakit, Donny menatap Mila dalam. “Bagaimana bisa Arya tahu jika kau hamil bukan anaknya?” Mila mendengus pelan. “Bukannya sudah ku jelaskan waktu di telepon?” Donny mengangguk. “Aku tahu, tapi kenapa?” “Karena kita melakukan hal itu saat aku mencoba program hamil dengan Abang. Aku juga tidak tahu aku sedang hami
Tidak ada yang lebih nyaman kala Jakarta yang turun suhunya menurun juga segelas teh hangat. Mila dengan perutnya yang mulai membuncit membungkus diri dengan selimut tipis agar tidak terlalu dingin. Dengan nafas yang sering terbuang bersamaan dengan rasa kesedihan yang menumpuk di dada, ia menatap layar Tv yang mati. Di seberang Mila, ada Arini yang tengah menggarisbawahi kalimat-kalimat dengan warna kuning neon di empat lembar kertas HVS. Dalihnya untuk presentasi esok hari. Mahasiswa semester 5 ini tengah serius mempelajari segala materi. Dalam diam, Mila kembali mengelus perutnya yang terasa bergerak dari dalam. Perkembangan sang jabang bayi yang kian membaik banyak dipuji dokter. Namun baginya, ini menjadi beban pikiran yang benar-benar memusingkan. Terlebih yang menjadi beban pikiran adalah statusnya sendiri. Secara sah masih jadi istri Arya, namun Arya juga tak memerlakukan dirinya bak istri. Sedangkan dengan Donny, ia belum sah menjadi istri
Hari sudah Senin kembali. Dari waktu yang bergulir begitu cepat, lamat-lamat doa yang terus terpanjat, Mila tetap berdua di rumah megah ini bersama Arini. Sejak ia yang ‘memergoki’ Arya yang tengah tertawa dengan Kinasih di rumah sakit itu, Mila tak bisa lagi merasakan cinta. Perkembangan janinnya pun sering ia abaikan jika sang jabang bayi bergerak atau menendang. Perut yang sudah membesar itu kian hari kian tak diperhatikan keberadaannya. Mila sering stress sendiri. Terlebih ayah si jabang bayi, Donny Lazuardi tak kunjung menghadiahi kabar tentang hubungan mereka. Menyesal sudah bagaikan sahabat bagi Mila. Kala Arini memergoki Mila yang menangis menjadi-jadi, ia hanya mampu memeluknya. Tidak berkata apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya “Nasi wes dadi bubur Mbak.” Adalah kalimat andalan Arini karena ia sendiri tak mampu merubah takdir. Dengan begini, Mila hanya mampu mengiklaskan. Juga segala cerita yang Tuhan berikan karena ia pikir salah Tuhan me
Di tengah keterasingan Arini ini, ia menatap Mila tajam. Mila meraung-raung dengan muka yang ditutupi kedua telapak tangan. Suara tangis yang ia tahan selama ini akhirnya pecah bagaikan jeritan orang tersakiti. Arini menatap Mila nanar. Ia masih bingung bagaimana ia bereaksi terhadap saluran emosi sang kakak. Arini menyimpan tangannya ke meja. Masih menatap Mila yang sudah tidak terisak. Air matanya sudah mereda. “Mas Arya tahu masalah Mbak sama cowok itu?” Bagaikan anak panah, pertanyaan Arini ini langsung menuju jantung Mila. Untuk saat ini, Arini tidak mempertimbangkan ilmu masalah kesehatan mental yang ia pelajari mati-matian, kejelasan masalah rumah tangga kakaknya ini adalah prioritas. Arini menatap tajam Mila yang mendongakan kepalanya perlahan. Penyamaran terhadap hati dan jiwanya