Selamat malam (ketika saya menulis ini) para penikmat Berlayar yang saya cintai,
Bersama dengan bab yang terbuka ini, saya ingin mengabarkan sebuah berita penting. Bahwasannya Berlayar akan berhenti melaut untuk sementara, karena ada kendala teknis yang tidak bisa saya ceritakan pada bab ini. Kemudian, kesehatan dari penulis yang tengah sedikit menurun mengakibatkan produktifitas penulisan ikut terhambat.Oleh karena itu, saya selaku penulis meminta maklum kepada para pembaca Berlayar terkait masalah ini. Saya akan kembali mengunggah bab-bab selanjutnya secepat yang saya bisa. Dan saya pastikan akan cerita yang saya post akan lebih panjang. Juga saya akan mencoba menghibur para pembaca sekalian untuk merasakan ombak cerita yang disuguhkan pada novel Berlayar ini.Mohon untuk jangan lupa memberi like, komentar, ikuti dan juga tetap berlangganan cerita dari saya.Terima Kasih,Salam HangatTUNDRAArya pulang dalam keadaan hampa. Kamar yang pernah digunakan Indira menjadi tempat ia tidur malam ini. Tubuh kekarnya terlentang diatas kasur dengan warna sprei cream. Hatinya pun perlahan mengiklas takdir, tak lagi menganggap hal ini sebuah nadir yang menghantui sepanjang waktu. Kedua tangannya ia simpan di atas bantal menyangga kepala. Arya menyingkirkan pikiran-pikiran negative tentang meratapi nasib. Hal itu tidak akan pernah surut jika terus menerus dibahas. Kini otaknya mendingin, ia kembali ingat perkataan Papa di halaman belakang tadi. Strategi yang ia ucapkan dalam otaknya ia timbang-timbang agar tak menyakiti pihak manapun. Arya rasa, cukup dialah yang tersakiti karena adanya orang ketiga dalam bahteranya. Kini, Arya ingin melepaskan sang navigator untuk membuat bahagia dengan pilihannya. Untuk Arya, biarkan ia memulihkan dengan cara sendiri. Ce
Temaram lampu kamar tak mengindahkan Mila untuk segera masuk ke alam tidur. Ia masih terlentang dengan mata terbuka menatap langit-langit. Di luar, sahutan-sahutan orang yang mulai mereda menambah saksi atas malam yang kian larut. Dengan ini pula, Mila resmi enggan terlelap. Pikiran-pikiran berlebih dengan tajuk menyalahkan diri terus berputar-putar menghasilkan jaring-jaring kusut sulit diurai di kepalanya yang berambut panjang sebahu. Mata Mila kian hari kian cekung, begitupun dengan setengah lingkaran yang ikut menghitam saban harinya. Kepala Mila menoleh ke samping. Kasur king size yang biasa diisi dua orang ini terlalu luas untuk ia seorang diri. Mila menarik nafas mengais harum parfum yang bercampur dengan wangi alami tubuh sang suami. Nihil ia dapat. Dulu, wangi itu mampu menyuruhnya pulang dengan segera, menghasilkan rasa aman, nyaman dan tentram meskip
Ramainya Warmindo Marlina tak begitu terasa bagi Arya. Sukmanya seakan tertarik ke dalam dimensi yang tiada entitas lain membersamai. Sendiri di ruang hampa dengan membawa berjuta kecewa. Nafasnya yang berat untuk keluar adalah tanda-tanda Arya masih hidup. Nalarnya mati seketika. Tak tahu harus memproses informasi yang ia dapat semerta-merta seperti ini. Hembusan demi hembusan nafas berasas kekecewaan menjadi kebiasaan repetisi. Alunan suara Rossa di radio yang warung ini putar tak terdengar bagi telinganya. Menulikan sejenak semua indera, Arya mencoba kembali menjalankan nalarnya. Satu hembusan nafas kembali dibuang. “Terus tentang info yang di Semarang itu, kamu tahu?” Siti mengangguk perlahan. “Tahu, Bang. Abang gak apa-apa? Saya bisa hentikan ceritanya kalau misal Abang..&rdquo
Arya mengetuk-ngetukan sebuah pulpen ke atas meja. Matanya menajam menatap layar monitor. Di rumahnya ini, hari Sabtu yang cerah ia memilih bekerja dari rumah dan masuk kantor lebih siang. Sesekali tangannya menari di atas keyboard yang bunyinya begitu nyaring terdengar. Laporan keuntungan yang Arya salin dari laporan yang ditulis manual oleh David ia susun ulang ke dalam dokumen komputer. Suara ketikan keyboard saling bersahutan dengan lagu yang ia putar pada komputernya. Beberapa lagu yang ia curi dari daftar putar Indira dari aplikasi pemutar musik online yang sering ia pakai. Dentingan gitar akustik dari Nostress mengalun mesra. Meningkatkan produktivitas Arya dalam menyalin laporan tersebut. Setelah 25 menit mengetik tiada henti ditambah dengan menganalisa tulisan ceker ayam milik David, Arya memutuskan untuk menyesap teh hijau yang ia seduh satu jam yang
Di tengah keterasingan Arini ini, ia menatap Mila tajam. Mila meraung-raung dengan muka yang ditutupi kedua telapak tangan. Suara tangis yang ia tahan selama ini akhirnya pecah bagaikan jeritan orang tersakiti. Arini menatap Mila nanar. Ia masih bingung bagaimana ia bereaksi terhadap saluran emosi sang kakak. Arini menyimpan tangannya ke meja. Masih menatap Mila yang sudah tidak terisak. Air matanya sudah mereda. “Mas Arya tahu masalah Mbak sama cowok itu?” Bagaikan anak panah, pertanyaan Arini ini langsung menuju jantung Mila. Untuk saat ini, Arini tidak mempertimbangkan ilmu masalah kesehatan mental yang ia pelajari mati-matian, kejelasan masalah rumah tangga kakaknya ini adalah prioritas. Arini menatap tajam Mila yang mendongakan kepalanya perlahan. Penyamaran terhadap hati dan jiwanya
Hari sudah Senin kembali. Dari waktu yang bergulir begitu cepat, lamat-lamat doa yang terus terpanjat, Mila tetap berdua di rumah megah ini bersama Arini. Sejak ia yang ‘memergoki’ Arya yang tengah tertawa dengan Kinasih di rumah sakit itu, Mila tak bisa lagi merasakan cinta. Perkembangan janinnya pun sering ia abaikan jika sang jabang bayi bergerak atau menendang. Perut yang sudah membesar itu kian hari kian tak diperhatikan keberadaannya. Mila sering stress sendiri. Terlebih ayah si jabang bayi, Donny Lazuardi tak kunjung menghadiahi kabar tentang hubungan mereka. Menyesal sudah bagaikan sahabat bagi Mila. Kala Arini memergoki Mila yang menangis menjadi-jadi, ia hanya mampu memeluknya. Tidak berkata apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya “Nasi wes dadi bubur Mbak.” Adalah kalimat andalan Arini karena ia sendiri tak mampu merubah takdir. Dengan begini, Mila hanya mampu mengiklaskan. Juga segala cerita yang Tuhan berikan karena ia pikir salah Tuhan me
Tidak ada yang lebih nyaman kala Jakarta yang turun suhunya menurun juga segelas teh hangat. Mila dengan perutnya yang mulai membuncit membungkus diri dengan selimut tipis agar tidak terlalu dingin. Dengan nafas yang sering terbuang bersamaan dengan rasa kesedihan yang menumpuk di dada, ia menatap layar Tv yang mati. Di seberang Mila, ada Arini yang tengah menggarisbawahi kalimat-kalimat dengan warna kuning neon di empat lembar kertas HVS. Dalihnya untuk presentasi esok hari. Mahasiswa semester 5 ini tengah serius mempelajari segala materi. Dalam diam, Mila kembali mengelus perutnya yang terasa bergerak dari dalam. Perkembangan sang jabang bayi yang kian membaik banyak dipuji dokter. Namun baginya, ini menjadi beban pikiran yang benar-benar memusingkan. Terlebih yang menjadi beban pikiran adalah statusnya sendiri. Secara sah masih jadi istri Arya, namun Arya juga tak memerlakukan dirinya bak istri. Sedangkan dengan Donny, ia belum sah menjadi istri
Donny enggan pergi. Kala malam yang sudah larut ini, ia kukuh menunggui Mila. Mila sudah menolak namun sudah terlalu larut untuk pulang. Hingga akhirnya Mila tak tega untuk tak mengijinkan menginap. Perbincangan antar mereka kini beralih kembali ke masalah kehamilan Mila. Dalam semilir angin malam yang katanya dapat membuat orang sakit, Donny menatap Mila dalam. “Bagaimana bisa Arya tahu jika kau hamil bukan anaknya?” Mila mendengus pelan. “Bukannya sudah ku jelaskan waktu di telepon?” Donny mengangguk. “Aku tahu, tapi kenapa?” “Karena kita melakukan hal itu saat aku mencoba program hamil dengan Abang. Aku juga tidak tahu aku sedang hami