Selama seminggu berada di Semarang. Intensitas ‘kencan’ Mila dan Donny bertambah. Kejadian yang melibatkan Arini sore itu hanya dianggap sebagai angin lalu oleh Mila. Kedekatan dirinya dan Donny cukup diketahui oleh Arini sebagai teman biasa. Meskipun Arini menyimpan kecurigaan bagi dirinya, Mila tetap acuhkan. Perasaannya bagi Donny terlalu dalam hanya untuk mengurusi kecurigaan adiknya.
Mila menambah cutinya menjadi 10 hari kepada kepala sekolahnya tadi siang. Alibinya yang mengatakan jika ia sakit karena perjalanan jauh dan sedang dalam masa pemulihan. Kenyataannya, Mila tengah makan bersama dengan Donny di restoran sebuah hotel mewah.
Dari kemewahan yang diberikan Donny padanya ini, muncul kembali keraguannya pada Arya. Hadiah-hadiah dari Donny yang berupa benda besar dengan berat hati harus ia tolak karena itu akan mencolok, sedangkan benda kec
Waktu bergulir sedikit lambat. Mila yang duduk berhadap-hadapan dengan Donny merasa tersudutkan. Dengan kedua matanya sendiri, Mila melihat Donny yang menyeringai. Berkat pertanyaannya tadi, hidangan Italia yang disusun secara menggugah nafsu makan malah membuat Mila hilang selera. Mila menyimpan garpu yang ia pegang ke sebelah kiri piring cekung dengan sebuah lingkaran di dalamnya. Kini ia menopang dagu, kembali menatap Donny langsung pada mata. “Jika kau terus membahas hal ini, aku pulang.” Ancaman ini membuat seringaian yang Donny buat di wajahnya sirna. Bibirnya itu kini melengkungkan senyum. “Baiklah.” Donny menyuap makanan untuk dirinya. Mila kembali meraih garpu, kemudian menikmati lagi hidangan yang tersedia. 
Arya pulang dengan langkah gontai. Jasad Mama yang disimpan di rumah sakit untuk dikebumikan esok pagi. Arya berniat untuk menungguinya meski tidak diminta. Pemulasaraan jenazah dan segala administrasinya Arya yang tanggung. Sebuah rasa bersalahnya karena tak ada saat Mama berpulang. Rumah besar ini kosong. Mae sudah pulang sejam sebelum Arya sampai. Lampu-lampu yang sudah menyala, juga Bagas dan Suryono yang bergantian berpatroli pada saat senja yang mulai menua ini. Langit yang menangis tadi siang berganti menjingga dengan iringan awan yang ikut serta. Di bawah langit dengan menginjak bumi, waktu Arya seakan enggan mendukung jiwanya untuk berkabung. Arya memilih untuk bersiap menunggui jasad Mama di rumah sakit. Mungkin sembari mengobrol dengan dokter dan beberapa tenaga kesehatan yang berjaga. Tungkai kakinya itu dia giring masuk kamar mandi yang tersedia di
Waktu yang terus bergulir, mengharuskan Gumilar Family harus terus hidup dan mencari penghidupan. Demi diri sendiri atau demi keluarga masing-masing. Papa si Haji Gumilar sudah baik-baik saja. Meski setiap malam menyimpan bunga melati susun di depan foto Mama. Edwin sudah kembali seperti semula terlebih Utari sudah masuk trimester 3, adik Danishwara siap datang ke dunia sebentar lagi. Indira, masih disibukan dengan kuliah dan juga pekerjaannya sebagai asisten editor di publisher. Cerita perang bajak laut sudah ia buang karena semakin kemari mirip opera sabun yang ada di TV. Entah kapan selesainya. Arya sendiri, meski sudah susah payah menata hati karena cinta pertamanya pergi ia kini sudah pulih. Mengurusi pengiriman luar negeri cukup menyita segalanya.“Pagi guys!” Seru Arya saat memasuki kantor. Raut mukanya berseri-seri.Suara Rizky Febian menggema di speaker yang tersambung dengan ponsel Lukman. Lagu Mantra Cinta tengah menjadi lagu favorit pria dewasa
Rasa sepi menjelma menjadi sebuah kesibukan di kantor Arya. Ketikan dari keyboard mekanik, atau suara bising dari mesin cetak yang mencetak resi, terkadang ada suara telepon masuk bergantian. Dalam konsentrasi 4 kawan ini yang terpusat pada urusannya masing-masing, sebuah titik bernama kesedihan yang dibalut ketidakpercayaan hadir di dada Arya. Pasca Fauzan mengabarkan keadaannya yang ‘tidak sehat’, kalimat itu menghantui Arya dari semalam. Ia terlihat sering diam dan sedikit melamun. “I need a hand bro. Tolong ketikin.” Brandon menyerahkan sebuah dokumen yang sudah dijilid rapi. Brandon menyadari jika kawannya ini sedikit tidak fokus. Ia menepuk bahu Arya pelan. “Lu gak kenapa-napa kan?” Arya menghembuskan nafasnya sedikit berat. “I’m OK dude. Santuy.”
Surya terbit dari ufuk timur membangunkan Arya. Hari Sabtu ini Arya harus ikut pengawasan pengepakan barang bersama Kang Rusdi. Namun sebelum bangun, badannya terasa lelah. Kebanyakan berfikir, kecemasan berlebih, ditambah kekecewaan terhadap realita menampar Arya dalam sekali pukul. Arya sudah tak berdaya, serasa hidupnya jauh berada di bawah jurang. Sofa di kantornya kembali menjadi tempat tidurnya. Tak sanggup ia tidur dengan Mila dengan membawa rasa kecewa. Masih membawa kecewa itu, Arya meraih ponsel. Layarnya menunjukkan jam 6.15 pagi. Masih banyak waktu hingga pukul 9. Ponsel Arya riuh oleh ucapan selamat dari rekan kerjanya hingga keluarga atas kehamilan Mila. Sebelum tidurnya tadi malam Mila mengunggah pembaharuan sosial medianya. Arya membaca semua pesan yang masuk. Kedua tangannya sudah me
Mendengar jawaban dari Mila, Arya tecenung. Badannya yang lunglai seketika terduduk di kasur. Badanya terasa lemas bukan main. Dadanya yang bidang naik turun menelan kekecewaan, lagi. “Sudah berapa lama Mil?” Rendah Arya berbicara. Suara bassnya bergetar. Mila ikut duduk di sebelah Arya. “8 bulan lebih.” Perih menyayat hati Arya. Sebuah luka yang tak mengeluarkan darah, tapi rasanya lebih hebat dari luka fisik. Arya tidak banyak bicara. Buliran air mata turun begitu saja tanpa komando. Mila mengulurkan tangannya memeluk sang suami. Arya tidak banyak menolak. Mila ikut menangis saat memeluk Arya. Bahu Mila naik turun menahan tangisnya yang hebat. “Ab
Gerimis turun dari langit seakan menangis. Sejak subuh, air yang jatuh menghasilkan suhu dingin. Dalam rintihan langit yang tak kunjung usai, pukul 7 pagi ini Arya bergegas untuk berangkat bekerja. Suhu yang menurun hampir 5 derajat ini tak usut membuatnya takut. Terburu, Arya memasang sepatu. Ponsel menempel pada telinganya yang diapit oleh bahu. Setelah memasang sepatu, Arya membawa tasnya terburu keluar rumah. Saat itu juga, Mila turun dari tangga dengan muka pucat dan mata sembab. Dengan berpakaiannya yang formal, Arya mengindikasikan jika Mila siap untuk bekerja. Arya menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, “Kamu siap kerja?” Mila mengangguk lemah. Sembari menuang air ke dalam gelas, Mila menatap Arya yang terlihat biasa saja setelah pengakuannya kemarin. “Abang semalam tidu
Selamat malam (ketika saya menulis ini) para penikmat Berlayar yang saya cintai,Bersama dengan bab yang terbuka ini, saya ingin mengabarkan sebuah berita penting. Bahwasannya Berlayar akan berhenti melaut untuk sementara, karena ada kendala teknis yang tidak bisa saya ceritakan pada bab ini. Kemudian, kesehatan dari penulis yang tengah sedikit menurun mengakibatkan produktifitas penulisan ikut terhambat. Oleh karena itu, saya selaku penulis meminta maklum kepada para pembaca Berlayar terkait masalah ini. Saya akan kembali mengunggah bab-bab selanjutnya secepat yang saya bisa. Dan saya pastikan akan cerita yang saya post akan lebih panjang. Juga saya akan mencoba menghibur para pembaca sekalian untuk merasakan ombak cerita yang disuguhkan pada novel Berlayar ini. Mohon untuk jangan lupa memberi like, komentar, ikuti dan juga tetap berlangganan cerita dari saya.Terima Kasih,Salam HangatTUNDRA
Aryasatya kini bercerita, untuk Mila. Yang telah hancur hatinya.Mil, mohon maaf. Ku tulis kabar ini kala pelayaranku dimulai kembali. Namaku yang telah kau jadikan sejarah usanglah sudah. Ku bawa kabar dari utara bukan dari Lokapala. Sejenak angin sepoi dari barat membawa cerita nan ceria, namun juga hujaman bengis angkara murka.Indira sang sastrawati meracuniku dengan kata-kata puitisnya. Prosa yang jadi surat penutup ini bukanlah lahir dari Batu Belah Batangkup, melainkan lahir atas kesadaran diriku yang sedang memaafkan jati diri pribadi. Semoga engkaupun serupa.Edwin sang pemersatu antara aku dan Indira yang sering bertengkar sering menanyakan kabarmu, Mil. Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena kisah kita sudah selesai, begitu saja. Ku harap, Ancol membuatmu baik-baik saja. Bersama Seruni di meja kecil itu, kita duduk bersama membahas segala perasaanmu setelah setahun tanpaku. Aku senang kau baik-baik saja Mil. Aku bisa bercerita pada Edwi
Waktu yang bergulir tak terasa menyisakan semesta yang kian memaksa orang-orang untuk tetap hidup. Menyisakan kehidupan lampau yang ada yang mengenakan maupun tidak. Puing-puing memori yang terseok-seok enggan dilupakan hangus dimakan waktu. Hal ini berlaku juga untuk Arya. Sisa-sisa memorinya bersama Mila yang menyesakkan dada perlahan hangus dimakan waktu. Tak terasa, sudah setengah tahun ia menyandang statusnya sebagai orang yang sudah bercerai. Setengah tahun sudah juga ia mengobati luka menganga yang disebabkan oleh Mila. Saat ini di bawah teriknya surya, Arya menatap rumahnya yang sudah berganti warna. Kurang lebih satu tahun ia tinggalkan, kini terasa asing. Rumah modern minimalis yang ia buat atas dasar dream house Mila kini hilang jati dirinya. Berganti menjadi jati diri Arya. Kepala Arya menoleh ke sisi kanan, angkreknya yang tampak sehat dan baik-baik berjajar indah.&
“Saya sudah berada di restoran yang Bapak sebut. Mohon maaf bila Bapak menunggu. Saya kejebak macet.” Tukas Alexis Sinaga yang serasa berbincang langsung dengan Arya 5 menit lalu. Meski lewat sambungan telepon suaranya yang serak-serak basah tengiang-ngiang. Meninggalkan ciri khas dari Alex. Resto Tanah Betawi yang pernah dipesan Ardi Purnomo saat awal kerja sama dengan Arya dan rekan-rekan ini adalah pilihan. Duduk di sebuah kursi kayu mahoni, Arya dengan santai menunggu Alex tiba. Di meja yang sudah tersedia secangkir penuh bir pletok dan juga salad buah. Cangkir dan mangkok itu ditemani oleh amplop coklat yang berisikan ‘bukti’ perselingkuhan Mila dan Donny Lazuardi. Sebuah mobil sedan berwarna merah maroon dengan deru mesin yang halus sampai di parkiran resto. Alex yang perlente dengan jaket hitam mengilap, sepatu yang
inggu siang, Papa mengajak Arya untuk membantunya membetulkan rak buku kesayangan Papa yang alas belakangnya retak juga usang dimakan usia. Tripleks yang sudah tipis, dengan retakan lebar di sana-sini juga lembab karena terciprat air hujan. Anak dan Bapak ini sibuk berjibaku memotong, memukul, memasang paku, mengukur dan juga mengecat ulang. Meskipun satu barang, namun ukuran besar melelahkan Arya dan Papa juga. “Beli baru aja kenapa si Pa?” Saran Indira sembari menyimpan nampan berisikan dua gelas air kelapa jeruk yang ia beli dari pedagang di ujung jalan. Lalu duduk bersila menyaksikan Papa dan Abangnya ini berjibaku memasang tripleks. “Eh, ini hadiah dari Engkongmu. Mana bisa Papa beli lagi.” “Sama Bang Edw
Haji Gumilar mematung di depan pintu kamar Indira. Semenjak meja tulis baru datang kemarin siang, Indira tak lagi menulis skripsi di ruang makan. Sesekali suara-suara lagu dari Kunto Aji, Payung Teduh, Fourtwnty, Blackpink, maupun Treasure sayup-sayup bergantian. Papa mengetuk pintu kamar Indira. Hingga anak bontotnya yang tengah semedi di dalam teriak “Apa?” “Mau makan apa? Arya mau beli makan.” Dari posisinya berdiri, Papa mendengar suara langkah kaki yang bersahutan dengan lagu How You Like That. Pintu kamar terbuka, menampakan Indira dengan celana panjang yang menyapu lantai, rambut dicepol tinggi, dan kaos kebesaran. Dalam benak Papa, ‘apakah begini yang namanya fashion skripsian?’ “Papa pesen
Donny enggan pergi. Kala malam yang sudah larut ini, ia kukuh menunggui Mila. Mila sudah menolak namun sudah terlalu larut untuk pulang. Hingga akhirnya Mila tak tega untuk tak mengijinkan menginap. Perbincangan antar mereka kini beralih kembali ke masalah kehamilan Mila. Dalam semilir angin malam yang katanya dapat membuat orang sakit, Donny menatap Mila dalam. “Bagaimana bisa Arya tahu jika kau hamil bukan anaknya?” Mila mendengus pelan. “Bukannya sudah ku jelaskan waktu di telepon?” Donny mengangguk. “Aku tahu, tapi kenapa?” “Karena kita melakukan hal itu saat aku mencoba program hamil dengan Abang. Aku juga tidak tahu aku sedang hami
Tidak ada yang lebih nyaman kala Jakarta yang turun suhunya menurun juga segelas teh hangat. Mila dengan perutnya yang mulai membuncit membungkus diri dengan selimut tipis agar tidak terlalu dingin. Dengan nafas yang sering terbuang bersamaan dengan rasa kesedihan yang menumpuk di dada, ia menatap layar Tv yang mati. Di seberang Mila, ada Arini yang tengah menggarisbawahi kalimat-kalimat dengan warna kuning neon di empat lembar kertas HVS. Dalihnya untuk presentasi esok hari. Mahasiswa semester 5 ini tengah serius mempelajari segala materi. Dalam diam, Mila kembali mengelus perutnya yang terasa bergerak dari dalam. Perkembangan sang jabang bayi yang kian membaik banyak dipuji dokter. Namun baginya, ini menjadi beban pikiran yang benar-benar memusingkan. Terlebih yang menjadi beban pikiran adalah statusnya sendiri. Secara sah masih jadi istri Arya, namun Arya juga tak memerlakukan dirinya bak istri. Sedangkan dengan Donny, ia belum sah menjadi istri
Hari sudah Senin kembali. Dari waktu yang bergulir begitu cepat, lamat-lamat doa yang terus terpanjat, Mila tetap berdua di rumah megah ini bersama Arini. Sejak ia yang ‘memergoki’ Arya yang tengah tertawa dengan Kinasih di rumah sakit itu, Mila tak bisa lagi merasakan cinta. Perkembangan janinnya pun sering ia abaikan jika sang jabang bayi bergerak atau menendang. Perut yang sudah membesar itu kian hari kian tak diperhatikan keberadaannya. Mila sering stress sendiri. Terlebih ayah si jabang bayi, Donny Lazuardi tak kunjung menghadiahi kabar tentang hubungan mereka. Menyesal sudah bagaikan sahabat bagi Mila. Kala Arini memergoki Mila yang menangis menjadi-jadi, ia hanya mampu memeluknya. Tidak berkata apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya “Nasi wes dadi bubur Mbak.” Adalah kalimat andalan Arini karena ia sendiri tak mampu merubah takdir. Dengan begini, Mila hanya mampu mengiklaskan. Juga segala cerita yang Tuhan berikan karena ia pikir salah Tuhan me
Di tengah keterasingan Arini ini, ia menatap Mila tajam. Mila meraung-raung dengan muka yang ditutupi kedua telapak tangan. Suara tangis yang ia tahan selama ini akhirnya pecah bagaikan jeritan orang tersakiti. Arini menatap Mila nanar. Ia masih bingung bagaimana ia bereaksi terhadap saluran emosi sang kakak. Arini menyimpan tangannya ke meja. Masih menatap Mila yang sudah tidak terisak. Air matanya sudah mereda. “Mas Arya tahu masalah Mbak sama cowok itu?” Bagaikan anak panah, pertanyaan Arini ini langsung menuju jantung Mila. Untuk saat ini, Arini tidak mempertimbangkan ilmu masalah kesehatan mental yang ia pelajari mati-matian, kejelasan masalah rumah tangga kakaknya ini adalah prioritas. Arini menatap tajam Mila yang mendongakan kepalanya perlahan. Penyamaran terhadap hati dan jiwanya