Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.
“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.
Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.
“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.
Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yang masih membutuhkan kasih sayangnya.
“Papa! Pa! Bangun udah siang!” Suara itu perlahan membuat Galih tersadar. Dia baru saja bermimpi buruk.
Bersandar di bahu ranjang, Galih menandaskan air di gelas meja dekat tempat tidurnya. Bocah lelaki di sisinya itu masih menatapnya.
“Papa mimpi buruk, ya?” tanyanya.
Galih balik bertanya, “kok kamu bisa tahu? Kamu bisa lihat, ya?”
Bocah lelaki itu bersedekap. “Ya … soalnya Papa ngigau manggil-manggil nama Mama. Kayaknya Papa kangen sama Mama, ya?”
Galih mengangguk. “Iya, Papa berharap ada seseorang yang bisa menggantikan posisi Mama. Bukan sebagai Mamamu, tapi sebagai teman hidup Papa. Apa kamu nggak keberatan?”
“Tergantung orangnya. Kalau dia cantik, i think nggak masalah,” sahut bocah lelaki itu.
Galih mengusap rambut anak lelakinya. “Kamu tahu banget selera Papa. Tapi, Papa berharap kali ini dia nggak cuma lihat dari luarnya aja.”
“Semoga ya, Pa. Kalau Papa seneng, aku bakal pertimbangkan.”
Galih tersenyum tipis, “kalau Miss Dea, gimana?”
***
Galih menatap tumpukan berkas di meja kerjanya. Beberapa hari ke depan, dia akan disibukkan dengan kerjasama merek kosmetik dan fashion kenamaan. Galih meraih gagang telepon di mejanya lalu berbicara, “sepertinya saya akan sibuk selama beberapa minggu ke depan. Tolong kamu temani Jason dan urus keperluannya sekolah, ya.”
Setelah mendapatkan persetujuan dari seseorang di seberang telepon, Galih kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Dia lalu mengirimkan pesan pada seseorang di daftar kontaknya.
Baik, Pak Galih. Balasan pesan teks yang dikirimkan Galih berbalas kalimat singkat itu. Namun, efek kejutan di dadanya sepertinya tak singkat. Galih mendambakan seseorang sebagai pengganti Amel yang terlebih dahulu kembali ke sisi Tuhan.
“Gimana caranya supaya kita lebih dekat lagi?” gumam Galih.
Dia mengirimkan pesan balasan pada kontak tersebut. Sebuah kalimat yang membuatnya akan kehilangan wajah jika seseorang yang diharapkannya itu menolak. Namun, jawaban balasan itu membuat Galih seketika terbangun dari kursinya. Dia bahagia, sekaligus khawatir jika membuat kesalahan.
“Santai aja, Gal. Kamu udah pengalaman. Jason juga bakalan setuju dan mendukung kok,” dia terus meyakinkan diri.
Galih menyemprotkan pengharum mulut dan parfum ke beberapa titik tubuhnya. Seperti remaja dimabuk asmara, degup jantung Galih saat itu tak bisa berkilah.
Galih segera menuju mobilnya kemudian melaju menuju rumah. Bunyi klakson mobil menghentikan pembicaraan kedua orang di ruang tamu itu. Jason menarik tangan gadis cantik yang menjadi tutor itu untuk mengikutinya. Mobil sport milik Galih sudah menunggu.
“Pak Galih, saya nggak apa-apa kok kalau nggak dijemput,” kata Dea ketika Galih membukakan pintu mobil untuknya.
“Saya nggak terima penolakan lagi, Miss Dea. Lagipula ini permintaan Jason, dia mau kita mampir makan di restoran dulu.”
Mata Dea membelalak ketika Galih menyebutkan restoran. Itu artinya Galih mengajaknya makan bersama.
‘Mau taruh di mana muka aku kalau begini? Malu banget!!’ Dea tak bisa menampilkan wajah tenang, ekspresi khawatirnya terlihat jelas.
“Miss Dea tenang aja, semuanya Papa yang traktir, kok. Anggap aja bonus karena nilai matematika aku naik sejak Miss Dea ngajarin aku,” kata Jason.
Dea menoleh ke arah Jason, “makasih banyak ya, Jason! Nanti Miss Dea gantian traktir kalian.”
Dea akhirnya duduk di kursi samping kemudi. Galih menutup pintu mobil setelah melambaikan tangannya pada anak lelakinya. Galih yang berada di belakang setir tersenyum, “aku justru senang kalau bisa traktir Miss Dea. Miss Dea itu udah kayak temen buatku sejak kepergian Mama Jason.”
Dea memaksakan diri untuk tersenyum. Dia berharap situasi akan menyelamatkannya dari obrolan Galih yang semakin menjurus ke privasinya.
“Saya senang bisa membantu Jason, Pak Galih,” katanya.
Galih berdehem, “panggil Mas aja, Miss Dea. Saya nggak keberatan.”
Mobil mulai melaju. Galih memaksakan dirinya untuk tersenyum meski pandangannya menatap padatnya jalanan Kota Metropolitan. Dea lagi-lagi hanya tersenyum canggung. Ketika mobil milik Galih berhenti di sebuah restoran, Dea berharap tak akan ada yang mengenalinya di sana.
“Mari, Miss Dea,” kata Galih.
Gadis berambut panjang itu segera mengekor langkah Galih. Dea dengan berat hati terpaksa harus menanggalkan rasa malunya dan duduk berhadapan dengan Galih. Suasana canggung membuat Dea hanya bisa berpura-pura membaca buku menu di tangannya.
“Silakan, Miss Dea.” Galih mengisyaratkan pada gadis itu untuk memilih menu yang disukainya.
“Maaf, Pak Galih. Saya nggak biasa ada di restoran mewah kayak gini. Jadi, Pak Galih aja yang pilihin menunya buat saya,” katanya.
Galih menganggukkan kepalanya. Dia melambaikan tangannya untuk memanggil pramusaji mencatat menu pesanan mereka. Selagi menunggu, gadis itu mengeluarkan komputer jinjing miliknya.
Galih mengernyit, dalam hati dia menerka apa yang dilakukan gadis di depannya. Ketika gadis itu memutar layar 14 inci itu ke arahnya, Galih menyadari jika dia salah langkah.
“Mengenai Jason, ini daftar nilai dia selama ulangan harian, Pak Galih. Semoga Bapak puas dengan pekerjaan saya,” terang gadis itu.
Galih memijit pangkal hidungnya. ‘Padahal aku niatnya mau pedekate sama dia, malah bahas kerjaannya ke Jason!’ batinnya merutuk.
“Jujur saya senang dengan pekerjaan Miss Dea. Itu lebih dari cukup buat saya. Tapi, saya minta tolong, jangan dulu bahas pekerjaan sekarang.” Galih mulai menyantap menu di piringnya.
“Mak-maksud Bapak, kita ngobrol …” gadis itu menunjuk ke arah Galih.
“Saya mau makan bareng Miss Dea. Itu saja.”
Gadis di hadapan Galih mengangguk-angguk. “Baik, Pak.”
Galih menyadari jika dia telah membuat gadis itu ketakutan. “Tenang aja, Miss Dea. Saya nggak akan komplain masalah pekerjaan. Karena saya sendiri senang dengan pekerjaan Miss Dea. Saya ke sini cuma mau traktir Miss Dea makan, sambil ngobrol supaya kita lebih dekat.”
“Lebih dekat gimana ya, Pak?” Gadis itu menggaruk tengkuknya.
Galih mengalihkan pandangannya ke arah meja lainnya. “Kalau boleh jujur, saya tertarik dengan Miss Dea. Apa Miss Dea punya pacar, sekarang?” tanyanya.
Gadis itu menggeleng sesaat tetapi menganggukkan kepalanya kemudian. “S-saya … baru putus, Pak.”
Galih melonggarkan lengan kemejanya, menggulungnya sebatas siku. “Berarti saya ada kesempatan untuk jadi orang yang istimewa buat Miss Dea?”
“Bapak sepertinya … salah paham,” kata gadis itu.
“Jadi, saya baru aja ditolak, ya?” hatinya mendadak mendung. Gadis itu adalah perempuan yang mengingatkannya pada sosok Amel.
Gadis itu buru-buru menyahut, “bukan begitu, Pak Galih. Saya … saat ini saya nggak dekat dengan siapapun. Ta-tapi …”
“Tapi apa, Miss Dea?” rasanya Galih ingin menepikan mobilnya di sebuah penginapan agar bisa leluasa dengan gadis itu, tetapi tidak. Sisi baiknya masih mengambil alih sisi buruk.
“Saya … maaf, saya tidak punya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis ke Bapak.” Gadis itu menatap meja makan, tak berani menatap Galih.
Galih tersenyum, “makasih banyak Miss Dea sudah jujur. Tapi, saya belum menyerah.”
Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.
Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.”Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya.‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal.“Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang.“Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget,
Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”“Saya …”Tak lama b
Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”“Saya …”Tak lama b
Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.”Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya.‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal.“Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang.“Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget,
Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yan