Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.
“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda. “Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut. “Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda. “Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin. “Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu. Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.” “Saya …” Tak lama berselang, lelaki dengan jas dokter itu berada di antara mereka. “Saya sudah kasih Galih obat, Tante. Nanti bisa diminum rutin. Kalau bisa, biarkan dia istirahat selama beberapa hari. Jangan kerja dulu.” “Makasih ya, Han. Tante banyak berhutang budi sama kamu,” kata Winda. Lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu tersenyum. “Tante ini kayak sama siapa aja.” “Kalau Tante punya anak perempuan, bakalan Tante jadiin menantu kamu, Han.” Dokter itu tertawa pelan. Pandangannya terarah pada Dea. “Tante bisa aja! Kalau gitu aku pamit, ya?” Winda mengangguk. Dia berjalan di sisi Rayhan, mengantarkannya sampai depan pintu. Dea melirik jam tangannya ketika Winda kembali duduk di sisinya. “Nak Dea lihat dokter yang tadi itu?” Dea mengangguk. “Dia anak Ibu juga?” tanyanya. Winda menggeleng, “bukan. Tapi, Galih banyak bantu dia selama pendidikan dokter. Makanya dia udah anggap kami seperti keluarga.” Dea mengangguk-angguk. Dia ingin segera keluar dari percakapan itu. “Hm, maaf sebelumnya, Bu. Ini jam belajar Jason sudah selesai. Saya boleh, pamit?” Winda tertawa pelan. “Kok buru-buru? Tante masih pengen ngobrol lho sama kamu. Soalnya Tante ngerasa, kamu anak baik. Kamu juga cantik banget.” “Bu …” suara berat lelaki membuat percakapan keduanya terjeda. Winda mendongak, lalu buru-buru berdiri untuk menggamit lengan Galih. “Kamu disuruh istirahat kok malah turun? Harusnya tidur aja!” kata Winda. Sebagai seorang ibu, perempuan itu tak tega melihat keadaan putra sulungnya. Namun, putra sulungnya justru sibuk menahan ego sendiri. “Aku udah nggak apa-apa, Bu. Udah mendingan setelah dikasih obat sama Rayhan tadi,” kata Galih. “Miss Dea sudah mau pulang, ya?” tanyanya pada gadis itu. “Iya, Pak Galih,” sahut Dea. Winda hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mulai membayangkan masa depan Galih bersama gadis itu. “Maaf saya nggak bisa nganterin Miss Dea pulang,” Galih sungguh menyesal dengan keadaannya. “Nggak apa-apa, Pak Galih. Saya justru nggak enak kalau ngerepotin. Kalau begitu, saya pamit, Pak. Permisi, Bu. Jason, besok Miss Dea ke sini lagi.” Gadis itu segera mengemasi tas miliknya sebelum melangkah ke luar. Galih menatap ibunya. Perempuan berusia lima puluhan itu tersenyum-senyum. “Jangan banyak berharap, Bu. Galih udah pernah sekali ngobrol serius sama dia. Dan hasilnya nggak sesuai harapan,” katanya. “Kamu ditolak sama dia?” tanya Winda. Galih mengangguk. “Tapi aku belum nyerah. Tapi, ya … Ibu harus sedikit lebih sabar kalau mau punya menantu baru.” “Bukan buat Ibu. Tapi buat kamu. Dia harus bisa ngurusin kamu, itu yang paling penting,” kata Winda. Ada senyum kecil di wajah Galih. “Kayaknya aku harus berusaha lebih keras, Bu.” “Ibu selalu dukung kamu,” ucapan ibunya membuat Galih mendapat suntikan semangat. Demamnya tiba-tiba seolah hilang. Dia seketika merasa sangat sehat. *** Galih melambaikan tangan sesaat pada Jason sebelum memacu mobil Audi A5 sportback miliknya. Jalanan Kota Metropolitan yang padat membuatnya tak bisa memacu lebih dari kecepatan 60 kilometer. Fariz menyambutnya begitu dia sampai ruangan kerja. Lelaki itu bahkan seperti takjub melihatnya kembali bekerja. “Mas Galih nggak apa-apa udah masuk kerja? Kalau masih sakit istirahat aja dulu. Baru juga tiga hari. Tenang aja, semua aku yang ngurus,” katanya. “Nggak bisa, Riz. Gimana kemarin sama Danial, lancar meetingnya?” tanyanya. Fariz mengangguk. “Dia nggak datang. Tapi udah tanda tangan. Yang nganterin si Tasya, sekretarisnya.” Galih mengangguk-angguk. “Pokoknya aku seneng kalau kerjaan kita lancar.” “Mas Galih nggak coba deketin Tasya aja? Dia cantik lho,” Fariz menyenggol lengannya. “Tasya memang cantik. Tapi dia bukan tipe saya,” akunya. “Terus, tipe yang kayak gimana yang Mas Galih mau? Apa yang mungil tapi seksi gitu?” Fariz makin senang menggodanya. Galih tertawa pelan. “Ya … kalau dia bisa bikin saya yakin untuk lebih serius, dia orangnya.” “Mau saya kenalin sama keponakannya istri saya, Mas? Dia yatim piatu. Umurnya baru dua empat. Dia baru keterima kerja di Perpustakaan Kampus Metropolitan. Sebelumnya dia bantuin jaga toko istri saya,” katanya. Galih terkenang pengalaman buruknya karena dikenalkan dengan seorang perempuan. Dia tak ingin jatuh ke lubang yang sama lagi untuk kali ke sekian. “Untuk saat ini, saya akan cari sendiri. Makasih banyak tawarannya. Kita harus kembali kerja,” katanya. Fariz mengangguk-angguk. “Pokoknya kalau Mas Galih butuh bantuan, saya siap.” “Terima kasih, Riz,” ucapnya sebelum Fariz keluar melewati pintu ruangan. Galih beralih ke meja kerjanya. Ketika membuka surat elektronik di komputer kerjanya, ada sebuah pesan dari domain perusahaannya. Tanpa curiga, Galih membuka surat elektronik itu. Ketika dia melihatnya, seketika bahunya turun melihat foto itu. Entah apa maksud si pengirim, Galih bahkan mengarahkan kepalan tangannya ke atas meja. “Sudah sejauh apa hubungan mereka? Apa karena itu dia nolak aku?” Galih segera menghubungi kontak dengan nama Evan dari ponsel pribadinya. Beberapa menit panggilan telepon itu diabaikan. Membuatnya semakin kesal. Tak habis akal, Galih mengirimkan pesan pada kontak yang tak menjawab panggilan telepon darinya itu. Malam ini aku ngundang kamu sama Miss Dea buat makan malam di rumah. Miss Dea harus ikut, hari ini jadwal dia ngajar Jason. Galih menyimpan ponselnya di laci meja kerja setelah mengirimkan pesan itu. Dia meraih foto yang terbingkai di meja kerjanya. “Mel, aku kangen. Tapi, aku nggak bisa hidup kayak gini terus. Maafin aku, Mel,” lirihnya. Selama ini Galih tak pernah terusik perihal pernikahan. Dia tak terburu-buru, juga tak ingin membiarkan dirinya terlalu terbebani. Bagaimanapun, mencari pendamping hidup yang menyayangi Jason juga menerima dirinya tanpa melihat latar belakangnya adalah sebuah kemungkinan kecil dari ribuan peluang tercipta. Di tengah kegalauan itu, Galih akhirnya memutuskan untuk menonton serial romantis yang banyak dilihat para perempuan di kantornya. Dia ingin melihat bagaimana mereka bisa tergila-gila pada serial romantis asal negeri Tirai Bambu dan Negeri Ginseng itu. Salah satu serial memberinya ide. Galih mendadak bersemangat. Dia harus memastikan perasaan gadis itu padanya sebelum memutuskan untuk bisa melupakannya. “Malam ini semoga ada kejelasan. Aku juga nggak mau berharap lagi kalau memang dia nggak tertarik sama aku,” katanya. Galih meninggalkan kantor segera setelah jam kerjanya berakhir. Dia menepikan Audi miliknya di sebuah toko dengan hiasan lampu neon bertuliskan Heart itu. Kaki jenjangnya menyusuri rak rangkaian bunga. Dia tertarik pada rangkaian bunga mawar berwarna merah dengan bunga baby breath itu. “Semoga dia bakalan suka dengan ini,” harapnya. Satu-satunya keinginannya untuk malam itu. Semua berjalan sesuai harapannya.Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yan
Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.
Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.”Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya.‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal.“Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang.“Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget,
Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”“Saya …”Tak lama b
Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.”Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya.‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal.“Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang.“Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget,
Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yan