Beranda / Romansa / Ayo Menikah, Mas Duda! / Bab 5: Saya Belum Siap

Share

Bab 5: Saya Belum Siap

Penulis: Mita Yoo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-08 21:40:04

Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.

“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.

“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.

“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.

“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.

“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.

Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”

“Saya …”

Tak lama berselang, lelaki dengan jas dokter itu berada di antara mereka. “Saya sudah kasih Galih obat, Tante. Nanti bisa diminum rutin. Kalau bisa, biarkan dia istirahat selama beberapa hari. Jangan kerja dulu.”

“Makasih ya, Han. Tante banyak berhutang budi sama kamu,” kata Winda.

Lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu tersenyum. “Tante ini kayak sama siapa aja.”

“Kalau Tante punya anak perempuan, bakalan Tante jadiin menantu kamu, Han.”

Dokter itu tertawa pelan. Pandangannya terarah pada Dea. “Tante bisa aja! Kalau gitu aku pamit, ya?”

Winda mengangguk. Dia berjalan di sisi Rayhan, mengantarkannya sampai depan pintu.

Dea melirik jam tangannya ketika Winda kembali duduk di sisinya. “Nak Dea lihat dokter yang tadi itu?”

Dea mengangguk. “Dia anak Ibu juga?” tanyanya.

Winda menggeleng, “bukan. Tapi, Galih banyak bantu dia selama pendidikan dokter. Makanya dia udah anggap kami seperti keluarga.”

Dea mengangguk-angguk. Dia ingin segera keluar dari percakapan itu. “Hm, maaf sebelumnya, Bu. Ini jam belajar Jason sudah selesai. Saya boleh, pamit?”

Winda tertawa pelan. “Kok buru-buru? Tante masih pengen ngobrol lho sama kamu. Soalnya Tante ngerasa, kamu anak baik. Kamu juga cantik banget.”

“Bu …” suara berat lelaki membuat percakapan keduanya terjeda. Winda mendongak, lalu buru-buru berdiri untuk menggamit lengan Galih.

“Kamu disuruh istirahat kok malah turun? Harusnya tidur aja!” kata Winda.

Sebagai seorang ibu, perempuan itu tak tega melihat keadaan putra sulungnya. Namun, putra sulungnya justru sibuk menahan ego sendiri.

“Aku udah nggak apa-apa, Bu. Udah mendingan setelah dikasih obat sama Rayhan tadi,” kata Galih.

“Miss Dea sudah mau pulang, ya?” tanyanya pada gadis itu.

“Iya, Pak Galih,” sahut Dea.

Winda hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mulai membayangkan masa depan Galih bersama gadis itu.

“Maaf saya nggak bisa nganterin Miss Dea pulang,” Galih sungguh menyesal dengan keadaannya.

“Nggak apa-apa, Pak Galih. Saya justru nggak enak kalau ngerepotin. Kalau begitu, saya pamit, Pak. Permisi, Bu. Jason, besok Miss Dea ke sini lagi.” Gadis itu segera mengemasi tas miliknya sebelum melangkah ke luar.

Galih menatap ibunya. Perempuan berusia lima puluhan itu tersenyum-senyum.

“Jangan banyak berharap, Bu. Galih udah pernah sekali ngobrol serius sama dia. Dan hasilnya nggak sesuai harapan,” katanya.

“Kamu ditolak sama dia?” tanya Winda.

Galih mengangguk. “Tapi aku belum nyerah. Tapi, ya … Ibu harus sedikit lebih sabar kalau mau punya menantu baru.”

“Bukan buat Ibu. Tapi buat kamu. Dia harus bisa ngurusin kamu, itu yang paling penting,” kata Winda.

Ada senyum kecil di wajah Galih. “Kayaknya aku harus berusaha lebih keras, Bu.”

“Ibu selalu dukung kamu,” ucapan ibunya membuat Galih mendapat suntikan semangat. Demamnya tiba-tiba seolah hilang. Dia seketika merasa sangat sehat.

***

Galih melambaikan tangan sesaat pada Jason sebelum memacu mobil Audi A5 sportback miliknya. Jalanan Kota Metropolitan yang padat membuatnya tak bisa memacu lebih dari kecepatan 60 kilometer.

Fariz menyambutnya begitu dia sampai ruangan kerja. Lelaki itu bahkan seperti takjub melihatnya kembali bekerja.

“Mas Galih nggak apa-apa udah masuk kerja? Kalau masih sakit istirahat aja dulu. Baru juga tiga hari. Tenang aja, semua aku yang ngurus,” katanya.

“Nggak bisa, Riz. Gimana kemarin sama Danial, lancar meetingnya?” tanyanya.

Fariz mengangguk. “Dia nggak datang. Tapi udah tanda tangan. Yang nganterin si Sasha, sekretarisnya.”

Galih mengangguk-angguk. “Pokoknya aku seneng kalau kerjaan kita lancar.”

“Mas Galih nggak coba deketin Sasha aja? Dia cantik lho,” Fariz menyenggol lengannya.

“Sasha memang cantik. Tapi dia bukan tipe saya,” akunya.

“Terus, tipe yang kayak gimana yang Mas Galih mau? Apa yang mungil tapi seksi gitu?” Fariz makin senang menggodanya.

Galih tertawa pelan. “Ya … kalau dia bisa bikin saya yakin untuk lebih serius, dia orangnya.”

“Mau saya kenalin sama keponakannya istri saya, Mas? Dia yatim piatu. Umurnya baru dua empat. Dia baru keterima kerja di Perpustakaan Kampus Metropolitan. Sebelumnya dia bantuin jaga toko istri saya,” katanya.

Galih terkenang pengalaman buruknya karena dikenalkan dengan seorang perempuan. Dia tak ingin jatuh ke lubang yang sama lagi untuk kali ke sekian.

“Untuk saat ini, saya akan cari sendiri. Makasih banyak tawarannya. Kita harus kembali kerja,” katanya.

Fariz mengangguk-angguk. “Pokoknya kalau Mas Galih butuh bantuan, saya siap.”

“Terima kasih, Riz,” ucapnya sebelum Fariz keluar melewati pintu ruangan.

Galih beralih ke meja kerjanya. Ketika membuka surat elektronik di komputer kerjanya, ada sebuah pesan dari domain perusahaannya. Tanpa curiga, Galih membuka surat elektronik itu. Ketika dia melihatnya, seketika bahunya turun melihat foto itu. Entah apa maksud si pengirim, Galih bahkan mengarahkan kepalan tangannya ke atas meja.

“Sudah sejauh apa hubungan mereka? Apa karena itu dia nolak aku?”

Galih segera menghubungi kontak dengan nama Evan dari ponsel pribadinya. Beberapa menit panggilan telepon itu diabaikan. Membuatnya semakin kesal. Tak habis akal, Galih mengirimkan pesan pada kontak yang tak menjawab panggilan telepon darinya itu.

Malam ini aku ngundang kamu sama Miss Dea buat makan malam di rumah. Miss Dea harus ikut, hari ini jadwal dia ngajar Jason.

Galih menyimpan ponselnya di laci meja kerja setelah mengirimkan pesan itu. Dia meraih foto yang terbingkai di meja kerjanya.

“Mel, aku kangen. Tapi, aku nggak bisa hidup kayak gini terus. Maafin aku, Mel,” lirihnya.

Selama ini Galih tak pernah terusik perihal pernikahan. Dia tak terburu-buru, juga tak ingin membiarkan dirinya terlalu terbebani. Bagaimanapun, mencari pendamping hidup yang menyayangi Jason juga menerima dirinya tanpa melihat latar belakangnya adalah sebuah kemungkinan kecil dari ribuan peluang tercipta.

Di tengah kegalauan itu, Galih akhirnya memutuskan untuk menonton serial romantis yang banyak dilihat para perempuan di kantornya. Dia ingin melihat bagaimana mereka bisa tergila-gila pada serial romantis asal negeri Tirai Bambu dan Negeri Ginseng itu.

Salah satu serial memberinya ide. Galih mendadak bersemangat. Dia harus memastikan perasaan gadis itu padanya sebelum memutuskan untuk bisa melupakannya.

“Malam ini semoga ada kejelasan. Aku juga nggak mau berharap lagi kalau memang dia nggak tertarik sama aku,” katanya.

Galih meninggalkan kantor segera setelah jam kerjanya berakhir. Dia menepikan Audi miliknya di sebuah toko dengan hiasan lampu neon bertuliskan Heart itu.

Kaki jenjangnya menyusuri rak rangkaian bunga. Dia tertarik pada rangkaian bunga mawar berwarna merah dengan bunga baby breath itu.

“Semoga dia bakalan suka dengan ini,” harapnya.

Satu-satunya keinginannya untuk malam itu. Semua berjalan sesuai harapannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Semangat kak..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 6: Ditolak Dua Kali

    Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 7: Kelakuan Jamal

    Evan menatap kakak lelakinya tanpa berkedip. Kaus tanpa kerah dengan celana panjang jersey itu membuat penampilan lelaki itu berbeda. Galih yang selama ini perfeksionis, dewasa dan berwibawa mendadak berubah menjadi Jamal yang terlihat sangat ‘biasa saja’ dalam pandangan Evan.“Mas Galih nggak salah pake baju kayak gini buat nyari cewek?” tanya Evan.Galih mengerutkan kening sebelum berkata sarkas. “Kamu nggak ngerasain gimana susahnya aku karena menjadi Galih selama ini. Jadi nggak usah sok peduli. Kamu sekarang jadi Bos aku. Panggil aku Jamal, bukan Galih!”Evan berusaha kembali memberinya nasehat. “Oke, oke. Tapi maksudnya, Mas Galih yakin ini bakalan berhasil? Gimana kalau misalnya cewek itu justru sakit hati karena kebohongan Mas Galih?”“Itu urusan belakangan. Pokoknya aku cari calon istri yang baik dan tulus tanpa memandang siapa aku,” Galih menyahut sambil mulai memotong kertas dengan pisau pemotong di meja besar.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 8: Diundang atau Mengundang?

    Galih menatap undangan di tangannya. Undangan itu diantar oleh ibunya sendiri, sepulang dia bekerja di Percetakan Gemilang yang dikelola Evan. Foto gadis yang dikenalnya itu terlihat cantik dalam balutan busana pengantin. Sang pria yang menjadi pasangannya tampak lebih tampan mengenakan jas berwarna hitam. Pria itu, tak lain adalah adik kandungnya sendiri.“Aku harus dateng sama siapa? Masak sama Jason?” keluhan keluar dari bibirnya.Dia kemudian berpikir untuk mengajak gadis itu. Gadis yang baru dikenalnya satu pekan lalu. “Aster, ya? Apa dia mau? Tapi, kalau nggak dicoba, nggak akan pernah tahu hasilnya ‘kan?”Galih sudah memutuskan. Dia akan mendekati gadis itu tanpa menunggu lebih lama. Dia ingin segera membawa gadis itu dalam pelukannya. Namun, bagaimana caranya agar gadis itu tidak mengetahui identitas dirinya yang sesungguhnya?“Kayaknya aku emang harus ngomongin ini sama Evan kalau nggak mau dia ngerusak rencana aku. Da

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 9: Kenal Lebih Jauh

    Jam di ponselnya menunjuk pukul enam tepat, ketika mahasiswa-mahasiswi yang selesai kuliah sore di area Kampus Metropolitan mulai meninggalkan Kampus. Galih pamit pada Iwan untuk pulang lebih dulu. Dia menyandang tas pinggangnya di punggung. Dengan postur tegap itu, dia berjalan menyusur sepanjang jalan menuju Halte terdekat.“Kang Jamal …!” seru suara perempuan. Galih menghentikan langkahnya sejenak sebelum menoleh. Gadis yang mengikat rambut panjangnya mirip ekor kuda itu melambai ke arahnya.Dia bukan laki-laki yang membuat perempuan repot, sehingga Galih berbalik arah untuk menuju gadis itu.“Ih padahal ‘kan nggak apa-apa Kang Jamal nunggu di sana aja,” kata gadis itu.“Saya nggak mau bikin kamu capek, Neng Geulis.”Ada senyum di wajah gadis itu. “Kang Jamal umurnya berapa sih? Hobinya apa?”Pertanyaan dari gadis itu membuat Galih sedikit terkejut. Namun, dia segera mengatur ekspresi wajahnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 10: Modal Makan Siang

    Ketika azan dzuhur berkumandang, Iwan pamit lebih dulu pada Galih untuk menunaikan sholat. Galih dengan sigap menggantikan pekerjaan Iwan untuk meneruskan memotong tumpukan kertas yang tebalnya empat sentimeter itu.Buku berjilid hard cover dengan tulisan Skripsi yang diketik dalam huruf kapital Times New Roman itu menarik perhatian Galih. Dia mengenang saat menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi.“Jadi inget perjuangan masa lalu,” gumamnya.Dia juga membantu menutup pintu geser Percetakan Gemilang, mengganti papan pengumuman dari Buka menjadi Istirahat. Iwan dengan rambut basah muncul dari pintu belakang.“Mau makan siang, Bos? Makasih ya udah bantuin kerjaan aku,” kata Iwan.Galih hanya menepuk bahu Iwan. Lelaki itu lalu meninggalkan Percetakan Gemilang menuju rumah makan di depan ruko mereka. Sebuah janji harus ditepatinya.Gadis yang menutupi wajahnya dengan poni depan lurus itu melambai ke ara

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 11: Berkunjung ke Tempat Ayang

    Galih meletakkan ponselnya usai membalas pesan singkat yang dikirimkan sebuah kontak ke nomor kontaknya. Lelaki itu tak sepenuhnya berkonsentrasi pada pekerjaannya.Tasya mengetuk pintu ruangannya, tumpukan berkas di tangan gadis itu membuat Galih memijat pelipisnya. Pasti berkas untuk ditandatangani, pikirnya.“Kalau Bos lagi bete, coba makan cokelat atau minum kopi. Sedikit kafein bisa bikin pikiran fresh lagi,” kata Tasya.Gadis itu berdiri di depannya. Menunggu. Galih membuka satu-persatu kalimat klausa yang ada dalam perjanjian itu sebelum membubuhkan tanda tangan basah di atas namanya.“Saya cuma lagi nggak bisa fokus aja, Sya. Makasih sarannya.” Galih melirik Tasya, menunjuk sofa di ruangannya. “Kamu bisa duduk dulu, Sya. Ini agak lama karena banyak.”“Oke.” Tasya duduk di sofa sambil membuka majalah yang berisi koleksi model mereka dan beberapa kerjasama dengan beberapa jenama terkenal.“Bos,

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-08
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 12: Model Iklan

    Galih mengalihkan pandangannya karena takut jika gadis itu akan marah. Namun, tangan gadis itu lebih dulu meraihnya. Membuatnya bertemu dengan tatapan penuh ingin dari gadis itu. Sekali lagi, hal menyenangkan itu terjadi.Rasa manis yang membuatnya candu itu berasal dari bibir gadis itu. Galih menarik diri lebih dulu, tak ingin menjadi sebab hubungan yang belum lama itu kembali retak.“Aku nggak masalah, Kang. Tapi, lain kali kita cari tempat lain.”Galih tergagap-gagap menjawab, “la-lain kali,  di hari pernikahan kita.”Gadis itu tersenyum. “Amin. Kang Jamal udah siap?”Pertanyaan itu membuat Galih mengangguk. “Siap lahir batin, Neng. Ta-tapi… ”“Tapi apa, Kang?” gadis itu bertanya, tatapan matanya penuh harap.Galih perlahan menjawab, “tapi kita harus terbuka satu sama lain, Neng. Kita harus saling kenal luar-dalam.”“Iya, Kang. Aku juga maunya sebelum pernikahan, nggak

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-09
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 13: Minta Sekali Aja

    Galih bersiul-siul sambil menyisir rambutnya dengan jari. Dia sengaja bercermin di depan pintu kaca butik itu. Ketika seseorang menyentuh lengannya, Galih mengalihkan pandangannya ke  arah gadis itu.“Maaf ya, Kang. Aku lama, ya?” tanya gadis itu.Galih menggeleng. “Nggak kok, Neng. Aku juga baru sampai,” kata Galih, tak ingin membebani gadis itu. Dia mengulurkan lengannya pada gadis itu. “Yuk, masuk. Kita pilih baju buat Neng Pita pergi ke kondangan.”Aster menyeringai sebelum menepis lengan Galih. “Nggak usah, Kang. Nggak enak dilihat orang lain.”Galih tersenyum, lalu celingukan sambil menggaruk tengkuknya. Langkahnya mengikuti gadis itu. Pramuniaga di Butik Sarah & Co. menyambut Galih dengan senyum ramah.“Tolong bawakan dress berwarna lila yang tidak terlalu terbuka dan cocok untuk undangan pernikahan, Mbak,” kata Galih.“Baik, Pak. Mari, saya tunjukkan,” perempuan itu menyilakan Galih dan gadis

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-10

Bab terbaru

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 55: Kamu Mau Kerja?

    Beberapa lembar dokumen di dalam map berwarna merah itu berada di tangan Galih. Dia membolak-balikkan kertas berisi kontak dengan foto gadis itu. Sambil menatap foto itu dan mengusap dengan jarinya, Galih menyeringai.“Pada akhirnya kita memang ditakdirkan berjalan di jalan yang sama, sayang. Dan ini bikin aku gila,” katanya.Pintu ruangan auditorium itu dibuka. Sandra melangkah lebih dekat ke meja Galih.“Semuanya sudah siap, Pak. Pak Galih ingin melihat proses wawancaranya?” tanya Sandra.Galih mengangguk. Sambil menyilangkan kakinya, dia memutar-mutar stylus pen di tangannya.“Ya. Karena saya ingin tahu sampai mana kemampuan mereka. Kalau ada yang bagus, saya bisa langsung rekrut jadi sekretaris saya untuk menggantikan Tasya,” katanya.Sandra mengangguk. Dia memanggil per kelompok yang terdiri dari lima orang pelamar kerja di perusahaan mereka.Rein dan Salma duduk di sisi Sandra. Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan posisi pekerjaan para pelamar. G

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 54: Melamar

    Sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang diposting di sebuah sosial media berita daring itu membuat Aster tertarik. Dia buru-buru mengubah posisinya yang semula berbaring di atas kasur menjadi duduk.“Bagus banget nih! Cuma butuh pengalaman kerja aja. Ditambah lagi, nggak ada persyaratan usia sama pendidikan minimal. Coba daftar, deh! Daripada nganggur ‘kan? Kali aja bisa lebih cepet move on dari Mas Duda!”Aster membuka laptop miliknya, merangkai kalimat demi kalimat untuk melamar pekerjaan itu. Dia lalu mengarahkan ponselnya untuk membuat foto selfie dirinya, dan mengeditnya dengan aplikasi di ponselnya. Setelah semua persyaratan cukup, Aster lalu mengunggah semua dokumen persyaratan dan surat lamaran kerja itu dalam satu lampiran di e-mail.“Mari kita coba keberuntungan lainnya,” katanya sebelum menekan tombol enter untuk mengirim e-mail itu ke perusahaan yang ditujunya.Sementara itu, Galih sedang memilih beberapa lembar dumi logo perusahaan yang baru didesain ulang oleh tim krea

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 53: Pertengkaran Bocah

    Galih tak menjawab pertanyaan Aster. Dia menyerahkan tas jinjing yang dibawanya untuk Aster.“Buat kamu, Neng. Aku pulang dulu,” katanya lalu kembali mengayun langkah ke mobil.Tak lama kemudian, lelaki tampan itu menancap gas mobilnya. Berlalu dari rumah itu.“Kenapa sih? Apa maksudnya?” Aster yang masih kebingungan hanya bergeming. Lelaki di sampingnya mengerti situasi itu.“Kayaknya dia cemburu sama aku, Kak,” kata lelaki itu.Aster tertawa pelan. “Whaaat? Cemburu?”‘Aku bahkan udah pernah bilang putus sama dia,’ batin Aster.Lelaki itu mengangguk. “Aku cowok lho Kak, ngerti perasaan sesama cowok,” katanya.“Ya. Tapi, hey … cemburu sama kamu? Astaga!” Aster menepuk keningnya sendiri. Lelaki itu tertawa. “Kakak harus peka sama perasaan cowok. Meskipun nggak ada hubungan apa-apa, cowok bakalan cemburu kalau ceweknya sama cowok lain. Apalagi sampe nganterin ke rumah.”“Berarti salah kamu! Kamu yang maksa buat nganterin aku!” kata Aster.Gadis itu menunjuk lelaki muda di sampingnya. D

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 52: Resign

    Aster menyerahkan surat pengunduran diri pada lelaki yang menjadi atasannya selama ini. Dia memberi hormat pada lelaki itu sebelum melangkah ke luar ruangan itu.Di ruang arsip, dia menemui Darren untuk pamit sebagai sesama rekan kerja. “Makasih banyak Ren, kamu udah bantuin aku selama ini.” katanya.Lelaki itu merentangkan tangannya untuk memberi pelukan semangat pada Aster. “Baik-baik, ya. Kamu juga bisa ngabarin aku lewat sosmed atau ngirim undangan pernikahan misalnya.”Aster tertawa. “Iya, nanti kalau aku nikah aku undang kamu,” katanya.“Beneran udah mau nyebar undangan?”Aster menggeleng. “Belum. Aku juga nggak tahu gimana ke depannya, tapi aku bakalan istirahat dulu sebelum nyari kerjaan baru.”Rekan kerja Aster itu mengangguk-angguk. Dia melambaikan tangan ketika Aster berlalu dari ruangan itu.Aster menyusuri jalanan tanpa tujuan. Dia melewati area Kampus dengan suasana hiruk-pikuk itu. Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan di sepanjang komplek pendidikan itu. Tiba di per

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 51: Sebuah Kebenaran

    Tanpa memberi kabar apapun, Galih mendatangi rumah petak yang ditempati Aster. Gadis itu terbelalak ketika membukakan pintu untuknya.“Kang Jamal,” gadis itu ingin memeluk laki-laki di hadapannya. Namun, dia tak ingin terlalu mengumbar perasaannya.“Boleh aku masuk, Neng?” tanya Galih.Aster menganggukkan kepala sebagai jawaban. Semburat jingga di langit menjadi saksi bisu perasaan kedua orang yang saling memendam perasaan masing-masing.Galih duduk berhadapan dengan gadis itu. Gadis yang wajahnya masih menghiasi mimpi-mimpi malamnya.“Maaf, saya bikinin kopi dulu, Kang. Tunggu sebentar!” kata Aster, lalu meninggalkan Galih di ruang depan.Galih menggosokkan kedua telapak tangannya. Dia tak tahu harus memulai obrolan mereka dari mana.Aster kembali beberapa menit kemudian, meletakkan cangkir kopi dengan uap mengepul di udara. Galih mengangguk, lalu membuka kancing lengan kemejanya.“Diminum, Kang,” katanya.“Makasih, Neng,” Galih meraih cangkir kopi itu, menyesapnya sedikit sebelum me

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 50: Bahagia untuk Papa

    Aster masih terdiam di posisi sama, sambil menyembunyikan wajah di balik lututnya, dia berkali-kali mencoba untuk tak terpaku pada masa lalu yang melenakan bersama Jamal. Karena sebenarnya yang ada bersamanya bukanlah Jamal, melainkan Galih.Dan Galih sama sekali bukan Jamal. Dari cara berpakaian, berbicara, sampai pekerjaan mereka.“Apa bener aku suka Jamal apa adanya? Kalau gitu kenapa nggak minta dia jadi Jamal aja kalau sama aku? Atau, sebenernya cuma ego aku yang terluka karena ngerasa nggak dianggap sama sekali sama dia?”Aster mengacak sisiran rambutnya. Beberapa kali dia bahkan mengumpat diri sendiri.Tangan gadis itu lalu meraih ponselnya, membuka pesan suara yang dikirimkan oleh kontak yang masih belum berganti nama itu.“Aku sakit Neng, bisa video call nggak? Biar aku bisa ngobatin kangen ini.”Gadis itu tak membalasnya. Dia terlalu enggan untuk membalasnya karena itu sama saja dengan membuatnya terlihat remeh di depan lelaki itu. Dan dia sama sekali tidak ingin lelaki itu

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 49: Sakit Karena Rindu

    “Aku sakit, Neng. Kita bisa video call, nggak? Aku kangen kamu.”Galih mengirimkan kalimat itu melalui pesan suara ke nomor kontak Aster yang masih disimpannya dengan nama Pacar. Jason yang sedang berada di sisi tempat tidur lelaki itu hanya bisa menertawakan tingkah konyol papanya itu.“Ternyata Papa punya kebiasaan unik, ya? Kalau habis putus pasti demam,” kata Jason sambil tertawa.Galih dengan cepat menyanggah, “Papa demam karena kecapekan bukan karena putus.”“Tapi waktu ngedeketin Mama Dea dulu juga gitu ‘kan? Papa sampe sakit waktu itu.” Jason tak mau mengalah dengan argumennya.“Udah dibilangin bukan karena itu, tapi karena Papa kurang istirahat. Jadwal Papa padet banget soalnya,” keluhan kembali keluar dari bibir Galih.Jason kembali mengarahkan termometer infra merah ke kening Galih. Angka 38,7 derajat Celcius dengan lampu indikator merah membuat Jason berdecak.“Demamnya masih belum turun juga. Aku telponin Mama Dea biar sekalian bawa dokter ke sini ya, Pa.”“Eh, jangan! Bu

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 48: Tumbang

    Galih menyandang tas pinggang ke bahunya. Dia mengenakan kaus berkerah dengan celana spandeks dengan sepatu sport yang nyaman. Dia berharap bisa menyelesaikan masalah dengan Aster sekaligus bertemu kembali dengan Iwan dan juga rekan kerja lainnya di Percetakan Gemilang.Galih memutuskan untuk mengendarai Audi merah miliknya karena dia tak lagi harus berperan sebagai Jamal meskipun dia tak keberatan dengan hal itu. Namun, demi menunjang pekerjaannya, dia harus menjadi seorang Galih. Bukan Jamal.Semalam Galih mengirimkan pesan ke nomor Aster, yang berakhir tanpa jawaban dari gadis itu. Hal itu membuatnya ingin mencari jawaban.‘Apa mungkin hubungan kami selesai tanpa penjelasan gitu aja? Gimana dengan rencana kami selama ini? Gimana sama Jason kalau kali ini juga aku harus putus sama perempuan baru yang udah deket sama dia?’ Pertanyaan-pertanyaan itu ada di benak Galih.‘Di saat aku udah bahagia karena dia tahu siapa aku sebenernya dan pekerjaanku, malah masalahnya langsung kayak gini.

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 47: Keras Kepala

    Galih tercenung menatap ponselnya setelah mendengar kalimat kekasihnya itu melalui telepon. Gadis itu bahkan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun, panggilan dari Tasya membuatnya tak bisa menghubungi kembali gadis itu melalui panggilan telepon. Dia kembali menyimpan ponselnya.“Ini Bos, storyboard yang dibikin sama Rein dan Sheela,” kata gadis berambut cokelat yang menjadi sekretaris pribadinya itu lalu menyerahkan tablet berisi rancangan cerita untuk video iklan mereka.Galih meraih tablet yang disodorkan Tasya itu, melihatnya sekilas. “Bagian ini gimana kalau ditambah efek dramatis kayak adegan terbang di film Harry Potter itu? Kayaknya bagus dan lebih relate kayaknya sama audiens yang jadi target pasar.”“Oke, kasih aja catatan di situ, Bos. Tim wardrobe lagi bikin kostum yang sesuai, ala peri tapi versi idol gitu ceritanya.”“Bagus. Sekarang idol lagi disenengin sama semua kalangan. Jadi, visual harus diutamakan di sini. Kalau audio, udah oke?”“Udah, Bos. Rein sama

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status