Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.
“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.” Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya. ‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal. “Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang. “Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget, usia matang, penampilan menarik, pintar, dan sabar menghadapi Jason.” Dering ponsel membuatnya segera menerima panggilan telepon yang masuk. Dari Evan. “Mas Galih malam ini masih nginep di hotel?” tanyanya tanpa basa-basi. “Nggak. Aku pulang. Hari ini Jason ada jadwal tambahan dengan Miss Dea,” sahutnya. “Mas Galih mending cari cewek lain aja, deh. Dea itu pacar aku, Mas. Jangan diganggu!” tegas Evan. Galih mengalihkan ponselnya ke telinga kiri. “Kamu nggak mau ngomongin yang lebih penting, gitu? Udah nelpon pagi-pagi buta begini.” “Aku hari ini ada jadwal ke lapangan, jadi nggak bisa jemput dia pulang. Mas Galih biarin aja dia pulang sendiri, oke? Nggak usah sok perhatian dengan nganterin dia pulang.” “Aku memang perhatian, kok. Nggak kayak kamu yang selalu nyari perhatian.” “Mas Galih, aku serius, ya! Dea itu pacar aku!” Klik. Galih memutuskan sambungan telepon itu sepihak. Dia bergegas untuk membersihkan diri lalu menata hati. Eh, menata jadwal rutinitasnya. *** Galih memegangi kepalanya yang mendadak berdenyut sakit. Dia meminta Fariz untuk menyelesaikan pekerjaannya di kantor lalu memilih pulang lebih awal. Jason sudah menunggu, pikirnya. “Bisa nyetir, Mas? Kalau nggak aku anterin aja, deh. Mobilnya nanti aku minta anak-anak nganterin ke rumah Mas Galih,” usul Fariz. “Ya. Boleh. Aku minta tolong ya, Riz. Sorry banget!” Galih memegangi kepalanya. “Santai, Mas. Kayak sama siapa aja!” Fariz segera memapah Galih ke luar menuju mobilnya. Memasangkan sabuk pengaman untuknya sendiri, Galih hanya bisa bersandar di jok depan sambil memejamkan matanya. “Aku coba telpon Jason ya, Mas?” usul Fariz lagi. Namun, Galih buru-buru menolak. “Nggak, nggak usah. Nanti dia khawatir. Kita langsung ke rumah aja.” Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan area kantor tempat Galih bekerja. “Oke, deh. Mas tidur aja nggak apa-apa kalau masih sakit kepala. Tapi, beneran nggak apa-apa aku anterin ke rumah? Nggak ke rumah sakit aja?” “Nggak apa-apa, Riz. Makasih banyak. Di rumah aku ada stok obat, kok.” Galih memejamkan matanya, berharap rasa sakit di kepalanya berkurang. Fariz menyerah. Dia hanya menjalankan tugasnya untuk mengantarkan Galih sampai ke depan pintu rumah. Ketika Fariz menekan klakson mobilnya, seorang wanita paruh baya ke luar rumah unruk menyambutnya. Fariz kembali memapah Galih ke luar dari mobilnya untuk melewati pintu rumah. “Papa okay?” tanya Jason yang sedang belajar dengan Dea di ruang tamu. “Papa nggak okay, Boy. Kepala Papa sakit,” jawabnya. Fariz pamit untuk segera kembali ke kantor setelah berhasil membawa Galih ke ruang tamu. Galih mencoba kuat dengan berjalan menuju kamarnya sendiri. Melihat kondisi Galih, Dea yang tak tega akhirnya segera mengalungkan tangan Galih melewati bahunya lalu berusaha menahan pinggang Galih agar tak jatuh. “Makasih ya, Miss Dea,” katanya. Dea tak menyahut. Aroma parfum gadis itu mencapai indera penciuman Galih, membuatnya tenang. Galih berusaha untuk melangkah pelan menuju kamarnya dibantu Dea. Namun, rasa sakit di kepalanya membuat Galih kembali mengerang. Tiba-tiba saja Galih kehilangan kendali atas kesadarannya. Galih tiba-tiba merosot, membuat Dea kehilangan keseimbangannya. Kepala lelaki itu tepat berada di bahu Dea. “Pak, Pak Galih!” Dea berusaha untuk mendorong Galih tetapi usahanya sia-sia. Jason yang melihat hal itu menjadi panik. Bocah sepuluh tahun itu menghubungi seseorang untuk meminta tolong. “Papa tiba-tiba pingsan, Nek. Tolong bawa dokter ke sini,” kata Jason di telepon. Jason segera menghampiri Dea. “Maaf, Miss Dea. Karena kamar Papa di lantai dua, gimana kalau kita pindahin dulu Papa ke sofa? Kita berdua kayaknya nggak kuat buat angkat Papa ke kamarnya. Aku udah coba telepon Nenek, beliau sebentar lagi ke sini sama dokter.” Dea menganggukkan kepala. “Tolong Jason tarik sebelah tangan Papa, Miss Dea sebelahnya lagi. Kita barengan, ya? Mulai dalam hitungan tiga.” Jason mengangguk. “Satu, dua, tiga!” Jason dengan Dea berusaha menopang tubuh Galih lalu membiarkannya berbaring di sofa. Dea melepaskan sepatu kerja Galih lalu menempelkan tangannya di kening lelaki itu. “Panas,” gumamnya. Dea memandang Jason. “Jason, di kotak P3K ada termometer nggak? Pak Galih badannya panas,” katanya. Jason mengangguk. “Sebentar aku ambil ya, Miss.” Jason segera berlari menuju kotak penyimpanan obat dan kembali ke ruang tamu dengan membawa termometer. “Ini, Miss Dea,” Jason menyerahkan alat pengukur suhu tubuh itu pada Dea. Gadis itu menerimanya, mencoba mendekatkan alat sensor suhu tubuh itu ke kening Galih. Lampu alat itu berwarna merah dan berkedip cepat. Dea memandang Jason. “Panasnya tinggi. Papamu demam tinggi, Jason,” kata Dea. Di tengah kepanikan, dua orang muncul setelah mengucapkan salam. Dea menghela napas lega ketika lelaki dengan koper dan jubah putih itu datang bersama wanita setengah baya. Jason memeluk wanita setengah baya itu. “Nek, Papa demam.” Wanita setengah baya itu menepuk-nepuk punggung Jason. “Nggak apa-apa, dokter sudah periksa Papamu. Dea membungkukkan tubuhnya sesaat ke arah wanita itu. Wanita itu tersenyum ke arahnya lalu memegang tangannya. “Terima kasih sudah membantu Galih. Anda …” “Saya Dea, tutor matematika Jason, Bu.” “Sopan sekali, kamu. Nggak usah terlalu formal. Saya Winda, ibunya Galih. Panggil Tante saja supaya akrab,” katanya. Dea mengulas senyum sekali lagi. Dia merasa canggung bertemu dengan wanita itu. Namun, wanita itu menariknya agar duduk di sofa, bersisian dengannya sedangkan dokter dengan Jason memindahkan Galih ke kamarnya. “Galih itu duda sudah lama. Dia berusaha sendiri selama ini. Mengurus bisnisnya, merawat anak. Dia lakukan sendiri. Tante sudah kenalkan dia dengan beberapa perempuan anak teman-teman Tante, tapi hasilnya nggak ada yang mulus. Galih bilang, dia tidak cocok dengan mereka yang terlalu manja,” terang wanita itu. Dea hanya berusaha menganggukkan kepala sambil tersenyum. Rasanya dia ingin segera pulang daripada terjebak dengan obrolan dengan ibunda Galih. “Kalau Nak Dea, sudah menikah?” tanya Winda. Dea berusaha menjawab dengan tenang. Sambil tersenyum, dia menyahut pelan, “belum, Bu.” “Bagus itu! Gimana kalau Nak Dea sama Galih saja?”Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”“Saya …”Tak lama b
Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yan
Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.
Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”“Saya …”Tak lama b
Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.”Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya.‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal.“Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang.“Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget,
Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yan