Home / Romansa / Ayo Menikah, Mas Duda! / Bab 7: Kelakuan Jamal

Share

Bab 7: Kelakuan Jamal

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-03-04 22:01:12

Evan menatap kakak lelakinya tanpa berkedip. Kaus tanpa kerah dengan celana panjang jersey itu membuat penampilan lelaki itu berbeda. Galih yang selama ini perfeksionis, dewasa dan berwibawa mendadak berubah menjadi Jamal yang terlihat sangat ‘biasa saja’ dalam pandangan Evan.

“Mas Galih nggak salah pake baju kayak gini buat nyari cewek?” tanya Evan.

Galih mengerutkan kening sebelum berkata sarkas. “Kamu nggak ngerasain gimana susahnya aku karena menjadi Galih selama ini. Jadi nggak usah sok peduli. Kamu sekarang jadi Bos aku. Panggil aku Jamal, bukan Galih!”

Evan berusaha kembali memberinya nasehat. “Oke, oke. Tapi maksudnya, Mas Galih yakin ini bakalan berhasil? Gimana kalau misalnya cewek itu justru sakit hati karena kebohongan Mas Galih?”

“Itu urusan belakangan. Pokoknya aku cari calon istri yang baik dan tulus tanpa memandang siapa aku,” Galih menyahut sambil mulai memotong kertas dengan pisau pemotong di meja besar.

“Tapi aku nggak tanggung jawab ya kalau ada kerugian di tempat Mas Galih karena Mas Galih maksa kerja di sini,” kata Evan sambil meletakkan satu rim kertas di mesin fotokopi.

“Aku udah serahin sama Fariz. Dan masalah itu, nggak usah khawatir. Aku bakalan bagi waktu kok,” sahut Galih.

“Ada pelanggan. Coba Mas Galih handle yang baru dateng itu,” Evan menunjuk dengan dagunya.

Galih mengisyaratkan dengan ibu jarinya. Dia berusaha untuk melayani pembeli yang datang untuk menggunakan jasa mereka.

“Ada yang bisa dibantu, Neng Geulis?” tanya Galih.

“Ini, Kang. Saya mau fotokopi dokumen ini lima lembar, terus print foto ini ukuran tiga kali empat tiga lembar, sama beli materai sepuluh ribu lima lembar,” kata gadis dengan wajah tertutup poni itu.

Galih mengangguk-angguk. Dia segera melakukan tugas pertamanya untuk melayani pembeli. Galih melangkah menuju mesin fotokopi.

Dia mendekat ke arah Evan untuk bertanya cara mengoperasikan mesin fotokopi di sana. Untung saja stok kesabaran adik lelakinya itu masih banyak.

“Jadi Mas Galih atur dulu posisi kertasnya, terus nanti Mas Galih tekan ini, scan. Terus baru deh diprint.”

Galih mengangguk-angguk. “Makasih, Bos! Kayaknya aku perlu training dulu, deh sebulan,” katanya.

Evan hanya menepuk-nepuk bahunya. Dia tak tertarik untuk bermain peran dengan Galih alias Jamal.

Iwan kemudian mulai memberikan petunjuk pada Galih untuk menggunakan mesin fotokopi di sana, sekaligus memberinya informasi bagaimana agar pekerjaan selesai lebih cepat. Galih yang sedang bermain peran sebagai Jamal itu hanya mengangguk-angguk pleno.

Jamal kembali ke meja etalase kaca di mana pemesan jasa mereka menunggu. Dia meletakkan buku milik gadis itu di atas etalase.

“Ini fotokopinya, ini pas fotonya dan ini materainya. Semuanya delapan puluh tujuh ribu,” katanya.

Gadis itu mengeluarkan selembar uang kertas bergambar pasangan presiden dengan wakil Indonesia pertama. Jamal tersenyum menerimanya.

“Sebentar, ya. Kembaliannya,” katanya.

Gadis itu mengangguk. Jamal membuka laci untuk mencari uang kembali untuk gadis itu. Evan menunjuk laci kecil di sisinya.

“Uang kecil semuanya ada di sini. Tolong diinget harganya, ya. Jangan sampe salah. Aku nggak mau rugi,” kata Evan.

Jamal tersenyum dengan menampilkan giginya. “Tenang, Bos. Aku jamin omzet kita nambah karena ada aku,” katanya sebelum melangkah dengan percaya diri untuk mengembalikan uang milik customer mereka.

Evan yang melihat tingkah Jamal hanya bisa menggelengkan kepala. “Yah … semoga ada cewek yang beneran tulus sama dia,” gumamnya.

Jamal masih tersenyum ketika customer mereka telah berbalik arah. Iwan yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.

“Dia penjaga perpustakaan Kampus Metro, Pak Galih. Kalau Bapak penasaran, ajak kenalan aja,” kata lelaki berambut keriting itu.

Galih menoleh. “Sudah aku bilang, jangan panggil Galih. Panggil Jamal, aku lagi kerja di sini!”

“Tapi ‘kan lagi nggak ada orang, Pak, cuma ada Bos Evan aja,” kilahnya.

“Pokoknya kalau masih jam kerja kamu harus panggil saya Jamal! Dan saya nggak mau kamu nggak merhatiin kerjaan kamu hanya gara-gara saya kerja di sini!” kata Galih.

Iwan hanya mengangguk. Dalam hati dia membatin, kena protes lagi, deh. Nasib …

***

Galih sengaja tak mengganti setelan kaos dengan celana trainingnya dengan kemeja dipadu celana hitam katun yang biasa dipakainya ketika ngantor. Dia bahkan menolak tawaran Evan untuk naik ke mobilnya dan memilih naik angkot bersama Iwan. Galih sudah bertekad, dia akan menjalani peran Jamal sampai menemukan calon istri yang sesuai dengan kriterianya.

Angkot berhenti di halte Kampus ketika seorang gadis naik. Galih terbelalak ketika gadis itu adalah gadis yang menjadi customer mereka hari itu.

“Pulang ke mana, Neng?” dia mengawali percakapan dengan gadis di hadapannya.

Galih tersenyum geli karena tingkahnya. Basa-basi bukanlah sifat Galih, tetapi dia berperan sebagai Jamal dan harus menyesuaikan diri dengan karakter Jamal.

“Jalan Waru, Kang. Akang perantau, ya di sini? Saya baru lihat Akang kerja hari ini di Percetakan Gemilang,” katanya.

Galih tersenyum sekali lagi, “iya, Neng. Saya pegawai baru di sana.”

Gadis itu mengangguk-angguk. Dia lalu mengulurkan tangan pada Galih. “Saya Aster Puspita, Kang. Saya sering ke percetakan buat fotokopi atau bantu nge-print tugas-tugas titipan mahasiswa di Kampus,” katanya.

“Saya Jamal, Neng. Salam kenal,” Galih menjabat tangan gadis itu sesaat sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Ketika angkutan umum berbelok ke Jalan Waru, gadis itu berseru, “kiri, Bang!”

Ketika angkutan umum berhenti, gadis itu tersenyum ke arah Galih sebelum turun. “Saya duluan, Kang Jamal,” katanya sambil mengangguk sopan.

Galih turut mengangguk pelan sambil tersenyum. Dalam hati dia mulai berencana untuk mengambil langkah lebih cepat dibandingkan gadis itu.

“Aster Puspita. Nama yang cantik, secantik orangnya,” gumamnya.

Galih merasa harinya lebih baik setelah pertemuannya dengan gadis itu. Meski tak dipungkiri, dia masih belum melupakan Dea, tetapi hatinya tak sesakit kemarin.

“Jangan melamun, Pak Galih! Nanti kesambet genderuwo!” celetuk Iwan. Galih bahkan melupakan lelaki berambut keriting yang duduk di angkutan umum bersamanya itu.

Galih berdecak. ‘Mengganggu saja!’ rutuk batinnya.

“Besok saya berangkat pagi-pagi naik ojek online, Wan. Kamu harus sudah ada di percetakan jam enam, atau saya minta Evan pecat kamu!”

“Pak Galih seneng banget ngancam, ya? Sama sekali nggak sama dengan Bos Evan,” bibir Iwan maju lima senti ketika mengatakan itu.

“Memangnya kenapa sama Evan? Dia berbeda dengan saya. Dia urakan, susah diatur, semaunya sendiri. Dia juga sering bikin ulah sampai ribut dengan Ayah,” katanya.

“Tapi Bos Evan tuh baik sama karyawan, Pak Galih. Nggak pernah ngancem mecat sesukanya. Bos Evan juga sering traktir kita makanan kalau penjualan lagi bagus. Pak Galih harus belajar dari Bos Evan cara biar nggak kaku,” seloroh Iwan.

Galih mengangguk. Perkataan Iwan ada benarnya. Dia menepuk-nepuk bahu Iwan. “Ya udah, mulai besok saya nggak akan bilang pecat-pecat kamu lagi. Saya minta maaf. Mulai sekarang kita jadi teman kerja, karena saya bakalan jadi Jamal,” katanya sambil tersenyum.

Iwan tertawa pelan. “Gitu dong, Pak. Senyum, biar cewek-cewek pada suka. Pak Galih ‘kan ganteng, single, mapan lagi. Pasti cewek-cewek pada ngejar-ngejar,” katanya.

Galih menimpali, “justru itu, Wan. Saya berperan sebagai Jamal supaya cewek-cewek nggak tahu siapa saya. Status saya, pekerjaan saya juga. Intinya saya pengen calon istri yang nggak akan mandang latar belakang saya.”

“Iya, deh. Semoga berhasil ya, Pak. Saya seneng kalau Pak Galih bisa nemuin orang itu,” ucapan Iwan terdengar tulus di telinga Galih.

Galih tersenyum sekali lagi. Ya, semoga saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 8: Diundang atau Mengundang?

    Galih menatap undangan di tangannya. Undangan itu diantar oleh ibunya sendiri, sepulang dia bekerja di Percetakan Gemilang yang dikelola Evan. Foto gadis yang dikenalnya itu terlihat cantik dalam balutan busana pengantin. Sang pria yang menjadi pasangannya tampak lebih tampan mengenakan jas berwarna hitam. Pria itu, tak lain adalah adik kandungnya sendiri.“Aku harus dateng sama siapa? Masak sama Jason?” keluhan keluar dari bibirnya.Dia kemudian berpikir untuk mengajak gadis itu. Gadis yang baru dikenalnya satu pekan lalu. “Aster, ya? Apa dia mau? Tapi, kalau nggak dicoba, nggak akan pernah tahu hasilnya ‘kan?”Galih sudah memutuskan. Dia akan mendekati gadis itu tanpa menunggu lebih lama. Dia ingin segera membawa gadis itu dalam pelukannya. Namun, bagaimana caranya agar gadis itu tidak mengetahui identitas dirinya yang sesungguhnya?“Kayaknya aku emang harus ngomongin ini sama Evan kalau nggak mau dia ngerusak rencana aku. Da

    Last Updated : 2025-03-05
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 9: Kenal Lebih Jauh

    Jam di ponselnya menunjuk pukul enam tepat, ketika mahasiswa-mahasiswi yang selesai kuliah sore di area Kampus Metropolitan mulai meninggalkan Kampus. Galih pamit pada Iwan untuk pulang lebih dulu. Dia menyandang tas pinggangnya di punggung. Dengan postur tegap itu, dia berjalan menyusur sepanjang jalan menuju Halte terdekat.“Kang Jamal …!” seru suara perempuan. Galih menghentikan langkahnya sejenak sebelum menoleh. Gadis yang mengikat rambut panjangnya mirip ekor kuda itu melambai ke arahnya.Dia bukan laki-laki yang membuat perempuan repot, sehingga Galih berbalik arah untuk menuju gadis itu.“Ih padahal ‘kan nggak apa-apa Kang Jamal nunggu di sana aja,” kata gadis itu.“Saya nggak mau bikin kamu capek, Neng Geulis.”Ada senyum di wajah gadis itu. “Kang Jamal umurnya berapa sih? Hobinya apa?”Pertanyaan dari gadis itu membuat Galih sedikit terkejut. Namun, dia segera mengatur ekspresi wajahnya.

    Last Updated : 2025-03-06
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 10: Modal Makan Siang

    Ketika azan dzuhur berkumandang, Iwan pamit lebih dulu pada Galih untuk menunaikan sholat. Galih dengan sigap menggantikan pekerjaan Iwan untuk meneruskan memotong tumpukan kertas yang tebalnya empat sentimeter itu.Buku berjilid hard cover dengan tulisan Skripsi yang diketik dalam huruf kapital Times New Roman itu menarik perhatian Galih. Dia mengenang saat menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi.“Jadi inget perjuangan masa lalu,” gumamnya.Dia juga membantu menutup pintu geser Percetakan Gemilang, mengganti papan pengumuman dari Buka menjadi Istirahat. Iwan dengan rambut basah muncul dari pintu belakang.“Mau makan siang, Bos? Makasih ya udah bantuin kerjaan aku,” kata Iwan.Galih hanya menepuk bahu Iwan. Lelaki itu lalu meninggalkan Percetakan Gemilang menuju rumah makan di depan ruko mereka. Sebuah janji harus ditepatinya.Gadis yang menutupi wajahnya dengan poni depan lurus itu melambai ke ara

    Last Updated : 2025-03-07
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 11: Berkunjung ke Tempat Ayang

    Galih meletakkan ponselnya usai membalas pesan singkat yang dikirimkan sebuah kontak ke nomor kontaknya. Lelaki itu tak sepenuhnya berkonsentrasi pada pekerjaannya.Tasya mengetuk pintu ruangannya, tumpukan berkas di tangan gadis itu membuat Galih memijat pelipisnya. Pasti berkas untuk ditandatangani, pikirnya.“Kalau Bos lagi bete, coba makan cokelat atau minum kopi. Sedikit kafein bisa bikin pikiran fresh lagi,” kata Tasya.Gadis itu berdiri di depannya. Menunggu. Galih membuka satu-persatu kalimat klausa yang ada dalam perjanjian itu sebelum membubuhkan tanda tangan basah di atas namanya.“Saya cuma lagi nggak bisa fokus aja, Sya. Makasih sarannya.” Galih melirik Tasya, menunjuk sofa di ruangannya. “Kamu bisa duduk dulu, Sya. Ini agak lama karena banyak.”“Oke.” Tasya duduk di sofa sambil membuka majalah yang berisi koleksi model mereka dan beberapa kerjasama dengan beberapa jenama terkenal.“Bos,

    Last Updated : 2025-03-08
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 12: Model Iklan

    Galih mengalihkan pandangannya karena takut jika gadis itu akan marah. Namun, tangan gadis itu lebih dulu meraihnya. Membuatnya bertemu dengan tatapan penuh ingin dari gadis itu. Sekali lagi, hal menyenangkan itu terjadi.Rasa manis yang membuatnya candu itu berasal dari bibir gadis itu. Galih menarik diri lebih dulu, tak ingin menjadi sebab hubungan yang belum lama itu kembali retak.“Aku nggak masalah, Kang. Tapi, lain kali kita cari tempat lain.”Galih tergagap-gagap menjawab, “la-lain kali,  di hari pernikahan kita.”Gadis itu tersenyum. “Amin. Kang Jamal udah siap?”Pertanyaan itu membuat Galih mengangguk. “Siap lahir batin, Neng. Ta-tapi… ”“Tapi apa, Kang?” gadis itu bertanya, tatapan matanya penuh harap.Galih perlahan menjawab, “tapi kita harus terbuka satu sama lain, Neng. Kita harus saling kenal luar-dalam.”“Iya, Kang. Aku juga maunya sebelum pernikahan, nggak

    Last Updated : 2025-03-09
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 13: Minta Sekali Aja

    Galih bersiul-siul sambil menyisir rambutnya dengan jari. Dia sengaja bercermin di depan pintu kaca butik itu. Ketika seseorang menyentuh lengannya, Galih mengalihkan pandangannya ke  arah gadis itu.“Maaf ya, Kang. Aku lama, ya?” tanya gadis itu.Galih menggeleng. “Nggak kok, Neng. Aku juga baru sampai,” kata Galih, tak ingin membebani gadis itu. Dia mengulurkan lengannya pada gadis itu. “Yuk, masuk. Kita pilih baju buat Neng Pita pergi ke kondangan.”Aster menyeringai sebelum menepis lengan Galih. “Nggak usah, Kang. Nggak enak dilihat orang lain.”Galih tersenyum, lalu celingukan sambil menggaruk tengkuknya. Langkahnya mengikuti gadis itu. Pramuniaga di Butik Sarah & Co. menyambut Galih dengan senyum ramah.“Tolong bawakan dress berwarna lila yang tidak terlalu terbuka dan cocok untuk undangan pernikahan, Mbak,” kata Galih.“Baik, Pak. Mari, saya tunjukkan,” perempuan itu menyilakan Galih dan gadis

    Last Updated : 2025-03-10
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 14: Pernikahan Rival

    Galih menatap dirinya di cermin. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi berwarna biru dongker itu membuatnya terlihat bersinar. Rambutnya tersisir rapi, jam tangan di pergelangan tangan kirinya membuatnya semakin tampan.Galih melangkah ke luar kamar, menuju kamar Jason. Bocah itu sudah mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan rambut tersisir rapi.“Udah siap, Boy?” Galih mengulurkan tangan pada duplikat dirinya versi kecil itu.“Udah, Pa. Kita langsung ke gedung tempat pernikahannya, Pa?” tanya bocah lelaki itu.Sambil berjalan menuju garasi, Galih menjawab, “iya, Boy. Papa anterin kamu dulu ke sana sama Nenek dan Kakek, ya. Karena Papa mau jemput seseorang.”“Calon Bunda aku ya, Pa?” pertanyaan Jason membuat Galih tertawa pelan.“Semoga ya Boy. Semoga jalan Papa menjadikan dia Bunda kamu berjalan lancar,” kata Galih.“Amin, Pa.”Galih membukakan pintu mobil untuk putrany

    Last Updated : 2025-03-11
  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 15: Rahasia (Hampir) Terbongkar

    “Gimana kalau kita ke panggung buat kasih selamat ke mempelai, Neng?” Galih mengulurkan tangannya pada gadis itu.Aster meraih tangan Galih, menggamit lengan kekar itu menuju panggung. Senyum Aster mengembang ketika memberi ucapan selamat kepada keluarga dan kedua mempelai.Galih memeluk Evan, lalu memberi pelukan yang sama pada Dea sekali lagi. Ketika bertemu dengan Jason di panggung, Galih tersenyum ketika bocah kecil itu memberikan jempol ke arahnya.‘Aman. Kayaknya nggak ada orang kantor yang dateng jam segini,’ batinnya.Galih segera menggandeng tangan Aster menuju tempat makan, menjauh dari panggung utama. Aster memindahkan beberapa cake yang dikemas dalam wadah kecil itu ke piring datar yang diambilnya.“Kang Jamal nggak makan? Itu ada siomay, kayaknya enak deh,” gadis itu menunjuk ke arah rak di sisinya.Galih menggeleng. “Aku udah kenyang, nggak bisa makan kebanyakan, Neng.”“Kang Jamal diet, ya?”Galih terkekeh-kekeh. “Nggak, bukan diet. Cuma aku kebiasaan intermittent fasti

    Last Updated : 2025-03-12

Latest chapter

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 55: Kamu Mau Kerja?

    Beberapa lembar dokumen di dalam map berwarna merah itu berada di tangan Galih. Dia membolak-balikkan kertas berisi kontak dengan foto gadis itu. Sambil menatap foto itu dan mengusap dengan jarinya, Galih menyeringai.“Pada akhirnya kita memang ditakdirkan berjalan di jalan yang sama, sayang. Dan ini bikin aku gila,” katanya.Pintu ruangan auditorium itu dibuka. Sandra melangkah lebih dekat ke meja Galih.“Semuanya sudah siap, Pak. Pak Galih ingin melihat proses wawancaranya?” tanya Sandra.Galih mengangguk. Sambil menyilangkan kakinya, dia memutar-mutar stylus pen di tangannya.“Ya. Karena saya ingin tahu sampai mana kemampuan mereka. Kalau ada yang bagus, saya bisa langsung rekrut jadi sekretaris saya untuk menggantikan Tasya,” katanya.Sandra mengangguk. Dia memanggil per kelompok yang terdiri dari lima orang pelamar kerja di perusahaan mereka.Rein dan Salma duduk di sisi Sandra. Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan posisi pekerjaan para pelamar. G

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 54: Melamar

    Sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang diposting di sebuah sosial media berita daring itu membuat Aster tertarik. Dia buru-buru mengubah posisinya yang semula berbaring di atas kasur menjadi duduk.“Bagus banget nih! Cuma butuh pengalaman kerja aja. Ditambah lagi, nggak ada persyaratan usia sama pendidikan minimal. Coba daftar, deh! Daripada nganggur ‘kan? Kali aja bisa lebih cepet move on dari Mas Duda!”Aster membuka laptop miliknya, merangkai kalimat demi kalimat untuk melamar pekerjaan itu. Dia lalu mengarahkan ponselnya untuk membuat foto selfie dirinya, dan mengeditnya dengan aplikasi di ponselnya. Setelah semua persyaratan cukup, Aster lalu mengunggah semua dokumen persyaratan dan surat lamaran kerja itu dalam satu lampiran di e-mail.“Mari kita coba keberuntungan lainnya,” katanya sebelum menekan tombol enter untuk mengirim e-mail itu ke perusahaan yang ditujunya.Sementara itu, Galih sedang memilih beberapa lembar dumi logo perusahaan yang baru didesain ulang oleh tim krea

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 53: Pertengkaran Bocah

    Galih tak menjawab pertanyaan Aster. Dia menyerahkan tas jinjing yang dibawanya untuk Aster.“Buat kamu, Neng. Aku pulang dulu,” katanya lalu kembali mengayun langkah ke mobil.Tak lama kemudian, lelaki tampan itu menancap gas mobilnya. Berlalu dari rumah itu.“Kenapa sih? Apa maksudnya?” Aster yang masih kebingungan hanya bergeming. Lelaki di sampingnya mengerti situasi itu.“Kayaknya dia cemburu sama aku, Kak,” kata lelaki itu.Aster tertawa pelan. “Whaaat? Cemburu?”‘Aku bahkan udah pernah bilang putus sama dia,’ batin Aster.Lelaki itu mengangguk. “Aku cowok lho Kak, ngerti perasaan sesama cowok,” katanya.“Ya. Tapi, hey … cemburu sama kamu? Astaga!” Aster menepuk keningnya sendiri. Lelaki itu tertawa. “Kakak harus peka sama perasaan cowok. Meskipun nggak ada hubungan apa-apa, cowok bakalan cemburu kalau ceweknya sama cowok lain. Apalagi sampe nganterin ke rumah.”“Berarti salah kamu! Kamu yang maksa buat nganterin aku!” kata Aster.Gadis itu menunjuk lelaki muda di sampingnya. D

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 52: Resign

    Aster menyerahkan surat pengunduran diri pada lelaki yang menjadi atasannya selama ini. Dia memberi hormat pada lelaki itu sebelum melangkah ke luar ruangan itu.Di ruang arsip, dia menemui Darren untuk pamit sebagai sesama rekan kerja. “Makasih banyak Ren, kamu udah bantuin aku selama ini.” katanya.Lelaki itu merentangkan tangannya untuk memberi pelukan semangat pada Aster. “Baik-baik, ya. Kamu juga bisa ngabarin aku lewat sosmed atau ngirim undangan pernikahan misalnya.”Aster tertawa. “Iya, nanti kalau aku nikah aku undang kamu,” katanya.“Beneran udah mau nyebar undangan?”Aster menggeleng. “Belum. Aku juga nggak tahu gimana ke depannya, tapi aku bakalan istirahat dulu sebelum nyari kerjaan baru.”Rekan kerja Aster itu mengangguk-angguk. Dia melambaikan tangan ketika Aster berlalu dari ruangan itu.Aster menyusuri jalanan tanpa tujuan. Dia melewati area Kampus dengan suasana hiruk-pikuk itu. Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan di sepanjang komplek pendidikan itu. Tiba di per

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 51: Sebuah Kebenaran

    Tanpa memberi kabar apapun, Galih mendatangi rumah petak yang ditempati Aster. Gadis itu terbelalak ketika membukakan pintu untuknya.“Kang Jamal,” gadis itu ingin memeluk laki-laki di hadapannya. Namun, dia tak ingin terlalu mengumbar perasaannya.“Boleh aku masuk, Neng?” tanya Galih.Aster menganggukkan kepala sebagai jawaban. Semburat jingga di langit menjadi saksi bisu perasaan kedua orang yang saling memendam perasaan masing-masing.Galih duduk berhadapan dengan gadis itu. Gadis yang wajahnya masih menghiasi mimpi-mimpi malamnya.“Maaf, saya bikinin kopi dulu, Kang. Tunggu sebentar!” kata Aster, lalu meninggalkan Galih di ruang depan.Galih menggosokkan kedua telapak tangannya. Dia tak tahu harus memulai obrolan mereka dari mana.Aster kembali beberapa menit kemudian, meletakkan cangkir kopi dengan uap mengepul di udara. Galih mengangguk, lalu membuka kancing lengan kemejanya.“Diminum, Kang,” katanya.“Makasih, Neng,” Galih meraih cangkir kopi itu, menyesapnya sedikit sebelum me

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 50: Bahagia untuk Papa

    Aster masih terdiam di posisi sama, sambil menyembunyikan wajah di balik lututnya, dia berkali-kali mencoba untuk tak terpaku pada masa lalu yang melenakan bersama Jamal. Karena sebenarnya yang ada bersamanya bukanlah Jamal, melainkan Galih.Dan Galih sama sekali bukan Jamal. Dari cara berpakaian, berbicara, sampai pekerjaan mereka.“Apa bener aku suka Jamal apa adanya? Kalau gitu kenapa nggak minta dia jadi Jamal aja kalau sama aku? Atau, sebenernya cuma ego aku yang terluka karena ngerasa nggak dianggap sama sekali sama dia?”Aster mengacak sisiran rambutnya. Beberapa kali dia bahkan mengumpat diri sendiri.Tangan gadis itu lalu meraih ponselnya, membuka pesan suara yang dikirimkan oleh kontak yang masih belum berganti nama itu.“Aku sakit Neng, bisa video call nggak? Biar aku bisa ngobatin kangen ini.”Gadis itu tak membalasnya. Dia terlalu enggan untuk membalasnya karena itu sama saja dengan membuatnya terlihat remeh di depan lelaki itu. Dan dia sama sekali tidak ingin lelaki itu

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 49: Sakit Karena Rindu

    “Aku sakit, Neng. Kita bisa video call, nggak? Aku kangen kamu.”Galih mengirimkan kalimat itu melalui pesan suara ke nomor kontak Aster yang masih disimpannya dengan nama Pacar. Jason yang sedang berada di sisi tempat tidur lelaki itu hanya bisa menertawakan tingkah konyol papanya itu.“Ternyata Papa punya kebiasaan unik, ya? Kalau habis putus pasti demam,” kata Jason sambil tertawa.Galih dengan cepat menyanggah, “Papa demam karena kecapekan bukan karena putus.”“Tapi waktu ngedeketin Mama Dea dulu juga gitu ‘kan? Papa sampe sakit waktu itu.” Jason tak mau mengalah dengan argumennya.“Udah dibilangin bukan karena itu, tapi karena Papa kurang istirahat. Jadwal Papa padet banget soalnya,” keluhan kembali keluar dari bibir Galih.Jason kembali mengarahkan termometer infra merah ke kening Galih. Angka 38,7 derajat Celcius dengan lampu indikator merah membuat Jason berdecak.“Demamnya masih belum turun juga. Aku telponin Mama Dea biar sekalian bawa dokter ke sini ya, Pa.”“Eh, jangan! Bu

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 48: Tumbang

    Galih menyandang tas pinggang ke bahunya. Dia mengenakan kaus berkerah dengan celana spandeks dengan sepatu sport yang nyaman. Dia berharap bisa menyelesaikan masalah dengan Aster sekaligus bertemu kembali dengan Iwan dan juga rekan kerja lainnya di Percetakan Gemilang.Galih memutuskan untuk mengendarai Audi merah miliknya karena dia tak lagi harus berperan sebagai Jamal meskipun dia tak keberatan dengan hal itu. Namun, demi menunjang pekerjaannya, dia harus menjadi seorang Galih. Bukan Jamal.Semalam Galih mengirimkan pesan ke nomor Aster, yang berakhir tanpa jawaban dari gadis itu. Hal itu membuatnya ingin mencari jawaban.‘Apa mungkin hubungan kami selesai tanpa penjelasan gitu aja? Gimana dengan rencana kami selama ini? Gimana sama Jason kalau kali ini juga aku harus putus sama perempuan baru yang udah deket sama dia?’ Pertanyaan-pertanyaan itu ada di benak Galih.‘Di saat aku udah bahagia karena dia tahu siapa aku sebenernya dan pekerjaanku, malah masalahnya langsung kayak gini.

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 47: Keras Kepala

    Galih tercenung menatap ponselnya setelah mendengar kalimat kekasihnya itu melalui telepon. Gadis itu bahkan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun, panggilan dari Tasya membuatnya tak bisa menghubungi kembali gadis itu melalui panggilan telepon. Dia kembali menyimpan ponselnya.“Ini Bos, storyboard yang dibikin sama Rein dan Sheela,” kata gadis berambut cokelat yang menjadi sekretaris pribadinya itu lalu menyerahkan tablet berisi rancangan cerita untuk video iklan mereka.Galih meraih tablet yang disodorkan Tasya itu, melihatnya sekilas. “Bagian ini gimana kalau ditambah efek dramatis kayak adegan terbang di film Harry Potter itu? Kayaknya bagus dan lebih relate kayaknya sama audiens yang jadi target pasar.”“Oke, kasih aja catatan di situ, Bos. Tim wardrobe lagi bikin kostum yang sesuai, ala peri tapi versi idol gitu ceritanya.”“Bagus. Sekarang idol lagi disenengin sama semua kalangan. Jadi, visual harus diutamakan di sini. Kalau audio, udah oke?”“Udah, Bos. Rein sama

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status