Galih menatap dirinya di cermin. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi berwarna biru dongker itu membuatnya terlihat bersinar. Rambutnya tersisir rapi, jam tangan di pergelangan tangan kirinya membuatnya semakin tampan.
Galih melangkah ke luar kamar, menuju kamar Jason. Bocah itu sudah mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan rambut tersisir rapi.“Udah siap, Boy?” Galih mengulurkan tangan pada duplikat dirinya versi kecil itu.“Udah, Pa. Kita langsung ke gedung tempat pernikahannya, Pa?” tanya bocah lelaki itu.Sambil berjalan menuju garasi, Galih menjawab, “iya, Boy. Papa anterin kamu dulu ke sana sama Nenek dan Kakek, ya. Karena Papa mau jemput seseorang.”“Calon Bunda aku ya, Pa?” pertanyaan Jason membuat Galih tertawa pelan.“Semoga ya Boy. Semoga jalan Papa menjadikan dia Bunda kamu berjalan lancar,” kata Galih.“Amin, Pa.”Galih membukakan pintu mobil untuk putrany“Gimana kalau kita ke panggung buat kasih selamat ke mempelai, Neng?” Galih mengulurkan tangannya pada gadis itu.Aster meraih tangan Galih, menggamit lengan kekar itu menuju panggung. Senyum Aster mengembang ketika memberi ucapan selamat kepada keluarga dan kedua mempelai.Galih memeluk Evan, lalu memberi pelukan yang sama pada Dea sekali lagi. Ketika bertemu dengan Jason di panggung, Galih tersenyum ketika bocah kecil itu memberikan jempol ke arahnya.‘Aman. Kayaknya nggak ada orang kantor yang dateng jam segini,’ batinnya.Galih segera menggandeng tangan Aster menuju tempat makan, menjauh dari panggung utama. Aster memindahkan beberapa cake yang dikemas dalam wadah kecil itu ke piring datar yang diambilnya.“Kang Jamal nggak makan? Itu ada siomay, kayaknya enak deh,” gadis itu menunjuk ke arah rak di sisinya.Galih menggeleng. “Aku udah kenyang, nggak bisa makan kebanyakan, Neng.”“Kang Jamal diet, ya?”Galih terkekeh-kekeh. “Nggak, bukan diet. Cuma aku kebiasaan intermittent fasti
Galih menyalami Evan untuk berbasa-basi sebelum turun dari panggung pelaminan. Evan menarik tangannya lalu berbisik di telinganya, “aku doain Mas jodoh sama dia.”“Amin,” ucap Galih sebelum menyusul langkah Aster yang sudah lebih dulu.Ketika Galih berbelok menuju tempat menu, bocah lelaki kecil berlari ke arahnya. Galih merentangkan tangan untuk memeluk bocah itu.“Papa …” teriakan bocah kecil itu berhasil menarik perhatian Aster. Gadis cantik itu menoleh, lalu berbalik arah mendekati keduanya.Galih tersenyum canggung ke arah Aster. Namun, pandangan Aster tak beralih dari wajah bocah lelaki itu. Gadis itu bahkan menebak-nebak dalam hati.“Neng, kenalin, ini anakku,” kata Galih.Aster membeliak. Dia tak menyangka jika tebakannya tepat. Sambil menunduk, Aster mengulurkan tangan ke arah bocah lelaki tampan dengan setelan tuksedo hitam itu.“Halo, Ganteng. Salam kenal, nama Tante Aster Pu
Pagi itu Galih terbangun tanpa mimpi buruk. Dia bersandar di bahu ranjang, menatap langit-langit kamar yang kosong. Setidaknya selama sepuluh tahun, dia menempati luasnya kamar itu sendiri. Tanpa kehangatan. Sepi.Pintu diketuk membuatnya mengayun langkah untuk meraih gagang pintu. Wajah anak semata wayangnya muncul di balik pintu.“Papa, hari ini anterin aku ke rumah Nenek yuk!” katanya.“Ke rumah Nenek?” Dia mengulangi kalimat bocah itu.“Iya, Pa … aku mau ketemu Mama Dea. Hari ini ‘kan Mama Dea nggak akan ke sini. Soalnya kata Nenek, Mama Dea sama Om Evan mau ke Bali,” katanya.Galih mengangguk-angguk. ‘Jadi Evan dengan Dea mau bulan madu ke Bali? Berarti dia ninggalin percetakan? Hm, kayaknya itu bagus,’ pikir Galih.Galih beralih ke bocah lelaki duplikatnya itu. “Papa mau mandi dulu, oke? Nih lihat! Papa masih nggak pake baju begini, artinya baru bangun tidur,” dia menunjuk dirinya sendiri.
Galih melihat jadwal di kalender bulanan pekerjaannya. Hanya ada satu hari kosong tanpa pertemuan dengan klien. Dia mendesah, harapannya untuk meluangkan waktu dengan Jason dan Aster tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.“Ditambah lagi bulan ini juga aku harus ngejar target project selanjutnya ya? Sama Mister Harland juga belum,” Galih memijit pelipisnya.“Syukuri aja deh. Lagian aku masih bisa ketemu dia juga di luar kerjaan,” katanya.Ketukan di pintu ruangannya mengalihkan pandangan Galih. “Ya, masuk!” katanya.Rein masuk dengan map berisi kertas-kertas. Galih melihat kertas itu, hasil cetak story board yang dikerjakan oleh tim kreatif mereka untuk proyek iklan kampanye anti bullying di sekolah-sekolah.“Biasanya kalau kayak gini kita ngerjain dulu, Bos. Dan setelah selesai, baru mereka bayar. Mereka juga nggak ngasih uang muka, Bos,” kata Rein.Galih mengangguk-angguk. “Ya udah, tapi mereka ud
“Bos! Bos harus lihat ini deh!” Tasya tiba-tiba masuk ke ruangannya, membuat Galih mendongak.Tasya menunjuk tablet di tangannya, menampilkan video iklan dengan konsep fairy tale yang pernah diperankan Galih. Video itu diposting di kanal video online dan sudah ditonton satu juta kali oleh pengguna di sana dalam waktu delapan jam sejak peluncurannya.Galih menggeser layar untuk melihat komentar-komentar di bawah video itu. Kalimat-kalimat positif dan pujian membuat Galih optimis dengan konsep perusahaan mereka.“Kerja keras kita terbayar, Sya. Kabari kalau Bu Shanti ada komentar atau apapun. Biar aku kosongkan jadwal untuk ketemu beliau,” katanya.Tasya mengangguk. “Siap, Bos! Kayaknya nggak lama lagi bakalan ada telepon masuk dari Bu Shanti.”Tak lama, dering telepon di meja kerja Galih berbunyi. Galih saling pandang dengan sekretarisnya itu. Tasya mempersilakan Galih untuk menerima telepon itu.“Sel
Galih membuka mata ketika Evan menepuk-nepuk pipinya. Lelaki yang pernah menjadi rivalnya dalam mendapatkan hati Dea itu mengarahkan jari tengah ke arahnya.“Lain kali nggak usah coba-coba minum! Ngerepotin orang aja! Untung aku ini masih peduli ya sama Mas, karena aku kasihan. Coba kalau nggak ada aku, bisa dimanfaatin tuh kondisi Mas sama wartawan gosip. Bisa dibikin foto-foto vulgar, apalagi tadi bareng sama cewek itu. Siapa cewek itu tadi? Kok bisa-bisanya dia udah ngelepas blazer sama sepatunya. Ngeri banget!”Galih memegang wajah Evan. Dia mengerang pelan karena pandangannya masih berputar. “Makasih kamu udah bantuin aku,” katanya.Evan berteriak di depan wajahnya. “Lain kali jangan gitu lagi! Gimana kalau pas aku nggak ada? Tadi aku sama Dea udah hampir —ah, lupain! Pokoknya jangan diulangi lagi. Inget, Mas Galih sama kayak aku, nggak akan kuat sama alkohol. Mas Galih anak baik, anak anteng, nggak neko-neko. Jangan coba-coba lagi!”
Galih membuka pintu ruang kerjanya dengan wajah tersenyum. Hatinya kembali seperti remaja yang tengah jatuh cinta. Semua anggota timnya bahkan terheran-heran dengan tingkahnya pagi itu.Fariz mengetuk pintu ruangannya tak lama kemudian. Lelaki itu meletakkan dokumen ke mejanya. “Kayaknya Bos lagi seneng banget pagi ini,” kata Fariz.Galih tersenyum, “keliatan banget ya, Riz?” tanyanya.Fariz mengangguk. “Bos lagi jatuh cinta ya?”Galih tertawa. “Pengalaman memang nggak bisa bohong ya? Kamu ngerti banget, Riz.”“Ya karena aku juga hari ini ngeliat keponakanku sama kayak Bos. Wajahnya berseri-seri, banyak senyum padahal dia nggak habis gajian. Pas aku tanya, dia katanya punya pacar. Ya meskipun aku belum pernah ketemu sama pacarnya sih,” kata Fariz.Galih mengangguk-angguk menyimak cerita Fariz. “Karena kamu kemarin berhasil bikin Danial invest di perusahaan kita, jadi misi kita kali ini aku percayain
Galih mengecup kening Jason sebelum melangkah menuju jalur masuk penumpang. Di sisi Jason, Dea bersama Evan turut melambaikan tangan. “Hati-hati ya, Mas Galih. Jangan lupa kasih kabar,” katanya.Galih mengangguk. “Aku titip Jason ya, Dek,” katanya.Dea mengangguk. Evan di sisinya tak lepas merangkul pinggang perempuan yang sudah menjadi istrinya itu.“Aku titip Jason, Van,” kata Galih, sambil memeluk Evan sesaat.“Tenang aja, Mas. Meskipun aku sama Jason sering berantem, istriku sabar kok ngadepin Jason,” sahut Evan sekenanya.Galih mengusap rambut anak semata wayangnya itu. “Papa masuk dulu ya, Boy. Biar nggak ketinggalan pesawat,” kata Galih.“Iya, Pa.” Jason melambaikan tangan ke arahnya.“Dadah Pa … cepet pulang, ya! Aku bakalan kangen,” katanya.Galih melambaikan tangan sambil tersenyum. Lelaki itu lalu melangkah masuk menuju ruang tunggu penumpang yang hendak terbang
Galih menaruh keranjang berisi aneka buah-buahan dan buket bunga itu di bagasi mobilnya. Dia beberapa kali melirik spion tengah mobilnya, memperbaiki tatanan rambutnya agar tak terlihat berantakan.“Semoga rencana kami lancar. Dan aku bisa menikah dengan Aster secepatnya,” gumam Galih sebelum mulai melaju bersama Audi A5 Sportback merah miliknya.Lokasi yang diberikan Aster melalui pesan itu menjadi acuannya. Dia mengikuti peta yang ditunjuk oleh mesin pintar penunjuk jalan di ponselnya.Ketika sampai di titik lokasi yang dituju, dia bergegas meninggalkan mobilnya. Lelaki tampan itu lalu menghubungi kekasihnya via telepon. Begitu telepon tersambung, dia segera menjelaskan bahwa dirinya sudah berada tak jauh dari rumah yang dimaksud gadis itu.“Aku keluar dulu, Kang. Sebentar, ya!” katanya.Sambungan telepon terputus. Galih kembali melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Dia mengeratkan dasinya, membetulkan kancing kemejanya sambil menyisir rambutnya dengan jari.Aster berlari kecil un
Usai menghabiskan makanannya, Aster melenggang pergi dari Rumah Makan itu. Langkahnya terayun menuju Perpustakaan. Galih segera menyusul langkah perempuan itu bersama Tasya —yang bahkan belum menghabiskan semua makanannya, demi meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Dengan langkah panjangnya, Galih berhasil menahan lengan Aster ketika dia akan melangkah masuk ke Perpustakaan. Aster semula ingin meneriakkan kata-kata kemarahan yang dipendamnya. Namun, dia merasa tak nyaman dengan rekan kerjanya itu. “Kamu duluan aja ya, Ren. Aku nyusul pas jam masuk,” kata Aster. Laki-laki itu mengangguk lalu meneruskan langkahnya menuju Perpustakaan. Aster kemudian menarik lengan Galih ke tempat parkir di area belakang Gedung Perpustakaan, diikuti langkah Tasya. “Kang Jamal, maksud saya, siapapun Anda, kalau Anda mau mempermainkan hati saya, saya nggak bisa terima!” Aster langsung mengatakan inti percakapan itu. Galih mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan berita tentang d
Aster terbelalak melihat berita di kanal daring itu. Foto seseorang dengan wajah yang dikenalnya. Jarinya menyentuh foto itu, memperbesar foto itu.“Ini… beneran Kang Jamal?” gumamnya.“Jadi selama ini, Kang Jamal itu …”“Aster!” suara seseorang membuat Aster buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.“Maaf, Ren. Lagi senggang jadi buka hape sebentar. Gimana?”“Sistem lagi error ya? Soalnya aku susah masukin daftar buku baru ke katalog,” kata lelaki itu.Aster melihat ke komputernya. Lelaki itu menarik kursi, duduk di dekat gadis cantik yang menjadi penjaga Perpustakaan itu.“Kayaknya memang lagi error. Jaringannya off line nih, Ren. Aku nggak tau kenapa. Tungguin aja sampe normal lagi, Ren,” katanya.Lelaki itu melihat jam tangannya. “Tapi tiga menit lagi istirahat, nih. Makan siang bareng, yuk?”Aster mengangguk pelan. Mungkin saja dia bisa melupakan berita itu dengan mencari suasana baru. “Boleh, deh. Kamu yang traktir, Ren?”“Iya, dong. Aku yang ngajak, ya aku yang bay
Obrolan kecil di belakang mereka membuat Aster risih. Beberapa dari mereka bahkan membuat Aster tak habis pikir. Dia pamit pada Galih untuk sedikit memberikan pelajaran pada salah satu dari mereka.‘Kok orang-orang kayak mereka bisa ada di lingkungan keluarga Kang Jamal? Berarti selama ini Kang Jamal juga diomongin sama mereka?’ batinnya menduga-duga.Aster lalu meraih minuman berwarna merah dalam gelas tangkai itu. Dia sengaja berjalan cepat tanpa melepaskan sepatu dengan hak runcing itu. Ketika berada di dekat perempuan yang menyebutnya miskin itu, Aster berpura-pura tersandung kakinya sendiri. Lalu isi minuman dalam gelas tangkai yang dibawanya itu berpindah ke baju yang dikenakan perempuan itu.Aster menutup mulutnya dengan tangan, “astaga! Maaf ya, Kak! Aku beneran nggak sengaja!” Dia buru-buru meraih tisu untuk membersihkan noda kemerahan di baju perempuan itu.“Nggak usah pura-pura kamu! Kamu sengaja ‘kan?” Perempuan itu mendorongnya hingga Aster terhuyung. Namun, dia berhasil
Perempuan di sisi Aster tertawa mengejek. Hal itu membuat Aster mengepalkan tangannya. Namun, sebelum Aster berdiri untuk melayangkan sebuah tamparan atau pukulan di pipi perempuan itu, seorang wanita cantik duduk di antara mereka.“Mbak Mayang, kenapa duduk di sini? Itu suaminya lagi main game, nanti hadiahnya batal karena pasangannya nggak hadir, lho,” kata wanita cantik itu.“Saya cuma lagi kenalan sama pacarnya Galih kok! Ternyata dia orang miskin! Nggak cocok banget sama Galih!”“Ini pesta ulang tahun Jason lho, Mbak. Dan kayaknya Mbak Mayang terlalu ikut campur urusan orang lain,” katanya.Perempuan yang sebelumnya mengejek Aster itu berlalu meninggalkan kursinya. Aster menyeringai.“Terima kasih banyak, Anda sudah membela saya,” kata Aster.Wanita cantik di sisinya menoleh, sambil tersenyum dia mengulurkan tangannya pada Aster. “Saya Dea, kita belum sempat berkenalan, Kakak Ipar,” kata wanita itu.Aster menjabat tangan wanita cantik di sisinya, “eh, nggak usah panggil kayak git
Semua mata tertuju pada kedatangan Galih dengan perempuan cantik berambut cokelat itu. Jason segera memeluk Galih.“Akhirnya Papa nggak terlambat. Aku hampir aja nyoret Papa dari Kartu Keluarga kita.”Galih tertawa-tawa. “Mana bisa nyoret kepala keluarga dari Kartu Keluarga. Malah sebaliknya, dong!”“Ya bisa aja! Nanti aku ikut ke Kartu Keluarga Om Evan,” sahut Jason, asal.Pandangan Jason terarah pada gadis berambut cokelat dengan blazer pink dan rok span di bawah lutut itu. “Halo, Jason. Masih ingat Tante?”“Masih. Tante Tasya ‘kan? Sekretaris Papa,” katanya.Tasya tersenyum, “bener, banget! Ini, Tante bawain kado buat kamu. Selamat ulang tahun, ya!” Gadis itu menyerahkan kotak besar dengan bungkus kado motif dinosaurus pada Jason.Jason menerimanya dengan senyum lebar, “makasih banyak, Tante! Tante Tasya boleh duduk dulu sambil nunggu acaranya mulai,” kata Jason sambil mengarahkan gadis itu ke kursi khusus tamu undangan.Galih menggeleng karena takjub dengan tingkah Jason menyambut
Aster semula ragu untuk menjawab telepon masuk dari nomor tak dikenalinya. Dia hanya membiarkan sambungan telepon itu terputus dengan sendirinya.Sebuah pesan masuk melalui aplikasi pesan daring muncul di notifikasi dorong ponselnya. Kening Aster berlipat-lipat melihat isi pesan itu.[+62 8122234555]: halo, tante. ini aku, Jason. Aku dpt nomr tante dr papa“Ini nomor Jason? Ya ampun! Mimpi apa aku sampe dihubungi sama anaknya,” katanya.Aster segera membalas pesan itu.[Aster]: hai, Jason. Kalau gitu tante save kontaknya yaTak lama setelah menyimpan nomor ponsel Jason di kontak, dering telepon masuk kembali terdengar di ponsel Aster. Gadis itu menjawabnya, lalu berdehem sebelum bersuara.“Halo,” katanya.“Tante. Ini nomor Jason,” sahutan suara dari telepon itu membuat Aster menutup mulutnya untuk menutupi suara tawanya.“Iya, tante udah simpen nomor kamu,” jawab Aster.“Kalau gitu, aku mau ngundang tante ke acara ulang tahun aku. Tante bisa ‘kan kosongin jadwal buat aku?”Aster membu
Selama sepuluh tahun, Jason selalu menyerahkan urusan dekorasi ulang tahunnya pada event organizer yang dibayar oleh Galih untuk mengurusi semuanya. Namun, di ulang tahunnya yang akan menginjak angka sebelas, dia ingin melakukan semuanya sesuai dengan keinginannya.Jason berdiskusi dengan orang dari event organizer itu mengenai konsep yang diinginkannya. “Aku mau konsepnya superhero kayak Papa. Kak Tara tahu ‘kan? Papaku orangnya dingin banget kalau lagi kerja, tapi dia bisa ketawa kalau udah ketemu sama aku. Terus, aku juga nggak mau ngundang orang banyak-banyak. Aku maunya privat aja, mungkin seratus orang cukup. Ada temen-temen deket aku sama keluarga. Yang paling penting, nanti harus ada home band yang nyanyiin lagu buat dansa. Terus hiasan balon-balonnya, warna gold sama navy, bisa?”“Baik, kalau begitu Jason mau yang seperti ini?” perempuan itu menunjukkan gambar di tablet miliknya.Jason mengangguk setelah melihat rancangan konsep itu. “Tapi nanti tolong siapin pembawa acara bu
Pertemuan di Cafe Bougenville itu semakin membuat Aster jatuh hati pada Galih. Pasalnya, lelaki tampan berstatus duda dengan anak satu itu bukan hanya melindunginya tetapi juga secara gentle mengakui statusnya di depan Ryn, sahabat Aster.Dia bahkan memperkenalkan Jason sebagai anak kandungnya, sekaligus mengatakan keseriusan untuk menjalin hubungan ke jenjang lebih serius bersama Aster. Gadis itu bahagia, karena Ryn bukan hanya mendukung hubungan mereka tetapi juga mendoakan agar hubungan itu bertahan sampai pernikahan bahkan hingga maut memisahkan.Aster sampai tersenyum-senyum mengingat kejadian itu ketika dia duduk di meja kerjanya. Semua pengunjung Perpustakaan hari itu bahkan merasakan kebahagiaannya.Aster membuka buku kumpulan puisi karya Mita Yoo itu, membaca dalam hati bait puisi di sana.Kita adalah anomali yang disatukan semesta. Kau dengan ketenanganmu, sedang aku serupa sumbu pendek yang bisa meledak kapan saja.