Obrolan kecil di belakang mereka membuat Aster risih. Beberapa dari mereka bahkan membuat Aster tak habis pikir. Dia pamit pada Galih untuk sedikit memberikan pelajaran pada salah satu dari mereka.‘Kok orang-orang kayak mereka bisa ada di lingkungan keluarga Kang Jamal? Berarti selama ini Kang Jamal juga diomongin sama mereka?’ batinnya menduga-duga.Aster lalu meraih minuman berwarna merah dalam gelas tangkai itu. Dia sengaja berjalan cepat tanpa melepaskan sepatu dengan hak runcing itu. Ketika berada di dekat perempuan yang menyebutnya miskin itu, Aster berpura-pura tersandung kakinya sendiri. Lalu isi minuman dalam gelas tangkai yang dibawanya itu berpindah ke baju yang dikenakan perempuan itu.Aster menutup mulutnya dengan tangan, “astaga! Maaf ya, Kak! Aku beneran nggak sengaja!” Dia buru-buru meraih tisu untuk membersihkan noda kemerahan di baju perempuan itu.“Nggak usah pura-pura kamu! Kamu sengaja ‘kan?” Perempuan itu mendorongnya hingga Aster terhuyung. Namun, dia berhasil
Aster terbelalak melihat berita di kanal daring itu. Foto seseorang dengan wajah yang dikenalnya. Jarinya menyentuh foto itu, memperbesar foto itu.“Ini… beneran Kang Jamal?” gumamnya.“Jadi selama ini, Kang Jamal itu …”“Aster!” suara seseorang membuat Aster buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.“Maaf, Ren. Lagi senggang jadi buka hape sebentar. Gimana?”“Sistem lagi error ya? Soalnya aku susah masukin daftar buku baru ke katalog,” kata lelaki itu.Aster melihat ke komputernya. Lelaki itu menarik kursi, duduk di dekat gadis cantik yang menjadi penjaga Perpustakaan itu.“Kayaknya memang lagi error. Jaringannya off line nih, Ren. Aku nggak tau kenapa. Tungguin aja sampe normal lagi, Ren,” katanya.Lelaki itu melihat jam tangannya. “Tapi tiga menit lagi istirahat, nih. Makan siang bareng, yuk?”Aster mengangguk pelan. Mungkin saja dia bisa melupakan berita itu dengan mencari suasana baru. “Boleh, deh. Kamu yang traktir, Ren?”“Iya, dong. Aku yang ngajak, ya aku yang bay
Usai menghabiskan makanannya, Aster melenggang pergi dari Rumah Makan itu. Langkahnya terayun menuju Perpustakaan. Galih segera menyusul langkah perempuan itu bersama Tasya —yang bahkan belum menghabiskan semua makanannya, demi meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Dengan langkah panjangnya, Galih berhasil menahan lengan Aster ketika dia akan melangkah masuk ke Perpustakaan. Aster semula ingin meneriakkan kata-kata kemarahan yang dipendamnya. Namun, dia merasa tak nyaman dengan rekan kerjanya itu. “Kamu duluan aja ya, Ren. Aku nyusul pas jam masuk,” kata Aster. Laki-laki itu mengangguk lalu meneruskan langkahnya menuju Perpustakaan. Aster kemudian menarik lengan Galih ke tempat parkir di area belakang Gedung Perpustakaan, diikuti langkah Tasya. “Kang Jamal, maksud saya, siapapun Anda, kalau Anda mau mempermainkan hati saya, saya nggak bisa terima!” Aster langsung mengatakan inti percakapan itu. Galih mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan berita tentang d
Galih menaruh keranjang berisi aneka buah-buahan dan buket bunga itu di bagasi mobilnya. Dia beberapa kali melirik spion tengah mobilnya, memperbaiki tatanan rambutnya agar tak terlihat berantakan.“Semoga rencana kami lancar. Dan aku bisa menikah dengan Aster secepatnya,” gumam Galih sebelum mulai melaju bersama Audi A5 Sportback merah miliknya.Lokasi yang diberikan Aster melalui pesan itu menjadi acuannya. Dia mengikuti peta yang ditunjuk oleh mesin pintar penunjuk jalan di ponselnya.Ketika sampai di titik lokasi yang dituju, dia bergegas meninggalkan mobilnya. Lelaki tampan itu lalu menghubungi kekasihnya via telepon. Begitu telepon tersambung, dia segera menjelaskan bahwa dirinya sudah berada tak jauh dari rumah yang dimaksud gadis itu.“Aku keluar dulu, Kang. Sebentar, ya!” katanya.Sambungan telepon terputus. Galih kembali melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Dia mengeratkan dasinya, membetulkan kancing kemejanya sambil menyisir rambutnya dengan jari.Aster berlari kecil un
“Kalau aku terserah kalian aja. Karena kalian yang bakalan menjalani nantinya. Keadaan keluarga kami begini, dan aku harap Mas Galih, eh, Pak Galih bisa maklum. Maksud aku, semoga Mas Galih mengerti dengan keadaan keluarga kami,” kata Fariz.Galih tertawa pelan. “Kali ini aku beneran serius, Riz. Aku minta restu dari keluarga kamu selaku wali dari Aster.”“Kalau aku, yang penting Aster bahagia, aku setuju aja. Karena kami sebagai keluarga perempuan dengan kemampuan finansial yang seperti ini. Beda jauh dengan keluarga Mas Galih,” Fariz menekankan kata keluarga Mas Galih karena ingin melihat reaksi lelaki itu.“Jangan pikirin itu, Riz. Aku bisa pindah rumah di tempat lain, atau di sekitar sini biar kamu percaya. Dan aku bakalan kasih dia kebebasan, Riz. Setelah menikah, kalau dia masih mau kerja, nggak masalah. Kalau dia mau jadi ibu rumah tangga, aku bakalan lebih bahagia dan tenang,” kata Galih.Fariz mengembuskan napas perlahan, “ya sudah. Kalau Aster nggak keberatan dengan apapun t
Galih menatap tampilan wajah itu di cermin. Sambil tersenyum, dia menepuk bahu Ben.“Bagus, aku suka,” katanya pada Ben. Laki-laki berambut pirang itu bertepuk tangan sambil melompat kegirangan.“Cocok banget sama kamu, Sayang,” kata Galih sambil memegangi bahu gadisnya.Gadis itu tersenyum. “Makasih ya, Kak Ben!” katanya.“Sama-sama, Cantik! Duh, aku seneng banget deh Bos Galih akhirnya bawa ceweknya ke sini. Mana cantik banget lagi!” Kalimat Ben membuat Aster tersenyum-senyum.“Kita pergi sekarang?” tanya Galih.Aster mengangguk, “yuk, Kang.”“Mudah-mudahan lancar ya, Bos! Aku nggak sabar dapet undangan dari kalian!” katanya.Galih tersenyum, lalu menggenggam tangan gadis itu. “Tangan kamu dingin, Sayang. Kamu gugup?”Gadis itu mengangguk sekali lagi. “Banget, Kang. Aku juga khawatir bakalan malu-maluin Kang Jamal.”Galih menggeleng, “nggak bakalan, Sayang. Udah, jangan khawatir. Kamu bisa pegang tangan aku. Aku nggak akan lepasin kamu.”Aster mengangguk. Dia berharap semua kekhawat
Aster masih bergeming selesai membersihkan riasan wajahnya dan melepas baju dengan aksesoris rambut demi bertemu keluarga Galih itu. Meskipun Galih membelanya, tetapi sikap ibunda Galih membuat Aster tak nyaman. Dia harus mendapatkan restu dari perempuan itu jika ingin bersama Galih. Dan dia yakin semua itu tak akan mudah.Dia menatap wajahnya di pantulan cermin itu. Seperti kebiasaannya selama ini, dia berbicara pada dirinya sendiri. “Mulai sekarang aku harus bisa ambil hati ibunya ‘kan? Kamu yakin kamu bisa ‘kan? Yakin dong, Aster! Harus semangat!”“Yup, bener! Aku harus semangat dapetin restu ibunya!”***Aster menyisir poninya ke samping, lalu memutar tubuhnya untuk memastikan busana yang dia pakai untuk bekerja hari itu sempurna. Dia menyemprotkan parfum di beberapa titik untuk menunjang penampilannya dalam bekerja. Meraih tote bag berbahan kanvas dengan karakter perempuan bertopi pantai itu, dia meninggalkan rumah tempat tinggalnya.Angkutan umum membawa Aster ke Perpustakaan Ka
Tak seperti biasanya, hari itu Aster merasa tak bersemangat bahkan untuk memulai sarapan paginya. Gravitasi di tempat tidurnya begitu kuat hingga dia tak bisa pergi ke manapun. Dia terus berselancar di dunia maya untuk menonton film pendek lucu yang dibuat para kreator lokal.Ketika dia hampir terpejam karena rasa kantuk menyerang, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk itu membuatnya terbangun dari posisi nyaman di kasurnya.“Astaga! Ini beneran? Ya ampun!”Aster segera membalas pesan itu. Sebuah lokasi dengan nama restoran muncul di sana. “Aku harus pakai baju apa kalau ke sana? Ah, kayaknya ada yang cocok sama aku,” katanya.Aster buru-buru menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia menggosokkan lulur ke seluruh tubuhnya agar semua sel kulit mati di tubuhnya tanggal. Setelah itu, dia mulai merias dirinya dengan bedak tabur dan krim bibir berwarna merah muda dicampur dengan oranye untuk menambah kesan segar di wajahnya. Dia juga menyemprotkan parfum lalu mengelua
Udara pagi Kota Metropolitan membuat semangat dalam diri Aster meningkat. Kakinya melangkah cepat menyusuri zebra cross sebelum memasuki gedung delapan lantai itu.Aster berjalan dengan percaya diri melewati pintu masuk menuju tempat kerja barunya. Dia menekan kartu di pintu masuk itu sebelum bergabung dengan pegawai lainnya di lift yang akan membawanya menuju lantai tiga.Aster merasa tenang karena tak ada yang diam-diam mencuri pandangan ke arahnya. Dia juga dengan bebas tersenyum ke siapapun yang ditemuinya sebelum menuju ruangan kerjanya di Divisi Creative Director.Perempuan yang mengenalkan dirinya bernama Putri itu menyambut Aster dengan senyum ramah.“Halo, Aster, kamu udah dateng? Pagi banget!” katanya.Aster tersenyum, sambil menaruh tas miliknya di meja kubikel. “Kayaknya kamu lebih pagi, deh. Yang lainnya belum dateng?”Perempuan yang sedang mengecat kukunya dengan kuteks itu menyahut, “paling sebentar lagi. Udah mau jam delapan soalnya. Tunggu aja.”Aster mengangguk-anggu
Aster menunduk untuk menghindari tatapan Fariz. Lelaki itu bersedekap sambil menatap tajam ke arah gadis yang sudah seperti adik baginya.“Jadi, kamu beneran nggak tahu kalau ini perusahaan tempat aku kerja, dan pemilik perusahaan ini adalah pacar kamu?” pertanyaan dari Fariz membuat Aster menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.Gadis cantik itu dengan panik mengibaskan tangannya, “Om, jangan keras-keras! Nanti ada yang tahu dan nuduh yang nggak-nggak. Aku nggak mau bikin rumor!”Fariz mengetuk meja makan dengan telunjuknya tiga kali. “Terus, kamu mau apa, Dek? Pura-pura nggak kenal juga sama aku?”Aster menggeleng. “Nggak. Tapi sebisa mungkin kalau di Kantor kita nggak interaksi biar nggak dikira nepotisme. Apalagi posisi Om udah tinggi di sini. Aku nggak mau ya kalau orang-orang malah jadi meragukan kemampuan aku. Aku diterima di sini karena aku apply lamaran dan ikut tes juga, bukan cuma nitip nama.”Fariz mengangguk-angguk. “Ya udah. Kalau nanti kamu kesulitan, bilang sama Om biar
Beberapa lembar dokumen di dalam map berwarna merah itu berada di tangan Galih. Dia membolak-balikkan kertas berisi kontak dengan foto gadis itu. Sambil menatap foto itu dan mengusap dengan jarinya, Galih menyeringai.“Pada akhirnya kita memang ditakdirkan berjalan di jalan yang sama, sayang. Dan ini bikin aku gila,” katanya.Pintu ruangan auditorium itu dibuka. Sandra melangkah lebih dekat ke meja Galih.“Semuanya sudah siap, Pak. Pak Galih ingin melihat proses wawancaranya?” tanya Sandra.Galih mengangguk. Sambil menyilangkan kakinya, dia memutar-mutar stylus pen di tangannya.“Ya. Karena saya ingin tahu sampai mana kemampuan mereka. Kalau ada yang bagus, saya bisa langsung rekrut jadi sekretaris saya untuk menggantikan Tasya,” katanya.Sandra mengangguk. Dia memanggil per kelompok yang terdiri dari lima orang pelamar kerja di perusahaan mereka.Rein dan Salma duduk di sisi Sandra. Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan posisi pekerjaan para pelamar. G
Sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang diposting di sebuah sosial media berita daring itu membuat Aster tertarik. Dia buru-buru mengubah posisinya yang semula berbaring di atas kasur menjadi duduk.“Bagus banget nih! Cuma butuh pengalaman kerja aja. Ditambah lagi, nggak ada persyaratan usia sama pendidikan minimal. Coba daftar, deh! Daripada nganggur ‘kan? Kali aja bisa lebih cepet move on dari Mas Duda!”Aster membuka laptop miliknya, merangkai kalimat demi kalimat untuk melamar pekerjaan itu. Dia lalu mengarahkan ponselnya untuk membuat foto selfie dirinya, dan mengeditnya dengan aplikasi di ponselnya. Setelah semua persyaratan cukup, Aster lalu mengunggah semua dokumen persyaratan dan surat lamaran kerja itu dalam satu lampiran di e-mail.“Mari kita coba keberuntungan lainnya,” katanya sebelum menekan tombol enter untuk mengirim e-mail itu ke perusahaan yang ditujunya.Sementara itu, Galih sedang memilih beberapa lembar dumi logo perusahaan yang baru didesain ulang oleh tim krea
Galih tak menjawab pertanyaan Aster. Dia menyerahkan tas jinjing yang dibawanya untuk Aster.“Buat kamu, Neng. Aku pulang dulu,” katanya lalu kembali mengayun langkah ke mobil.Tak lama kemudian, lelaki tampan itu menancap gas mobilnya. Berlalu dari rumah itu.“Kenapa sih? Apa maksudnya?” Aster yang masih kebingungan hanya bergeming. Lelaki di sampingnya mengerti situasi itu.“Kayaknya dia cemburu sama aku, Kak,” kata lelaki itu.Aster tertawa pelan. “Whaaat? Cemburu?”‘Aku bahkan udah pernah bilang putus sama dia,’ batin Aster.Lelaki itu mengangguk. “Aku cowok lho Kak, ngerti perasaan sesama cowok,” katanya.“Ya. Tapi, hey … cemburu sama kamu? Astaga!” Aster menepuk keningnya sendiri. Lelaki itu tertawa. “Kakak harus peka sama perasaan cowok. Meskipun nggak ada hubungan apa-apa, cowok bakalan cemburu kalau ceweknya sama cowok lain. Apalagi sampe nganterin ke rumah.”“Berarti salah kamu! Kamu yang maksa buat nganterin aku!” kata Aster.Gadis itu menunjuk lelaki muda di sampingnya. D
Aster menyerahkan surat pengunduran diri pada lelaki yang menjadi atasannya selama ini. Dia memberi hormat pada lelaki itu sebelum melangkah ke luar ruangan itu.Di ruang arsip, dia menemui Darren untuk pamit sebagai sesama rekan kerja. “Makasih banyak Ren, kamu udah bantuin aku selama ini.” katanya.Lelaki itu merentangkan tangannya untuk memberi pelukan semangat pada Aster. “Baik-baik, ya. Kamu juga bisa ngabarin aku lewat sosmed atau ngirim undangan pernikahan misalnya.”Aster tertawa. “Iya, nanti kalau aku nikah aku undang kamu,” katanya.“Beneran udah mau nyebar undangan?”Aster menggeleng. “Belum. Aku juga nggak tahu gimana ke depannya, tapi aku bakalan istirahat dulu sebelum nyari kerjaan baru.”Rekan kerja Aster itu mengangguk-angguk. Dia melambaikan tangan ketika Aster berlalu dari ruangan itu.Aster menyusuri jalanan tanpa tujuan. Dia melewati area Kampus dengan suasana hiruk-pikuk itu. Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan di sepanjang komplek pendidikan itu. Tiba di per
Tanpa memberi kabar apapun, Galih mendatangi rumah petak yang ditempati Aster. Gadis itu terbelalak ketika membukakan pintu untuknya.“Kang Jamal,” gadis itu ingin memeluk laki-laki di hadapannya. Namun, dia tak ingin terlalu mengumbar perasaannya.“Boleh aku masuk, Neng?” tanya Galih.Aster menganggukkan kepala sebagai jawaban. Semburat jingga di langit menjadi saksi bisu perasaan kedua orang yang saling memendam perasaan masing-masing.Galih duduk berhadapan dengan gadis itu. Gadis yang wajahnya masih menghiasi mimpi-mimpi malamnya.“Maaf, saya bikinin kopi dulu, Kang. Tunggu sebentar!” kata Aster, lalu meninggalkan Galih di ruang depan.Galih menggosokkan kedua telapak tangannya. Dia tak tahu harus memulai obrolan mereka dari mana.Aster kembali beberapa menit kemudian, meletakkan cangkir kopi dengan uap mengepul di udara. Galih mengangguk, lalu membuka kancing lengan kemejanya.“Diminum, Kang,” katanya.“Makasih, Neng,” Galih meraih cangkir kopi itu, menyesapnya sedikit sebelum me
Aster masih terdiam di posisi sama, sambil menyembunyikan wajah di balik lututnya, dia berkali-kali mencoba untuk tak terpaku pada masa lalu yang melenakan bersama Jamal. Karena sebenarnya yang ada bersamanya bukanlah Jamal, melainkan Galih.Dan Galih sama sekali bukan Jamal. Dari cara berpakaian, berbicara, sampai pekerjaan mereka.“Apa bener aku suka Jamal apa adanya? Kalau gitu kenapa nggak minta dia jadi Jamal aja kalau sama aku? Atau, sebenernya cuma ego aku yang terluka karena ngerasa nggak dianggap sama sekali sama dia?”Aster mengacak sisiran rambutnya. Beberapa kali dia bahkan mengumpat diri sendiri.Tangan gadis itu lalu meraih ponselnya, membuka pesan suara yang dikirimkan oleh kontak yang masih belum berganti nama itu.“Aku sakit Neng, bisa video call nggak? Biar aku bisa ngobatin kangen ini.”Gadis itu tak membalasnya. Dia terlalu enggan untuk membalasnya karena itu sama saja dengan membuatnya terlihat remeh di depan lelaki itu. Dan dia sama sekali tidak ingin lelaki itu
“Aku sakit, Neng. Kita bisa video call, nggak? Aku kangen kamu.”Galih mengirimkan kalimat itu melalui pesan suara ke nomor kontak Aster yang masih disimpannya dengan nama Pacar. Jason yang sedang berada di sisi tempat tidur lelaki itu hanya bisa menertawakan tingkah konyol papanya itu.“Ternyata Papa punya kebiasaan unik, ya? Kalau habis putus pasti demam,” kata Jason sambil tertawa.Galih dengan cepat menyanggah, “Papa demam karena kecapekan bukan karena putus.”“Tapi waktu ngedeketin Mama Dea dulu juga gitu ‘kan? Papa sampe sakit waktu itu.” Jason tak mau mengalah dengan argumennya.“Udah dibilangin bukan karena itu, tapi karena Papa kurang istirahat. Jadwal Papa padet banget soalnya,” keluhan kembali keluar dari bibir Galih.Jason kembali mengarahkan termometer infra merah ke kening Galih. Angka 38,7 derajat Celcius dengan lampu indikator merah membuat Jason berdecak.“Demamnya masih belum turun juga. Aku telponin Mama Dea biar sekalian bawa dokter ke sini ya, Pa.”“Eh, jangan! Bu