Aster terbelalak melihat berita di kanal daring itu. Foto seseorang dengan wajah yang dikenalnya. Jarinya menyentuh foto itu, memperbesar foto itu.“Ini… beneran Kang Jamal?” gumamnya.“Jadi selama ini, Kang Jamal itu …”“Aster!” suara seseorang membuat Aster buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.“Maaf, Ren. Lagi senggang jadi buka hape sebentar. Gimana?”“Sistem lagi error ya? Soalnya aku susah masukin daftar buku baru ke katalog,” kata lelaki itu.Aster melihat ke komputernya. Lelaki itu menarik kursi, duduk di dekat gadis cantik yang menjadi penjaga Perpustakaan itu.“Kayaknya memang lagi error. Jaringannya off line nih, Ren. Aku nggak tau kenapa. Tungguin aja sampe normal lagi, Ren,” katanya.Lelaki itu melihat jam tangannya. “Tapi tiga menit lagi istirahat, nih. Makan siang bareng, yuk?”Aster mengangguk pelan. Mungkin saja dia bisa melupakan berita itu dengan mencari suasana baru. “Boleh, deh. Kamu yang traktir, Ren?”“Iya, dong. Aku yang ngajak, ya aku yang bay
Usai menghabiskan makanannya, Aster melenggang pergi dari Rumah Makan itu. Langkahnya terayun menuju Perpustakaan. Galih segera menyusul langkah perempuan itu bersama Tasya —yang bahkan belum menghabiskan semua makanannya, demi meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Dengan langkah panjangnya, Galih berhasil menahan lengan Aster ketika dia akan melangkah masuk ke Perpustakaan. Aster semula ingin meneriakkan kata-kata kemarahan yang dipendamnya. Namun, dia merasa tak nyaman dengan rekan kerjanya itu. “Kamu duluan aja ya, Ren. Aku nyusul pas jam masuk,” kata Aster. Laki-laki itu mengangguk lalu meneruskan langkahnya menuju Perpustakaan. Aster kemudian menarik lengan Galih ke tempat parkir di area belakang Gedung Perpustakaan, diikuti langkah Tasya. “Kang Jamal, maksud saya, siapapun Anda, kalau Anda mau mempermainkan hati saya, saya nggak bisa terima!” Aster langsung mengatakan inti percakapan itu. Galih mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan berita tentang d
Galih menaruh keranjang berisi aneka buah-buahan dan buket bunga itu di bagasi mobilnya. Dia beberapa kali melirik spion tengah mobilnya, memperbaiki tatanan rambutnya agar tak terlihat berantakan.“Semoga rencana kami lancar. Dan aku bisa menikah dengan Aster secepatnya,” gumam Galih sebelum mulai melaju bersama Audi A5 Sportback merah miliknya.Lokasi yang diberikan Aster melalui pesan itu menjadi acuannya. Dia mengikuti peta yang ditunjuk oleh mesin pintar penunjuk jalan di ponselnya.Ketika sampai di titik lokasi yang dituju, dia bergegas meninggalkan mobilnya. Lelaki tampan itu lalu menghubungi kekasihnya via telepon. Begitu telepon tersambung, dia segera menjelaskan bahwa dirinya sudah berada tak jauh dari rumah yang dimaksud gadis itu.“Aku keluar dulu, Kang. Sebentar, ya!” katanya.Sambungan telepon terputus. Galih kembali melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Dia mengeratkan dasinya, membetulkan kancing kemejanya sambil menyisir rambutnya dengan jari.Aster berlari kecil un
“Kalau aku terserah kalian aja. Karena kalian yang bakalan menjalani nantinya. Keadaan keluarga kami begini, dan aku harap Mas Galih, eh, Pak Galih bisa maklum. Maksud aku, semoga Mas Galih mengerti dengan keadaan keluarga kami,” kata Fariz.Galih tertawa pelan. “Kali ini aku beneran serius, Riz. Aku minta restu dari keluarga kamu selaku wali dari Aster.”“Kalau aku, yang penting Aster bahagia, aku setuju aja. Karena kami sebagai keluarga perempuan dengan kemampuan finansial yang seperti ini. Beda jauh dengan keluarga Mas Galih,” Fariz menekankan kata keluarga Mas Galih karena ingin melihat reaksi lelaki itu.“Jangan pikirin itu, Riz. Aku bisa pindah rumah di tempat lain, atau di sekitar sini biar kamu percaya. Dan aku bakalan kasih dia kebebasan, Riz. Setelah menikah, kalau dia masih mau kerja, nggak masalah. Kalau dia mau jadi ibu rumah tangga, aku bakalan lebih bahagia dan tenang,” kata Galih.Fariz mengembuskan napas perlahan, “ya sudah. Kalau Aster nggak keberatan dengan apapun t
Galih menatap tampilan wajah itu di cermin. Sambil tersenyum, dia menepuk bahu Ben.“Bagus, aku suka,” katanya pada Ben. Laki-laki berambut pirang itu bertepuk tangan sambil melompat kegirangan.“Cocok banget sama kamu, Sayang,” kata Galih sambil memegangi bahu gadisnya.Gadis itu tersenyum. “Makasih ya, Kak Ben!” katanya.“Sama-sama, Cantik! Duh, aku seneng banget deh Bos Galih akhirnya bawa ceweknya ke sini. Mana cantik banget lagi!” Kalimat Ben membuat Aster tersenyum-senyum.“Kita pergi sekarang?” tanya Galih.Aster mengangguk, “yuk, Kang.”“Mudah-mudahan lancar ya, Bos! Aku nggak sabar dapet undangan dari kalian!” katanya.Galih tersenyum, lalu menggenggam tangan gadis itu. “Tangan kamu dingin, Sayang. Kamu gugup?”Gadis itu mengangguk sekali lagi. “Banget, Kang. Aku juga khawatir bakalan malu-maluin Kang Jamal.”Galih menggeleng, “nggak bakalan, Sayang. Udah, jangan khawatir. Kamu bisa pegang tangan aku. Aku nggak akan lepasin kamu.”Aster mengangguk. Dia berharap semua kekhawat
Aster masih bergeming selesai membersihkan riasan wajahnya dan melepas baju dengan aksesoris rambut demi bertemu keluarga Galih itu. Meskipun Galih membelanya, tetapi sikap ibunda Galih membuat Aster tak nyaman. Dia harus mendapatkan restu dari perempuan itu jika ingin bersama Galih. Dan dia yakin semua itu tak akan mudah.Dia menatap wajahnya di pantulan cermin itu. Seperti kebiasaannya selama ini, dia berbicara pada dirinya sendiri. “Mulai sekarang aku harus bisa ambil hati ibunya ‘kan? Kamu yakin kamu bisa ‘kan? Yakin dong, Aster! Harus semangat!”“Yup, bener! Aku harus semangat dapetin restu ibunya!”***Aster menyisir poninya ke samping, lalu memutar tubuhnya untuk memastikan busana yang dia pakai untuk bekerja hari itu sempurna. Dia menyemprotkan parfum di beberapa titik untuk menunjang penampilannya dalam bekerja. Meraih tote bag berbahan kanvas dengan karakter perempuan bertopi pantai itu, dia meninggalkan rumah tempat tinggalnya.Angkutan umum membawa Aster ke Perpustakaan Ka
Tak seperti biasanya, hari itu Aster merasa tak bersemangat bahkan untuk memulai sarapan paginya. Gravitasi di tempat tidurnya begitu kuat hingga dia tak bisa pergi ke manapun. Dia terus berselancar di dunia maya untuk menonton film pendek lucu yang dibuat para kreator lokal.Ketika dia hampir terpejam karena rasa kantuk menyerang, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk itu membuatnya terbangun dari posisi nyaman di kasurnya.“Astaga! Ini beneran? Ya ampun!”Aster segera membalas pesan itu. Sebuah lokasi dengan nama restoran muncul di sana. “Aku harus pakai baju apa kalau ke sana? Ah, kayaknya ada yang cocok sama aku,” katanya.Aster buru-buru menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia menggosokkan lulur ke seluruh tubuhnya agar semua sel kulit mati di tubuhnya tanggal. Setelah itu, dia mulai merias dirinya dengan bedak tabur dan krim bibir berwarna merah muda dicampur dengan oranye untuk menambah kesan segar di wajahnya. Dia juga menyemprotkan parfum lalu mengelua
Galih tercenung menatap ponselnya setelah mendengar kalimat kekasihnya itu melalui telepon. Gadis itu bahkan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun, panggilan dari Tasya membuatnya tak bisa menghubungi kembali gadis itu melalui panggilan telepon. Dia kembali menyimpan ponselnya.“Ini Bos, storyboard yang dibikin sama Rein dan Sheela,” kata gadis berambut cokelat yang menjadi sekretaris pribadinya itu lalu menyerahkan tablet berisi rancangan cerita untuk video iklan mereka.Galih meraih tablet yang disodorkan Tasya itu, melihatnya sekilas. “Bagian ini gimana kalau ditambah efek dramatis kayak adegan terbang di film Harry Potter itu? Kayaknya bagus dan lebih relate kayaknya sama audiens yang jadi target pasar.”“Oke, kasih aja catatan di situ, Bos. Tim wardrobe lagi bikin kostum yang sesuai, ala peri tapi versi idol gitu ceritanya.”“Bagus. Sekarang idol lagi disenengin sama semua kalangan. Jadi, visual harus diutamakan di sini. Kalau audio, udah oke?”“Udah, Bos. Rein sama
Galih menyandang tas pinggang ke bahunya. Dia mengenakan kaus berkerah dengan celana spandeks dengan sepatu sport yang nyaman. Dia berharap bisa menyelesaikan masalah dengan Aster sekaligus bertemu kembali dengan Iwan dan juga rekan kerja lainnya di Percetakan Gemilang.Galih memutuskan untuk mengendarai Audi merah miliknya karena dia tak lagi harus berperan sebagai Jamal meskipun dia tak keberatan dengan hal itu. Namun, demi menunjang pekerjaannya, dia harus menjadi seorang Galih. Bukan Jamal.Semalam Galih mengirimkan pesan ke nomor Aster, yang berakhir tanpa jawaban dari gadis itu. Hal itu membuatnya ingin mencari jawaban.‘Apa mungkin hubungan kami selesai tanpa penjelasan gitu aja? Gimana dengan rencana kami selama ini? Gimana sama Jason kalau kali ini juga aku harus putus sama perempuan baru yang udah deket sama dia?’ Pertanyaan-pertanyaan itu ada di benak Galih.‘Di saat aku udah bahagia karena dia tahu siapa aku sebenernya dan pekerjaanku, malah masalahnya langsung kayak gini.
Galih tercenung menatap ponselnya setelah mendengar kalimat kekasihnya itu melalui telepon. Gadis itu bahkan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun, panggilan dari Tasya membuatnya tak bisa menghubungi kembali gadis itu melalui panggilan telepon. Dia kembali menyimpan ponselnya.“Ini Bos, storyboard yang dibikin sama Rein dan Sheela,” kata gadis berambut cokelat yang menjadi sekretaris pribadinya itu lalu menyerahkan tablet berisi rancangan cerita untuk video iklan mereka.Galih meraih tablet yang disodorkan Tasya itu, melihatnya sekilas. “Bagian ini gimana kalau ditambah efek dramatis kayak adegan terbang di film Harry Potter itu? Kayaknya bagus dan lebih relate kayaknya sama audiens yang jadi target pasar.”“Oke, kasih aja catatan di situ, Bos. Tim wardrobe lagi bikin kostum yang sesuai, ala peri tapi versi idol gitu ceritanya.”“Bagus. Sekarang idol lagi disenengin sama semua kalangan. Jadi, visual harus diutamakan di sini. Kalau audio, udah oke?”“Udah, Bos. Rein sama
Tak seperti biasanya, hari itu Aster merasa tak bersemangat bahkan untuk memulai sarapan paginya. Gravitasi di tempat tidurnya begitu kuat hingga dia tak bisa pergi ke manapun. Dia terus berselancar di dunia maya untuk menonton film pendek lucu yang dibuat para kreator lokal.Ketika dia hampir terpejam karena rasa kantuk menyerang, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk itu membuatnya terbangun dari posisi nyaman di kasurnya.“Astaga! Ini beneran? Ya ampun!”Aster segera membalas pesan itu. Sebuah lokasi dengan nama restoran muncul di sana. “Aku harus pakai baju apa kalau ke sana? Ah, kayaknya ada yang cocok sama aku,” katanya.Aster buru-buru menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia menggosokkan lulur ke seluruh tubuhnya agar semua sel kulit mati di tubuhnya tanggal. Setelah itu, dia mulai merias dirinya dengan bedak tabur dan krim bibir berwarna merah muda dicampur dengan oranye untuk menambah kesan segar di wajahnya. Dia juga menyemprotkan parfum lalu mengelua
Aster masih bergeming selesai membersihkan riasan wajahnya dan melepas baju dengan aksesoris rambut demi bertemu keluarga Galih itu. Meskipun Galih membelanya, tetapi sikap ibunda Galih membuat Aster tak nyaman. Dia harus mendapatkan restu dari perempuan itu jika ingin bersama Galih. Dan dia yakin semua itu tak akan mudah.Dia menatap wajahnya di pantulan cermin itu. Seperti kebiasaannya selama ini, dia berbicara pada dirinya sendiri. “Mulai sekarang aku harus bisa ambil hati ibunya ‘kan? Kamu yakin kamu bisa ‘kan? Yakin dong, Aster! Harus semangat!”“Yup, bener! Aku harus semangat dapetin restu ibunya!”***Aster menyisir poninya ke samping, lalu memutar tubuhnya untuk memastikan busana yang dia pakai untuk bekerja hari itu sempurna. Dia menyemprotkan parfum di beberapa titik untuk menunjang penampilannya dalam bekerja. Meraih tote bag berbahan kanvas dengan karakter perempuan bertopi pantai itu, dia meninggalkan rumah tempat tinggalnya.Angkutan umum membawa Aster ke Perpustakaan Ka
Galih menatap tampilan wajah itu di cermin. Sambil tersenyum, dia menepuk bahu Ben.“Bagus, aku suka,” katanya pada Ben. Laki-laki berambut pirang itu bertepuk tangan sambil melompat kegirangan.“Cocok banget sama kamu, Sayang,” kata Galih sambil memegangi bahu gadisnya.Gadis itu tersenyum. “Makasih ya, Kak Ben!” katanya.“Sama-sama, Cantik! Duh, aku seneng banget deh Bos Galih akhirnya bawa ceweknya ke sini. Mana cantik banget lagi!” Kalimat Ben membuat Aster tersenyum-senyum.“Kita pergi sekarang?” tanya Galih.Aster mengangguk, “yuk, Kang.”“Mudah-mudahan lancar ya, Bos! Aku nggak sabar dapet undangan dari kalian!” katanya.Galih tersenyum, lalu menggenggam tangan gadis itu. “Tangan kamu dingin, Sayang. Kamu gugup?”Gadis itu mengangguk sekali lagi. “Banget, Kang. Aku juga khawatir bakalan malu-maluin Kang Jamal.”Galih menggeleng, “nggak bakalan, Sayang. Udah, jangan khawatir. Kamu bisa pegang tangan aku. Aku nggak akan lepasin kamu.”Aster mengangguk. Dia berharap semua kekhawat
“Kalau aku terserah kalian aja. Karena kalian yang bakalan menjalani nantinya. Keadaan keluarga kami begini, dan aku harap Mas Galih, eh, Pak Galih bisa maklum. Maksud aku, semoga Mas Galih mengerti dengan keadaan keluarga kami,” kata Fariz.Galih tertawa pelan. “Kali ini aku beneran serius, Riz. Aku minta restu dari keluarga kamu selaku wali dari Aster.”“Kalau aku, yang penting Aster bahagia, aku setuju aja. Karena kami sebagai keluarga perempuan dengan kemampuan finansial yang seperti ini. Beda jauh dengan keluarga Mas Galih,” Fariz menekankan kata keluarga Mas Galih karena ingin melihat reaksi lelaki itu.“Jangan pikirin itu, Riz. Aku bisa pindah rumah di tempat lain, atau di sekitar sini biar kamu percaya. Dan aku bakalan kasih dia kebebasan, Riz. Setelah menikah, kalau dia masih mau kerja, nggak masalah. Kalau dia mau jadi ibu rumah tangga, aku bakalan lebih bahagia dan tenang,” kata Galih.Fariz mengembuskan napas perlahan, “ya sudah. Kalau Aster nggak keberatan dengan apapun t
Galih menaruh keranjang berisi aneka buah-buahan dan buket bunga itu di bagasi mobilnya. Dia beberapa kali melirik spion tengah mobilnya, memperbaiki tatanan rambutnya agar tak terlihat berantakan.“Semoga rencana kami lancar. Dan aku bisa menikah dengan Aster secepatnya,” gumam Galih sebelum mulai melaju bersama Audi A5 Sportback merah miliknya.Lokasi yang diberikan Aster melalui pesan itu menjadi acuannya. Dia mengikuti peta yang ditunjuk oleh mesin pintar penunjuk jalan di ponselnya.Ketika sampai di titik lokasi yang dituju, dia bergegas meninggalkan mobilnya. Lelaki tampan itu lalu menghubungi kekasihnya via telepon. Begitu telepon tersambung, dia segera menjelaskan bahwa dirinya sudah berada tak jauh dari rumah yang dimaksud gadis itu.“Aku keluar dulu, Kang. Sebentar, ya!” katanya.Sambungan telepon terputus. Galih kembali melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Dia mengeratkan dasinya, membetulkan kancing kemejanya sambil menyisir rambutnya dengan jari.Aster berlari kecil un
Usai menghabiskan makanannya, Aster melenggang pergi dari Rumah Makan itu. Langkahnya terayun menuju Perpustakaan. Galih segera menyusul langkah perempuan itu bersama Tasya —yang bahkan belum menghabiskan semua makanannya, demi meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Dengan langkah panjangnya, Galih berhasil menahan lengan Aster ketika dia akan melangkah masuk ke Perpustakaan. Aster semula ingin meneriakkan kata-kata kemarahan yang dipendamnya. Namun, dia merasa tak nyaman dengan rekan kerjanya itu. “Kamu duluan aja ya, Ren. Aku nyusul pas jam masuk,” kata Aster. Laki-laki itu mengangguk lalu meneruskan langkahnya menuju Perpustakaan. Aster kemudian menarik lengan Galih ke tempat parkir di area belakang Gedung Perpustakaan, diikuti langkah Tasya. “Kang Jamal, maksud saya, siapapun Anda, kalau Anda mau mempermainkan hati saya, saya nggak bisa terima!” Aster langsung mengatakan inti percakapan itu. Galih mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan berita tentang d
Aster terbelalak melihat berita di kanal daring itu. Foto seseorang dengan wajah yang dikenalnya. Jarinya menyentuh foto itu, memperbesar foto itu.“Ini… beneran Kang Jamal?” gumamnya.“Jadi selama ini, Kang Jamal itu …”“Aster!” suara seseorang membuat Aster buru-buru memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.“Maaf, Ren. Lagi senggang jadi buka hape sebentar. Gimana?”“Sistem lagi error ya? Soalnya aku susah masukin daftar buku baru ke katalog,” kata lelaki itu.Aster melihat ke komputernya. Lelaki itu menarik kursi, duduk di dekat gadis cantik yang menjadi penjaga Perpustakaan itu.“Kayaknya memang lagi error. Jaringannya off line nih, Ren. Aku nggak tau kenapa. Tungguin aja sampe normal lagi, Ren,” katanya.Lelaki itu melihat jam tangannya. “Tapi tiga menit lagi istirahat, nih. Makan siang bareng, yuk?”Aster mengangguk pelan. Mungkin saja dia bisa melupakan berita itu dengan mencari suasana baru. “Boleh, deh. Kamu yang traktir, Ren?”“Iya, dong. Aku yang ngajak, ya aku yang bay